Bermula dari rapuhnya keyakinan yang lebih lapuk dari pohon tua yang hampir tumbang dari tempatnya berdiri. Kau tak akan melihat betapa rapuhnya dia. Yang nampak adalah ia masih terlihat gagah, namun sebenarnya bagian dalam pohon malang itu telah digerogoti rayap yang tak punya sedikit pun belas kasih. Belum lagi, benalu juga tumbuh dan menjalar tanpa malu-malu.
Aku sungguh iri, mengapa pohon tua rapuh itu diciptakan terlalu sabar dan begitu ikhlas? Padahal angin pun turut mengguncangnya kesana-kemari dan manusia merusaknya tanpa hati. Aku sungguh iri, mengapa pohon tua rapuh itu rela disinggahi oleh benalu bahkan sudi berbagi? Aku sungguh iri, mengapa pohon tua rapuh itu tetap saja tegak berdiri meski hampir mati?
Wahai pohon tua yang rapuh hatinya, tidakkah kau pernah merasa kecewa? Sekalipun ketika para daun meninggalkan pucuk-pucukmu, tidak goyahkah ikhlasmu? Wahai pohon tua yang rapuh hatinya, kau bahkan tak perlu berkaki untuk melangkahi hari. Aku sungguh malu. Dianugerahi dua kaki yang semestinya berjalan maju, namun aku lebih banyak terpaku dan sesekali berjalan mundur meratapi kisah yang biru.
Wahai pohon tua yang rapuh hatinya, menurutmu, mampukah aku seikhlas dirimu yang begitu sabar meski dihinggapi benalu? Wahai pohon tua yang besar jiwanya, bilamana suatu hari kita jumpa, izinkanlah aku memetik sebuah ikhlas dari dahanmu.
Tahukah kau? Luka yang kupelihara layaknya tumor yang perlahan tumbuh dan mengganas. Menjinakannya tak sekilat jentikan jari. Berdamai dengan masa lalu memang bagian tersulit. Sama sekali tidak sepele.
Kawan, kutemukan sepenggal lirik lagu yang begitu ikhlas. Barangkali dapat menjadi pelipur nasib kisahmu yang nahas.
0 komentar:
Posting Komentar