Selasa, 29 Maret 2016

Bangkitlah, bersegera, dan terus bersemangatlah!

Wahai pemuda...
Sesungguhnya sebuah pemikiran yang akan meraih sukses adalah:
* Pemikiran yang diyakini dengan keimanan yang kuat,
* Terbentang keikhlasan didalamnya,
* Bersemangat untuk memperjuangkannya, dan
* Siap berkorban untuk menjadikannya.

Keempat inilah energi kemenangan yang asasi; Iman, Keikhlasan, Semangat & Amal sebagai karakter pemuda.

Sesungguhnya,
- Dasar keimanan adalah hati yang cerdas
- Asas keikhlasan adalah nurani yang jernih
- Fondasi semangat adalah perasaan yang menggelora
- Pijakan amal adalah kemauan yang kuat.

Dan itu tidak terdapat kecuali dalam diri para pemuda.
(Dari Risalah Ilasy-Syabaab "Seruan untuk Pemuda", yang ditulis Imam Hasan Al-Banna pada tahun 1936 M)


***


Oh iya, jangan lupa sertakan nama saudara kita dalam do'a. Sebab bermimpi dan sukses bukanlah tentang diri sendiri ^_^

continue reading Bangkitlah, bersegera, dan terus bersemangatlah!

Senin, 28 Maret 2016

(jika) Esok Hari Tuhan Masih Berbaik Hati

Jika esok hari Tuhan masih berbaik hati dengan memberi sedikit tambahan nafas bersamamu

Aku ingin ...

menyusuri gang-gang kecil di kampung cina bersamamu, bermain petak umpet dan membuat lampion merah menyala dariku untukmu
Sebagai tanda kita sudah bertemu di musim ini

*

Jika esok hari Tuhan masih berbaik hati dengan memberi sedikit tambahan nafas bersamamu

Aku ingin ...

menuruni lereng gunung Bromo dengan sepeda tuamu, menyusup kabut dan ku genggam erat sembilan kuntum edelweis pemberianmu
Sebagai tanda bahwa kita berpisah di musim ini
Photo taken by Billy

continue reading (jika) Esok Hari Tuhan Masih Berbaik Hati

Minggu, 27 Maret 2016

Seusai Sidang Kelulusan ...

Bagaimana rasanya harus ganti target penelitian padahal penelitian sudah berjalan 3 bulan? Alhasil lama penelitiannya udah kayak waktu ibu hamil sampai ke melahirkan. (walau begitu, saya nggak menyesal. Ini penelitian yang saya inginkan, tempat penelitian ini juga adalah salah satu project hidup yang saya buat. 1 checklist lagi untuk project hidup saya)

Atau bagaimana rasanya harus bedrest 1 bulan, padahal jadwal seminar tinggal beberapa hari lagi, harus mundur periode kelulusan?

Atau bagaimana rasanya laptop remuk (dalam artian sebenarnya), padahal semua data penelitian ada disitu dan parahnya belum di-back-up?

I have felt it wkwkwkwk.

Itu sedikit cerita tentang perjalanan penelitian saya dan masih banyak cerita seru (beneran) dan "seru" (tanda kutip) lainnya selama 10 bulan ini. Salam super lah untuk badan ini yang harus bolak-balik Semarang-Bogor pula.

Alhamdulillah, bersyukur sekaliiii, amat sangaaatt senang bisa mengalami dan merasakan semua itu semua. Teringat firman-Nya dalam surah Al-Ankabut ayat 2,
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?"
Salah satu hal yang bikin saya bertahan adlaah firman-Nya di surah Al-Baqarah ayat 286,
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya"

Kuncinya, just be calm and sabr, setiap orang punya ceritanya masing-masing, keep husnudzhan to Allah. Setiap skripsi punya tantangannya masing-masing (dosen pembimbing saya yang kebetulan sedang menyelesaikan progam doktornya sering bercerita kepada saya pula bagaimana proses yang beliau jalani. Dibanding perjuangan beliau, saya mah apa atuh), kita nggak bisa bilang kalau skripsi kita adalah yang paling sulit, kalau masalah kita adalah yang terberat, karena pada akhirnya kita harus bisa mengalahkan kerikil-kerikil itu dengan upaya dan kerja keras kita.

Saya ingat, Mahfud MD pernah mengungkapkan bahwa banyak mahasiswa yang hanya berorientasi pada indeks prestasi tinggi dan ingin segera meraih gelar sarjana.
“Saya sudah sampaikan ke pemerintah kondisi demikian ini. Negara rugi kalau kondisi mahasiswa seperti saat ini. Cepat lulus, cari IPK tinggi. Karena para pemimpin yang kini duduk di pemerintahan itu dahulu kuliahnya juga tak lulus cepat,” ucap Mahfud. (Via Sindonews)
Mendadak lulus menjadi beban tersendiri bagi saya. Apakah benar saya sudah menjadi lulusan yang berkualitas? Apakah IPK yang saya raih ini nantinya bisa menyelesaikan permasalahan bangsa? Apa benar tujuan saya kuliah selama ini? Apa saja kontribusi saya selama ini? Apa yang dapat saya berikan pada negara nanti? Apakah….
Setiap orang saya rasa memiliki alasannya sendiri ketika ia memilih untuk kapan lulus, entah itu cepat atau tidak. Semoga kecepatan waktu bukanlah standar tersendiri untuk menilai hebat atau tidaknya seseorang dalam berproses.
Ada banyak cara keren, bukan waktu lulusnya yang menjadikan keren. Tapi prosesnya! Kalau lulus cepat tapi asal pengen lulus aja, terus skripsinya pokoknya selesai ya nggak keren. Pun kalau lulus lama tapi males-malesan, lari dari tanggung jawab dengan banyak excuse karena main dan hal-hal nggak penting, ya nggak keren.
Semoga, proses kita bagaimanapun adalah proses yang baik. Tidak hanya sekedar lulus pegang toga, tetapi juga mendedikasikan kemampuan ini agar kita dapat menjadi solusi. Ada banyak masalah yang membutuhkan kita :) Yang terpenting, kapanpun kelulusannya, berapapun lamanya, semoga kita bukan orang-orang yang terlampau egois memikirkan diri sendiri. Menyibukkan diri mendevelop diri tanpa memberi ruang bagi energi kita mendevelop orang lain.
Semoga lulusmu, lulusku, bukan hanya sekedar ingin kerja dapat gaji tinggi, punya rumah dan mobil sendiri, kemudian hidup bahagia sampai mati, sampai lupa kalau ada hak orang lain dalam rezeki ini.
Semoga lulusmu, lulusku, bukan hanya soal IPK tinggi lalu bingung mau berbuat apa setelah wisuda nanti. Karena, banyak kebingungan muncul karena ambisi dan niat yang kurang baik.
Semoga lulusmu, lulusku, kapanpun itu kita bermanfaat, berkontribusi, dan kembali membumi.
Semoga!
Monaliza Sekar Rini, doakan lulus–lalu bermanfaat.

Ini beberapa gift yang sempat terabadikan. Terimakasih kepada semua sponsor yang turut mewarnai "hari kemerdekaan" saya. Maaf foto-foto bersama teman-teman belum sempat dipindahkan ke laptop hehe (masih kejar tayang revisi soalnya). Jadi yang diupload foto giftnya dulu aja gapapa yaaa ^_^ 

continue reading Seusai Sidang Kelulusan ...

Senin, 21 Maret 2016

Jangan Meragukan

Hari ini saya belajar, dari seorang teman, sebut saja Gede. Bahwa dia mengingatkan sesuatu hal yang sempat terlupa beberapa waktu ini oleh saya... Bahwa kepercayaan terlalu berharga untuk dipatahkan oleh hal-hal sepele. Apalagi kepercayaan itu kepada Tuhan, apalagi hal-hal sepelenya itu cuma terkait masalah duniawi. Duh... Hehe


Iya saya sadar, bahwa
"Jangan meragukan. Nanti kamu balik diragukan."
Jangan meragukan cita-citamu, nanti kamu balik diragukan cita-citamu. Jangan meragukan Tuhanmu, nanti kamu balik diragukan Tuhanmu. (Si)apapun yang diragukan, akan balik meragukan. Meragukan itu seperti berprasangka buruk. Meyakini itu seperti berprasangka baik dan bersiap untuk yang buruk, namun tetap percaya bahwa yang buruk datang karena alasan yang baik, tujuan yang baik. Katanya, hidup ini terlalu singkat untuk dijalani sambil meragu-ragu. Hati-hati dengan prasangkamu.


Perjuangkanlah apa yang harus diperjuangkan. Jangan berjuang hanya karena tak ingin dianggap lemah. Jangan bertahan hanya karena takut kehilangan. Jangan berhenti hanya karena lelah. Sayang kan kalau menyerah? Kalau toh gagal, kamu tetap seorang pejuang. Sebuah proses berharga mahal. Sebuah pemahaman yang baik berharga lebih.


Baik-baik ya, yang sabar, yang kuat, yang lapang :)
Rabbisy rahli sadri wa yassirli amri wahlul ‘uqdatan min lisani yafqahu qauli



#3 days soon to be ...

continue reading Jangan Meragukan

Minggu, 20 Maret 2016

Kembang Api

Saya suka suara kembang api, mendengarnya, seperti mendengar rekahan sesuatu di dalam dada. Sayangnya, saya, selama 22 tahun hidup, belum pernah melihat kembang api secara langsung dengan kedua mata saya sendiri *menyedihkan hiks*. Kenapa? Ya karena kembang api adanya (lebih indah) ketika malam hari, sementara saya tidak pernah bisa keluar pada jam-jam kembang api biasa dinyalakan. Hehe.
Kadang memang sesederhana itu, kita belum bisa bertemu sesuatu karena mungkin keberadaan kita sedang berbeda, atau waktu keluar kita sedang berbeda, atau jalan setapak yang sedang kita lalui berbeda, atau mungkin semuanya tentang tulisan yang sudah dibuat Tuhan :)

Kenapa saya tiba-tiba menukis begini? Hehe iya barusan kelar sholat isya' saya mendengar suara kembang api.
Semoga, suatu saat, saya bisa melihat kembang api langsung ya.. yang warna-warni.. yang suaranya selalu berhasil membuat dada saya merasa geli :)


#4 days soon to be ...
continue reading Kembang Api

Jumat, 18 Maret 2016

Ibu

Random pagi ini baca-baca kisah ibunda para ulama yang bisa dibuka di link ini
Atau misal mau visual yang lebih menarik bisa dilihat disini
Merinding bacanya serius :’) Ulama-ulama besar memang tidak dibesarkan oleh sembarang perempuan. Merekalah yang mendidik bahkan menemani calon-calon ulama besar tersebut, tidak hanya saat masih kecil, tapi juga semenjak masih di dalam kandungan. Mungkin 9 bulan itu bayi-bayi di dalam perut selalu dekat dengan lantunan ayat suci Al-Quran dari para Ibunya. Juga dengan dengan aktivitas-aktivitas ibadah dan bermanfaat yang dilakukan ibunya. Ah begitulah kebesaran Allah dalam menunjukan role model yang tidak akan bisa pernah sirna oleh masa.
Bermula dari membaca tulisan dari link di atas. Ingin sedikit mem-flashback diri. Tentang keluarga kecil yang selalu saya syukuri. Qada Allah yang telah tertulis bahwa saya terlahir di keluarga ini. Alhamdulillah. To be honest, saya bersyukur. Apa yang melekat (pencapaian, karakter, segala keberuntungan, dsb) pada diri saya dan adik saya hingga detik ini, selain dari karunia Allah, saya yakin ini tidak lepas dari didikan orang tua, khususnya Ibu.
Sedikit mengutip, dari link di atas, kisah Ibunda Muhammad Al-Fatih, salah satu role model favorit, dan cerita tentang ibunya ternyata juga luar biasa
Setelah shalat subuh, Ibu Sultan Muhammad al-Fatih mengajarinya tentang geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Ia berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?” “Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh hikmat.
Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari. Dia tidak membiarkan anaknya terbiasa dengan tidur di waktu pagi. Ia lakukan sesuatu yang menarik perhatian sang anak. Memotivasinya dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih sayang, bukan spirit penjajahan.
Merinding nggak sih? Pengen nangis nggak sih? Serius I’m shedding tears while reading this. Terharu pisan, memang didikan ibu sangat besar pengaruhnya terhadapa akan jadi apa anaknya di masa depan.
Membaca kisah tersebut saya teringat kembali flash-back masa lalu. Dimana Ibu selalu membimbing kami berdua. Sejak SD teringat dulu ketika belajar, terutama dekat-dekat mau ulangan atau exam, Ibu yang selalu menemani saya belajar. Ibu juga selalu menceritakan mengenai dahsyatnya kekuatan doa kepada anak-anaknya. Sampai-sampai saat kecil dulu, saya selalu merindukan waktu sholat. Karena saya ingin cepat-cepat doa *ini teh akibat cerita Ibu tentang dahsyatnya doa. Jadi saya terobsesi sama doa euy -,-*. Yaa namanya anak kecil ya, berpikirnya bisa doa ke Allah saat sholat doang, padahal mah engga hehe *sadar pas udah gede*. Maka, saya selalu menikmati doa-doa panjang saya saat kecil dulu. Ketika semua orang di masjid sudah hampir habis karena pulang selepas sholat fardu, saya masih disitu menengadahkan tangan *zaman sebelum baligh saya hobi sholat di masjid dekat rumah*.
Terhitung sejak kelas 3 SD, Ibu mulai mengajari anak-anaknya untuk sholat tahajud. Masyallah.. namanya anak bau kencur, jam 3 malam dibangunin, wudu pake air dingin, rasanya pengen pisan dicemil (red: snacking) kasur di kamar waktu -,- tapi sekali lagi, Ibu mengiming-imingi kami dengan "Nanti, Allah akan lebih menerima doa kita lhoh kalo kita sholat tahajud. Ayo bangun." hiks. Yaaa saya masih terobsesi dengan doa, maka saya menuruti apa saja 'ritual' yang Ibu saya ucapkan untuk pengabulan suatu doa. Padahal mah waktu itu saya henteu faham sholat tahajud teh kumaha mekanismenya kok bisa dibilang "Allah akan lebih menerima doa saat sholat tahajud".
Nah kalau pas mau ujian (UTS, UAS, dsb), waduww nambah-nambah deh jadwalnya. Habis sholat tahajud harus belajar lagi sampe pagi *padahal malemnya juga udah belajar ampe munte-munte*. Ibu pun ikut nemenin waktu itu, Ibu menunggu kami sambil berdzikir, ehh salah... ralat. Ibu berdzikir sambil menunggui kami belajar. Tidak jarang saya ngangguk-ngangguk (red: ngantuk) di meja belajar. Jika melihat hal seperti itu, pasti Ibu langsung datang ke meja belajar saya yang mengetuk-ngetuk meja sambil "Eh ayo. Mana ada anak yang belajar sukanya tidur mau dapat ranking di kelas", alhasil mata saya terpaksa kebuka lagi deh. Pas sambil sarapan, teringat dulu ibu yang selalu membacakan soal dan saya menjawabnya. Biasanya ketika belum banyak bisa menjawab, ibu selalu memberikan kesempatan saya untuk membaca kembali buku pelajaran. Kemudian setelah selesai, ibu kembali membacakan soal (dulu) pilihan ganda, dan saya menjawabnya hingga cukup lancar.
Bahkan saking seringnya Ibu membacakan soal, sebelum berangkat sekolah ibu kembali mengulang menanyakan tanpa melihat buku. Misal
“Mbak, apa nama bacteri nata de coco?”
“Umm.. Acetobacter xylinum”
“Kalo mentega?”
“Streptococcus lactis!!”
Kebetulan dulu emang saya paling parah dalam hal IPA terutama terkait biologi atau hafal-hafalan *ehhh sekarangnya masuk jurusan biologi. Maka, jangan membenci atau mencintai terlalu berlebihan nyaa. Saya menyukai biologi sejak SMA deh seingat saya*. Itu berlanjut hingga SMP dan SMA. Ketika kuliah saya mulai hidup sendiri. Tapi karena selalu dingatkan untuk belajar, jadi pengulangan tersebut tertanam dalam pikiran bawah sadar. Dan saya juga percaya IQ itu berasal dari otak yang selalu digunakan dan di asah. Mulai dari TK hingga SMA ibu selalu menemani belajar dan membuat otak saya selalu digunakan yang (mungkin) mempengaruhi angka IQ. Ya Alhamdulillah untuk hasil yang selalu saya peroleh dari SD hingga diperkuliahan ini, selalu memuaskan.
Tiap kali diminta sharing di acara-acara tertentu, selalu ada yang menanyakan, "Mbak (atau: Mon), gimana caranya kamu bisa seimbang antara organisasi, IPK cumlaude, menang kompetisi-kompetisi lomba?"
Emmm umm erghh hehe. Saya bingung kalau menjawab pertanyaan itu, nggak mungkin juga saya jawab "Karena saya sering belajar" HA HA HA -,- itu nggak mungkin banget, karena dengan waktu yang ada, saya tidak bisa se-sering teman yang lain untuk belajar. Jurusan saya ber-basic eksakta. Pada satu semester, kami harus melakukan 7 mata kuliah praktikum, dengan laporan resmi, harus tulis tangan, mangga dibayangkeun kita mah hari aktif kuliah senin-jum'at (5 hari) doang kok praktikum 7, belum laporannya, belum ribet proses asistesinya. Hiks. Ditambah saat itu saya sedang diberi amanah di beberapa lembaga sekaligus di tingkat jurusan, fakultas, universitas dengan posisi yang memang harus benar-benar all out. Belum lagi project hidup yang saya buat kala semester itu mengharuskan saya mendulang prestasi di luar kampus. Oke fix, 'meninggal'. Ibu saya masih orang pertama yang berjasa di setiap langkah saya. Tiap kali hendak melakukan apapun (presentasi paper, ujian, lobbying tokoh, dsb) urusan saya, sebelum masuk ruang saya pasti texting Ibu saya "Mi, aku mau masuk ruangan. Doain aku ya." Dan pasti, tiap kali kali saya atau adik sedang menghadapi apapun, di waktu yang bersamaan Ibu tidak akan turun dari sajadahnya dan berhenti dzikirnya sampai kami keluar ruangan. Selalu. Sampai detik ini. Bahkan, Ibu saya punya jadwal kuliah adik saya, pas jam itu, pasti bakal dateng message dari Ibu untuk mengingatkan kuliah, nggak boleh telat, buku pelajarannya jangan ada yang ketinggalan, tugasnya, dsb. hihihi. Mungkin, apa yang saya capai dan dapatkan hingga detik ini adalah berkat doa Ibu saya *Jadi kalo ada meme-meme yang bilang bahwa 'jika kamu berhasil, itu berarti salah satu doa Ibumu terkabul' kayaknya emang bener deh hehe*. Saya merasa semua yang saya dapat itu ajaib, nggak saya sangka-sangka.
Saya merasa, bahwa kehidupan roda keluarga saya itu pada Ibu (Bapak juga sih). Yang mengurusi hal terkecil misalnya seperti dari model potongan rambut anak-anaknya, mengajari Bapak membuat nama file berkas-berkasnya di laptop biar mudah dicari, menaruh jas hujan pada jok motor adik saya, dsb hingga hal-hal yang besar, Ibu yang mengurusi. Amazing.
Hehe, dari segala yang Ibu berikan pada kami, saya menyadari bahwa Ibu ingin memperlihatkan proses dan perjuangan serta Allah pada setiap hal yang kami inginkan. Saya anak pertama, sewaktu saya kecil, Bapak merupakan seorang pegawai negeri dengan golongan masih biasa saja, saya membersamai proses orang tua saya sedari menaiki 'anak tangga pertama' hingga 'anak tangga yang saat ini', Alhamdulullah. Ibu lah yang mengatur semuanya, bagaimana caranya hidup sederhana. Bahkan sampai sekarang, sampai kondisi sudah membaik pun Ibu tidak pernah longgar dalam hal 'hedon'. Se-punya apapun orangtua, untuk mendapatkan jam tangan *padahal nggak merek high juga*, syaratnya saya harus bisa masuk SMP favorit di kota *bayangin IQ anak desa disuruh ke kota. 'Meninggal' lagi, dan itupun masih ditanya benar-benar jam tangannya mau dibuat apa kalau sudah dibelikan. Yaa waktu itu saya jawab "Aku mulai sekarang nggak mau telat-telat lagi. Jadi jam tangannya buat allert aku" *Busett dah, berasa orang bener aja ya ngejawabnya. Eyhh namanya juga lagi ngerayu minta sesuatu* Alhamdulillah dapat jam tangan. Terus, saat saya mau masuk SMA butuh motor *tolong digarisbawahi 'butuh', bukan 'pengen'* saya harus bisa masuk kelas internasional di SMA favorit di kota. Ha hallo tolong, ini motor emang butuh karena jauh dari rumah dan tidak ada akses transportasi umum yang efektif dan efisien menuju sekolah tersebut, lagipula saya pikir waktu itu motor adalah sebuah hal yang wajar untuk anak SMA, boro-boro anak SMA, anak SMP aja udah butuh motor buat mobilitas kalik, ini kok orangtua saya gini amat yak. Setelah mati-matian Alhamdulillah akhirnya dapat motor.
Ada satu lagi sebenarnya yang urgen yang diturunkan Ibu ke kami. Yaitu tentang habit dan ilmu agama. Semoga bisa nulis di post selanjutnya aamiin.[]
continue reading Ibu

Kamis, 17 Maret 2016

Tolong, Saya Sedang Mencari Kenyamanan

Dulu, waktu saya masih kecil, saya pernah bertanya pada ibu saya, bagaimana rasanya berada di dalam kubur.Waktu itu saya sedang demam tinggi. Maka ibu saya itu, orang yang ditetapkan untuk selalu menjadi yang nomor satu khawatir ketika saya sakit, langsung berubah air mukanya. Dia mungkin berpikir saya akan meninggal dalam usia yang sangat muda. Maka dia elus kepala saya dengan frekuensi lebih tinggi dari sebelumnya. Kalau tidak salah, dia bilang di kuburan itu gelap sekali, tapi anak baik akan bercahaya kuburannya, seperti ada lampu di dalamnya. Dia bilang begitu seolah-olah dia sudah punya pengalaman. Tapi saya percaya saja padanya, karena dia ibu saya. Karena saya tau dia mungkin tau dari nenek atau kakek saya, atau guru mengajinya, atau ceramah di TV, atau sejenisnya. Dia mungkin berpikir saya meracau karena panas yang tinggi. Dia tidak tahu, kalau saya sungguh-sungguh menanyakan itu.
Demam yang tinggi membuat saya merasakan ketidaknyamanan luar biasa. Maka jiwa kanak-kanak saya berpikir sedemikian rupa,mencari tahu dimana tempat yang bisa membuat saya menjadi nyaman. Saya beri bocoran, jiwa kanak-kanak umumnya memindai segala sesuatu secara sempurna bipolar. Jika tidak baik, maka jahat. Jika tidak senang, maka sedih. Tidak ada yang abu-abu. Sesimpel itu. Maka itu yang saya rasakan. Dan itu kenapa, anak kecil di seluruh dunia akan rewel jika sakit. Sakit ya sakit. Tidak ada berpura-pura kuat. Tidak ada “kenikmatan” dalam sakit. Tidak ada “sabar” menahan sakit.
Itu kenapa saya tanyakan tentang kuburan pada ibu saya. Saya juga mau tanya tentang tinggal di awan sebenarnya, tapi saya tau itu tidak mungkin. Sebenarnya, dari saya kecil, waktu saya masih amat kelewat polos, saya berpikir kalau tempat paling nyaman itu adalah langit sewaktu malam. Bahkan sampai sekarang, saya masih merasa itu benar. Hahaha. Konyol. Padahal saya tau benar kalau langit adalah wilayah ekstrim, sama sekali tidak memaafkan kesalahan. Saya bisa mati pelan-pelan karena radiasi kosmik, atau radiasi dari sabuk magnetik bumi, saya bisa tidak karuan gara-gara microgravity, saya bisa mati konyol dihantam sampah antariksa ukuran beberapa mili dengan kecepatan 72 km per sekon. Dan yang sejenis itu bukan barang langka di sana. Jangan jauh-jauhlah, bahkan saya bisa saja mati kekurangan oksigen hanya beberapa ribu meter di atas permukaan laut. Tapi tetap saja, saya masih berharap langit adalah tempat yang nyaman.
Seiring dengan semakin dewasanya saya, cara pandang sempurna bipolar makin lama makin kabur. Tidak ada yang sempurna positif atau negatif. Semua pada hakikatnya netral, menjadi seberapa positif atau negatif benar-benar tergantung sudut pandang. Mari beri apresiasi pada Hurwicz yang secara tidak langsung membantu saya menjelaskan ini. Pada saat golongan Maximax bisa sempurna optimis, maka Hurwicz memberi solusi untuk orang-orang seperti saya, yang terombang ambing antara optimisme dan pesimisme. Hurwicz –menurut saya- dengan sangat bijak memperkenalkan alpha sebagai koefisien optimistik. Sempurna optimistik, bukan tidak baik, tapi golongan ini terlalu percaya diri, beranggapan bahwa semua sistem dalam semesta dirancang human-centered. Hurwicz datang memperkenalkan optimisme sebagai sesuatu yang probabilistik, bervariasi dari nol hingga satu. Ini lebih manusiawi. Hal ini karena manusia, walaupun punya power, bukanlah pusat sistem, tapi hanya bagian dari sistem. Dalam induksi yang lebih general, etika manusia hanyalah bagian sangat kecil dari etika semesta.
Oh, terlalu jauh. Baiklah kita kembali kepada ibu saya. Ibu saya itu, yang dia beruntung pernah mengaji, yang dia pernah mendengarkan ceramah tentang alam kubur, maka dia bisa selamat saat saya menanyakan hal itu. Padahal saat dia mengaji, dia pasti tidak pernah terpikir bahwa suatu saat putrinya bisa saja bertanya-tanya. Andai dia tidak bisa jawab, saya tau bagaimana sangat tidak enak rasanya. Saya ceritakan sedikit, adik saya, sewaktu dia lebih sangat ingusan daripada sekarang, pernah bertanya pada saya tentang warna terompet malaikat Israfil. Maka saat itu, alih-alih menjawab, saya malah menertawakannya dengan sungguh-sungguh. Dia mungkin menganggap saya bodoh. Padahal saya hanya tidak tahu bagaimana cara menjelaskan padanya, dalam bahasa anak-anak, tentang apa gunanya dia tau warna terompet malaikat. Andai ibu saya juga tertawa pada saat saya bertanya, maksud saya tertawa seperti saya menertawakan adik saya: sungguh-sungguh dan penuh penghayatan, pastilah saya akan sangat sedih. Tapi ibu saya tidak tertawa. Ah, biarkan saya memuji, betapa luar biasanya ibu saya itu. Pantas saja ayah saya jatuh cinta.
Oke, dalam rangka menjawab dimana kah tempat paling nyaman, ibu saya memberi tau satu alternatif. Dan saya juga punya alternatif lain, yang tak lain adalah langit malam. Tapi setelah berkelana kemana-mana (?), kesimpulan saya jatuh pada, bahwa tempat ternyaman dalam kehidupan ini adalah di dalam diri saya sendiri. Kenyamanan adalah saat saya mampu memahami bahwa kenyamanan itu adalah sesuatu yang diciptakan, bukan dicari. Dan hanya saya lah yang bisa menciptakannya untuk saya, bukan orang lain. Kenyamanan adalah ketika saya mampu memahami diri sendiri dan memahami betapa pentingnya memahami diri sendiri(?). Rasul saya Yang Mulia, *salam ‘alaik* bahkan menyebutkan, siapa yang mengenali dirinya akan mengenali Tuhannya. Begitulah kesimpulannya.
Maha Agung Tuhan yang telah menciptakan ibu saya, menciptakan saya, dan menjadikan saya sebagai anak ibu saya.
#Mona, yang sedang menikmati stress.
continue reading Tolong, Saya Sedang Mencari Kenyamanan

Nilai Positif Suka Mengeluh

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.” QS. Al Ma’arij (70): 19

Setiap kita, dikaruniai sebuah sifat dasar, yaitu suka berkeluh kesah.Mengetahui hal itu, dulu saya sempat mensalahartikannya, dengan menjadikan sifat-dasar-suka-berkeluh-kesah tersebut sebagai sebuah pembenaran. Setiap ada hal yang tak sesuai, secara spontanitas, keluh kesah meluncur mulus dari mulut. Menyebalkannya saya, setiap ada yang mengingatkan, saya akan menjawab, “Hehe.. wajar lah.. kan udah sifat dasar manusia suka mengeluh. Berarti saya ini masih manusia.” Tepok jidat! Dulu (kayaknya sampai sekarang juga deh. hiks. Maafkan), saya ini orangnya memang grasak grusuk. Belum tau tau amat, tapi sudah sok tau. Bagian ini, tentu tak layak tiru.

Hingga kemudian tabir-tabir pembatas antara ketidaktahuan itu luruh satu demi satu. Membuka sebuah pernyataan: selalu ada nilai kebaikan dalam setiap yang dikaruniakan-Nya pada kita. Tak ada satu pun yang sia-sia dari-Nya. Lantas, apa nilai kebaikan dari sifat dasar suka berkeluh kesah?

Sebagian besar kita, pasti sepakat bahwa suka mengeluh bukanlah hal yang baik, betul? Tapi coba telaah lagi.. bukankah sifat dasar suka mengeluh tersebut merupakan pemberian-Nya? Maka mungkinkah ia tak punya nilai kebaikan? Mungkinkah titipan-Nya sia-sia?

Mari kita lihat dari sudut pandang yang lebih luas. Saat ditimpa kesusahan, secara otomatis, kita akan berkeluh kesah. Ya, secara otomatis, karena memang Allah sudah mendesain manusia demikian. Keluh kesah merupakan ekspresi spontan ketika seseorang merasa sulit dan terhimpit. Maka, solusi dari keluh kesah adalah hadirnya pertolongan. Dari sekian banyak pertolongan yang ada, pertolongan siapakah yang paling mudah aksesnya? Pertolongan siapakah yang daya bantunya besar, bahkan seringkali melampaui batas akal kita? Pertolongan siapakah yang tanpa syarat? Dan pertolongan siapakah yang tanpa pamrih? Ya, pertolongan Allah. Maka sifat dasar keluh kesah yang dititipkan-Nya pada kita merupakan cara Allah menjaga kita agar tidak jauh dari-Nya.

Ibarat seekor kambing yang terikat dengan tali yang terpancang di suatu tiang, maka kambing tersebut tentu tidak bisa menjauh. Apabila ia perlahan mencoba menjauh pun, akibatnya adalah lehernya bisa terluka. Satu-satuya cara untuk tetap aman, yaitu berada dalam kondisi tak jauh dari tiang. Atau jika mau lebih aman lagi, mendekatlah hingga ke posisi terdekat dengan tiang. Pun demikian dengan kita. Allah berharap dengan sifat dasar keluh kesah yang Dia berikan, kita menyadari bahwa penyebab utama atas terancamnya diri kita akan suatu kesulitan adalah perbuatan kita sendiri yang menjauh dari-Nya. Sehingga, melalui kesadaran ini, kita jadi waspada dan tak mau lagi jauh dari Allah, bahkan semakin mendekat kepada-Nya.

Maka tak heran bila kebanyakan kita bertaubat dengan taubatan nasuha, sesaat setelah mendapatkan kesusahan yang sangat berat. Tapi.. untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tentu tidak harus mengalami kesusahan terlebih dulu kan? Sebab kalau harus begitu, khawatir ketika dihadapkan pada kesulitan, justru bukannya berbenah jadi lebih baik, malah jadi lebih buruk lagi karena tidak siap menghadapi. Hiii.. sereeem.

Kita tak akan pernah bisa menghilangkan berbagai sifat dasar yang telah melekat sedari proses penciptaan. Yang bisa kita lakukan adalah memilah dan memilih penempatannya. Maka berkeluh kesah sangatlah diperbolehkan, apabila ia justru menyadarkan bahwa kita membutuhkan pertolongan-Nya. Sebab sungguh.. hanya Allah saja lah yang sangat senang mendengarkan keluh kesah seorang hamba. Layaknya sebuah nyanyian merdu yang barangkali.. sangat jarang terdengar apabila kesenangan sedang menguasai.

Berkeluh kesahlah di hadapan-Nya, sebab itu menjadi bukti bahwa kita yakin, pertolongan terbaik, hanya akan datang dari-Nya. Berkeluh kesahlah di hadapan-Nya, sebab bisa jadi pula.. keluh kesah kita merupakan lagu langka, saking jarangnya.
continue reading Nilai Positif Suka Mengeluh

Sabtu, 12 Maret 2016

Waspadalah!!!

Saya punya adik kost, yang Alhamdulillah (sengaja Allah kirimkan untuk) banyak membantu saya. Kemana-mana saya pergi, dia selalu ikut dan "Aku pengen jagain mbak Mona. Bantu-bantu mbak Mona kalau-kalau nanti ada kesulitan waktu di jalan.". What? haha emm oke.
Sampai suatu saat, mulut saya gatel buat nanya... "Kamu kenapa sih dek? Kok baik banget gitu sama mbak."
Terus dia jawab,"Soalnya mbak juga baik sama aku. Mbak pernah nawarin aku nitip sesuatu atau engga saat mbak pergi keluar waktu itu. Sejak saat itu aku janji sama diri aku sendiri bakal bantu mbak Mona juga. hehe"
Saya mencoba mengingat-ingat lagi, kapan kapan kapan saya pernah melakukan seperti apa yang barusan dia katakan (?)
Masyallah... setelah beberapa detik, saya ingat. Iya, waktu itu saya harus ke kampus weekend karena ada acara. Kebetulan emang lagi chitchat sama adik tersebut. Saat saya hendak pulang, saya chatt dia sekalian "Adek, mumpung mbak lagi di luar, adek mau nitip sesuatu kah?" padahal waktu itu saya antara sadar atau engga, basa-basi (astagfirullah) atau engga dalam melakukannya, saya lupa haha. Yaa saya sih mikirnya singkat aja, karena ini weekend siapa tau dia malas keluar buat beli makan dsb gitu. Tapi yang pasti, hal tersebut tidak berkesan mendalam di hati (red: langsung lupa) saya.
Ehhh hari ini saya jadi diajari sesuatu, dari hal yang bahkan tidak saya sadari dalam melakukannya, ternyata membekas di hati orang lain.

P.S. : Kadang tanpa sengaja, kebaikan kecil kita bisa berdampak besar bagi seseorang. Semoga pahala selalu teriring untuk teman-teman kita yang menebarkan sikap dan sifat positifnya!! Atuhlah Tante, Om, jangan lupa jaga setiap apa yang kita lakukan (katakan) ke orang lain nyak. Ada hal-hal yang bahkan kita tidak sadari bisa membekas baik di hati orang lain, pun sebaliknya, membekas sakit. Waspadalah Waspadalah!!! 
continue reading Waspadalah!!!

Katanya ingin bahagia?

Nahloh nahloh
Katanya ingin bahagia, tapi tujuannya masih harta.
Katanya ingin bahagia, tapi orientasinya masih i-pe-ka.
Katanya ingin bahagia, tapi berebut meraih tahta.
Kalau sudah dapat semua, malah bertanya-tanya,
Kapan aku bisa bahagia seperti tetangga?


(kudus, 13 Maret '16. Terinspirasi dari nasehat Ibu kepada Si Bungsu)
continue reading Katanya ingin bahagia?

DOA

Adakah kebenaran janji,
Kalau setiap takdirNya tak terelakkan
Bahkan dalam satu hembusan nafas berikutnya,
Engkau tak tahu dunia akan seperti apa?

Maka aku menggantungkan hari esok
Pada bait-bait lantunan doa
Termasuk di dalamnya pengharapan malu-malu
Yang hanya boleh didengar Tuhanku

Apakah ada jaminan
atas setiap janji yang meyakinkan?
Dan bagaimana dirimu berkompromi dengan Sang Pemutar balik hati
Sang pengatur siang dan malam
Sang perencana segala urusan,
selain melalui doa?
continue reading DOA

Kamis, 10 Maret 2016

Ibu, Aku Bertanya Kepadamu


"Ibu, dulu aku pernah sendiri bertanya dalam gelap... Apa beda sebutir air bening diujung daun dengan sebutir debu di dinding kusam? Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Tidak ada. Hari ini aku menemukan sendiri jawabannya. Apa bedanya? Tidak ada. Sama sekali tidak ada bedanya... Keduanya sama-sama keniscayaan kekuasaan-Nya. Keduanya sama-sama men-sucikan, meski hakikat dan fisiknya jelas berbeda."

"Ibu, dulu aku pernah sendiri bertanya dalam sesak... Apa bedanya tahu dan tidak tahu? Apa bedanya kenal dan tidak mengenal? Apa bedanya ada dan tiada? Apa bedanya sekarang dengan kemarin, satu jam lalu, satu menit lalu, satu detik lalu? Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Hari ini aku juga tetap tidak tahu begitu banyak potongan pertanyaan. Tapi tak mengapa. Setidaknya tetap bisa melihat, mendengar dan terus berpikir. Ada banyak yang tidak lagi. Tepatnya membutakan diri. Menulikan kepala. Atau membebalkan hati.... "

"Ibu, sudah lama sekali aku tidak merasakan kekuatan itu... Tadi pagi kekuatan itu kembali. Kembali begitu saja setelah bertahun-tahun pergi dengan segala kesedihan. Begitu menghentak, begitu mengejutkan, membasahi seluruh tubuh, merasuk dalam segenap aliran darah. Aku bisa merasakannya lagi. Bisa berpikir, merasakan persis seperti kanak-kanak yang ada di depan ku.... Kekuatan itu kembali Ibu... "
continue reading Ibu, Aku Bertanya Kepadamu

Rabu, 09 Maret 2016

~Nggak Penting~

Lebih kurang tiga hari yang lalu saya sedang berada dalam sebuah bis menuju tujuan saya(?).
Hal yang pasti saya dapatkan di dalam bis adalah suara derum kendaraan jalan raya yang padat,bunyi klakson,
bau mesin kendaraan bercampur bau bensin dan bau minyak angin yang memualkan,
bau rokok penumpang lain yang membuat saya setengah mati menahan keinginan melempar si perokok keluar lewat jendela bis,
pedagang asongan yang mengasong apa saja, mulai dari makanan,minuman, buku pintar, gunting kuku sampai lem tikus. Ckckck.
Selain itu tentu saja pengamen dari yang benar-benar berkualitas hingga yang membuat beberapa penumpang mungkin bingung dia sedang bernyanyi atau sedang ngobrol sendiri.
Ada beragam orang. Supir, pengamen, pedagang asongan, ibu rumah tangga mungkin, mahasiswa, pengangguran, dan lainnya. Saya dan mereka yang memiliki latar belakang dan visi yang berbeda-beda disatukan dalam bis itu, agar saya dan mereka bisa melihat sesuatu yang berharga di balik perbedaan.
Tentang pengamen. waktu itu Ada 3 orang pengamen cilik sekaligus yang tiba-tiba masuk membawa masing-masing alat musiknya.
Saya tau pengamen adalah hal yang biasa di dalam bis. Tapi waktu itu saya sedang sangat melankolis sehingga memperhatikan apapun dengan penuh penjiwaan.
Saya menaksir (bener ga sih istilahnya?) anak-anak tersebut berusia sekolah dasar. Tapi saya curiga mereka adalah tiga dari sangat banyak anak yang tidak lagi sekolah dengan pembelaan klasik yang tidak pernah bisa saya tolerir ; daripada sekolah lebih baik cari uang.
Mereka adalah dua gadis kecil dan seorang anak laki-laki kecil yang umurnya pastilah tak beda jauh.
Si anak laki-laki kecil membawa alat musik perkusi sederhana yang sudah sangat usang. Terlihat seperti sudah sejak lama digunakan mengamen. mungkin ia mendapatkan itu dari pengamen yang lebih senior.
Satunya lagi gadis kecil dengan biolanya. Ia akan lebih manis jika saja dipelihara di lingkungan kaum minoritas Indonesia yang hidup dengan sangat amat layak.
Tapi kenyataannya ia tumbuh di jalanan, besar oleh debu-debu jalanan, timbal dan jelaga kendaraan. Wajahnya khas gadis kecil polos yang belum mengenal beban hidup. Ia tentu saja berasal dari keluarga yang tak mampu seperti kedua temannya.tapi tak tampak sedikitpun mimik risau diwajahnya .
saya mengenal kemampuan anak kecil untuk menganggap remeh masalah apapun. Anak kecil akan mudah tertawa hanya beberapa menit setelah ia berhenti menangis. saya tau mereka tidak sedang berpura-pura tidak punya masalah. Sungguh tidak ada kepura-puraan. Tapi mereka lebih memilih menghadapinya dengan senang hati, khas jiwa kanak-kanak mereka. Tidak seperti orang dewasa yang selalu berpikir rumit dan cenderung berpura-pura kuat…
ia memegang mantap stik biolanya, membuat saya tak meragukan kemampuannya. Walaupun masih sangat muda, pengalaman pasti telah mengajarinya banyak hal tentang biola jauh lebih banyak dari apa yang bisa orang tuanya ajarkan tentang betapa berharganya pendidikan.
Satu anak perempuan lagi memegang gitar. Ia berbadan lebih besar daripada gadis biola tadi. Tapi gitar yang ia pegang tak sepadan dengan ukuran tubuhnya. Gitar itu seperti agak sungkan dipangku dengan separuh hati.
Air mukanya sama dengan gadis biola tadi. Dan sama seperti anak kecil lain yang menganggap hidup adalah taman bermain.
Mereka mengucapkan salam. Tak ingin rugi pahala, saya membalasnya pelan. Alih-alih berbasa-basi panjang lebar seperti pengamen lainnya, mereka langsung memainkan alat musiknya. Hanya dalam beberapa detik mereka berhasil membuat saya bengong terkagum-kagum. Dan membuat yang lain kagum terbengong-bengong(?).
Saya memperhatikan sekeliling. Ternyata tak hanya perhatian saya yang mereka curi, beberapa penumpang lainpun tampak tertarik. Mereka menciptakan harmoni luar biasa dari alat musik usangnya. Nada-nada itu dijamu dengan ramah oleh jiwa saya yang sedang benar-benar melankolik.
saya tidak terlalu tau lagu apa yang sedang mereka bawakan. Pertama karena pengetahuan saya tentang lagu2 indonesia sekarang agak memprihatinkan. Kedua karena memang saya hanya ingin menikmati kekaguman saya pada kemampuan mereka. imajinasi saya yang.. yah,konyol membuat saya merasa sedang menjadi model video klip mereka. hahaha.*ups*
Anak laki-laki tadi menabuh perkusinya, meningkahi nada-nada dengan penuh keyakinan sambil mendendangkan lirik lagu yang saya tidak kenal.
Suaranya sengaja dibikin sengau-sengau tidak jelas, karakteristik mayoritas vokalis band Indonesia beberapa tahun belakangan.(sejujurnya, menurut saya itu merusak padanan musik luar biasa yang sudah sepenuh hati mereka mainkan, dan tentu saja sedikit merusak mood saya).
Si gadis kecil memainkan biolanya dengan sangat lincah. Ia mendadak terlihat sangat anggun di mata saya. Nada biolanya telah menyihir saya. Dan ia berhasil membuat saya iri.
Perempuan kecil yang memainkan gitar tampak memaksa jari-jari kecilnya untuk berpindah-pindah kunci. Saya tau ia kesulitan. jari manisnya tak sempurna menyentuh senar saat memainkan kunci C.
walaupun begitu ia tetap terlihat sangat lincah, ia juga mendendangkan liriknya dengan penuh percaya diri. Sepertinya sudah sangat dia hapal di luar kepala.
saya seperti percaya dia bisa bernyanyi dengan benar bahkan saat mengigau. Dan saya tidak terlalu yakin dia hapal lagu Indonesia raya. Apalagi hapal preambule undang-undang dasar. Atau jangan2 bahkan dia tidak hapal pancasila???setidaknya dia harus hapal rukun iman dan rukun islam…hoho
Mereka memainkan 2buah lagu, yang keduanya saya tidak tahu. Kemudian dengan muka malu-malu tapi mau mereka mengumpulkan receh dari semua penumpang bis. Termasuk saya yang menyerahkan sejumlah uang dalam kondisi masih terpukau, mata berbinar-binar dan senyum paling tulus sedunia.
Setelah menyisir semua penumpang mereka meloncat keluar dari bis yang sedang berjalan pelan. Saya kecewa. Harusnya lebih banyak lagu yang mereka mainkan. Dan seketika saya dihinggapi keinginan tak tertahankan untuk ikut mengamen bersama mereka..wkwk.
Baiklah , saya mengakui saya telah sangat berpanjang lebar menjelaskan kekaguman saya. Tapi namanya juga lagi bercerita.hoho.
Jujur saja, saya jadi tergerak menulis ini ketika mendengarkan lagu d’Massiv dari tv ruang tengah, judulnya (mungkin) “jangan menyerah” (maklum, perbendaharaan judul-judul lagu saya agak memalukan).
Well, Saya ingin mengutip sedikit lirik di lagu ini, bunyinya seperti ini:
“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik”
Sederhana. Tapi dalam.
Karena lirik itu saya jadi teringat kembali musisi-musisi cilik dalam bis yang pernah saya temui beberapa waktu lalu.
Saya teringat wajah polos mereka, teringat betapa lincah dan percaya dirinya mereka memainkan alat musiknya, teringat wajah malu-malu mereka menampung receh untuk dibawa pulang.. mungkin untuk ibu mereka,
tapi umumnya pengamen2 cilik seperti mereka harus menyetor penghasilan pada siapa itu namanya?baiklah, sebut saja “bos pengamen”.
Tapi mereka terlihat begitu “bersyukur”.
mereka bisa saja tau, di lain tempat ada anak-anak seumuran mereka yang sedang les musik privat dengan grand piano di rumah mewahnya, ada anak lain yang sedang liburan bersukacita sambil berfoto ria bersama badut di taman hiburan, ada anak lain yang dari pagi hingga malam menggarap games online di kamarnya,,yep.ada banyak anak lain yang hidup dengan jauh sangat layak.
tapi mereka tidak pernah terlalu ingin menuding Tuhan tidak adil. Mereka tidak pernah menghakimi siapapun bahwa mereka sedang dieksploitasi, bahwa mereka sangat sering dikhianati oleh orang-orang yang lebih dewasa yang harusnya melindungi mereka.
Saya pikir,mereka telah sejak dulu berdamai dengan keadaan,bahkan sejak mereka lahir, tidak seperti saya yang selalu gagal mencoba berdamai dengan cara negara memelihara anak-anak terlantar.
Yah, mungkin karena selama ini saya selalu mendengar kabar tentang nasib buruk mereka. Tapi saya telah berdamai sedamai damainya dengan diri saya yang terlalu emosional untuk urusan semacam ini.
Saya yakin, siapapun percaya bahwa tak ada manusia yang bisa memesan dia terlahir sebagai apa, dimana, dari rahim ibu seperti apa dan dalam keadaan bagaimana. Tidak perlu seorang ulama untuk menegaskan dalam ceramahnya bahwa bukan berarti karena perbedaan ini Tuhan itu tidak Adil.
Tuhan maha adil dan Tuhan maha berkehendak. Dan justru disinilah awal tantangannya… untuk seterusnya tugas kita adalah mengkalibrasikan harapan dengan kehendak Tuhan.
Karena mustahil menggunakan skala yang sama, yang kita lalukan hanyalah berusaha menyetarakan. Toolsnya adalah ikhtiar,doa dan tawakal. Bingung?saya juga bingung *gubrak!*.sudah, lupakan saja.
Dan untuk semua tantangan itu, jawabannya hanyalah sehebat apa kita bisa bersabar dan bersyukur…saya tekankan pada kata “bersyukur”, karena seringkali orang-orang salah mengartikannya.
Ini sebenarnya adalah peer besar untuk saya, karena saya (dengan kesadaran penuh) juga sering salah mengartikannya. Syukur tidaklah berhenti pada rasa ridha atas apa yang telah didapatkan, tapi terintegrasi dengan keinginan untuk melakukan yang lebih baik dan tentu saja implementasinya. selalu lebih baik. Continuos improvement. Nah loh?kapan berhentinya?hanya akan berhenti saat kaki-kaki kita menginjak surga.amin^^
Sampai disini, saya juga jadi teringat sepenggal kalimat dalam surat cinta untuk saya, dalam suratNya,Dia berfirman;
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. “(Q.S 2:216)
Tentang harapan kita. Tentang kehendak Tuhan. Tentang takdir. Perlu sangat banyak kata untuk menjelaskan ketiganya. Saya tidak ingin terdengar bodoh dengan mencoba berfilosofi tentang ini. Karena saya memang tidak ahli. Yang jelas saya yakin, setiap yang membaca, telah mengambil pemahaman sendiri dari tulisan-tulisan saya yang tidak jelas ini. Tentang harapan kita. Tentang kehendak tuhan. Tentang takdir.
Agar terkesan sedikit bijak, biar saya simpulkan. Kesimpulannya adalah :saya sotoy.haha. tak apa-apalah, saya menghargai kesotoyan saya seperti saya menghargai nikmat hidup sehat dan waras.
Semoga saya bisa lebih bersyukur dan lebih memaknai hidup. Kamu juga.
continue reading ~Nggak Penting~

Selasa, 08 Maret 2016

Perempuan Pemimpin

"Mbak, sebagai seorang perempuan, menjadi pemimpin itu berat nggak sih mbak rasanya dengan segala latar belakang fitrah kita sebagai seorang perempuan? Mbak pernah memilih jalan itu kan, berkali-kali bahkan, makanya aku tanya ke mbak hehe. Bunda 'Aisyah pun pernah memimpin peperangan, di perang Jamal. Iya kan mbak (?). Jika amanah sebagai seorang pemimpin datang ke pundak perempuan, bagaimana mbak?," tanya seorang adik sore ini kepada saya.


"Hehehe... cieee, pasti ini dapat 'lamaran' nih nanya-nanya gini." jawab saya sekenanya.

"Dari sejarah mbak banyak belajar; di jalan yang sedang kita tempuh ini, ego harus benar-benar dikesampingkan. Dari sejarah mbak banyak belajar; perempuan hebat tak pernah tercipta dari cantik fisik saja, tapi ia hadir dari pribadi, hati dan jiwa yang lurus, tulus, dan amanah. Dari perempuan-perempuan sebelum mbak, mbak belajar, bahwa amanah sebagai seorang pemimpin (untuk kita para perempuan) itu bukan melahirkan jiwa yang rapuh, tapi ia akan membentuk shaf-shaf mujahidah setegar karang yang siap menerjang badai kehidupan. Dari amanah sebagai seorang pemimpin mbak banyak belajar; bahwa menjadi pemain utama memang tak semudah dari apa yang dilihat dan dikomentar para penonton jauh di luar lapangan. Tapi percayalah, Allah tidak sedang main dadu ketika memberikan amanah di pundak kita (entah itu perempuan ataupun laki-laki) hehe. Semuanya sudah lebih awal dituliskan. Paham?" lanjut saya.

continue reading Perempuan Pemimpin

Bersabar atas ujian

Allah Maha Seimbang. Diantara gonjang-ganjing ujian, Ia juga selalu hadirkan bersamanya kebahagiaan -dalam bentuk apapun-.

Bagi seorang muslim, musibah adalah pilihan; bersabar atas suratan atau mengeluh di atas segala ujian. Saat kita bersabar dan menyerahkan segala perkara pada Sang Perkasa, akan ada kekuatan -yang entah dari mana- yang akan membimbing kita untuk menatap hari dengan lebih kuat.

Maka bersabar dan tetap bersyukur adalah pilihan paling sulit namun juga paling indah.

Kamu perempuan kuat, Dek. Allah mencintaimu lebih dari yang kamu tahu. Belum tentu kami setegar Adek jika dihadapkan pada kondisi yang sama. Maka dengan kasih dan sayang kami bisikkan; 
Laa ba'sa thohuurun insyaa Allah, Habibtiy. We love you, Dek.
continue reading Bersabar atas ujian

Senin, 07 Maret 2016

Belajar dari Sebuah Pohon

Bermula dari rapuhnya keyakinan yang lebih lapuk dari pohon tua yang hampir tumbang dari tempatnya berdiri. Kau tak akan melihat betapa rapuhnya dia. Yang nampak adalah ia masih terlihat gagah, namun sebenarnya bagian dalam pohon malang itu telah digerogoti rayap yang tak punya sedikit pun belas kasih. Belum lagi, benalu juga tumbuh dan menjalar tanpa malu-malu.


Aku sungguh iri, mengapa pohon tua rapuh itu diciptakan terlalu sabar dan begitu ikhlas? Padahal angin pun turut mengguncangnya kesana-kemari dan manusia merusaknya tanpa hati. Aku sungguh iri, mengapa pohon tua rapuh itu rela disinggahi oleh benalu bahkan sudi berbagi? Aku sungguh iri, mengapa pohon tua rapuh itu tetap saja tegak berdiri meski hampir mati? 


Wahai pohon tua yang rapuh hatinya, tidakkah kau pernah merasa kecewa? Sekalipun ketika para daun meninggalkan pucuk-pucukmu, tidak goyahkah ikhlasmu? Wahai pohon tua yang rapuh hatinya, kau bahkan tak perlu berkaki untuk melangkahi hari. Aku sungguh malu. Dianugerahi dua kaki yang semestinya berjalan maju, namun aku lebih banyak terpaku dan sesekali berjalan mundur meratapi kisah yang biru.

Wahai pohon tua yang rapuh hatinya, menurutmu, mampukah aku seikhlas dirimu yang begitu sabar meski dihinggapi benalu? Wahai pohon tua yang besar jiwanya, bilamana suatu hari kita jumpa, izinkanlah aku memetik sebuah ikhlas dari dahanmu.

Tahukah kau? Luka yang kupelihara layaknya tumor yang perlahan tumbuh dan mengganas. Menjinakannya tak sekilat jentikan jari. Berdamai dengan masa lalu memang bagian tersulit. Sama sekali tidak sepele.


Kawan, kutemukan sepenggal lirik lagu yang begitu ikhlas. Barangkali dapat menjadi pelipur nasib kisahmu yang nahas.
continue reading Belajar dari Sebuah Pohon

Main Basket Lagi :')

(SMS masuk dari nomer yang tidak terdaftar di contact number ~hehe saya ini emang kebiasaan nggak nge-save nomer-nomer di kontak. Bisa dilihat berapa biji nomer yang ada di kontak saya -,- ~)

Dika: Mon, ini orang terkeren sepanjang masa. Kamu dimana? Aku lagi pulang ke indonesia nih. Ga lama. Ke lapangan ayok. Kita tanding basket.

Saya: waaaa dikaaa (cuma dika orang yang freak menyebut dirinya keren sepanjang masa).. apa kabarrr orang terkeren sepanjang masa? :') betewe, bisa kalik kalo mau texting orang lihat2 waktu. Ini subuh! Ga sopan! Kebiasaan!

Dika: hehehe ya maaf Mon. Ayok. Aku ga lama di kudus. Kita lihat siapa yang MASIH hebat.

Saya: yahhh aku masih di semarang nih hiks. Kemarin baru abis pulang. Yodah aku pulang lagi sore ini hehe. Jan lupa you bawa bola yak. Bola basket aku kempes gegara ga pernah dipake lagi hehe.

Dika: cakep!!!



Sudah lama saya nggak main basket lagi. Sejak di kampus, kebanyakan hal-hal normal yang saya lakukan. But, since january this year, i have a 'real normal life' ^^ dan saya sangat menikmatinya. Termasuk seperti yang ini, ada waktu dan teman untuk ke lapangan lagi.


"Karena bagi kami basket bukan hanya sekedar datang, bertanding dan menang. Ia tentang perjuangan. Yang terpenting adalah bagaimana cara kami menjaga dan mempertahankan. Basket bagi kami bukan hanya sekedar gengsi, ia sudah menyatu di dalam jiwa-jiwa kami." Hayooo siapa yang masih ingat ikrar ituuu...

Ini lapangan basket sekolah saya dulu. Salah satu tempat yang asik buat main. Aaaa, ada lagi tempat yang asik buat main, lapangan kodim kudus. Hehe.
Kalian pernah ketika menyesap aroma tanah atau ketika angin berhembus tepat di depan lubang hidung kalian, kalian bisa membau sesuatu? Saya bisa!!! Selalu aroma itu yang saya rasakan ketika menginjakkan kaki di kudus. AROMA KENANGAN :)

continue reading Main Basket Lagi :')

LUPA

Manusia mudah sekali lupa.

Sibuk dengan diri sendiri, kita lupa ada orang-orang lain yang butuh kepedulian. Berkutat pada banyak kesedihan, kita lupa masih lebih banyak hal yang pantas disyukuri. Berkutat pada masa lalu, kita lupa bahwa masa depan jauh lebih menjanjikan jika direncanakan.

Maaf, jika aku sering lupa.

Menganggap siapa-siapa tidak lebih dari apa-apa, namun mengagumi yang tidak selayaknya. Mengabaikan perasaan bahagia yang menenangkan, namun mengingat setiap kenangan menyakitkan. Menjalani masa kini dengan tidak berbuat apa-apa, kecuali hanya menyalahkan masa lalu dan merutuki masa depan yang abu-abu.

Maaf, aku banyak lupa.

Tidak begitu ingat kebaikan-kebaikan yang diberikan. Tidak mau ingat setiap diri memiliki kelebihan yang dapat dimanfaatkan. Tidak ingat bahwa setiap perjalanan memiliki pelajaran. Tidak ingat bahwa dalam kehidupan tidak ada satu pun kesia-siaan.

Maaf, aku selalu saja lupa. Terima kasih, masih mau mengingatkan dan menerima, K-A-R
continue reading LUPA

Minggu, 06 Maret 2016

Kucing Oh Kucing

Dinding rumah bergetar. Suara besar yang berwibawa itu menggema di ruang televisi. Di sudut hati kecil, nyali saya menciut, tapi sengaja disembunyikan demi menampakkan keberanian menghadapi gema suara yang mencengkeram telinga tersebut.
Malam lalu bapak tersinggung. Tersinggung oleh suatu hal kecil yang saya utarakan. Tentang kucing, tepatnya. Beberapa hari lalu, seorang kucing liar resmi dipelihara oleh bapak. Bapak ini memang orangnya penyayang, sampai-sampai kucing liar pun jadi objek kasih sayangnya. Memang “liar” disini maksudnya bukanlah tidak terawat, jelek, dan jorok.. melainkan ya nggak ada tuannya. Saking seringnya jalan-jalan ke luar masuk rumah, kemudian tahu kaaaan ekspresi seekor kucing.. memelas nan bikin iba, jadilah fix.. berhasil menggaet bos besar di rumah untuk memeliharanya.
Sejujurnya, saya tidak pernah setuju jika ada hewan berbulu dipelihara di dalam rumah. Bukan cuma hewan berbulu sih, semua hewan lah, jangan hidup bercampur dengan manusia dalam satu rumah kalau bisa. Semuanya bukan ego semata, melainkan ada dasarnya. Saya mempelajari dunia per-hewan-an lengkap dengan mikroorganisme-mikroorganisme yang dibawanya, hal ini membuat saya semaksimal mungkin melindungi diri saya dan keluarga saya dari akibat-akibat yang ditimbulkan hewan khususnya hewan berbulu (dan liar). Ah saya ini memang sok higienis.Tapi ya kita sedang tidak membahas itu. Ini masih tentang si kucing.
Konon, adik saya ikut senang ketika ia akhirnya tahu, bapak akan memberikannya “adik”. Ya, si kucing itu. Dan baru kemudian saya tau, kucing tersebut jadi semakin keren karena sudah punya nama: Pussy. Jangan tanya alasannya, karena nama itu pemberian bapak, bukan saya.
Saya mengakui, kucing adalah makhluk yang lucu. Ia diciptakan Allah dengan wujud dan perilaku yang menggemaskan. Saya sangat setuju. Hanya saja, semua ke-menggemaskan-nya itu akan runtuh seketika, saat ia melakukan sesuatu yang selalu berhasil membuat saya ilfeel yaitu: buang air di sembarang tempat, dan itu DI DALAM RUMAH. Hiks.
Sesayang-sayangnya bapak pada kucing, soal membersihkan kotorannya, beliau nggak mau. Huaaa sangat mengesalkan ya kan? Dan inilah pemicu ketersinggungan bapak semalam. Kotoran kucing.
Mendengar adzan, saya dan beberapa teman saya yang kebetulan main ke rumah karena saya sedang di rumah weekend kemarin, bergegas menggerakkan langkah ke tempat wudhu. Yang saya maksud tempat wudhu adalah masih bagian dari rumah tersebut. Sesampainya di tempat wudhu, sebuah gundukan bertumpuk menyambut kami dengan wangi khasnya. Semriwiiiing.. Memabukkan. Oh tidaaaak! Kotoran kucing menghiasi sudut tempat wudhu!
Bukan sembarang menuduh, tapi jejak-jejak kaki kucing ada di sekitar itu. Lagipula, saya 100% yakin penghuni rumah nggak ada yang se-freak itu untuk buang kotoran di tempat wudhu. Saya naik pitam. Tiba-tiba ada kesal yang mulanya dari mata (melihat), kemudian ke pikiran (mencerna apa yang dilihat), masuk ke perasaan (mentransformasikan hasil pikir: KESAL), kemudian panas, panas, panas daaan.. Berubah menjadi energi marah.
Seketika saya melangkah ke ruang televisi, dan melihat sang objek (bukan kucing, melainkan bapak) sedang duduk dan menonton. Saya mengatur napas, demi sedikit menenangkan diri, bersiap menyampaikan kekesalan.

Satu, dua langkah kemudian.. “Bapak, itu ada kotoran Pussy di tempat wudhu. Banyak dan bau. Gimana solusinya?” Jujur, dalam hati saya berharap, minimal ada solusi beliau mau membersihkan. Ya wajar menurut saya, itu kan ‘hasil karya’ peliharaannya. Itu minimalnya. Maksimalnya.. Ya kucingnya jangan dipelihara lagi.
Bapak menatap saya dan menjawab santai, “Solusi apa? Emang siapa yang melihara.. Tuh Tio.” Lah, malah nyalahin adik saya yang pulang ke rumah dari perantauan aja nggak tentu seminggu sekali. Mendengar jawaban yang ngelantur dan nggak logis itu saya timpali lagi, “Lho, selama ini yang ngasih makan tuh kucing tiap hari siapa? Ya itu pemeliharanya. Bapak.” Entahlah.. Menurut saya itu merupakan kalimat wajar sesuai kenyataan. Tapi dampaknya.. Beliau berdiri dari kursinya dan DUARRRR! Marahnya menggelegar. Telinga saya sampai pekik mendengar amarahnya. Jantung saya terus berdegup, antara tegang dan masih menyimpan kesal. Usai menyemburkan suara nge-bass penuh amarahnya, bapak bergegas masuk kamar dan membanting pintunya. Huh. Sejak tensi bapak seringnya tinggi memang bapak mudah tersulut emosi *emang ada hubungannya?ah nggak tahu. pokoknya gitu*. Cuma yang saya nggak bayangkan adalah reaksi dari peristiwa kotoran kucing itu ternyata sebegitunya. Ibu saja sampai terbengong-bengong melihatnya, saya adalah orang di rumah yang biasanya paling aman dari amarah bapak. Lha ini, jederrrr 
Malam lalu, ruang tengah rumah itu menjadi saksi bisu dimana ‘hasil karya’ Pussy, berhasil memecah belah hubungan ayah dan anak. Dramatis.
Akhirnya apa? Ya saya malah jadi semakin kesal. Saya tarik napas berkali-kali, dan menggumamkan kalimat dalam hati, “Mon.. Kamu nggak bisa ngatur sesuatu di luar diri. Kamu cuma bisa ngatur diri kamu sendiri, khususnya: responmu terhadap hal di luar diri itu.” Tarik napas.. Buang.. Tarik napas.. Buang..
Oh Pussy.. Betapa oh betapa.. Kehadiranmu menggegerkan suasana malam di rumah ini. “Meong..” Pussy berlenggang dengan indahnya, tepat di hadapan saya yang baru bertengkar gara-gara dirinya. Seketika saya berlutut, menghadapkan wajah saya dengan wajah Pussy. “Hey kamu.. Besok besok awas kalau masih ada disini!” Kekesalan itu saya harap tersampaikan, setidaknya meski bukan melalui bahasa (ya jelas), semoga bisa melalui energi.
continue reading Kucing Oh Kucing

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact