Jumat, 30 Desember 2016

Berlari

Pada awalnya saya sangat sangat membenci yang namanya lari. Sejak sd sampai kuliah. Selalu merasa lari itu siksaan luar biasa. Lebay sih tapi itu adalah pikiran saya selama kurang lebih 15 tahun. Sehingga, kalau ada lari di sekolah, udah males dan bawaannya nightmare. Tentu saja, hal ini bukan tanpa alasan.
Pertama kali saya mengenal lari itu menyeramkan pas SD. karena pada waktu itu ada tes lari diitung waktunya berapa selama jumlah keliling yang ditentukan. Ketika lari, saya merasa kepayahan dan membuat sakit dibeberapa bagian, sebut saja pinggang, jantung, dan terkadang berkunang-kunang. Ditambah pencatatan waktu itu bikin stress sendiri.
Berhubung waktu itu saya anak kecil, jadinya ada semacam trauma dan sangat membenci lari. Bahkan jikapun saya dihukum dengan hukuman terpedih di dunia ini bagi seorang siswa -mengerjakan soal matematika mematika dan memuakkan- saya akan lebih memilih itu ketimbang penilaian lari. Namun, pendidikan di Indonesia untuk urusan olahraga, ternyata kurikulumnya tetap menggunakan tes lari sebagai indikator kebugaran si anak. Konsekuensinya memang selama sekolah pasti si tes lari ini akan ada disepanjang semester. Dan bikin lelah hati dan pikiran. fyuuh… Tapi aneh bin ajaib, untuk olahraga-olahraga permainan yang basicnya lari -basket, futsal, sepakbola- saya cukup oke *sombong banyak*, maksudnya, saya tidak merasakan tertekan dan enjoy menjalaninya. Jadi berpengaruh ke hasil yang baik pula.
Sekarang, ketika saya sudah melewati segala macam bentuk tes lari hampir belasan tahun. Saya mulai merasakan lari itu menyenangkan. Tentunya dalam konteks yang berbeda dengan sebelumnya. Saat ini, saya lari sesuai dengan kehendak saya, tanpa ada paksaan. Saya lari karena merasa butuh bukan perintah orang. Dan yang terpenting, saya tidak perlu cepat-cepat lari karena tidak barkompetisi dengan orang di bidang yang tidak saya mampu.. muahahaaha..
Lari bagi saya semacam media untuk membuat pikiran lebih jernih. Biasanya, kalau lagi banyak pikiran yang membuat kepala serasa mau pecah, ketika berlari, memaksa saya untuk melepaskan segala pemikiran yang memusingkan. Karena pada saat itu, kebutuhan oksigen dalam otak meningkat, sehingga harus menghilangkan segala kerisauan yang ada.. ini teori saya sendiri, dan menurut pengalaman dan perasaan saya, secara medis mah gatau.haha..
Intinya, rasa lelah yang melanda ketika berlari itu memaksa saya untuk lebih berpikir sesimple mungkin. Dan pemikiran yang biasanya hanya kekhawatiran plus dengan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi hilang.
Kalau orang bilang jangan membenci sesuatu secara berlebihan karena bisa jadi berbalik kebelakang. Sepertinya itulah yang saya rasakan dengan lari. Ya, walaupun sebenarnya definisi lari saya juga bukan lari sprint dengan kecepatan sekejap mata, hanya lari kecil-kecil yang sering dibilang joging. Buat saya itu cukup merubah mindset saya.. haha
Walaupun, ketika di trek lari si saya masi suka melihat kagum orang-orang lari dengan cepat, saya cukup memandang saja dan berharap keajaiban akan datang..🙂

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact