Jumat, 02 Desember 2016

Hujan dan Adik Kecil

Semua orang tentu pernah merasakan masa kecil, entah bahagia atau tidak. Mungkin ada yang menghabiskannya untuk berlarian di tengah sawah, meniti setiap tegalan dan bermain lumpur bersama kerbau-kerbau yang jorok. Pasti menyenangkan pulang dengan sisa kubangan lumpur dan belepotan yang tidak karuan. Tapi mungkin ada juga yang menghabiskannya untuk memelototi video games, berkencan dengan stick Play Station, dari hari masih terang ketika kantong sekolah baru saja mendarat di kasur, hingga sang empunya tergeletak tengah malam dengan mata lelah terkena radiasi. Pasti menyenangkan menimbun lawan yang terkalahkan di setiap level permainannya.



Namun sore itu saya tidak bisa menebak apa yang sudah dilakukannya untuk hari-hari yang bersinar. Yang jelas, saat hujan turun agak deras sore itu, dia menghabiskan waktunya berkuyup hujan di seberang jalan itu. Menunggu kendaraan hilang sepertinya.
Saya mengacungkan batang payung saya yang berwarna jingga agak tinggi, memastikan bagian ujung lengkungannya tidak menghalangi pandangan, karena saya hendak menyeberang. Sisi sebelah kanan saya tengok dengan hati-hati. Tidak begitu lama mobil yang hendak melintas melambatkan lajunya di jalan yang sudah licin. Saya bergegas. Sedikit cipratan mendarat di rok hitam yang saya kenakan, dan saya tidak begitu peduli. Sayangnya ruas jalan ini begitu lebar. Usai menyeberang setengah jalan, saya menepi di bagian tengahnya. Sebuah titik singgah untuk kemudian menghadap roda-roda yang melesat dari arah yang berbeda. Kini sisi sebelah kiri. Dan hujan semakin menderas.

Sekecipak langkah terdengar sayup dari belakang. Saya tetap menjaga pandangan. Memastikan ada sela dimana jalan sedikit kosong, dan saya bisa mencuri waktu untuk berlari. Sebuah tujuan di seberang jalan. Lalu saya sedikit terkaget. Dari sebelah kiri sesosok mungil menggiring saya melangkah. Menahan telapak tangan ke depan kaca-kaca mobil yang terintik air. Meminta waktu untuk sedikit mengalah, karena kami butuh segera sampai, sebelum terlampau kuyup. “Ayo mbak…”, ucapnya singkat dengan senyuman tulus yang menghangatkan. Tarikan bibirnya menggembungkan kedua pipi yang masih gembil. Melukis lingkaran sempurna di wajahnya. Menggemaskan.

Tanpa banyak membuang waktu, saya sedikit berlari mengejar sosok yang baru saja mengejutkan saya. Dingin udara sore itu, dan lembap khas iklim tropis menambah keyakinan bahwa hujan ini belum akan reda.

Saya kini tiba di tepian jalan, menarik sedikit jahitan rok di sebelah kanan, mengangkatnya beberapa centi supaya tidak menyentuh genangan air. Usaha yang agak sia-sia sebetulnya. Saya menoleh kembali ke belakang. Masih penasaran dengan sosok mungil tadi. Dia menepi dan segera berlalu, menuju sebuah gang yang saya tidak tahu. Tapi sebelumnya dia berbalik sejenak. Saya tersenyum, dan dia juga.


Untuk adik yang menggemaskan. Sore itu di kala senja semakin gelap. Terima kasih untuk sedikit memberi kesan hangat bagi saya yang tidak pernah menyukai hujan :)

Oh iya... Jika kau bertanya, Kenapa aku tidak suka hujan(?)... itu karena gerimisnya sanggup meluruhkan rindu, membiarkan matahari kalah dan menunggu. *ini jawaban puitisnya*.
Karena membuat malas mandi *ini jawaban sebenarnya* *lempar kerikil*.
Tapi kan... saya harus suka semua yang Allah berikan, ya(?) 

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact