Sabtu, 15 Maret 2014

SURAT CINTA UNTUK DIRIKU SENDIRI

Sore tadi, seorang adik dalam proses belajarnya bertanya pada saya, "Mbak, gimana bisa ga 'ngelirik' mereka yang ramai mengusik? Gimana bisa 'menunduk' saat pujian-pujian untuk Mbak memberondong dari banyak mulut? Apa Mbak itu ga pernah galau? Tidak pernah merasa setan dengan lembut menyusup ke hati Mbak? Mbak, urusan hati ituuuu.... ah".
Wogh...Hahaha.. kereta apa nanya tuh -___- panjang bener. Tapi toh akhirnya kereta pertanyaan itu yang jadi motivasi saya untuk nge-blog malam ini... :D Sungguh, saya juga seorang pembelajar yang masih sangat gersang. Masih butuh banyak disiram :)

ALLAH, terima kasih... Engkau menjaga hatiku, hatiku yang bebas. Terbebas dari perasaan benci, dan memberi kesempatan kepadaku untuk mencoba belajar mengikhlaskan kesalahan orang lain. Pun, terima kasih pula Engkau membuat mereka telah begitu baik, sangat mudah memaafkan kesalahanku yang tak terhitung jumlahnya ini. Aku juga ingin berterima kasih kepadaMU, Engkau bebaskan hatiku dari rasa kagum, menyimpan simpati dalam diam dsb. Kenapa? Hal ini sangat menyiksa. Teman-temanku sering bercerita, katanya rasa seperti itu terkadang membuat tak bisa menjadi diri sendiri, dan ini di luar kendali. Misal, wajah yang tetiba merah, lisan yang kaku, atau diri yang menjadi kikuk. Duh, aku benar-benar tidak menyukai situasi itu. Jadi terimakasih karna Engkau telah bebaskan hatiku dari perasaan itu. Bismillah, mulai saat ini kita coba mulai untuk bersihkan hati, dari hal yang buruk maupun dari hal (yang seolah terlihat) baik :)
         Hati itu nampaknya terlalu dalam untuk diselami. Sepertinya segala daya dan upaya yang telah dipersiapkan untuk misi membongkar misteri keluguan itu harus dihentikan di sini. Terlalu ambisius mempertahankan cinta jiwa yang tak jelas muaranya. Yang ada sekarang hanya rasa ingin tahu yang harus dikubur oleh realitas ketidakpastian. Semua tiba-tiba sirna, atau kalaupun masih ada, anggap saja itu sudah sirna. Itu resiko, resiko cinta jiwa. Karena jiwa tak selalu bertemu dengan jiwa. Kadang ia harus berbenturan dengan kenyataan hidup yang dalam subjektivitas pecinta itu begitu tidak adil dan menyakitkan. Kadang dia juga sengaja dipertemukan dengan bentuk lain, akhirnya cinta tidak dapat menyatu.
Cinta sudah membara, obsesi sudah menggelora, tapi takdir tidak mampir di sini. Ia terlalu sombong. Realitas ini begitu sadis, bahkan gairah kehidupan seperti dikungkung oleh kekejaman takdir. Tidak ada lagi senyum terlempar, kini diri ini seperti perahu tanpa layar. Termangu di tengah laut lepas. Tidak tahu arah, kalaupun tahu, tidak tahu bagaimana mengikuti arah itu. Serat-serat jiwa kembali mengerut, seluruh katup-katup hati tertutup. Cinta selalu berakhir dengan derita, kata Jenderal Tien Feng.

Itulah yang dirasa, kalau kita terlalu serius memaknai cinta jiwa. Karena cinta jiwa terlalu instan, tidak dibangun dengan fondasi yang kokoh. Karena kadang cinta jiwa hanya dibangun di atas obsesi kebanggaan, atau mungkin penetrasi kegelisahan. Sebab itu Anis Matta mengajak kita melupakan cinta jiwa yang tidak berujung di perjanjian sakral. Itu terlalu menyakitkan. Karena hanya di perjanjian sakral lah, cinta jiwa dan realitas kehidupan dengan mesra diparadekan.

Kita harus jujur menilai keadaan. Cinta memang terlalu sulit didefinisikan, oleh karena itu ia kadang hanya berujung pada gerak bibir “aku mencintaimu”. Tapi cinta bukan soal kata, ini lebih kepada sebuah gelora. Cinta seharusnya bisa mengantarkan kita pada produktifitas, karena itu, kalau cinta justru membuat kita menjadi tidak produktif, lupakanlah. Cinta selayaknya mendekatkan kita dengan Sang Pencipta, karena itu, kalau cinta justru membuat kita lupa, lupakanlah. Dan cinta seharusnya berakhir pada eksekusi memberi, memberi apapun demi menjaga kesinambungan cinta. Karena cinta jiwa yang sesungguhnya harus terus kita jaga.

Cinta memang seharusnya konstruktif dan sederhana. Ia tidak butuh sentuhan majas hiperbola, apalagi personifikasi, seolah cinta begitu menghanyutkan. “Kalau jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat,” kata Efek Rumah Kaca dalam salah satu lirik lagunya.
Masa muda, masa penuh dengan gejolak produktivitas. Tapi cinta kadang membuat kita fokus pada syair-syair, pujian-pujian, gombalan-gombalan, yang membuat kita lupa bahwa kita punya tugas sejarah dan punya beban masa depan. Masa muda, masa pelejitan potensi. Tapi cinta kadang membuat kita terkungkung dalam dunia merah muda yang begitu kelam yang membuat potensi kejayaan makin terpendam.

Cinta Jiwa yang tidak konstruktif, musnahkanlah.

Cinta Jiwa yang tidak berujung di perjanjian sakral, lupakanlah

Saya sedang dalam proses, bukan proses legal yang sedari tadi saya bicarakan, tapi justru dalam proses melupakan hal-hal semu seperti itu untuk saat yang hingga belum ditentukan, ya sampai Dia mengirim yang sudah tertulis di takdir. Ketika saya mulai merasa setan sayup-sayup menyusup lembut ke hati, bisa jadi salah satu usahanya adalah berusaha cuek saat bertemu. Pura-pura tidak lihat kalau berpapasan. Tidak banyak berinteraksi, karena itu mengganggu “proses melupakan” yang sedang dijalani. Itu sulit | Ya memang.. siapa bilang gampang. Tapi percayalah, itu tidak sesulit yang kita bayangkan. Hidup, mati, jodoh..sudah ada yang mengatur, bukan? Lalu untuk apa menggalaukan hal yang sudah pasti... :)
Yah, mungkin jadi suka diam. Suka kesendirian. Berlayar dari cerita satu ke cerita berikutnya. Menjadi tokoh yang satu lalu berganti lagi jadi tokoh yang lainnya. Berkenalan dengan Dee, Andrea Hirata, Donny Dirgantoro, dan penulis-penulis lainnya. Saya sih lebih memilih menjadi kutu buku dari pada kutu cinta hahaha. Dan lebih suka diam dari pada mencintai tanpa arah pasti. Lebih suka membunuh waktu dengan kawan-kawan sejawat untuk merawat amanah kami.. Lebih banyak melakukan aktifitas untuk mendulang prestasi. Yayaya semacam itu. Banyak cara, sungguh :)

Sekian...
Semoga segala yang jatuh, bisa segera berlabuh :)

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact