Jumat, 30 Desember 2016

Membantu Anak Berbakti

Dari kajian yang saya ikuti beberapa waktu lalu, disebutkan suatu hadist...
Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?”
Nabi Menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.” [HR Abu Daud]

Sabda Rasulullah di atas poinnya cukup jelas menurut saya:
1. Saat anak sedang tumbuh berkembang dan belajar melakukan sesuatu, hargailah usahanya walaupun kecil.
2. If they make mistake, accept it. Tell them it’s not something good. Let’s not do it again. Give warm hug, forgive them, forgive each other and tell them that as a parent, we believe that they will not make the same mistake. They could be a better person.
3. Tidak terlalu banyak/tinggi menuntutnya dan selalu do’akan yang terbaik untuk anak kita(?).
4. Do not cross the line. Jangan memaki dengan makian yang membuat hatinya terluka. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada anak yang sering dimaki oleh orang tua-nya sendiri?

Iyaps... selamat belajar lagi, belajar terus!! :)
continue reading Membantu Anak Berbakti

Bukan Tanpa Cela

Jika kamu bertemu dengan seseorang yang sempurna, kamu harus curiga. Pertama, bisa jadi dia bukan manusia. Kedua, kamu tidak cukup mengenalnya.

Dan jika kamu dianggap sempurna, percayalah bukan karena kamu tidak punya cacat. Tapi karena Allah sedang menutupi celamu. Itu saja.





Yang tetiba hari ini membuat saya melakukan refleksi mendalam. Betapa baiknya Allah karena menutup cela kita. Lebih giat lagi perbaiki diri untuk Allah, Nak!!! Jangan lupa syukurnya juga


continue reading Bukan Tanpa Cela

Berlari

Pada awalnya saya sangat sangat membenci yang namanya lari. Sejak sd sampai kuliah. Selalu merasa lari itu siksaan luar biasa. Lebay sih tapi itu adalah pikiran saya selama kurang lebih 15 tahun. Sehingga, kalau ada lari di sekolah, udah males dan bawaannya nightmare. Tentu saja, hal ini bukan tanpa alasan.
Pertama kali saya mengenal lari itu menyeramkan pas SD. karena pada waktu itu ada tes lari diitung waktunya berapa selama jumlah keliling yang ditentukan. Ketika lari, saya merasa kepayahan dan membuat sakit dibeberapa bagian, sebut saja pinggang, jantung, dan terkadang berkunang-kunang. Ditambah pencatatan waktu itu bikin stress sendiri.
Berhubung waktu itu saya anak kecil, jadinya ada semacam trauma dan sangat membenci lari. Bahkan jikapun saya dihukum dengan hukuman terpedih di dunia ini bagi seorang siswa -mengerjakan soal matematika mematika dan memuakkan- saya akan lebih memilih itu ketimbang penilaian lari. Namun, pendidikan di Indonesia untuk urusan olahraga, ternyata kurikulumnya tetap menggunakan tes lari sebagai indikator kebugaran si anak. Konsekuensinya memang selama sekolah pasti si tes lari ini akan ada disepanjang semester. Dan bikin lelah hati dan pikiran. fyuuh… Tapi aneh bin ajaib, untuk olahraga-olahraga permainan yang basicnya lari -basket, futsal, sepakbola- saya cukup oke *sombong banyak*, maksudnya, saya tidak merasakan tertekan dan enjoy menjalaninya. Jadi berpengaruh ke hasil yang baik pula.
Sekarang, ketika saya sudah melewati segala macam bentuk tes lari hampir belasan tahun. Saya mulai merasakan lari itu menyenangkan. Tentunya dalam konteks yang berbeda dengan sebelumnya. Saat ini, saya lari sesuai dengan kehendak saya, tanpa ada paksaan. Saya lari karena merasa butuh bukan perintah orang. Dan yang terpenting, saya tidak perlu cepat-cepat lari karena tidak barkompetisi dengan orang di bidang yang tidak saya mampu.. muahahaaha..
Lari bagi saya semacam media untuk membuat pikiran lebih jernih. Biasanya, kalau lagi banyak pikiran yang membuat kepala serasa mau pecah, ketika berlari, memaksa saya untuk melepaskan segala pemikiran yang memusingkan. Karena pada saat itu, kebutuhan oksigen dalam otak meningkat, sehingga harus menghilangkan segala kerisauan yang ada.. ini teori saya sendiri, dan menurut pengalaman dan perasaan saya, secara medis mah gatau.haha..
Intinya, rasa lelah yang melanda ketika berlari itu memaksa saya untuk lebih berpikir sesimple mungkin. Dan pemikiran yang biasanya hanya kekhawatiran plus dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi hilang.
Kalau orang bilang jangan membenci sesuatu secara berlebihan karena bisa jadi berbalik kebelakang. Sepertinya itulah yang saya rasakan dengan lari. Ya, walaupun sebenarnya definisi lari saya juga bukan lari sprint dengan kecepatan sekejap mata, hanya lari kecil-kecil yang sering dibilang joging. Buat saya itu cukup merubah mindset saya.. haha
Walaupun, ketika di trek lari si saya masi suka melihat kagum orang-orang lari dengan cepat, saya cukup memandang saja dan berharap keajaiban akan datang..🙂
continue reading Berlari

Hamba

Kadangkala seorang hamba sampai letih karena berfikir, padahal Allah yang memiliki semua rencana dan aturan. Jangan hukum masa depanmu dengan kondisi hari ini, Allah Maha Kuasa merubahnya dalam waktu sekejap. Tugas kita hanya berusaha dan terus berdo'a.

Kamu lelah? Hehe  iyalah pasti. Eh, tapi kan, memang akan selalu ada harga yang harus dibayar untuk keterwujudan setiap keinginan ataupun impian, right?

Mulai lah belajar, memperjuangkan setiap detik dengan kesibukan, untuk menjagamu agar tetap berjalan, untuk memastikan agar tetap bergerak. 
Istirahat kan hanya di surga, benar kan? :)
continue reading Hamba

Kamis, 29 Desember 2016

Peran Masing-Masing

bahkan di tengah kondisi berkecamuknya perang paling dahsyat sekalipun, tidak semua orang maju untuk bertempur. ada yang menyediakan air dan makanan. ada yang bertugas mengobati luka-luka.


di pertandingan sepakbola paling legendaris sepanjang sejarah pun, tidak semua pemain maju untuk menyerang. ada pemain belakang. ada kiper yang menjaga gawang.

tugasnya berbeda. tapi tujuan tetap sama. satu.

tidakkah contoh itu cukup bagimu?

setiap orang memiliki ranahnya masing-masing. perannya sendiri-sendiri. mungkin menurutmu itu tak adil, tapi justru itu adalah sebuah keadilan. sebab barangkali, kau masih belum paham perbedaan adil dan setara.

kapasitas dan kemampuan tiap orang berbeda. meski mereka dilahirkan dari rahim yang sama, dibesarkan di lingkungan yang serupa, tetap saja tidak akan persis sama. bahkan kembar sekalipun memiliki penanda pembeda, bukan?

tak perlu berburuk sangka.


jalanilah sebaik-baik peranmu.
continue reading Peran Masing-Masing

Selasa, 27 Desember 2016

Menjadi Dewasa

Rumah memang selalu punya magnet tersendiri bagi penghuni-penghuni yang dilahirkan didalamnya. Tidak peduli kemarin lusa kamu sudah berlama-lama di rumah, tapi hari ini mendadak sangat merindukannya lagi. Tapi saya curiga sih, mungkin bukan rumahnya yang bikin rindu, melainkan orang-orang di dalamnya dan segala kenangannya, keributannya, bahkan debu-debu yang menempel di mejanya bisa sangat membuatmu rindu haha.

