Tentu kita pernah mengalami masa kanak-kanak. Setidaknya bagi saya yang sudah tidak anak-anak lagi. Dulu, saya sering bermain bersama tetangga-tetangga kompleks yang usianya di atas saya. Senang sekali bermain dengan yang lebih tua, rasanya kita juga sudah lebih dewasa. Berkali-kali bermain petak umpet-bersama yang lebih tua, saya sering disebut dengan ‘pupuk bawang’.
“Udah, Lisa pupuk bawang aja..,” kata anak-anak yang lebih dewasa.
Saya tentu tidak keberatan. Bagaimana tidak? Saya masih bisa bermain bersama anak-anak yang lebih dewasa, dan tak perlu takut untuk kalah dalam permainan, karena saya adalah pupuk bawang!
Pernah dengar istilah pupuk bawang? Bagi yang belum tahu, ini adalah istilah dalam permainan saat saya masih kanak-kanak. Dimana ketika seseorang diberi label ‘pupuk bawang’, itu berarti ia tetap diperbolehkan bermain tapi peraturan tidak akan berlaku untuknya. Jadi sebenarnya ia ada, namun tak ada. Dalam permainan ini sebenarnya pupuk bawang itu adalah sosok yang tidak dianggap. Tidak akan dapat hukuman bila kalah (walau biasanya memang selalu kalah karena dianggap lemah) dan kalau menang pun tidak dianggap (ini jarang sekali terjadi). Intinya, secara fisik ada, tapi tak berpengaruh.
Saat masih kanak-kanak, tentu menjadi ‘pupuk bawang’ seru saja. Sampai akhirnya saya menyadari satu hal sore ini... ketika sedang rehat dari belajar dan saya berjalan ke teras rumah. Melihat kanak-kanak sedang bermain lompat tali sambil menunggu bedug buka puasa. Ada yang jadi pupuk bawang hihi~ *jadi ingat zaman kanak-kanak saya dulu yang manis dan lucu #lopikir?*.
Apa itu?
Ngeri juga ya kalau di usia sekarang kita menjadi pupuk bawang. Ada secara fisik, tapi tiada. Tidak ada pengaruhnya ada kita atau tidak di sebuah lingkungan. Tak ada yang merasakan kehadiran kita. Lebih dari itu, tidak ada yang merasakan manfaat dari adanya kita.
Seperti pupuk bawang, ada tapi tiada.
Saya pun jadi ingat, beberapa hari lalu ketika saya mengunjungi seorang adik untuk mengembalikan brossnya yang tertinggal di tempat saya. Dia terlihat lelah... Saat ini, dia jadi yang paling dewasa di lingkungan amanah tempat ia berada.
"Kamu kenapa, Shof? Kok kayak gini? Ihh ga cantik lagi *istigfar Mon*." Sambil saya tepuk-tepuk pipinya.
"Sepertinya aku kecapekan mbak hehe. Kemarin habis ngurusin acara, bolak-balik. Mana lagi UAS juga. Mbak dulu juga kayak gini wajahnya, kusut, ga cantik. Hahaha." Tawanya menggema di ruangan itu.
Ishhh anak ini -,-
"Mbak..."
"Hem?" Jawab saya sekenanya.
"Dulu, waktu kita masih bareng-bareng, padahal bebannya lebih berat. Tapi aku ga se-begini-nya. Sekarang, bebannya jauh lebih ringan, tapi aku ngerasa capek dan banyak pikiran. Kenapa ya mbak..." lanjutnya.
"Emmm, mungkin, karena dulu kamu masih kecil, ada kami yang lebih tua, jadi entah disengaja atau tidak, kami yang menenggelamkan diri dan dengan ikhlas jadi tameng semuanya, dan kamu yang masih kecil pun berpikir kalau ada kakak-kakak yang akan menyelesaikannya jadi kamu bisa agak sedikit tenang. Kalau sekarang kan, kamu yang paling dewasa. Kamu yang merasa harus paling bertanggungjawab atas semuanya."
"Iya mbak.. benerrr." Jawabnya.
***
Ting tong *ada suara lonceng di kepala saya*... Sore ini ketika saya melihat kanak-kanak sedang bermain lompat tali dan ada yang dijadikan pupuk bawang, saya jadi ingat. Hmm ternyata tanpa sengaja pun, di usia kita yang sudah tidak kanak-kanak ini, entah diniati begitu atau tidak, ada juga pupuk bawang.
Saya jadi bertanya dalam hati saya, pupuk bawang ini, bahaya juga ya imbasnya. Maka, sebaiknya tidak berlebihan, kanak-kanak pun wajib diajari sedikit demi sedikit mengenai realita yang ada. Tidak hanya disuguhkan keadaan yang 'membahagiakan dan baik-baik saja', supaya si kanak-kanak bisa terbiasa berpikir sedari kecil dan mengolah rasa dalam dirinya.
Hari keempat di Ramadhan 1437H.
-Masih terkunci di ruang pendewasaan-
0 komentar:
Posting Komentar