Lebih kurang tiga hari yang lalu saya sedang berada dalam sebuah bis menuju tujuan saya(?).
Hal yang pasti saya dapatkan di dalam bis adalah suara derum kendaraan jalan raya yang padat,bunyi klakson,
bau mesin kendaraan bercampur bau bensin dan bau minyak angin yang memualkan,
bau rokok penumpang lain yang membuat saya setengah mati menahan keinginan melempar si perokok keluar lewat jendela bis,
pedagang asongan yang mengasong apa saja, mulai dari makanan,minuman, buku pintar, gunting kuku sampai lem tikus. Ckckck.
Selain itu tentu saja pengamen dari yang benar-benar berkualitas hingga yang membuat beberapa penumpang mungkin bingung dia sedang bernyanyi atau sedang ngobrol sendiri.
Ada beragam orang. Supir, pengamen, pedagang asongan, ibu rumah tangga mungkin, mahasiswa, pengangguran, dan lainnya. Saya dan mereka yang memiliki latar belakang dan visi yang berbeda-beda disatukan dalam bis itu, agar saya dan mereka bisa melihat sesuatu yang berharga di balik perbedaan.
Tentang pengamen. waktu itu Ada 3 orang pengamen cilik sekaligus yang tiba-tiba masuk membawa masing-masing alat musiknya.
Saya tau pengamen adalah hal yang biasa di dalam bis. Tapi waktu itu saya sedang sangat melankolis sehingga memperhatikan apapun dengan penuh penjiwaan.
Saya menaksir (bener ga sih istilahnya?) anak-anak tersebut berusia sekolah dasar. Tapi saya curiga mereka adalah tiga dari sangat banyak anak yang tidak lagi sekolah dengan pembelaan klasik yang tidak pernah bisa saya tolerir ; daripada sekolah lebih baik cari uang.
Mereka adalah dua gadis kecil dan seorang anak laki-laki kecil yang umurnya pastilah tak beda jauh.
Si anak laki-laki kecil membawa alat musik perkusi sederhana yang sudah sangat usang. Terlihat seperti sudah sejak lama digunakan mengamen. mungkin ia mendapatkan itu dari pengamen yang lebih senior.
Satunya lagi gadis kecil dengan biolanya. Ia akan lebih manis jika saja dipelihara di lingkungan kaum minoritas Indonesia yang hidup dengan sangat amat layak.
Tapi kenyataannya ia tumbuh di jalanan, besar oleh debu-debu jalanan, timbal dan jelaga kendaraan. Wajahnya khas gadis kecil polos yang belum mengenal beban hidup. Ia tentu saja berasal dari keluarga yang tak mampu seperti kedua temannya.tapi tak tampak sedikitpun mimik risau diwajahnya .
saya mengenal kemampuan anak kecil untuk menganggap remeh masalah apapun. Anak kecil akan mudah tertawa hanya beberapa menit setelah ia berhenti menangis. saya tau mereka tidak sedang berpura-pura tidak punya masalah. Sungguh tidak ada kepura-puraan. Tapi mereka lebih memilih menghadapinya dengan senang hati, khas jiwa kanak-kanak mereka. Tidak seperti orang dewasa yang selalu berpikir rumit dan cenderung berpura-pura kuat…
ia memegang mantap stik biolanya, membuat saya tak meragukan kemampuannya. Walaupun masih sangat muda, pengalaman pasti telah mengajarinya banyak hal tentang biola jauh lebih banyak dari apa yang bisa orang tuanya ajarkan tentang betapa berharganya pendidikan.
Satu anak perempuan lagi memegang gitar. Ia berbadan lebih besar daripada gadis biola tadi. Tapi gitar yang ia pegang tak sepadan dengan ukuran tubuhnya. Gitar itu seperti agak sungkan dipangku dengan separuh hati.
Air mukanya sama dengan gadis biola tadi. Dan sama seperti anak kecil lain yang menganggap hidup adalah taman bermain.
Mereka mengucapkan salam. Tak ingin rugi pahala, saya membalasnya pelan. Alih-alih berbasa-basi panjang lebar seperti pengamen lainnya, mereka langsung memainkan alat musiknya. Hanya dalam beberapa detik mereka berhasil membuat saya bengong terkagum-kagum. Dan membuat yang lain kagum terbengong-bengong(?).
Saya memperhatikan sekeliling. Ternyata tak hanya perhatian saya yang mereka curi, beberapa penumpang lainpun tampak tertarik. Mereka menciptakan harmoni luar biasa dari alat musik usangnya. Nada-nada itu dijamu dengan ramah oleh jiwa saya yang sedang benar-benar melankolik.
saya tidak terlalu tau lagu apa yang sedang mereka bawakan. Pertama karena pengetahuan saya tentang lagu2 indonesia sekarang agak memprihatinkan. Kedua karena memang saya hanya ingin menikmati kekaguman saya pada kemampuan mereka. imajinasi saya yang.. yah,konyol membuat saya merasa sedang menjadi model video klip mereka. hahaha.*ups*
Anak laki-laki tadi menabuh perkusinya, meningkahi nada-nada dengan penuh keyakinan sambil mendendangkan lirik lagu yang saya tidak kenal.
Suaranya sengaja dibikin sengau-sengau tidak jelas, karakteristik mayoritas vokalis band Indonesia beberapa tahun belakangan.(sejujurnya, menurut saya itu merusak padanan musik luar biasa yang sudah sepenuh hati mereka mainkan, dan tentu saja sedikit merusak mood saya).
Si gadis kecil memainkan biolanya dengan sangat lincah. Ia mendadak terlihat sangat anggun di mata saya. Nada biolanya telah menyihir saya. Dan ia berhasil membuat saya iri.
Perempuan kecil yang memainkan gitar tampak memaksa jari-jari kecilnya untuk berpindah-pindah kunci. Saya tau ia kesulitan. jari manisnya tak sempurna menyentuh senar saat memainkan kunci C.
walaupun begitu ia tetap terlihat sangat lincah, ia juga mendendangkan liriknya dengan penuh percaya diri. Sepertinya sudah sangat dia hapal di luar kepala.
saya seperti percaya dia bisa bernyanyi dengan benar bahkan saat mengigau. Dan saya tidak terlalu yakin dia hapal lagu Indonesia raya. Apalagi hapal preambule undang-undang dasar. Atau jangan2 bahkan dia tidak hapal pancasila???setidaknya dia harus hapal rukun iman dan rukun islam…hoho
Mereka memainkan 2buah lagu, yang keduanya saya tidak tahu. Kemudian dengan muka malu-malu tapi mau mereka mengumpulkan receh dari semua penumpang bis. Termasuk saya yang menyerahkan sejumlah uang dalam kondisi masih terpukau, mata berbinar-binar dan senyum paling tulus sedunia.
Setelah menyisir semua penumpang mereka meloncat keluar dari bis yang sedang berjalan pelan. Saya kecewa. Harusnya lebih banyak lagu yang mereka mainkan. Dan seketika saya dihinggapi keinginan tak tertahankan untuk ikut mengamen bersama mereka..wkwk.
Baiklah , saya mengakui saya telah sangat berpanjang lebar menjelaskan kekaguman saya. Tapi namanya juga lagi bercerita.hoho.
Jujur saja, saya jadi tergerak menulis ini ketika mendengarkan lagu d’Massiv dari tv ruang tengah, judulnya (mungkin) “jangan menyerah” (maklum, perbendaharaan judul-judul lagu saya agak memalukan).
Well, Saya ingin mengutip sedikit lirik di lagu ini, bunyinya seperti ini:
“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik”
Sederhana. Tapi dalam.
Karena lirik itu saya jadi teringat kembali musisi-musisi cilik dalam bis yang pernah saya temui beberapa waktu lalu.
Saya teringat wajah polos mereka, teringat betapa lincah dan percaya dirinya mereka memainkan alat musiknya, teringat wajah malu-malu mereka menampung receh untuk dibawa pulang.. mungkin untuk ibu mereka,
tapi umumnya pengamen2 cilik seperti mereka harus menyetor penghasilan pada siapa itu namanya?baiklah, sebut saja “bos pengamen”.
Tapi mereka terlihat begitu “bersyukur”.
mereka bisa saja tau, di lain tempat ada anak-anak seumuran mereka yang sedang les musik privat dengan grand piano di rumah mewahnya, ada anak lain yang sedang liburan bersukacita sambil berfoto ria bersama badut di taman hiburan, ada anak lain yang dari pagi hingga malam menggarap games online di kamarnya,,yep.ada banyak anak lain yang hidup dengan jauh sangat layak.
tapi mereka tidak pernah terlalu ingin menuding Tuhan tidak adil. Mereka tidak pernah menghakimi siapapun bahwa mereka sedang dieksploitasi, bahwa mereka sangat sering dikhianati oleh orang-orang yang lebih dewasa yang harusnya melindungi mereka.
Saya pikir,mereka telah sejak dulu berdamai dengan keadaan,bahkan sejak mereka lahir, tidak seperti saya yang selalu gagal mencoba berdamai dengan cara negara memelihara anak-anak terlantar.
Yah, mungkin karena selama ini saya selalu mendengar kabar tentang nasib buruk mereka. Tapi saya telah berdamai sedamai damainya dengan diri saya yang terlalu emosional untuk urusan semacam ini.
Saya yakin, siapapun percaya bahwa tak ada manusia yang bisa memesan dia terlahir sebagai apa, dimana, dari rahim ibu seperti apa dan dalam keadaan bagaimana. Tidak perlu seorang ulama untuk menegaskan dalam ceramahnya bahwa bukan berarti karena perbedaan ini Tuhan itu tidak Adil.
Tuhan maha adil dan Tuhan maha berkehendak. Dan justru disinilah awal tantangannya… untuk seterusnya tugas kita adalah mengkalibrasikan harapan dengan kehendak Tuhan.
Karena mustahil menggunakan skala yang sama, yang kita lalukan hanyalah berusaha menyetarakan. Toolsnya adalah ikhtiar,doa dan tawakal. Bingung?saya juga bingung *gubrak!*.sudah, lupakan saja.
Dan untuk semua tantangan itu, jawabannya hanyalah sehebat apa kita bisa bersabar dan bersyukur…saya tekankan pada kata “bersyukur”, karena seringkali orang-orang salah mengartikannya.
Ini sebenarnya adalah peer besar untuk saya, karena saya (dengan kesadaran penuh) juga sering salah mengartikannya. Syukur tidaklah berhenti pada rasa ridha atas apa yang telah didapatkan, tapi terintegrasi dengan keinginan untuk melakukan yang lebih baik dan tentu saja implementasinya. selalu lebih baik. Continuos improvement. Nah loh?kapan berhentinya?hanya akan berhenti saat kaki-kaki kita menginjak surga.amin^^
Sampai disini, saya juga jadi teringat sepenggal kalimat dalam surat cinta untuk saya, dalam suratNya,Dia berfirman;
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. “(Q.S 2:216)
Tentang harapan kita. Tentang kehendak Tuhan. Tentang takdir. Perlu sangat banyak kata untuk menjelaskan ketiganya. Saya tidak ingin terdengar bodoh dengan mencoba berfilosofi tentang ini. Karena saya memang tidak ahli. Yang jelas saya yakin, setiap yang membaca, telah mengambil pemahaman sendiri dari tulisan-tulisan saya yang tidak jelas ini. Tentang harapan kita. Tentang kehendak tuhan. Tentang takdir.
Agar terkesan sedikit bijak, biar saya simpulkan. Kesimpulannya adalah :saya sotoy.haha. tak apa-apalah, saya menghargai kesotoyan saya seperti saya menghargai nikmat hidup sehat dan waras.
Semoga saya bisa lebih bersyukur dan lebih memaknai hidup. Kamu juga.
0 komentar:
Posting Komentar