Perantauan mengajarkan kemandirian dan tentunya kerinduan. Masa kecil yang sekarang hanya bisa menari di awang. Jika dulu sewaktu kecil, ingin sekali segera menjadi dewasa dengan dalih bisa melakukan apa saja tanpa perlu izin dan mandiri. Ternyata, setelah tiba di masa dewasa seperti ini ekspresinya “Ohh.. begini toh rasanya jadi dewasa. Ribet ya.. kompleks ya..” Karena hal tersakit sewaktu kanak-kanak dulu hanya sebatas jatuh berdarah karena berlari kemudian menangis sekencang-kencangnya tanpa rasa malu. Lukanya hanya sebatas lecet di lutut yang dua atau tiga hari sudah mengering, lalu bisa dibuat kembali berlari. Semenjak dewasa, sakit itu menjadi berubah, tangis pun berbeda. Sakit tak berwujud ternyata lebih pedih, menangis dengan tersenyum ternyata lebih mengiris. Entahlah... kepura-puraan macam apa yang orang dewasa perankan, mereka selalu bilang “All is well”, bohong... semua tidak sebaik-baik saja seperti ucapan mereka.

Begitulah cerita betapa menyenangkan menjadi kanak-kanak. Sekarang, memang sudah waktunya mendewasa. Jadi, selamat menjadi dewasa!!!

Jangan lupa senyumnya, ya. Biar makin manis seperti gula-gula yang sering kita temui di pasar malam J
continue reading Menjadi Dewasa

Minggu, 25 Desember 2016

To Be A Good Patner

Sebaik baik pasangan adalah partner dalam melakukan kebaikan. Good partner tidak hanya berlaku pada pasangan, tapi teman bahkan keluarga. Peran dari partner itu mengajak kepada kebaikan, mengingatkan bila ada yang terlewat, meringankan bila ada yang berat, menasehati bila ada yang menyimpang. Sekuat apapun manusia bisa bertahan hidup sendiri, pastilah tidak akan sekuat dibanding dengan mereka yang berpartner.

Kesolihan itu tidak akan menjadi manis bila dinikmati sendirian maka solih menyolihkan itu jauh lebih indah. Hidup itu ibarat virus yang saling meng-influence atau mempengaruhi sesamanya. Permasalahan yang seringkali dihadapi adalah siapkah diri kita menjadi virus baik tersebut? Atau, siapkah partner kita menerima ajakan kebaikan kita? Jangan sampai kita baik selaku partner maupun pihak yang mengajak tidak siap dan justru meninggikan hati yang berbuah kesombongan.

Masalah yang seringkali muncul dalam berpartner adalah ketika hubungan sudah semakin dekat maka perasaan meremehkan akan tumbuh sehingga cenderung menyepelekan sebuah nasihat atau ajakan dari orang terdekat yang kita miliki. Pernahkah kau mengalami menjadi pihak yang disepelekan? Betapa sakitnya ketika kita telah berusaha mengajak kebaikan bahkan lebih dahulu menyampaikan, tapi dia lebih mendengarkan dari orang lain. Boleh jadi cara atau waktu kita yang tidak tepat. Pelajaran berharga bagi kita, jangan pernah meremehkan orang terdekat yang telah rela menjadi partner kita. Jika demikian maka bersiaplah untuk kehilangan partner terdekat.

Lihatlah ke dalam diri kita sendiri, apakah kita sudah layak disebut baik dengan perilaku meremehkan? Sudah pantaskah kita disebut partner yang baik? Ketika diri menjadi pribadi sombong dan meremehkan orang lain terlebih kepada orang terdekat maka akan banyak informasi yang terlewatkan. Kerugian justru terletak pada diri kita dan perilaku seperti ini hanya akan menyakiti partner kita. Seni berkomunikasi adalah selalu menghargai apapun informasi yang disampaikan meskipun sebenarnya telah kita ketahui sebelumnya.

Sedih sekali, jika diri ini tidak bisa berbagi hanya karena terlalu sering meremehkan atau diremehkan bahkan mengabaikan atau diabaikan. Sejatinya tidak pernah ditemui kebahagiaan jika kita tidak mampu berbagi padahal kita memiliki banyak sekali informasi. Astagfirullah, semoga kelak bisa menjadi partner yang lebih baik dan menemukan partner yang lebih baik pula, ya kita semua.
Aamiin :)
continue reading To Be A Good Patner

Rabu, 21 Desember 2016

Surat Seorang Ibu dari Masa Depan

Nak, seperti nasehat Luqman pada anaknya, dunia ini layaknya lautan yang dalam, banyak manusia yang karam di dalamnya. Maka cukuplah iman, takwa, dan tawakkal pada Allah akan menyelamatkanmu darinya.

Nak, dunia ini fana belaka, sedangkan akhirat sebenar-benar tempat berpulang. Ibu tidak sebijak Luqman, tidak semulia Maryam binti Imran, tidak sewibawa Khadijah binti Khuwailid, tidak sehebat wanita-wanita yang nama mereka abadi di atas perkamen sejarah. Tapi bolehlah doaku untukmu melambung tinggi setinggi-tingginya, duhai anakku. Agar kau senantiasa bertumbuh dan tangguh, setangguh anak beranak Ibrahim-Ismail yang kecintaannya pada Allah membuat mereka mampu mengorbankan apapun, agar kau setangguh Musa yang demi menegakkan yang haq berpantang takut pada tirani, setangguh Nuh dan Daud yang sedikitpun iman mereka tak luntur karena cobaan dan ujian.

Bolehlah doaku untukmu melambung tinggi setinggi-tingginya, duhai anakku. Agar kau senantiasa bertumbuh dan tangguh, setangguh Umar Bin Khattab, pemimpin yang adil lagi tegas, namun rasa takutnya pada Allah membuatnya mudah berurai air mata, setangguh Khalid bin Walid, komandan hebat yang atas izin Allah satu kalipun tak pernah kalah di medan perang, namun posisi dan jabatan tak merubah sedikitpun perjuangannya membela agama Allah, agar kau setangguh Muhammad Al fatih, sebaik-baik komandan, yang berpantang menyerah mewujudkan bitsah Rasulullah. Agar Kau setangguh Shalahuddin Al Ayyubi yang rela meninggalkan semua kesenangan belaka lalu dengan gagah berani menumpas musuh-musuh Allah.

Ah, anakku, Bolehlah doaku untukmu melambung tinggi setinggi-tingginya. Agar kau senantiasa bertumbuh dan tangguh meneladani junjungan kita, Muhammad bin Abdullah, yang demi Allah tak ada lagi manusia yang lebih baik darinya.
Anakku sayang, Ibu sejak lama menyukai langit ciptaan Allah, filosofinya, serta segala hal yang ada di dalamnya. Bolehlah doaku untukmu melambung tinggi setinggi-tingginya, maka kuberi kau nama Langit, agar siapapun yang memanggilmu akan mengingatkan mereka pada Tuhan kita Yang Maha Tinggi. Karena langit dan segala isinya selalu mampu membuat Ibu jatuh cinta pada-Nya, karena Ibu ingin siapapun yang memandangmu akan menemukan ketenangan, agar kau bisa memberi inspirasi pada siapa saja, dan agar kau selalu merendahkan hatimu serendah-rendahnya, karena bukankah di atas langit masih ada langit, duhai anakku? Bolehlah doaku untukmu melambung tinggi setinggi-tingginya, agar kelak akhlakmu tinggi melangit, meneladani junjungan kita, Muhammad bin Abdullah, yang demi Allah, tak ada lagi nanusia yang lebih baik darinya.

Bolehlah doaku untukmu melambung tinggi setinggi-tingginya, anakku. Karena Ibu ingin kau bertumbuh menjadi orang besar, yang besar hatinya menerima apapun nikmat dan ujian, yang lapang jiwanya, yang senantiasa bersabar dan bersyukur dalam kehidupan.

Ibu tidak bijak, namun bolehlah kuberikan dengan bangga hadiah pertamaku padamu, anakku, doaku yang melambung tinggi setinggi-tingginya, yang kutitipkan pada namamu. Semoga Allah kabulkan doa-doa Ibu.



22 Desember 2016
Calon Ibumu, si ibu obsesif kompulsif, yang teramat galau, karena masih banyak buku yang harus dia baca (tapi kantuk menyerang) untuk ujiannya hari ini demi menyediakan masa depan untukmu

Selamat hari Ibu!!! Setiap hari!!! :)
continue reading Surat Seorang Ibu dari Masa Depan

Selasa, 20 Desember 2016

Jantung

"Assalamu'alaikum... eceeuuuu"
"Wa'alaikumsalam warahmatullah... eceuu ihh baru nongol. Apa kabarrrr?"
"Alhamdulillah khoir. Kamu sehat-sehat kan?"
"Iya Alhamdulillah ^^ aku sehat fisik, hati, dan sepertinya jiwanya juga sehat kok hahaha."
"Aku rindu :')"
"Hahaha buseett.. gini banget nasib gue. Sekalinya ada yang rindu, cewe -_-"
"Mending masih ada ya walau cewe. Ketimbang nggak ada kayak yang selama ini kamu alamin :p"
"Hahaha kok? kamu sekarang jahat(?) aku paling nggak bisa diginiin.... nggak bisaaaa :'( *guyuran pake gayung air*"
"Monce ih aku rindu beneran yoo.. engga becanda!!!"
"Iya iya :) haha aku juga rindu (cuma gengsi). Semoga doa rabithah selalu mengikat hati-hati kita ketika fisik nggak bisa ketemu kayak sekarang ini ya, eceu cayangg :')"
"Iya :') insya Allah. Kamu mau tahu nggak kenapa aku tetiba rindu sama kamu? haha"
"Ada alasannya gitu rindunya? Pfftttt. Rindu yang nggak tulus. Aku bencik"
"Hahahaha yailahh anak perawan suka pundungan banget sih. Dengerin cerita aku dulu makanya"
$&()#@()*^$ -> kode isi ceritanya, cuma tidak bisa diceritakan disini
"Masya Allah :')"
%&()*$#@%&*) -> kode isi ceritanya lagi, cuma tidak bisa diceritakan disini
"Ihhh :')"
^%$#()*!@%^ -> kode isi ceritanya lagi, cuma tidak bisa diceritakan disini
"Uhmmmm" (yah maap-maap kata ya kalau orang tersebut yang diajak bercerita hanya memberikan tanggapan yang seperti itu, dia memang bukan orang yang tepat untuk menjadi tempat cerita. Belum ikut makul Metode Mendengarkan 3,5 sks doi, jadi ya gitu. Alakadarnya skillnya -_-)
"Terus aku nemu lagi sticky note kamu yang kamu tempel di kopi Good D*y terus kamu kasih ke aku dulu itu hahaha. Ternyata sticky note kamu itu aku tempel di buku aku. Terus pas aku buka buku itu, aku baca lagi tulisan kamu di sticky note hahaha. Kamu inget nggak isinya apa?"
"Engga tuh..."
"Subhanallah emang nggak berubah wanita satu ini. Menyebalkan, nggak romantis, nggak peka perasaan (cinta dan sayang) orang #uhuk. Tauk ah"
"Wakakakakakaka ya Allah.. engga gituuu. Emang beneran lupa :" itu udah berapa tahun yang laluuu, lagian aku ngasih sticky note ke entah sudah berapa banyak orang :" isinya suka-suka aku nulisnya. Jadi udah nggak inget. Maapkan aku yang hanya memiliki cinta wanita biasa ini eceuu :"
"-Sholihah.. tahu jantung kan? Iya iya.. jantung kita. Jadilah layaknya jantung, yang selalu berdetak, tanpa orang harus tahu menatap-. Ituuu.. makasih yaa pernah ngasih itu buat aku. You change my life #lebayyy kamu cewe sih, coba cowo, bakal aku jadiin saudaraaa"
"Hahaha aku pernah nulis gitu(?) Lupak. Ya tapi sama-samaaa. Makasih juga udah ngingetin aku sama apa yang aku tulis buat kamuh. Hehehe kok saudara siiihh.. jadiin aku majikan kamu dongsss."
"Ceu... satu lagi.."
"Apah? Apah?"
"Jangan tebar-tebar sticky note kemana-mana lagi, ya :') Aku khawatir, yang dapat note-note dari kamu pada jatuh sayang, tapi kamunya nggak peka, atau malah yang paling parah lupa. Mending patah gigi daripada patah hati, ceu.. serius deh.. pedihh :')"
"itu sakit gigiii, bukan patah gigi -_- kukasih minum cairan odol nih lama-lama kamu kalo gini. Lhohhh kok anda malah jadi curhat gitu sihhh... hahaha. Oke ziapp.. aku kan cuma mencoba jadi jantung aja eceu tadinya mah #eaaakkk kalau ada lupanya ya punten pisan :" "
"Ceu, aku mules... bentar yaaa"
"Yassalam -_- jangan hubung-hubungi aku lagi habis ini!!! Ga zopan"


--Sedang malas menarasikan dialog, jadi ya begini adanya. Maaf jika mata anda sakit membaca tulisan ini hiks.-- intinya, jadilah seperti jantung. Jangan lupa ya, Nak *ngomong depan cermin*
continue reading Jantung

Minggu, 18 Desember 2016

Belajar dari Granada

Banyakkk sekali beberapa waktu ini berita mengenai Aleppo, karena memang apa yang terjadi disana sejak beberapa tahun terakhir membuat hati para muslim miris, termasuk seruan-seruan dari para ustadz kita mengenai apa yang bisa kita lakukan disini untuk Aleppo. Diantaranya... doa, donasi terbaik dari kita, dan blooming berita atau hal-hal terkait Aleppo di media-media yang kita punya.

Saya jadi teringat sebuah sejarah peradaban Islam, tentang kerajaan Granada.
Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Islam terkuat di Eropa kala itu. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam terakhir yang runtuh di Eropa. Apa yang bisa menyebabkan kerajaan sekuat Granada runtuh?

Ternyata tidak semudah itu awalnya meruntuhkan kerajaan ini. Raja Ferdinand dari Aragon harus memasang mata-mata untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menyerang Granada. Maka, raja Ferdinand mengirim seorang mata-mata ke wilayah Granada.

Tidak banyak yang dilakukan mata-mata ini, dia hanya (kalo bahasa anak kekinian sih) kepo. Iya... kepo. Mata-mata ini ditugaskan untuk memantau 'ocehan' penduduk Granada
Suatu ketika saat si mata-mata ini sedang bekerja, ia melihat seorang anak sedang menangis. Lalu dihampirinya lah anak tersebut seraya bertanya, "Mengapa kau menangis?". Sang anak menjawab, "Aku menangis karena anak panahku tidak tepat sasaran". "Bukankah kau bisa mencobanya lagi?", kata sang mata-mata. Jawaban sang bocah cukup mengejutkan, "Jika satu anak panahku gagal mengenai musuh, apa mungkin musuh memberiku kesempatan untuk memanahnya lagi?"

Mendengar 'ocehan' anak tersebut, mata-mata itu segera bergegas kembali ke Aragon dan menyarankan kepada raja Ferdinand untuk tidak menyerang Granada saat ini. Anak kecilnya saja sudah sangat luar biasa seperti itu, tidak bisa dibayangkan bagaimana para orang dewasanya.

Beberapa tahun kemudian seorang mata-mata kembali ditugaskan ke Granada dan dilihatnya seorang dewasa yang sedang menangis. Dia pun bertanya, "Mengapa kau menangis?". "Kekasihku (wanita yang dia cintai) pergi meninggalkanku", jawab si orang dewasa tersebut.

Mata-mata tersebut segera bergegas kembali ke Aragon, kali ini lebih cepat ketimbang tugas sebelumnya. Mata-mata tersebut berkata pada raja Ferdinand bahwa inilah waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan ke Granada.

Tidak butuh waktu lama, Granada sebagai benteng terakhir kaum muslimin di Eropa, dapat dikuasai dengan mudah. Puncak malapetaka bagi kaum muslimin Granada adalah dengan dibentuknya lembaga Inguisition (inkuisisi, pengadilan yang dibentuk oleh dewan gereja). Pilihannya hanya 2 : menerima ajaran katholik atau dibantai. Maka tamatlah riwayat kaum muslimin di Andalusia, dan Eropa secara keseluruhan kala itu.

Kita dapat belajar dari peristiwa Granada. Seperti mata-mata di Granada dulu, musuh-musuh kaum muslimin saat ini juga sedang memata-matai kita. Menunggu waktu yang tepat untuk 'meruntuhkan'. Bahkan kini mereka tak perlu susah payah menanyai anak kecil yang menangis di jalan atau orang dewasanya yang galau ditinggal pasangan. Cukup pantau sosial media dan simak tema-tema apa yang menjadi fokus kaum muslimin. Untuk saat ini bolehlah kita bernafas lega. Namun tetap bersiaga dan berjaga.

Bahwa disaat MU kalah telak oleh Chelsea, atau saat *Indonesia Juara AFF* kita masih 'ngoceh' soal penindasan saudara kita di Suriah dan Palestina.
Bahwa tatkala Valentino Rossi terjatuh di GP, kita masih 'ngoceh' tentang Al-qur'an yang dinistakan.
Bahwa ditengah meme 'kelar hidup lo' kita masih 'ngoceh' tentang penggalangan bantuan untuk saudara-saudara kita yang terkena musibah di Aceh.

Alhamdulillah. Semoga ini tanda dan menjadi pesan bagi musuh bahwa ghiroh jihad itu belum luntur dari dada kaum muslimin. Apalagi kemudian jika terbukti bahwa kita tidak sekedar bisa ngoceh di sosial media, tapi juga diwujudkan di dunia nyata.

Maka tidak heran jika marak digaung-gaungkan bahwa salah satu hal yang bisa kita lakukan selain yang pertama doa, yang kedua donasi terbaik kita, yang ketiga adalah blooming informasi untuk para saudara kita sesama muslim disana. Karena bisa jadi inilah yang membuat musuh berfikir ulang untuk menyerang kita.

Wallahu'alam...
continue reading Belajar dari Granada

Jumat, 16 Desember 2016

Yang Tampak Terbaik Belum Tentu yang Paling Cocok

Rangkuman kajian bersama Ustadz Faris Khairul Anam *dicatat disini supaya tidak lupa. Karena saya tidak punya buku tulis untuk mencatat -_- *


“Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (H.R .Turmudzi dan Ibnu Majah)

Jika kita perhatikan benar-benar. Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”. Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”.

Terus terus terus, apa bedanya?

Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih.
Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki shalih, disetujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedangkan penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.

Ada sebuah kisah zaman sahat dulu. Suatu saat, Fathimah binti Qays dilamar dua lelaki. Tak tanggung-tanggung, yang melamar adalah dua pembesar sahabat, yaitu Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada Rasulullah, apa yang terjadi? Nabi menjelaskan, baik Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fathimah binti Qays.

Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih dan memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.

Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi itu, apa yang dikatakannya setelah itu? Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”

Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter si muslimah tersebut, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh yang bersangkutan.

Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan).

Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif ya cemss, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya.

*paragraf ini nasehat ustadznya, bukan nasehat dari saya, bukan.* Bagi yang belum menikah dan sedang “mencari jodoh”, agama mensyari’atkan untuk istikharah. Lakukanlah!. Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami apa adanya, karena menikah itu “satu paket”: paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana kita menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat”.

Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama kita, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan kita baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami kita.

Boleh jadi kita melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, kita berkhayal seandainya lelaki itu yang menjadi suami kita, pasti hidup kita akan bahagia. Wah, itu belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami kita.

Allah Maha Tahu, sedangkan kita, para hamba, tidak :)

continue reading Yang Tampak Terbaik Belum Tentu yang Paling Cocok

Think!!

Saya membaca kisah menarik dari seseorang yang telah membaca buku Lisa Bloom, pengarang Think: Straight Talk for Women to Stay Smart in a Dumbed-Down World. Menurutnya, anak perempuan sekarang bertumbuh dengan keinginan besar untuk tampil cantik, daripada tampil pintar. Mereka lebih khawatir kalau mereka tampak gemuk dan jelek.

