Dinding rumah bergetar. Suara besar yang berwibawa itu menggema di ruang televisi. Di sudut hati kecil, nyali saya menciut, tapi sengaja disembunyikan demi menampakkan keberanian menghadapi gema suara yang mencengkeram telinga tersebut.
Malam lalu bapak tersinggung. Tersinggung oleh suatu hal kecil yang saya utarakan. Tentang kucing, tepatnya. Beberapa hari lalu, seorang kucing liar resmi dipelihara oleh bapak. Bapak ini memang orangnya penyayang, sampai-sampai kucing liar pun jadi objek kasih sayangnya. Memang “liar” disini maksudnya bukanlah tidak terawat, jelek, dan jorok.. melainkan ya nggak ada tuannya. Saking seringnya jalan-jalan ke luar masuk rumah, kemudian tahu kaaaan ekspresi seekor kucing.. memelas nan bikin iba, jadilah fix.. berhasil menggaet bos besar di rumah untuk memeliharanya.
Sejujurnya, saya tidak pernah setuju jika ada hewan berbulu dipelihara di dalam rumah. Bukan cuma hewan berbulu sih, semua hewan lah, jangan hidup bercampur dengan manusia dalam satu rumah kalau bisa. Semuanya bukan ego semata, melainkan ada dasarnya. Saya mempelajari dunia per-hewan-an lengkap dengan mikroorganisme-mikroorganisme yang dibawanya, hal ini membuat saya semaksimal mungkin melindungi diri saya dan keluarga saya dari akibat-akibat yang ditimbulkan hewan khususnya hewan berbulu (dan liar). Ah saya ini memang sok higienis.Tapi ya kita sedang tidak membahas itu. Ini masih tentang si kucing.
Konon, adik saya ikut senang ketika ia akhirnya tahu, bapak akan memberikannya “adik”. Ya, si kucing itu. Dan baru kemudian saya tau, kucing tersebut jadi semakin keren karena sudah punya nama: Pussy. Jangan tanya alasannya, karena nama itu pemberian bapak, bukan saya.
Saya mengakui, kucing adalah makhluk yang lucu. Ia diciptakan Allah dengan wujud dan perilaku yang menggemaskan. Saya sangat setuju. Hanya saja, semua ke-menggemaskan-nya itu akan runtuh seketika, saat ia melakukan sesuatu yang selalu berhasil membuat saya ilfeel yaitu: buang air di sembarang tempat, dan itu DI DALAM RUMAH. Hiks.
Sesayang-sayangnya bapak pada kucing, soal membersihkan kotorannya, beliau nggak mau. Huaaa sangat mengesalkan ya kan? Dan inilah pemicu ketersinggungan bapak semalam. Kotoran kucing.
Mendengar adzan, saya dan beberapa teman saya yang kebetulan main ke rumah karena saya sedang di rumah weekend kemarin, bergegas menggerakkan langkah ke tempat wudhu. Yang saya maksud tempat wudhu adalah masih bagian dari rumah tersebut. Sesampainya di tempat wudhu, sebuah gundukan bertumpuk menyambut kami dengan wangi khasnya. Semriwiiiing.. Memabukkan. Oh tidaaaak! Kotoran kucing menghiasi sudut tempat wudhu!
Bukan sembarang menuduh, tapi jejak-jejak kaki kucing ada di sekitar itu. Lagipula, saya 100% yakin penghuni rumah nggak ada yang se-freak itu untuk buang kotoran di tempat wudhu. Saya naik pitam. Tiba-tiba ada kesal yang mulanya dari mata (melihat), kemudian ke pikiran (mencerna apa yang dilihat), masuk ke perasaan (mentransformasikan hasil pikir: KESAL), kemudian panas, panas, panas daaan.. Berubah menjadi energi marah.
Seketika saya melangkah ke ruang televisi, dan melihat sang objek (bukan kucing, melainkan bapak) sedang duduk dan menonton. Saya mengatur napas, demi sedikit menenangkan diri, bersiap menyampaikan kekesalan.
Satu, dua langkah kemudian.. “Bapak, itu ada kotoran Pussy di tempat wudhu. Banyak dan bau. Gimana solusinya?” Jujur, dalam hati saya berharap, minimal ada solusi beliau mau membersihkan. Ya wajar menurut saya, itu kan ‘hasil karya’ peliharaannya. Itu minimalnya. Maksimalnya.. Ya kucingnya jangan dipelihara lagi.
Bapak menatap saya dan menjawab santai, “Solusi apa? Emang siapa yang melihara.. Tuh Tio.” Lah, malah nyalahin adik saya yang pulang ke rumah dari perantauan aja nggak tentu seminggu sekali. Mendengar jawaban yang ngelantur dan nggak logis itu saya timpali lagi, “Lho, selama ini yang ngasih makan tuh kucing tiap hari siapa? Ya itu pemeliharanya. Bapak.” Entahlah.. Menurut saya itu merupakan kalimat wajar sesuai kenyataan. Tapi dampaknya.. Beliau berdiri dari kursinya dan DUARRRR! Marahnya menggelegar. Telinga saya sampai pekik mendengar amarahnya. Jantung saya terus berdegup, antara tegang dan masih menyimpan kesal. Usai menyemburkan suara nge-bass penuh amarahnya, bapak bergegas masuk kamar dan membanting pintunya. Huh. Sejak tensi bapak seringnya tinggi memang bapak mudah tersulut emosi *emang ada hubungannya?ah nggak tahu. pokoknya gitu*. Cuma yang saya nggak bayangkan adalah reaksi dari peristiwa kotoran kucing itu ternyata sebegitunya. Ibu saja sampai terbengong-bengong melihatnya, saya adalah orang di rumah yang biasanya paling aman dari amarah bapak. Lha ini, jederrrr
Malam lalu, ruang tengah rumah itu menjadi saksi bisu dimana ‘hasil karya’ Pussy, berhasil memecah belah hubungan ayah dan anak. Dramatis.
Akhirnya apa? Ya saya malah jadi semakin kesal. Saya tarik napas berkali-kali, dan menggumamkan kalimat dalam hati, “Mon.. Kamu nggak bisa ngatur sesuatu di luar diri. Kamu cuma bisa ngatur diri kamu sendiri, khususnya: responmu terhadap hal di luar diri itu.” Tarik napas.. Buang.. Tarik napas.. Buang..
Oh Pussy.. Betapa oh betapa.. Kehadiranmu menggegerkan suasana malam di rumah ini. “Meong..” Pussy berlenggang dengan indahnya, tepat di hadapan saya yang baru bertengkar gara-gara dirinya. Seketika saya berlutut, menghadapkan wajah saya dengan wajah Pussy. “Hey kamu.. Besok besok awas kalau masih ada disini!” Kekesalan itu saya harap tersampaikan, setidaknya meski bukan melalui bahasa (ya jelas), semoga bisa melalui energi.
0 komentar:
Posting Komentar