Random pagi ini baca-baca kisah ibunda para ulama yang bisa dibuka di link ini
Atau misal mau visual yang lebih menarik bisa dilihat disini
Merinding bacanya serius :’) Ulama-ulama besar memang tidak dibesarkan oleh sembarang perempuan. Merekalah yang mendidik bahkan menemani calon-calon ulama besar tersebut, tidak hanya saat masih kecil, tapi juga semenjak masih di dalam kandungan. Mungkin 9 bulan itu bayi-bayi di dalam perut selalu dekat dengan lantunan ayat suci Al-Quran dari para Ibunya. Juga dengan dengan aktivitas-aktivitas ibadah dan bermanfaat yang dilakukan ibunya. Ah begitulah kebesaran Allah dalam menunjukan role model yang tidak akan bisa pernah sirna oleh masa.
Bermula dari membaca tulisan dari link di atas. Ingin sedikit mem-flashback diri. Tentang keluarga kecil yang selalu saya syukuri. Qada Allah yang telah tertulis bahwa saya terlahir di keluarga ini. Alhamdulillah. To be honest, saya bersyukur. Apa yang melekat (pencapaian, karakter, segala keberuntungan, dsb) pada diri saya dan adik saya hingga detik ini, selain dari karunia Allah, saya yakin ini tidak lepas dari didikan orang tua, khususnya Ibu.
Sedikit mengutip, dari link di atas, kisah Ibunda Muhammad Al-Fatih, salah satu role model favorit, dan cerita tentang ibunya ternyata juga luar biasa
Setelah shalat subuh, Ibu Sultan Muhammad al-Fatih mengajarinya tentang geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Ia berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?” “Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh hikmat.Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari. Dia tidak membiarkan anaknya terbiasa dengan tidur di waktu pagi. Ia lakukan sesuatu yang menarik perhatian sang anak. Memotivasinya dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih sayang, bukan spirit penjajahan.
Merinding nggak sih? Pengen nangis nggak sih? Serius I’m shedding tears while reading this. Terharu pisan, memang didikan ibu sangat besar pengaruhnya terhadapa akan jadi apa anaknya di masa depan.
Membaca kisah tersebut saya teringat kembali flash-back masa lalu. Dimana Ibu selalu membimbing kami berdua. Sejak SD teringat dulu ketika belajar, terutama dekat-dekat mau ulangan atau exam, Ibu yang selalu menemani saya belajar. Ibu juga selalu menceritakan mengenai dahsyatnya kekuatan doa kepada anak-anaknya. Sampai-sampai saat kecil dulu, saya selalu merindukan waktu sholat. Karena saya ingin cepat-cepat doa *ini teh akibat cerita Ibu tentang dahsyatnya doa. Jadi saya terobsesi sama doa euy -,-*. Yaa namanya anak kecil ya, berpikirnya bisa doa ke Allah saat sholat doang, padahal mah engga hehe *sadar pas udah gede*. Maka, saya selalu menikmati doa-doa panjang saya saat kecil dulu. Ketika semua orang di masjid sudah hampir habis karena pulang selepas sholat fardu, saya masih disitu menengadahkan tangan *zaman sebelum baligh saya hobi sholat di masjid dekat rumah*.
Terhitung sejak kelas 3 SD, Ibu mulai mengajari anak-anaknya untuk sholat tahajud. Masyallah.. namanya anak bau kencur, jam 3 malam dibangunin, wudu pake air dingin, rasanya pengen pisan dicemil (red: snacking) kasur di kamar waktu -,- tapi sekali lagi, Ibu mengiming-imingi kami dengan "Nanti, Allah akan lebih menerima doa kita lhoh kalo kita sholat tahajud. Ayo bangun." hiks. Yaaa saya masih terobsesi dengan doa, maka saya menuruti apa saja 'ritual' yang Ibu saya ucapkan untuk pengabulan suatu doa. Padahal mah waktu itu saya henteu faham sholat tahajud teh kumaha mekanismenya kok bisa dibilang "Allah akan lebih menerima doa saat sholat tahajud".
Nah kalau pas mau ujian (UTS, UAS, dsb), waduww nambah-nambah deh jadwalnya. Habis sholat tahajud harus belajar lagi sampe pagi *padahal malemnya juga udah belajar ampe munte-munte*. Ibu pun ikut nemenin waktu itu, Ibu menunggu kami sambil berdzikir, ehh salah... ralat. Ibu berdzikir sambil menunggui kami belajar. Tidak jarang saya ngangguk-ngangguk (red: ngantuk) di meja belajar. Jika melihat hal seperti itu, pasti Ibu langsung datang ke meja belajar saya yang mengetuk-ngetuk meja sambil "Eh ayo. Mana ada anak yang belajar sukanya tidur mau dapat ranking di kelas", alhasil mata saya terpaksa kebuka lagi deh. Pas sambil sarapan, teringat dulu ibu yang selalu membacakan soal dan saya menjawabnya. Biasanya ketika belum banyak bisa menjawab, ibu selalu memberikan kesempatan saya untuk membaca kembali buku pelajaran. Kemudian setelah selesai, ibu kembali membacakan soal (dulu) pilihan ganda, dan saya menjawabnya hingga cukup lancar.
Bahkan saking seringnya Ibu membacakan soal, sebelum berangkat sekolah ibu kembali mengulang menanyakan tanpa melihat buku. Misal
“Mbak, apa nama bacteri nata de coco?”“Umm.. Acetobacter xylinum”“Kalo mentega?”“Streptococcus lactis!!”
Kebetulan dulu emang saya paling parah dalam hal IPA terutama terkait biologi atau hafal-hafalan *ehhh sekarangnya masuk jurusan biologi. Maka, jangan membenci atau mencintai terlalu berlebihan nyaa. Saya menyukai biologi sejak SMA deh seingat saya*. Itu berlanjut hingga SMP dan SMA. Ketika kuliah saya mulai hidup sendiri. Tapi karena selalu dingatkan untuk belajar, jadi pengulangan tersebut tertanam dalam pikiran bawah sadar. Dan saya juga percaya IQ itu berasal dari otak yang selalu digunakan dan di asah. Mulai dari TK hingga SMA ibu selalu menemani belajar dan membuat otak saya selalu digunakan yang (mungkin) mempengaruhi angka IQ. Ya Alhamdulillah untuk hasil yang selalu saya peroleh dari SD hingga diperkuliahan ini, selalu memuaskan.
Tiap kali diminta sharing di acara-acara tertentu, selalu ada yang menanyakan, "Mbak (atau: Mon), gimana caranya kamu bisa seimbang antara organisasi, IPK cumlaude, menang kompetisi-kompetisi lomba?"
Emmm umm erghh hehe. Saya bingung kalau menjawab pertanyaan itu, nggak mungkin juga saya jawab "Karena saya sering belajar" HA HA HA -,- itu nggak mungkin banget, karena dengan waktu yang ada, saya tidak bisa se-sering teman yang lain untuk belajar. Jurusan saya ber-basic eksakta. Pada satu semester, kami harus melakukan 7 mata kuliah praktikum, dengan laporan resmi, harus tulis tangan, mangga dibayangkeun kita mah hari aktif kuliah senin-jum'at (5 hari) doang kok praktikum 7, belum laporannya, belum ribet proses asistesinya. Hiks. Ditambah saat itu saya sedang diberi amanah di beberapa lembaga sekaligus di tingkat jurusan, fakultas, universitas dengan posisi yang memang harus benar-benar all out. Belum lagi project hidup yang saya buat kala semester itu mengharuskan saya mendulang prestasi di luar kampus. Oke fix, 'meninggal'. Ibu saya masih orang pertama yang berjasa di setiap langkah saya. Tiap kali hendak melakukan apapun (presentasi paper, ujian, lobbying tokoh, dsb) urusan saya, sebelum masuk ruang saya pasti texting Ibu saya "Mi, aku mau masuk ruangan. Doain aku ya." Dan pasti, tiap kali kali saya atau adik sedang menghadapi apapun, di waktu yang bersamaan Ibu tidak akan turun dari sajadahnya dan berhenti dzikirnya sampai kami keluar ruangan. Selalu. Sampai detik ini. Bahkan, Ibu saya punya jadwal kuliah adik saya, pas jam itu, pasti bakal dateng message dari Ibu untuk mengingatkan kuliah, nggak boleh telat, buku pelajarannya jangan ada yang ketinggalan, tugasnya, dsb. hihihi. Mungkin, apa yang saya capai dan dapatkan hingga detik ini adalah berkat doa Ibu saya *Jadi kalo ada meme-meme yang bilang bahwa 'jika kamu berhasil, itu berarti salah satu doa Ibumu terkabul' kayaknya emang bener deh hehe*. Saya merasa semua yang saya dapat itu ajaib, nggak saya sangka-sangka.
Saya merasa, bahwa kehidupan roda keluarga saya itu pada Ibu (Bapak juga sih). Yang mengurusi hal terkecil misalnya seperti dari model potongan rambut anak-anaknya, mengajari Bapak membuat nama file berkas-berkasnya di laptop biar mudah dicari, menaruh jas hujan pada jok motor adik saya, dsb hingga hal-hal yang besar, Ibu yang mengurusi. Amazing.
Hehe, dari segala yang Ibu berikan pada kami, saya menyadari bahwa Ibu ingin memperlihatkan proses dan perjuangan serta Allah pada setiap hal yang kami inginkan. Saya anak pertama, sewaktu saya kecil, Bapak merupakan seorang pegawai negeri dengan golongan masih biasa saja, saya membersamai proses orang tua saya sedari menaiki 'anak tangga pertama' hingga 'anak tangga yang saat ini', Alhamdulullah. Ibu lah yang mengatur semuanya, bagaimana caranya hidup sederhana. Bahkan sampai sekarang, sampai kondisi sudah membaik pun Ibu tidak pernah longgar dalam hal 'hedon'. Se-punya apapun orangtua, untuk mendapatkan jam tangan *padahal nggak merek high juga*, syaratnya saya harus bisa masuk SMP favorit di kota *bayangin IQ anak desa disuruh ke kota. 'Meninggal' lagi, dan itupun masih ditanya benar-benar jam tangannya mau dibuat apa kalau sudah dibelikan. Yaa waktu itu saya jawab "Aku mulai sekarang nggak mau telat-telat lagi. Jadi jam tangannya buat allert aku" *Busett dah, berasa orang bener aja ya ngejawabnya. Eyhh namanya juga lagi ngerayu minta sesuatu* Alhamdulillah dapat jam tangan. Terus, saat saya mau masuk SMA butuh motor *tolong digarisbawahi 'butuh', bukan 'pengen'* saya harus bisa masuk kelas internasional di SMA favorit di kota. Ha hallo tolong, ini motor emang butuh karena jauh dari rumah dan tidak ada akses transportasi umum yang efektif dan efisien menuju sekolah tersebut, lagipula saya pikir waktu itu motor adalah sebuah hal yang wajar untuk anak SMA, boro-boro anak SMA, anak SMP aja udah butuh motor buat mobilitas kalik, ini kok orangtua saya gini amat yak. Setelah mati-matian Alhamdulillah akhirnya dapat motor.
Ada satu lagi sebenarnya yang urgen yang diturunkan Ibu ke kami. Yaitu tentang habit dan ilmu agama. Semoga bisa nulis di post selanjutnya aamiin.[]
0 komentar:
Posting Komentar