Dalam bukunya, ia menunjukkan bahwa 15-18 persen anak perempuan di bawah dua belas tahun saat ini sudah memakai maskara, eyeliner dan lipstik. Kepercayaan diri anak perempuan menurun kalau tidak merasa cantik. Hampir 25 persen remaja perempuan akan merasa bangga menang America’s Next Top Model daripada memikirkan untuk memenangi Nobel.

Karenanya memuji anak perempuan bahwa dia cantik, akan membuatnya makin merasa betapa penampilan menjadi penting. Bayangkan nanti dia sudah diet di usia lima, memakai bedak di usia 11, botoks di usia 20-an *ya ampyunnn*. Apa yang hilang? Mereka akan kehilangan makna hidup, mengungkap sebuah gagasan dan membaca buku untuk mengembangkan pemikiran dan pencapaiannya.

Bloom berkisah, suatu kali ia pernah bertemu dengan anak perempuan temannya berusia lima tahun yang cantik bernama Maya. Rambutnya terurai, matanya indah, dan gaun warna pink yang manis. Seketika ia ingin sekali teriak “Maya, kamu cantik sekali, coba lihat dan berputar”. Namun, ia urungkan dan ia tahan niatan itu. Meskipun itu adalah hal yang biasa untuk memuji seorang anak perempuan, sekaligus mencairkan suasana, dia punya alasan lain.

Lalu, bagaimana baiknya? Lisa lalu mengajak Maya, untuk bicara hal lain daripada sekedar memuji. 

“Hai Maya, senang bertemu denganmu,” sembari menatap mata Maya.
“Senang bertemu denganmu juga,” ujarnya dengan kalem seperti orang dewasa.
“Apakah kamu suka membaca?” ujarnya lagi. Maya diam sebentar. “Aku menyukai buku, apakah kamu juga suka buku,” lanjutnya.
“Ya. dan aku bisa membacakannya untukmu,” jawab Maya akhirnya.

Maya lalu benar-benar membacakan buku pilihannya dengan lantang. Kisah tentang seorang tokoh perempuan yang menyukai warna pink melawan sekelompok anak jahat yang kerap memakai warna hitam. Tidakkah buku ini juga mengajarkannya betapa sosok perempuan dilihat dari penampilan daripada karakternya. Maya juga kerap membandingkan mana yang lebih cantik, tubuhnya lebih ramping dan pakaian yang paling bagus.

Lisa lalu mengajak Maya untuk di kemudian hari memlih buku yang lain jika nanti mereka bertemu lagi. Dari sini diketahui bahwa betapa susahnya nanti mendidik anak perempuan untuk mengajarkan mereka betapa penampilan mestinya tidaklah hal yang utama. Namun, di tengah kepungan industri kecantikan, produk perawatan, kompetisi perempuan cantik sejagad dan budaya selebriti lainnya, usaha mengajari mereka harus dua kali lipat lebih besar.

Setidaknya jika suatu saat nanti kita bertemu seorang anak perempuan, termasuk anak kita sendiri, usahakan jangan buru-buru memuji penampilannya. Akan lebih baik mengajak mereka untuk berpikir dan bertanya sesuatu tentang apa yang ia baca. Apakah ia menyukai buku itu atau tidak, dan mengapa? Dari sini pembicaraan akan berkembang sekaligus mengembangkan pola pikir dan inteligensia mereka. Sehingga bisa mengubah cara berpikir anak perempuan bahwa menjadi pintar lebih penting daripada sekedar cantik.

Saya teringat Ibu saya, tiap kali Ibu saya mendapati ada yang memuji saya mengenai hal-hal berbau fisik atau penampilan, sejurus kemudian beliau selalu memberikan spion ke saya bahwa saya biasa saja; orang yang memuji itu berlebihan; tinggi badan saya tidak memenuhi standar menjadi putri Indonesia (a.k.a minion); dan hal-hal -menyakitkan- lainnya Haha. Waktu itu saya berpikir, "Jangan-jangan gue anak pungut yak(?) Disaat semua Ibu memuji anaknya -yang entah bagaimanapun keadaannya, yang walaupun tidak ada orang yang memujinya. Seorang ibu akan hadir sebagai satu-satunya pemuji di setiap waktu- kok ibu gue engga(?)." Tapi justru karena itu, saya jadi teramat santai dengan penilaian fisik dan penampilan.
Kala usia sudah menginjak dewasa, barulah ibu saya menjelaskan kepada saya dengan bahasa yang saya pahami. Tidak lah menjadi hal utama masalah fisik dan penampilan itu, katanya. Semua hanya titipan Allah, yang harus kita lakukan adalah menjaganya dengan baik. Berhubung milik Allah, ya suatu saat kembali ke Allah. Ibu saya hanya takut, kalau pujian-pujian (fana) tersebut akan menjadikan saya tinggi hati. Maka, beliau tidak pernah buru-buru memuji penampilan atau fisik saya. Justru oleh beliau, saya diperkenalkan dengan definisi cantik yang 'lain'.


Ambition is priceless. Its something thats in your veins. "A busy, vibrant, goal-oriented woman is so much more attractive than a woman who waits around for a man to validate her existence". Selamat menjadi perempuan. Jangan lelah menjaga kehormatan, ya :)


Ps: mohon maaf apabila tulisan ini banyak bujukan dan rayuan (tapi tidak pakai malaikat maut). Harap maklum, yang nulis merupakan wanita yang tidak cantik. Jadi doi banyak-banyak bela diri doang ini mah... maklum yak
continue reading Think!!

Kamis, 15 Desember 2016

Teruntuk

…semuanya, yang sedang dikelilingi banyak tugas, tanggung jawab, kewajiban. Yang kepala dan hatinya sedang diisi berjuta pikiran, berkecamuk tak keruan. Yang tidak berhenti merasa khawatir dan takut. Yang sungkan mengambil jeda karena ingin terus bekerja. Yang mungkin senantiasa merasa bingung, butuh pegangan, butuh sandaran. Yang mungkin sedang disiksa dengan ketidakpastian. Yang sedang berjuang sendirian. Yang merasa kurang diapresiasi. Yang kesabarannya senantiasa diuji. Yang tugasnya mati satu tumbuh seribu. Yang sengaja berjalan di bawah hujan demi sembunyikan sendu. Yang gamang karena punya sejuta pertanyaan, tapi tak kunjung dapat jawaban. Yang memutar murotal berulang-ulang karena hanya dengan begitu pegal hati bisa terwakilkan. Yang menangis malam-malam, karena saat terang kalian harus tersenyum seharian. Yang rindu pelukan ibunya, yang rindu senda gurau ayahnya. Yang rindu rumah, tapi belum bisa pulang. Yang sedang diuji oleh jarak dan waktu. Yang sedang diuji sehat jiwa serta raganya. Yang terduduk, terengah kelelahan. Yang merindukan teman. Yang berekspektasi dan dikecewakan. Yang sudah berusaha tapi mungkin terabaikan…

…jangan lupa mengambil napas, Teman-teman. Jangan lupa untuk minum, jangan lupa makan yang banyak, ya. Di saat susah, ini bisa jadi sulit untuk dipercaya, tapi aku akan katakan juga: kita tidak pernah sendirian.

Menangis sangat diperbolehkan, kawan-kawan

tapi iringi juga lah dengan doa.

Ya? :)

Menepi sejenak tidak menjadi hal yang buruk. Iya, mungkin itu malah lebih baik. Menepi sejenak untuk mengosongkan hatimu. Supaya ia mempunyai ruang lapang yang cukup untuk diisi kembali dengan rasa-rasa yang baru, entah rasa apapun itu.
Katakan pada hatimu untuk menjadi mandiri. Ajarkan dia untuk mengobati lukanya sendiri. Bujuk ia untuk tak lagi sakit walau banyak hal menumpuki ruang-ruangnya. Ajaklah hatimu untuk menjadi lega, sebab kita punya Tuhan yang tahu bagaimana cara keluar dari segala himpitan yang mengisi ruang hatimu, Teman.
Jadi, katakan pada hatimu... "Wahai hati, bukankah ikhlas itu tak berbatas? Mari terus menjadi luas, ya."




Masya Allah... indah nian ciptaan Allah. Ini senja hari ini yang saya lihat.
Mungkin, langit yang dilihat saudara-saudara kita di Aleppo tidak seindah ini di mata mereka.
Oh Allah... ampuni ketidak kuasaan kami untuk menolong saudara kami disana. Hasbunallah wanikmal wakiil...
Jangan lupa untuk membaca Doa Qunut Nazilah di setiap sholat kita untuk saudara-saudara kita sesama muslim, khususnya saudara-saudara kita di Allepo dan Suriah umumnya. Karena ada kekuatan yang mampu melunakkan yang keras, mendinginkan yang panas, mendamaikan yang bertikai, yaitu doa

continue reading Teruntuk

Selasa, 13 Desember 2016

save the earth

Kemarin saat di rumah, saya bertemu kembali dengan meja setrika saya, namanya Nebu. Saat saya mendekatinya, dia mendadak tidak ramah, bautnya tidak lagi terpasang dengan benar, agak kendor. Mungkin dia malu sama saya, soalnya kami udah lamaaaaa banget tidak menjalin kerjasama(?), kira-kira sejuta tahun yang lalu.
Saya kehilangan chemistry, tepatnya saat saya yakin –selain karena artistik- baju yang lecek juga sangat hemat energi hingga mampu membantu saya untuk menjadi pribadi yang lebih green.
Save energy (saya), save the earth!!!


*Bukan, bukan. Hari ini bukan lah Hari Bumi. Saya cuma ingin bilang, kalau salah satu cara menjaga bumi kita tercinta, yaitu dengan menghemat energi misalnya mencabut charger HP dari sumber listrik ketika sudah tidak digunakan (FYI: charger HP yang tidak dicabut dari sumber listrik saat sudah tidak digunakan, masih menyedot sekitar 80% daya listrik normalnya), lalu ride a bike (lumayan ye kan bisa menghindarkan bumi dari emisi plus plus plus olahraga tanpa harus bayar untuk nge-gym *siul-siul*), lalu itu tadi yang terpenting (untuk saya) menghindari menyetrika (baju-baju yang tidak perlu disetrika) *plakkk* *terkena tamparan gaib*.
continue reading save the earth

Minggu, 11 Desember 2016

Di bagian mana kita ditempatkan?

Nona, aku seringkali khawatir tiap kali aku membaca tulisanmu. Seringkali bertanya-tanya dalam hati, apakah mungkin itu benar-benar tentangmu atau hanya sekadar cerita yang kau khayalkan.

Aku juga suka menulis, dan karena itu, aku tahu kau meletakkan sebagian dirimu pada tulisan-tulisanmu. Namun, entah bagian apa di sebelah mana, aku tak tahu. Seperti Horcrux pada Voldemort, begitu juga hubungan antara tulisan dan jiwamu. Kau menyimpannya dengan rapi, dengan sedikit isyarat yang tersembunyi, dan aku, kadang-kadang penasaran, di manakah dirimu kau tempatkan.

Kau pernah bilang padaku, kau tak selalu menempatkan dirimu pada tokoh utama. Bahkan tidak pula pada tokoh kedua dan seterusnya. Kadang kau hanya menempatkan segelintir ingatanmu menjadi latar cerita. Atau kadang-kadang, kau meletakkan satu peristiwa utuh yang terjadi pada hidupmu di kehidupan tokoh lain, yang sama sekali tak mirip denganmu.

Apapun itu, tetap saja kadang aku masih cemas tiap membaca tulisanmu. Namun kini aku berhenti bertanya-tanya dan mencari fakta. Karena pada akhirnya aku tahu, kenikmatan membaca sebuah cerita akan terganggu jika aku selalu terus bertanya-tanya apakah ini nyata.
Lagipula, aku juga menulis tentangmu, kok. Menyimpan kenangan tentangmu pada bait-bait tulisanku, yang mungkin tak semuanya terlihat seperti sedang menceritakan kamu. Mungkin aku menulis kisah lain, tapi akan selalu ada kamu dan sebagian diriku yang kuselipkan di sana.

– karena kita tidak pernah tahu, di cerita bagian mana kita ditempatkan, atau bisa jadi, tak pernah ada kita sama sekali di cerita yang ditulis oleh para penulis itu —
continue reading Di bagian mana kita ditempatkan?

17:7

In ahsantum ahsantum lianfusikum (17:7).

Saya pernah membaca suatu kalimat yang 'iya banget!' rasanya, "Bahwa dengan menjatuhkan orang lain, tidak serta merta membuatmu terlihat lebih unggul daripadanya. Tidak."
Dan saya belajar hal tersebut hari ini...

Benar sepertinya jika banyak yang bilang bahwa orang tua merupakan gudangnya nasehat(?). Dari sekian banyak nasehat yang orangtua saya berikan pada anak-anaknya, ada diantaranya adalah nasehat-nasehat 'magis' yang seperti simsalabim!! menempel lekat-lekat, erat-erat, kuat-kuat di hati saya.

Salah satu nasehat magis tersebut mengacu pada ayat di atas yang saya tulis. Yang mengikuti beberapa akun sosial media saya *eaaakkk promosi colongan*, pasti menemukan 17:7 tercantum di bio nya. Dan seperti yang saya bilang di atas, saya kembali diajarkan sama Allah tentang hal itu hari ini.

Sesungguhnya tak ada balasan untuk kebaikan melainkan kebaikan pula.. Ini salah satu ayat favorit saya. Paralel dengan Hukum Newton III. Besar gaya reaksi sama dengan besar gaya aksi. Jika kamu melepas kebaikan pada semesta, maka semesta -tak peduli dengan cara apa, tak peduli nanti atau saat itu juga- akan "mengembalikan" lagi kebaikan itu tepat padamu. Sungguh, tak pernah rugi orang yang berbuat baik

Maka, seperti kata orang tua saya, "Jadilah baik sebisamu dulu. Walaupun belum dianggap baik, walaupun belum terlihat baik, jadilah sebisamu dulu. Sambil melebihkannya setiap harinya".
Pun untuk diri saya sendiri setelah pelajaran hari ini, semoga selalu ingat bahwa 'jangan menyakiti orang lain hanya untuk kepentingan kita sendiri. Jika bahagia yang dicari, mungkin bahagia dari cara seperti itu adalah bahagia yang hanya sekelebat mata saja, setelahnya? Wallahu'alam'
continue reading 17:7

Senin, 05 Desember 2016

The Alchemist

Beberapa waktu lalu saya meminta tolong kepada ibu saya untuk mencarikan sebuah buku di tumpukan dalam kardus yang ada di rumah. Saya membutuhkan kembali buku tersebut untuk belajar. Saya agak lupa-lupa ingat dengan judul bukunya, karena yang saya butuhkan hanya part-part didalam buku tersebut. Maka saya sebutkan saja ciri-ciri yang tersisa pada remahan ingatan saya. Karena Ibu saya tidak punya banyak waktu untuk memilah-milah buku-buku yang saya maksud, alhasil yang judulnya menggunakan bahasa asing dikirimlah semua ke Jogja. Dan tererengggg... terbawalah buku satu ini “The Alchemist”.


Buku ini pemberian salah seorang teman SMA sebagai kado ulang tahun saya yang ke-17 kala itu. Sebenarnya ada fakta yang menyedihkan pada diri saya, ketika saya selesai membaca buku, lalu menyimpannya kembali ke rak, beberapa lama kemudian (ketika saya melihat buku itu lagi) kemungkinan saya akan menghabiskan beberapa detik untuk berusaha mengingat kembali isi buku yang pernah saya baca, lalu bertanya “ini buku ngomongin apa yak?” Lupa. Oh Allah... saya lebih suka mengimajinasikan isi-isi dalam buku-buku yang pernah saya baca dengan kata-kata saya sendiri dan sepahamnya saya, yang seperti ini lebih lama melekat di ingatan saya. Ketimbang harus didikte dengan si penulis buku.

Tapi ketika melihat buku ini kembali... aturan yang biasa saya pakai berubah seperti ultraman ketika mendeteksi ada ancaman dari monster, hehe. Khusus buku ini, saya ingat seingat-ingatnya.

Saya yang sebenarnya bukan tipe penikmat novel, ehhh tau-tau sudah dua novel Paulo Coelho yang saya baca. Yang pertama ya The Alchemist *modal dikasih temen* ini, dan yang kedua By the River Piedra I Sat Down and Wept *modal dipinjemin temen* *ya ampyunnn*.

Pada The Alchemist, setiap kata dari buku ini seperti mengajarkan sesuatu. Setiap kalimat dari buku ini adalah kutipan favorit saya. Buku ini mengajarkan untuk mendengarkan dan mengikuti kata hati. Bahwa sesuatu atau seseorang yang betul-betul mencintai kita tidak akan menjadi penghalang kita untuk meraih mimpi-mimpi. Karena ketika kita menginginkan sesuatu dan terus berusaha, alam semesta akan mendukung kita untuk mencapainya. The Alchemist juga mengingatkan bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah ada yang mengatur, mengajarkan untuk melepaskan yang memang sudah jalannya untuk dilepaskan.. karena satu kata yaitu “Maktub” yang berarti “It is written”. 
It is indeed a life changing book!!! But, the holy Qur'an is the most life changing book dong yaaa hehe







continue reading The Alchemist

Jumat, 02 Desember 2016

Ikat-Terikat

Orang bilang menyambung tali silaturahim itu membuka pintu rezeki. Ya, saya percaya, tapi lebih dari itu kebutuhan untuk saling menyapa, berkunjung dan berjejaring bagi saya kemudian adalah kebutuhan tentang hati dan akal sehat.
Allah selalu mencoba mengingatkan saya kembali tentang makna silaturahim ini. Entah tiba-tiba seorang kakak yang sudah bertahun-tahun lost contact karena sedang memperjuangkan hidup dan mimpi masing-masing secara susah payah mencari contact adik-adiknya dan kami kembali berkomunikasi, atau seorang teman lama(?) yang mendadak muncul kembali di akun officialnya dan kebetulan apa yang terjadi padanya saat ini seperti rencana kita lalu kita saling diskusi dan bertemu kembali, atau seorang adik yang tak pernah kita anggap(?) yang mendadak menghubungi kita hanya untuk memastikan hidup kita bahagia atau tidak lalu kita membicarakan apa saja dan seringnya menertawakan diri kita sendiri. Ahh, betapa kita (eh, saya saja ding hehe) sering lalai mengenai makna silaturahim ini. Berkomunikasi kala dulu masih dalam lingkup yang sama, setelah jalan bercabang maka saling (me)lupa(kan). Atau mungkin saling sungkan mengabari dan menanya kabar.  
Sungguh, Tuhan memang penuh dengan kejutan. Siapa yang pernah mengira akan ada orang-orang yang bahkan sudah satu dua tiga tahun belakangan tidak pernah bertemu, tidak pernah saling bertukar kabar, tiba-tiba saja menyempatkan diri untuk memastikan jalan hidupmu seperti apa dan bagaimana. Saya tahu dunia terlalu kompleks untuk sebuah kebetulan. Semesta pasti tahu ada bagian yang digerakan dan saling menggerakan, hingga akhirnya sebuah momentum muncul dan untuk tidak pernah terulang lagi.
Kejadian sederhana tersebut membuat saya semakin paham bahwa keindahan saling menjaga silaturahim tidak berhenti pada siapa memerlukan siapa, dan apa bertemu dengan urusan apa, lebih jauh dari itu…pertautan hati dibuat untuk saling menjaga, memastikan saudara-saudara kita berada pada kondisi yang baik dan sedang berjuang untuk kebaikan pula. Mungkin belakangan saya mulai terbenam dalam hiruk pikuk rutinitas yang saya buat sendiri, hingga saya kerap kali lupa ada sesuatu yang sangat sederhana, yang jauh lebih menyentuh orang-orang di sekitar kita, orang-orang yang rindu saling menyapa dan mengingatkan, orang-orang yang selalu ingin bertaut dalam kebaikan.



Dalam kerinduan yang memuncak pada ikatan-ikatan kebaikan

Izinkan aku kembali ke jalan-Mu :')
continue reading Ikat-Terikat

Hujan dan Adik Kecil

Semua orang tentu pernah merasakan masa kecil, entah bahagia atau tidak. Mungkin ada yang menghabiskannya untuk berlarian di tengah sawah, meniti setiap tegalan dan bermain lumpur bersama kerbau-kerbau yang jorok. Pasti menyenangkan pulang dengan sisa kubangan lumpur dan belepotan yang tidak karuan. Tapi mungkin ada juga yang menghabiskannya untuk memelototi video games, berkencan dengan stick Play Station, dari hari masih terang ketika kantong sekolah baru saja mendarat di kasur, hingga sang empunya tergeletak tengah malam dengan mata lelah terkena radiasi. Pasti menyenangkan menimbun lawan yang terkalahkan di setiap level permainannya.



Namun sore itu saya tidak bisa menebak apa yang sudah dilakukannya untuk hari-hari yang bersinar. Yang jelas, saat hujan turun agak deras sore itu, dia menghabiskan waktunya berkuyup hujan di seberang jalan itu. Menunggu kendaraan hilang sepertinya.
Saya mengacungkan batang payung saya yang berwarna jingga agak tinggi, memastikan bagian ujung lengkungannya tidak menghalangi pandangan, karena saya hendak menyeberang. Sisi sebelah kanan saya tengok dengan hati-hati. Tidak begitu lama mobil yang hendak melintas melambatkan lajunya di jalan yang sudah licin. Saya bergegas. Sedikit cipratan mendarat di rok hitam yang saya kenakan, dan saya tidak begitu peduli. Sayangnya ruas jalan ini begitu lebar. Usai menyeberang setengah jalan, saya menepi di bagian tengahnya. Sebuah titik singgah untuk kemudian menghadap roda-roda yang melesat dari arah yang berbeda. Kini sisi sebelah kiri. Dan hujan semakin menderas.

Sekecipak langkah terdengar sayup dari belakang. Saya tetap menjaga pandangan. Memastikan ada sela dimana jalan sedikit kosong, dan saya bisa mencuri waktu untuk berlari. Sebuah tujuan di seberang jalan. Lalu saya sedikit terkaget. Dari sebelah kiri sesosok mungil menggiring saya melangkah. Menahan telapak tangan ke depan kaca-kaca mobil yang terintik air. Meminta waktu untuk sedikit mengalah, karena kami butuh segera sampai, sebelum terlampau kuyup. “Ayo mbak…”, ucapnya singkat dengan senyuman tulus yang menghangatkan. Tarikan bibirnya menggembungkan kedua pipi yang masih gembil. Melukis lingkaran sempurna di wajahnya. Menggemaskan.

Tanpa banyak membuang waktu, saya sedikit berlari mengejar sosok yang baru saja mengejutkan saya. Dingin udara sore itu, dan lembap khas iklim tropis menambah keyakinan bahwa hujan ini belum akan reda.

Saya kini tiba di tepian jalan, menarik sedikit jahitan rok di sebelah kanan, mengangkatnya beberapa centi supaya tidak menyentuh genangan air. Usaha yang agak sia-sia sebetulnya. Saya menoleh kembali ke belakang. Masih penasaran dengan sosok mungil tadi. Dia menepi dan segera berlalu, menuju sebuah gang yang saya tidak tahu. Tapi sebelumnya dia berbalik sejenak. Saya tersenyum, dan dia juga.


Untuk adik yang menggemaskan. Sore itu di kala senja semakin gelap. Terima kasih untuk sedikit memberi kesan hangat bagi saya yang tidak pernah menyukai hujan :)

Oh iya... Jika kau bertanya, Kenapa aku tidak suka hujan(?)... itu karena gerimisnya sanggup meluruhkan rindu, membiarkan matahari kalah dan menunggu. *ini jawaban puitisnya*.
Karena membuat malas mandi *ini jawaban sebenarnya* *lempar kerikil*.
Tapi kan... saya harus suka semua yang Allah berikan, ya(?) 
continue reading Hujan dan Adik Kecil

Children




There was something warm flowing in my heart when they called me "Teh". Then by the time I left and came back again to meet them, they didn't not only give me warm welcome, smile, and embrace. They gave me a beautiful red-flower and pinned it for my hijab, which turned me realized that I'm being a part of the world, a place where we all live together, where we share all resources one another, and where we all together will grow and die. So, why bother to have a clash?

Berinteraksi dengan anak-anak adalah saat dimana saya kembali belajar tentang mimpi, kebebasan berpikir, dan kekuatan keinginan yang tidak mengenal hambatan dan kepayahan. 
Semangat yang masih lugu, yang muncul dari ketulusan hati, tanpa hawatir kapan dunia akan menghendaki.


Coming very soon road to 2017!!! *italic, bold, gedein segede-gedenya, pasang di jidat*
continue reading Children

Kamis, 01 Desember 2016

Gravitasi

Suatu hari, hujan jatuh dari langit. Lalu aku bertanya pada ibu, kenapa hujan jatuh ke bumi?
Kata ibu, hujan jatuh ke bumi karena bumi punya gravitasi. Aku mengerutkan kening, saat itu ‘gravitasi’ seperti nama makhluk luar angkasa yang asing bagiku. Panjang lebar ibu menjelaskan padaku tentang apa itu gravitasi. Aku sedikit bingung, tapi kuangguk-anggukkan kepalaku.
Bumi punya gravitasi karena bumi istimewa, katanya lagi. Jika benar demikian, bangga sekali rasanya bisa tinggal di bumi yang istimewa, pikirku.
Suatu saat, kakiku tersandung sebuah batu yang terpendam separuh di tanah, lalu aku jatuh. Aku menangis kencang sampai ibuku bingung bagaimana cara membuatku diam.
“Gravitasi menyakitkan, jika kita jatuh di tempat yang salah.” kata ibu sambil mengelus-elus kepalaku yang mulai tenang.
***
Hari ini, gavitasi kembali mengantarkan hujan ke bumi, tepat dua puluh tahun setelah aku tahu apa itu ‘gravitasi’ dan bagaimana ia bekerja. Dan beberapa saat yang lalu, ada sebuah gravitasi yang sangat besar dan kuat. Aku jatuh, kali ini tanpa tangisan yang kencang.
Sekarang aku mengerti, bahwa bumi tak hanya punya satu gravitasi, tapi dua. Ia menjatuhkanku ke tanah suatu ketika, dan menjatuhanku pada yang lain.
Mungkin ini yang dikatakan oleh ibuku dulu. Bahwa jika aku telah jatuh di tempat yang benar, tidak akan terasa menyakitkan.
Kepada bumiku, akulah hujan yang tak pernah bosan jatuh ke arahmu.
Di derasnya hujan pagi hari
Yogyakarta, 2 Desember '16

Sudah menjadi fitrah manusia untuk condong dan mencari hal-hal yang membuat tentram hati dan hidupnya. Yang membedakan, kadang ada yang menjadi ketentramannya adalah hal-hal duniawi, ada pula yang ketentramannya berbau hal-hal setelah kehidupan di dunia yang fana ini. Maka, sudah pastilah setiap orang akan jatuh pada ‘gravitasi’ masing-masing. Apapun itu. Termasuk gravitasi yang membuat hati kita jatuh pada satu jalan ketentraman. Maka hari ini, jika hati kita belum jatuh pada gravitasi yang sama, janganlah saling menyakiti. Sekali lagi, tiap orang punya gravitasinya masing-masing. Mungkin kebetulan, ribuan mereka yang sedang berkumpul disana, 'jatuh' pada gravitasi yang sama J
Photo from @fandyaris's instagram

continue reading Gravitasi

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact