Minggu, 28 Mei 2017

Pakis

Pakis adalah salah satu makhluk hidup paling sepuh yang menghuni Bumi. Ia sudah ada lebih kurang 450juta tahun yang lalu. What an adaptive amazing plant 😍

Sebagai perbandingan, Dinosaurus baru muncul sekitar 200juta tahun lalu, dan kita ketahui sudah punah.

Bagaimana dengan manusia?

Menurut ilmu pengetahuan modern, nenek moyang manusia muncul sekitar 2juta tahun lalu, sementara nenek moyang manusia modern (Homo Sapiens) baru muncul kira 10.000-20.000 tahun yang lalu.

Peradaban -jika dihitung dari revolusi industri- baru ada sekitar 200 tahun yang lalu.
Internet mulai menghubungkan manusia di seluruh dunia tahun 1990, 27 tahun yang lalu.

Dalam skala umur kehidupan di Bumi, kemunculan kita -sebutlah- "manusia intelektual beradab yang mendunia" tidak lebih dari satu kedipan mata yang tak penting. Kita "baru saja" muncul.
Tapi kita yang paling sotoy di atas Bumi ini.


Tulisan ini sebagai bentuk penghormatan kepada life ancestor di planet iniπŸ˜‚. I adore you, Pakis, apalagi dalam bentuk gulai pakispadang. #traktaktakdungdungdung #ohbedugdatanglah
continue reading Pakis

Rabu, 24 Mei 2017

Jeolus

Beberapa waktu lalu di pagi hari, teman saya mention suatu berita yang hots yang dia temukan di salah satu sosial media tentang kelakuan anak 98. Dari situ saya jadi mikir *kek bisa mikir aja ahah*

Anda pernah merasakan tidak? Kejadian seperti ini misalnya... Saat kita benar-benar ngefans dan mendukung salah satu artis India sebut saja Shakh rukhan dan kita dibilang lebay, kurang piknik, fundamentalis, ekstrimis, sumbu pendek, bumi datar, nggak ada kerjaan, dan sebagainya... Pernah serius? Yaudah senyumin aja (sambil kibas polem juga boleh).
Lalu yang menyebut kita seperti itu tadi, menepuk dada di depan kita, bangga akan ke-sumbu-panjang-annya, "toleransi"nya, "kerasionalannya" karena tidak menjadi bagian dari para orang yang kurang piknik .... senyumin aja.



Karena bisa jadi yang demikian itu bukan masalah siapa lebih rasional daripada siapa. Bukan juga tentang siapa lebih toleran daripada siapa. 
Ini hanya masalah ghirah. Perasaan cemburu (tidak terima?) yang muncul saat sesuatu yang kita cintai diusik. Perasaan ini adalah perwujudan dari cinta. Tiada ghirah tanpa cinta dan tiada cinta tanpa ghirah #tsahhhh... Perasaan ini manusiawi. Semua manusia memilikinya karena bukankah semua manusia bisa merasakan cinta? *Angkat rebana. Siap-siap dangdutan*.





Belum tentu sumbu kita-kita yang ngefans sama artis om Shakh Rukhan ini sependek yang para hatersnya itu tuduhkan. Ini hanya masalah sesuatu yang mereka cintai belum terusik. Atau rasa terusik itu belum sampai tahap membangkitkan ghirah mereka. 



Saya rasa, cemburu adalah konsekuensi dari perasaan cinta *joget muterin pohon*. Yang berbeda hanyalah, kecintaan itu ditujukan untuk siapa?
continue reading Jeolus

Selasa, 23 Mei 2017

Kendalikan Dirimu(?)

Apa persamaan antara Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Barrack Obrama? 
Benar, selain sama-sama orang sukses dan terkenal, disadari atau tidak, mereka adalah orang-orang yang bajunya sama terus.
Steve Jobs memakai kaos hitam dan jeans yang sama. Padahal dia sangat kaya untuk membeli berbagai macam baju dan celana.
Mark Zuckerberg selalu memakai kaos abu-abu atau biru dan blue jeansnya. Padahal dia sangat kaya dan memungkinkan untuk membeli berbagai macam pakaian yang berbeda.
Presiden Obama pun pernah bilang bahwa dia memakai baju dan jas yang sama (atau hampir sama), supaya tidak perlu memikirkan akan memilih baju apa.
Kenapa kok begitu?
Karena “memilih” itu menghamburkan energi
Research membuktikkan bahwa kalau otak kita terlalu banyak mengambil keputusan. Otak akan bingung dan kualitas keputusan malah jadi menurun.
Jadi sebaiknya banyak hal-hal rutin semakin disederhanakan, supaya hemat energi, dan energinya dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih penting.
Mulai sekarang, yuk kita sederhanakan kehidupan kita, supaya energi kita bisa lebih banyak digunakan untuk mengambil keputusan-keputusan yang jauh lebih penting dari hanya sekadar memilih baju
"Hal sederhana itu lebih membahagiakan. Dan ternyata yang bahagia itu adalah hal yang sederhana"

-Dewa Eka Prayoga-


***

Saya menemukan artikel tersebut beberapa waktu lalu melalui postingan di home IG saya. It was very interesting for me. Gimana engga? They life with only things that are necessary in order to really focus on the life itself.

Saya bersyukur karena saya ini bukan tipe orang yang 'laper mata'-an. Saya juga bersyukur saya merasa engap di tempat ramai. Itu menyebabkan saya males muterin mall. Kalau ada yang ngasi saya duit lebih, saya lebih milih buat ngisi perut sih ketimbang ngisi mata. Wakakakak.

Post kali ini saya ingin curhat mengenai habits konsumtif yang kok rasa-rasanya saya lihat disekeliling saya makin ampyun.... Oh mungkin gara-gara saya ada di lingkungan orang-orang yang udah bisa 'ngasilin duit' sendiri kali ya. Mangkanya habits orang-orang kayak gitu lebih sering saya temuin ketimbang dulu. Ya Allah, lindungi hamba dari sifat ketularan konsumtif. Aamiin!!!

Kalau ada yang ngomong "Gile lu mon, dari orang-orang komsumtif ini roda perekonomian negera kita bisa jalan keleus!!!' #tsahhhh iya sih bener juga. Eee terus gimana dong? Saya sih nggak ada urusan ya sama orang-orang yang emang berlebihan duit terus mau belanja apa aja. Ya gapapa, duit-duitnya sendiri ini. Saya engga nyalahin, engga haha. Karena sifat konsumtif pun bisa jadi bermanfaat buat orang lain lhoh... Kok bisa? Bisa donggg hehe.. Jadi, buat kamu-kamu yang sudah terlanjur konsumtif dan ingin bermanfaat untuk orang lain, bisa pakai cara sortir semua barang-barang kamu, dan yang rasanya nggak pernah kamu pakai atau pakai berapa kali doang (intinya kamu mah nggak butuh-butuh amat deh) karena tadinya kamu beli itu cuma akibat kelaperan mata, dsb bisa lah ya dibagiin ke orang-orang yang lebih membutuhkan di bakti sosial atau acara-acara lain. Cukup simpan barang-barang yang kamu butuhin aja. Owning only what you need.

Saya nggak akan mengomentari komsumsi dalam jumlah banyak kalau emang dibutuhin, yang akan dikupas adalah ketika konsumsi melambung tapi sebenernya kita nggak butuh-butuh amat barang-barang itu. Ya saya rasa, owning only what we need ini bakal berujung pada hidup yang lebih terstruktur dan teratur dikemudian hari.


We buy things we don't need to impress people we don't like. Believe or not, we do it sometimes. In order to fit in modern day's society we need to own certain things because sadly people do judge a book by its cover. Because if you only wear the same clothes everyday people will think you are broke. Pikiran kebanyakan orang, hidup enak itu ya hidup dengan memiliki banyak materi. Punya rumah, mobil, tas berbagai model dan warna, dsb. Please lah... it's about how we see our lives. Karena mensyukuri hidup itu sifatnya absolut dan engga tergantung dengan berapa banyak barang yang kita punya. But still, banyak juga dari kita yang beli tas bermerk dan emang disengajain merknya dipampang biar semua orang tau. Banyak juga dari kita yang nggak sadar membeli barang karena banyak orang yang punya barang tersebut. Kita teteeep aja beli itu walaupun kita tau bakalan nggak pake barang itu. What we don't realize is this behavior can distract us. Those things that we bought are distracting us from what is essential, from life.


Mungkin ini juga nasehat buat diri saya sendiri juga ya.. buat lebih aware sama apa yang benar-benar kita butuhkan dan mensyukuri apa yang kita miliki sekarang. Kalaupun there are to much something in your room, coba pilah-pilah lagi, siapa tau ada orang yang lebih beneran membutuhkan ketimbang kamu. Uang yang tadinya hilang hanya karena kelaperan mata kamu, coba mulai sekarang lebih dimanfaatkan untuk hal lain yang jauh lebih penting. Come on... merdekakan diri kita dari perasaan terikat dengan materi :)

Bye... muach 





continue reading Kendalikan Dirimu(?)

Minggu, 14 Mei 2017

Tips Anti Baper + Sirah Nabawiyah

Sumber: Google.
Ya Allah sungguh ini infografik sangat membantu syekali saat kamu dapat tugas dari murabbimu untuk mengkhatamkan dan memahami sirah nabawiyah sementara matamu selalu kriyep-kriyep saat hendak membaca. *tampar pipi sendiri*




Jadi, semalam... saya dan seorang teman, nama disamarkan untuk menjaga ketentraman hidup yang bersangkutan. Ya.. sebut saja teman saya itu bernama Lita *lhoh!!! malah disebutin!!*. Kami para perempuan muda ini sedang merumuskan format anti baper. Anti baper? iyaaaak.. karena kami sudah sangat amat jengah dengan apa yang bertebaran dimana-mana mengenai perempuan yang baper. Kami hanya ingin mencoba menyelamatkan kaum kami *sok bat lu*. Mangkanya kami hendak merumuskan tips anti baper yang kami susun berdasarkan literasi-literasi yang ada(?).


Gampang baper emang paling nggak enak. Hidup serasa dipenuhi sama perasaan hatinya sendiri. Kesel, sedih, dengki, gondok, kegeeran, minder, pokoknya ngabisin energi dan jadi capek sendiri. Belom tambahan bully dari sekitar. "dih, baperan banget si.." makin aja tambah baper.

Deket sama orang yang baperan juga bikin capek. Harus bener-bener jaga omongan dan tingkah laku. Atau berkali-kali harus menjelaskan makna yang kita maksud...
B..b..bbukan gitu maksud aku! | boong ah boong! | AAA!! 😬

Katanya sih tipe "feeling" lebih gampang baper. Goresan lembut seakan-akan merobek-robek hati. Tapi bukan berarti tipe "thinking" nggak bisa baper.

Baper itu manusiawi. Tapi wajib hukumnya bisa mengelola hati. Kenapa? Karena dunia terlalu kejam jika membiarkan hati yang melulu lemah. Salah juga jika melulu berlindung dibalik alasan, "Jangan salahin orang yang baper dong," .

Hati harus dilatih untuk bisa kuat menghadapi badai, tsunami kehidupan. Dunia tidak sebaik itu padamu. Mari kita belajar pada orang yang paling layak baper dari seluruh umat manusia, tapi dia nggak baper.

Manusia yang selama 23 tahun menyampaikan kebenaran. Mengajak orang lain merasakan cahaya dan kasih sayang Allah. Memikirkan cara agar membuat sebanyak mungkin manusia masuk Surga.

Tapi apa balasannya?

Dicaci maki. Dilempar batu. Diinjak kepalanya saat sujud. Diguyur kotoran saat salat. Dikatain orang gila, penyihir, penyair, nggak waras. Diperangi, diboikot, hingga buron untuk dibunuh!

Dia sangat layak untuk baper. Marah, kesel, benci, pundung, mau udahan aja berdakwahnya. Tapi Ia selalu mampu mengelola hatinya dengan baik. Ia mampu menyelesaikan tugas peradabannya dengan gilang-gemilang.

Bahkan saat darahnya mengucur akibat dilempari batu oleh penduduk Thaif, Ia tampung darahnya agar tak sampai setetes pun jatuh ke bumi...

Karena ia tahu, jika sampai darahnya jatuh, murka Allah akan menimpa penduduk Thaif...


"Wahai Muhammad maukah aku timpakan gunung ini kepada penduduk Thaif karena telah menyakitimu?" tanya Jibril.

"Jangan.. mungkin dari keturunan mereka akan muncul generasi yang mencintai Allah dan Rasul-Nya," Di saat malaikat pun baper, Ia tetap tidak baper dan amat bijaksana.

Bahkan saat turun ayat, "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman." (Al-Baqarah:6)

Rasulullah bilang, "Kalau begitu aku pilih tetap beri peringatan. Mungkin dari keturunanya akan lahir orang yang mencintai Allah." .

Bahkan saat turun ayat, "Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka adalah sama saja. Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka." (QS. Attaubah:80)

Rasulullah bilang, "kalau begitu aku pilih mohonkan ampun. Mungkin jika lebih dari 70 kali Allah akan mohonkan ampun padanya." Betapa agung, betapa mulia. Hatinya amat kuat, bersih, luas, dan menawan. Manusia paling anti baper!

Lalu apa rahasianya?

Ternyata sejak awal masa kenabian, Allah sudah turunkan bekal, tips Anti Baper... Yak ayok dilihat, dibaca, dipraktikkan.

Ini dia tips agar punya hati yang lebih kokoh dari gunung...

Ayat-ayat suci memang berat. Ia dapat membuat gunung tunduk terpecah belah jika Al-Quran diturunkan padanya. Ia membuat rambut nabi cepat beruban. Ia membuat Anas bin Malik terjungkang saat memangku Rasulullah yang sedang menerima wahyu. Ia membuat unta menderu dan terperosok saat Rasulullah menerima wahyu di atasnya.

Ayat ayat suci memang berat. Ia membalikkan 180 derajat tradisi kebodohan bangsa Arab. Bahkan merubah peradaban bumi hingga ribuan tahun ke depan. .


Tapi Allah Maha Tahu. Ia turunkan tips Anti Baper dalam surat Al-Muzammil 1-7. Ialah perintah salat malam pada sepertiga malam terakhir...

"Wahai Khadijah, waktu untuk tidur-tidur dan bersantai sudah berakhir," begitu ucap Rasulullah saat perintah salat malam ini turun.

Sejak saat itu, Rasulullah selalu menghidupkan malam dengan sujud dan rukuk pada Tuhannya. Tempat Rasulullah mencurahkan segala beban dan kesulitan, meminta kekuatan dan pertolongan.


Salatnya amat panjang hingga membuat kakinya bengkak-bengkak. Hatinya khusyuk, hingga tercekat tak mampu melanjutkan ayat dalam Al-Fatihah. "Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya Engkau lah kami mohon pertolongan." Lirihnya terisak-isak dengan berlinang air mata.

Ternyata tips anti baper sudah ada sejak 1400 tahun lalu. Apa yang lebih membahagiakan selain punya hati yang selalu tenang dan damai?

Akhir kata, selamat menghidupkan malam!




Sumber:
1. Al Hasyr: 21
"Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir."
2. Al-Muzammil 1-7
3. "Pertentangan Awal terhadap Rasulullah" kajian Salim A. Filah
4. Tafsir Ibnu katsir, Hadits, dll
wkwk sumber macam apa ini πŸ˜‚
continue reading Tips Anti Baper + Sirah Nabawiyah

Mengubah Hati

"Mbak banyak dzikir, sholawat, baca al-qur'an dan ibadah ya... biar pesannya masuk ke hati sebelum ke akal audiens," begitu pesan ibu saya tiap kali saya akan sharing dalam suatu acara. Sama, seperti sore ini, di dalam bis saya menerima pesan singkat yang isinya seperti di atas itu dari ibu.

Saya tahu benar, tiap kali Allah memberikan kesempatan ini, maka sebanyak itu pula kesempatan saya untuk bisa mengubah hati dan pikiran orang lain.

Maka sebanyak itu pula saya berharap agar dari lisan ini, ada hati-hati yang ingin lebih dekat dengan Tuhannya. Ada pribadi-pribadi yang ingin berubah jadi lebih baik. "Ya Allah saksikan lah... ya Allah saksikan lah... akan aku sampaikan..." begitu tekad saya berulang-ulang sebelum saya berbicara. Jadi jikapun tema yang diberikan untuk saya sampaikan begitu urusan duniawi, usahakan tetap menyisipkan nilai akhirat di dalamnya. Saya luruskan niat berkali-kali agar setan tak sedikitpun menelusup ke dalam.

Detik-detik saat giliran saya, sambil saya tatap satu persatu wajah orang-orang di hadapan sana. Saya berdoa dalam dalam agar Allah mau membuka hati-hati mereka. "Oh, Allah Sang Penggenggam Hati..."

Saya tahu ilmu saya jauh dari pantas untuk berada di posisi ini. Bahan bacaan masih sedikit. Kemampuan bicara juga belum mumpuni. Kemampuan saya dalam menyusun argumentasi demi argumentasi juga belum tajam. Maka hanya Allah satu-satunya tempat bergantung. Maka hanya Allah satu-satunya penolong.

Waktu berakhir. Rasanya singkat sekali. Saatnya saya harus turun dari kursi. Sambil saya telungkupkan kedua telapak tangan di depan dada, tersenyum, lalu saya berkata dengan agak mengeraskan suara tersebab tangannya tidak bisa digunakan untuk memegang pengeras suara, "Mohon maaf atas segala kekurangan yang ada pada saya. Terimakasih telah memberikan saya kesempatan untuk belajar disini. Jika ada yang belum terjawab di momen ini atau butuh telinga seseorang, silakan menghubungi kontak saya, ya. Wassalamu'alaikum teman-teman."

Saya turunkan tangan saya dari depan dada. Saya berjalan ke tempat saya. Semoga saya sudah memberikan yang terbaik. Saya gumamkan dalam hati berulang-ulang, "ya Allah saksikan lah... ya Allah saksikan lah... sudah aku sampaikan. Terima kasih ya Allah."





Yogyakarta, -14 Mei 2017-

Begitulah ritual yang selalu saya lakukan tiap kali Allah berbaik hati memberi saya kesempatan untuk belajar lagi.
Sesungguhnya, saat kamu di tempatkan di paling atas atau di paling depan, bukan berarti kamu sudah lah jadi yang terbaik. Malahan, dengan tempat itu, Allah menyuruh kita untuk belajar lebih banyak lagi ketimbang orang lain. Karena yang paling atas dan yang paling depan beban tanggung jawabnya lebih banyak, jadi harus lebih giat belajar daripada yang lain.
continue reading Mengubah Hati

Sabtu, 13 Mei 2017

Speak up?

Jadi begini ibaratnya...



Katakanlah suatu ketika di rumah kita ada seorang batita atau balita yang seringkali membuat orang dewasa di rumah itu pusing karena kerewelannya.

Menangis tanpa bisa memberi tahu apa sebabnya. Atau marah tanpa bisa menjelaskan apa alasan dibalik marahnya. Atau mungkin tantrum, sedangkan setiap ditanya apa yang si balita ini mau, jawabannya tidak pernah jelas.

Lalu mendadak kepala kita pun rasa-rasanya mau meledak *waktu membaca ini tolong bayangkan benar-benar Anda ada di posisi ini, ya. Betapa menyulitkannya.*

Sering ya kadang kalau kita melihat balita/batita mengalami masa dimana mereka seriiing sekali mengeluarkan emosi negatif, tapi saat diajak ngomong baik-baik, nggak ketemu juga pangkal masalahnya apa?
Yah, jangankan kasih penjelasan... ngomong aja mereka masih belepotan. Huks.
Tapi tetep aja kadang ini bikin orang dewasa stress ngadepinnya. Karena nggak tahu harus berbuat apa untuk menyelesaikan kerewelannya.



Jadi begini, *tolong bayangkan lagi benar-benar, ya*
Pernah membayangkan nggak pergi ke luar negeri yang bahasanya sama sekali tidak kita kuasai. Lalu karena kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, kita harus melakukan komunikasi dengan orang-orang disana?
Bayangin. Bahasanya aja nggak kita ngerti!
Ketemu orang dan liat mereka ngobrol di jalan, kita sama sekali nggak nangkep apa yang mereka bicarakan.
Kita coba pula lihat papan penunjuk jalan, tulisan aksaranya nggak ada yang familiar. Sementara perut kita lapar, ingin cari restoran untuk makan. Tapi gimana ini, nanyanya pakai bahasa apa? Ngomongnya gimana? Huftt


Mungkin itulah kiranya yang dirasakan oleh bocah kecil kali ya. Yang saban hari bikin kita jambak jilbab dan rambut sambil memelas, "Jangan nangis/teriak/marah-marah aja dong, Naak.. bilang yang jelas maunya apaaaa.. nggak ngerti kamu kenapaaaa.."



Wait... mari coba posisikan diri kita di sudut pandang balita/batita itu tadi.
Bayangkan, dia punya jutaan rasa, keinginan yang mau dia sampaikan ke orang dewasa. Tapi nggak tahu gimana cara ngomongnya. Nggak tahu gimana cara menyampaikannya. Dunia ini baru untuknya, termasuk juga cara komunikasinya.


Yang pada akhirnya (mungkin) akan lebih sering keluar dalam bentuk emosi nangis, marah, kesel, atau bentuk lain yang membuat orang dewasa bingung.

Percayalah, disaat para orang dewasa tertekan untuk bisa memahami mereka. Mereka pun merasakan "frustasi" yang sama karena kesulitan mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Bisa jadi dia kangen sama Ayahnya yang beberapa hari ini kerjanya lembur terus. Nggak tahu gimana cara bilangnya, akhirnya muncul dalam bentuk menangis meraung-raung tiap Ayahnya berangkat kerja. Atau bisa jadi, dia ingin bermain dengan Ibunya yang akhir-akhir ini sibuk bersihin gudang di rumah(?). Tapi nggak paham gimana ngomongnya, akhirnya keluarlah perilaku rewel nggak jelasnya sepanjang waktu.
Kalau kemudian buru-buru dimarahin tanpa mencoba cari tahu penyebabnya, kasian kan? :(


Mungkin baiknya mereka hanya perlu dipeluk. Dipangku. Lalu diajak bicara tentang apa yang dirasakan. Tentang apa yang ia butuhkan. Lalu pelan-pelan diajarkan bagaimana cara yang baik dalam mengungkapkan keinginan.




Oke, kalau Anda mengira saya hendak membuat tulisan parenting, Anda keliruuu. Tadi diawal kan saya bilang "ibarat", saya hanya hendak membawa pemahaman kita pada hal yang lebih sederhana untuk memahami hal yang tidak sederhana(?).



*Mohon ingat kembali cerita pengibaratan di atas*
Pernah kah disekeliling kita, kita menemui orang-orang yang rasanya aneh untuk kita pahami? Susah dimengerti layaknya wanita *lhoh!*? Misal kita berteman dengannya lalu kita berteman juga dengan orang lain maka dia akan marah? Ataukah orang yang terbata-bata saat bicara di depan kita, gemetaran, berkeringat dingin sehingga kalimatnya susah untuk kita pahami? Ataukah orang yang masyaAllah cari perhatiannya misal pura-pura kesandung di depan kita supaya kita tolong mungkin(?) *dia kebanyakan nonton sinetron Indonesia -,-*? Dannnn masih banyak lagi...


Well... saya hanya ingin bilang bahwa setiap orang memiliki cara berkomunikasi masing-masing sesuai dengan yang mereka pahami. Tidak semua orang memiliki cara komunikasi (menyampaikan keinginannya dan perasaannya) sama seperti cara kita. Kita tidak pernah tahu kejadian apa yang membentuknya hingga menjadi seperti itu. Coba bayangkan, bukankah sangat menyedihkan bagi si orang-orang disekeliling kita tersebut apabila kita tak mau memahami keinginannya hanya karna cara-cara yang ia gunakan untuk menyampaikan tak sama seperti cara kita?


Maka, sudah seharusnya kita lebih mem-peka-kan diri.

Karena di balik perilaku yang "terlihat" menyimpang, sesungguhnya ada yang sedang berusaha mengungkapkan perasaan dan keinginannya.

What we see as a failure to behave properly, is actually only a failure to communicate properly.





continue reading Speak up?

Jumat, 12 Mei 2017

Pengorbanan untuk Kemenangan

Banyak dari kita yang ingin mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Segala daya & upaya seringkali kita lakukan untuk mengejar harta & kekuasaan dengan dalih ingin mewarnai dunia dengan kebaikan. Tapi tahukah? Para 'alim berkata bahwa untuk mengubah dunia, hal yang paling penting adalah membenahi diri sendiri. Jika semua orang sadar untuk membenahi diri, maka dunia akan menjadi lebih baik.


Saat kita begitu kencang berlari, lalu terhenti karena tersandung kerikil atau tertusuk duri tajam... Saat kita harus menelan bulir pahit kegagalan demi kegagalan... Saat gurat kekecewaan menghantam & semakin menyakitkan... Saat kita merasa cobaan tiada letihnya berdatangan... Saat doa & permohonan kita belum kunjung dikabulkan... Terasa begitu berat, sesak, letih untuk berjalan dan bertahan... Ingatlah bahwa Allah-mu tak pernah tertidur dan senantiasa menyaksikan.


Bukankah surga lebih dekat pada mereka yang lebih besar perjuangannya? Lebih indah kesabarannya? Lebih terjal mendaki perjalanannya?
Maka berlombalah kita menjadi hamba yang spesial di mata Rabb-Nya, yang bersinar karena iman, yang mulia karena keikhlasan, yang menaiki anak tangga ketaqwaan dengan perjuangan & kesabaran menghadapi ujian. Sudah pasti di tengah-tengah perjalanan akan hadir begitu banyak cobaan & tantangan. Hanya ketaatan & ketaqwaan lah yang menjadi bekal.


"Kemenangan Hanya Dapat Diperoleh dengan Pengorbanan" (tulisan merah)
Masya Allah...

continue reading Pengorbanan untuk Kemenangan

Senin, 08 Mei 2017

Negara dan Agama

"Keputusan ini diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap umat Islam. Namun semata-mata dalam menjaga dan merawat keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945", begitulah kutipan pidato seseorang yang saya tidak kenal atau pernah berjabat tangan hanya tahu nama saja, yang maka untuk keperluan saya, sebut saja namanya Om. Saya tidak tahu apakah redaksi kalimat Om memang seperti itu atau tidak, saya hanya mengutip dari media, karena saya tidak melihat pidatonya secara langsung. Saya juga tidak ingin mengecek kebenarannya karena memang saya tidak seberniat itu.



Jujur, saya pribadi tidak mengetahui apa definisi formal “negara agama”. Tapi jika yang dimaksud dan dikhawatirkan adalah negara dengan landasan agama tertentu, maka dengan rendah hati, saya yang naif ini berpendapat bahwa Om telah keliru. Perlu saya luruskan dulu, kalau yang saya maksud dengan yang Om maksud (?) negara agama adalah bukan sekedar label. Misalnya jika sebuah negara tidak secara de yure menyatakan bahwa ia adalah negara islam, tapi secara de facto menetapkan syariat islam, maka negara tersebut adalah -tetap- negara islam. Maksud saya, kita tidak perlu berubah dulu menjadi ‘Negara Republik Islam Indonesia’ juga sih untuk menerapkan nilai-nilai islami dalam praktik kenegaraan. Jika yang dimaksud Om dengan 3 alasan pembubaran ormas tersebut yang salah satunya “Kegiatan yang dilaksanakan XXX terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.” (yang mau tahu isi UU tersebut bisa baca di sini ) adalah seperti yang saya jelaskan, maka saya tidak berseberangan dengan Om yang membubarkan ormas tersebut yang disebut-sebut membahayakan keutuhan NKRI dan bertentangan terkait asas, tujuan, dsb nya tersebab ormas tersebut memiliki ide khilafah yang kerap dituduh bersebrangan dengan dasar negara.


Nah tapi, berikutnya ada yang mengusik saya. Setelah saya mendengar keterangan dari salah satu ustad dari ormas tersebut, percayalah mereka hanya bermaksud untuk berdakwah (yaiya haha *aduh maaf, saya mulai tidak serius lagi, padahal kita sedang membahas hal krusial. Ehem uhuk. Oke kita kembali serius), aktivitasnya berlandaskan islam karena memang harakahnya berlandaskan islam itu tadi, bukan mengadopsi cara-cara keras dalam dakwahnya karena islam pun tidak memperkenankan dakwah dalam cara keras pun akan merontoki negara (semoga tidak ya. Aamiin). Jika kita bilang, dan kita tidak memandang secara kontekstual, maka “agama tidak perlu negara, Tuhan tidak butuh kamu” adalah benar. Tapi tunggu dulu. Well, Tuhan memang tidak butuh kita. Kita yang butuh Tuhan, semua theis setuju. Tak ada masalah.


Namun jika kalimat “agama tidak perlu negara. Tuhan tidak perlu kamu” adalah rasionalisasi untuk mengantitesiskan negara agama, maksud saya negara yang berlandaskan agama, maka kembali, dengan rendah hati, saya bilang logika kita mungkin keseleo. Ini sama saja dengan seseorang yang ketika ditanya “kenapa tidak makan?”, ia menjawab “tidak. makanan tidak butuh saya”. Dalam koridor logika sederhana yang benar, Kenapa A perlu eksis? karena entitas lain, misalnya B, perlu A. Bukan sebaliknya. Get my point? Kalau tidak, ya sudah tidak apa-apa saya memang sedang bicara serius dan berhubung saya ini riya' makanya jalan pikiran saya susah dimengerti.


Jika saya telaah lebih jauh, kalimat “agama tidak perlu negara” juga sebenarnya keliru. Negara dan agama tidak dihubungkan dalam relasi “keperluan” tentunya. Mungkin saya sudah membuat anda bingung. Tapi saya tidak akan menjabarkan lebih jauh, karena “agama” pun “negara” bisa menjadi sangat amat subjektif, kecuali anda dan saya punya definisi yang sama untuk keduanya. Jadi saya tidak akan buang-buang waktu untuk mendebatkan hal semacam itu.


Intinya, saya ingin katakan bahwa, sebagai seorang yang percaya agama maka saya juga percaya segala hal yang lahir dari agama. Nah, yang saya heran adalah, kenapa beberapa orang panaroid sekali dengan kata “agama”, lebih-lebih mendengar “syariat islam”. Bagian yang paling lucu adalah, beberapa yang paranoid justru adalah orang yang mengaku islam sendiri. Saya tidak mengerti kenapa orang-orang bisa sangat humoris seperti ini.


Saya paham, hal ini mungkin karena ketidakpahaman. Saya tidak bilang saya paling paham dalam beragama loh ya, tapi memangnya kenapa sih dengan syariat islam? Haha. Seolah-olah jika syariat islam ditegakkan, manusia-manusia Indonesia akan kehilangan hak azasinya yang hakiki, nonmuslim akan termarjinalkan, terjajah, dan kalau bisa jadi romusha, toleransi beragama hanyalah mitos. Ah, padahal siapa yang paling sempurna mencontohkan toleransi selain Muhammad bin Abdullah yang membawa risalah islam? Yang mau-maunya menyuapi-bahkan mengunyahkan makanan-seorang Yahudi yang langganan mencaci dan meludahinya? *Salam ‘alaik ya Rasulullah. Jadi wahai sekalian saudara-saudara seiman, islam TIDAK melulu “perang”. Justru teorinya gampang sekali: jangan campuradukkan urusan aqidah dan muamalah.


Nah jadi, apa yang salah dari negara Islam? Apa yang salah dengan syariat islam?


Well fine, saya sudah berpanjang lebar. Padahal mungkin yang saya tulis tidak penting-penting amat dan tidak menghasilkan apa-apa. Haha.


Terakhir, saya minta maaf kepada Om. Saya dan Anda hanyalah manusia yang tak luput dari alpa bukan, Om?


Salam dari saya,
yang bukan anggota ormas XXX, dan tapi saya punya KTP Indonesia
Peace ‘n g4ul, Om :)
continue reading Negara dan Agama

Janji pada Diri Sendiri

Mari buat perjanjian pada diri sendiri, isi janjinya:
"bagaimananpun di dalam sedang badai, di luar harus tetap tampak damai. Supaya orang lain ikut merasa damai. Daann janji, seberapapun di luar sedang badai –yang biasanya juga membuat di dalam badai-, di dalam harus selalu damai. Damai, damai, damai. Berdamai dengan diri sendiri supaya bahagia, kemudian membahagiakan."
continue reading Janji pada Diri Sendiri

Sabtu, 06 Mei 2017

Memetik Hikmah

Dalam salah satu teori kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner, dikenal kecerdasan intrapersonal. Yakni kemampuan memahami diri sendiri, menghargai, memahami perasaan, keterbatasan, kekuatan, dan motivasi diri sendiri. Dalam pengamatan saya, biasanya orang-orang yang memiliki kecerdasan seperti ini adalah orang-orang yang pandai mengambil hikmah dalam kehidupannya. Mereka yang selalu tahu menyembuhkan dirinya sendiri. Mungkin mereka bisa cepat berdamai dengan konflik batinnya. 


Ada sebuah kata bijak Arab yang menyebutkan, barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Meskipun saya kurang begitu paham apa maksud kalimat ini, tetapi saya secara pribadi mengaitkannya dengan kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan diri sendiri agar mengikuti suara-suara kebenaran dari dalam diri. 


Katanya, naluri itu tidak pernah bohong. Bahkan seorang pencuri pun tahu kalau ia salah. Seorang pemabuk pun tahu kalau kelakukannya tidak benar. Tetapi, mereka mengabaikan naluri-naluri yang ditiupkan Tuhan dari dalam diri mereka. Orang-orang yang tidak mengenal dirinya yang terdalam mungkin lebih mengikuti hawa nafsunya. Disadari atau tidak, Tuhan telah memasang alarm dalam tubuh kita, yang akan berbunyi ketika kita melakukan kesalahan. Kalau masih tersentuh oleh kesalahan itu, mungkin saja itu rahmat Tuhan yang membuka jalan agar kita mengubah jalan pikiran kita.


Dalam hidup ini, di setiap interaksi sosial kita dengan sesama manusia atau alam, selalu ada kesempatan untuk mengambil pelajaran untuk peningkatan kualitas diri sendiri ke depannya. Inilah sekolah kehidupan yang tidak mungkin didapatkan dalam ruang-ruang kelas. Tetapi, dalam kehidupan sosial yang kita hadapi. Masalah dan pengalaman hidup akan menuntun kita untuk belajar. Menelaahnya ke dalam diri sendiri dan mengambil pelajaran di dalamnya adalah hikmah. Karena selalu ada hikmah di setiap kejadian. Dan kita akan terus belajar dalam kehidupan ini. 

Saya selalu senang dan merasa beruntung tiap kali ada orang yang mempercayai telinga saya untuk mendengar cerita atau mengadu apapun kepada (walaupum banyaknya saya cuma angguk-angguk doang sih. Hmmm). Karena tidak selamanya pelajaran hidup itu harus kita sendiri yang menjalani kan? Bisa jadi lewat kejadian-kejadian yang dialami oleh orang-orang disekeliling kita.

Terlebih lagi, saya bahagia jika bisa setidaknya 'menemani' orang-orang dalam masa-masa sulitnya. Walaupun hanya dengan kalimat receh saya yang terdengar klise seperti "Semangattttt", "Yang sabar", dll. Saya hanya ingin hidup saya bermanfaat dan bisa menolong orang (walaupun banyaknya sih ngrecokin hidup orang lain saya ini) hahaha.
Satu hal, karena saya sadar bahwa support system adalah elemen yang penting ketika saya down (ini saya pribadi, mungkin yang lain juga butuh treatment yang sama dengan saya), saya dengan tangan terbuka akan mendengarkan cerita teman-teman dan membantu sebisanya. Karena kadang, melihat masih ada orang disamping kita saat kita berada dalam situasi sulit, sudah bisa meredakan 20% kekhawatiran kita (masa? Riset darimana? Ehe!). Semangat semuanya! 

Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az Zumar: 9)
continue reading Memetik Hikmah

Merantau

Di sini dan nun jauh di sana banyak orang yang sedang mengukir kisahnya masing-masing. Untuk menjadi lebih berarti.


Seringkali kita bahagia ketika berhasil mewujudkan satu persatu mimpi kita. Kita datang dari sebuah desa atau kota yang kecil. Berjuang dengan cara masing-masing hingga berhasil menghirup udara di sebuah kota besar di lain pulau, atau kota bermusim lebih yang dulunya hanya kita pandangi dalam acara televisi. Tak jarang pula kita memperbincangkan nama negara dan kota-kota itu dalam obrolan ringan bersama teman saat kelas kosong. Kau menceritakan kota yang sangat ingin kau kunjungi. Terinspirasi dari buku dan film favoritmu. Atau karena klub bola favoritmu berada di negara itu. Ada banyak alasan lain bagaimana keinginan menggapai mimpi muncul dalam hatimu.


Katanya, seseorang yang bepergian, mengunjungi beberapa tempat di luar tanah kelahirannya ini dan seseorang yang tengah mengabdikan dirinya dalam pencarian ilmu di sebuah tempat yang asing akan menjadi lebih bijak dari manusia lain pada umumnya. Tempat-tempat yang tak biasa akan mengajarkan seseorang menjadi lebih berani dan tangguh. Katanya, mereka yang menuntut ilmu di kota besar atau di luar negeri selalu dipandang lebih tinggi daripada mereka yang di kota kecil atau dalam negeri. Padahal mungkin saja banyak orang yang hanya bepergian tetapi tidak menjadi lebih berarti. Mereka hanya datang, memotret tempat-tempat indah, memuaskan hatinya dan menikmati keadaan yang tak abadi itu. Lalu mereka pulang dengan kehampaan dalam hati. Semua cerita hanya terangkai di mulut, tetapi tidak menajamkan akal dan mengembangkan jiwa. 


Di sebuah desa atau kota kecil ada seseorang yang mungkin belum pernah ke luar negeri atau bahkan tidak mengenyam pendidikan tinggi, tetapi perubahan yang mereka ciptakan telah melangkah jauh dan melangit. Mencapai harapan-harapan tinggi orang-orang di sekitarnya. Mereka mungkin adalah orang-orang yang dengan kesederhanaannya telah menggugah banyak jiwa. Menjadikan jiwa-jiwa itu lebih mulia di mata Tuhan. Mereka lebih bersyukur dan bahagia. Mereka lebih paham akan makna kehidupan. Mereka yang selalu bisa menciptakan pelangi, meskipun hujan belum berhenti. 


Mereka lebih pandai menjaga harapan. Bahwa keindahan hidup bukan hanya tentang seberapa jauh langkah kakimu melintasi dunia. Tetapi, sedalam apa tujuan hidup bisa kau pahami. Mereka yang selalu paham bahwa membumikan kebaikan jauh lebih berarti. Semestinya kita yang telah jauh melangkah, lebih memaknai kebijaksanaan hidup. Semakin kaki melangkah jauh, semakin dalam pula hati tertunduk. Adakah kau melihat pelangi hari ini?


Semoga, berjaraknya kita dari rumah, tidak akan pernah sia-sia.

continue reading Merantau

Kamis, 04 Mei 2017

Koran

Tentu saja saya tersulut. Sebagai satu-satunya orang yang percaya hingga ke ubun-ubun bahwa saya keren, pastilah saya ingin membuktikan bahwa kepercayaan saya benar. Lebih kurang begini kata murabbi saya waktu itu (semoga Allah merahmatinya), “muslimah itu harus gaul,, jangan ngaku keren kalau ngga up to date sama berita-berita terkini, blablabla, harus sering baca koran, blablabla”.

Terus terang, saya ini jarang bersinggungan dengan koran, kecuali saat makan di warteg dan itu bungkus luarnya adalah koran. Tapi saya masih percaya ini bukan keinginan saya. Ini sindrom yang tak bisa saya kendalikan *alesan*. Jika anda melihat saya sedang membaca koran pada pukul 10.00. Maka, pada pukul 10.10 anda akan melihat saya tertidur pulas tanpa dosa. Dan entah kenapa, saya sepertinya akan merasa sangat bersalah jika membaca koran. Karena saya memegang prinsip: jika keinginan membaca itu datang, yang mana itu sangat langka, saya harus memanfaatkannya untuk membaca buku-buku yang menarik saja.

Jadi pada akhirnya, pada suatu Jum’at yang damai, saya mengambil keputusan yang sulit: Ya! saya akan membeli koran (dan membacanya). Waktu itu hari jum'at libur karena tanggal merah, dan saya ingin sholat di suatu masjid tertentu untuk mencari ketenangan batin, akhirnya kira-kira jam 11-an saya sampai di masjid tersebut. Karena masih jam 11an, akhirnya saya makan di sekitaran masjid itu sekaligus merealisasikan niat mulia membeli koran.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jujur saja, saya tidak tau “ulam” itu apa dan apa relasinya dengan pucuk dicinta. Tapi saya yakin sedang memakai peribahasa yang tepat. Ketika sedang makan, ada bapak-bapak penjaja koran yang mampir di food court tempat saya sedang makan. Tanpa berpikir panjang, saya panggil si bapak-bapak sambil tidak lupa menjentikkan jari seperti menyetop angkot. Saya harus memanggilnya dua kali, karena si bapak tampak ragu apakah benar ia yang saya panggil. Bapak itu kemudian mendatangi saya dengan wajah masih bingung yang membuat saya juga bingung dan sedikit berbesar kepala, saya merasa seakan-akan si Bapak itu tidak membayangkan dalam mimpi sekalipun seorang wanita anggun seperti saya akan membeli korannya. Ah. saya jadi malu.

Saya pun memulai transaksi.

“berapaan pak korannya?”

“seribu neng”, jawab si Bapak

“oh, seribu??” kata saya dengan nada seolah-olah akan memborong semua koran. Pongah sekali. Tapi bukan apa-apa, saya agak terkejut. Waktu itu saya menaksir koran berada di kisaran harga lima sampai sepuluh ribu. huks. Saya pikir koran harga seribu itu cuma yang di bis bis antar kota saja.

Akhirnya transaksi jual beli terjadi. Seketika kepercayaan diri saya meningkat beberapa derajat. Bagaimana tidak, di genggaman saya sudah ada koran. Ya. Koran. Sakti sekali, dia akan memberi tahu saya kabar-kabar paling anyar di kehidupan ini.

Tanpa berbasa basi, dengan gaya-pada-umumnya orang membaca koran yang sering saya lihat di televisi, saya kibaskan, buka lebar, dan guncang-guncang pelan agar rapi (?) koran itu dengan style paling elegan yang bisa saya lakukan. Gagah sekali. Jujur saja, membaca koran di depan umum cukup membuat saya deg-degan.

Dan, taraaa!!! Hanya selang beberapa detik setelah adegan andalan saya (kibas, buka lebar, dan guncang-guncang), saya langsung kebingungan, dan mendumel bodoh dalam hati sambil membalik-balik halaman koran “loh? ini gimana cara bacanya? halaman depannya mana ya? ini koran judulnya apa sih? kok tipis banget ya?”. Saya ulang membolak balik halaman koran dengan hiperbolik, seperti pengangguran yang bernafsu mencari lowongan kerja. Saya benar-benar kebingungan. Untuk memudahkan pemula, harusnya koran tidak dicetak semisterius ini. Saya tidak sadar kalau saya sudah terlalu lebay, mengakibatkan orang-orang di sekeliling yang terusik sudah melirik-lirik ke arah saya.

Seperti di sambar gledek di siang bolong melompong, saya menyadari sesuatu. Rasanya waktu berhenti sepersekian detik. Hening. Dan kemudian sebuah suara bergema dalam otak saya “HELLOO?! Sekarang hari jumat, sist!!! J-U-M-‘-A-T!!! orang-orang bentar lagi SHOLAT JUM’AT! Dan koran itu, iya. Koran itu, oh please, itu buat ALAS SHOLAT JUM’AT!!! Ya tentu aja halamannya ngaco” Saya hancur berkeping-keping. Merasa dipecundangi oleh si Bapak-bapak penjual koran yang tadi berwajah kebingungan. Kepercayaan diri saya yang tadi sudah meningkat beberapa derajat kini jatuh terjerembab dengan dramatis.

Lalu saya lipat koran itu dalam gerakan slow motion sambil melirik ke kiri dan ke kanan seperti akan mencuri sandal. Saat itu, saya malu sekali, saya benar-benar berharap tidak menjumpai orang yang saya kenal. Maklum, image saya masih suci putih bersih seperti bayi yang baru lahir. Saya masih tidak rela dipergoki dalam kejadian-kejadian memalukan. Saya beringsut keluar dari food court dengan langkah kaku, pelan-pelan takut limbung, diiringi musik latar pengantar pengantin menuju altar: Here’s come the Bride. Dengan suara violin tercekik. Saya merasa mata-mata yang tadi melirik ke arah saya masih mengikuti gerakan-gerakan aneh yang spontan saya lakukan.

Saya mempercepat langkah. Meninggalkan si koran nista di bangku-bangku depan food court. Berjalan menjauh sambil mengguncang-guncang kepala seakan-akan memori tertentu (yang memalukan) bisa hilang begitu saja dengan mengguncang-guncang kepala. Jelas sia-sia. Tapi tetap saja selalu saya lakukan.

Baiklah.

Hikmah yang saya petik adalah pertama: sering kali kecenderungan terjadinya hal-hal konyol alamiah yang memalukan berbanding lurus dengan keinginan membuktikan kekerenan. Kedua: kesotoyan kadang memilukan. Hidup ada kalanya pahit, jenderal!

Beberapa saat berlalu, saat saya sudah hampir menerima kenyataan pahit ini, pikiran saya seolah ingin menenangkan saya dengan berkata "Hal-hal seperti itu lazim terjadi di zaman sekarang(?), saya tidak perlu lebay menanggapinya." Hoho. Saya sangat dewasa. Selesai.

continue reading Koran

Perempuan (lagi)

Suatu saat, dia bertanya pada saya: "Bagaimana caranya menjadi perempuan? Aku ingin jadi perempuan"



Yassalam... mungkin dia perutnya sedang kembung karena kebanyakan minum air putih anget engga pakai es. Makanya kepalanya mungkin ikutan kembung, jadi kehilangan setengah kesadarannya.

Pada saat itu, saya membaca pesannya dengan mata kriyep-kriyep. Ini indikasi bahwa saya merasa tertohok. Bagaimana tidak? dia bertanya tentang ke-perempuan-an pada saya yang sebenarnya saya ini adalah jelmaan dari pria *lhoh!!!!* *Tidakkkkkk* *mengais-ngais tanah*


Saya jawab, "Emm"...

Seratus abad kemudian, masih tidak ada respon darinya.... Waduh, saya mulai khawatir... sepertinya dia serius. Serius pingsan. Saya takut karena saya tidak menjawab, dia akan frustasi, dan overdosis kebanyakan makan kue cubit. Ini sangat memilukan.

Saya mengalah dan akhirnya menjawab, "Sesungguhnya, akupun masih belajar, mari kita belajar sama-sama!!! Yayyyy"

Masih tidak ada tanggapan...

Hufttt.. baiklah. Saya mengalah lagi... kali ini saya tidak akan bermain api atau akan mendapati satu nyawa menjadi korban kue cubit.
"Bahwa kita (perempuan) alangkah baiknya mempelajari kisah dari empat wanita yang djamin dengan surga. Ialah Maryam binti Imran, Khadijah binti Khawailid, Fatimah Az Zahra binti Rasulullah, dan Asiyah istri Fir'aun. Bahwa sebenarnya kita (perempuan) sudah diberikan kisah dari empat sosok ini untuk dijadikan pelajaran. Khususnya point tentang mengapa mereka bisa dijamin surga oleh Allah, kemudian kita bisa memilih mau 'menjadi' siapa untuk diterapkan di zaman modern ini. (daaannnn seterusnya. Cukup sampai ini saja yang di post disini, karena yang seterusnya itu adalah buah pemikiran saya yang sotoy dan banyak mudharatnya. Jadi, mari belajar jadi perempuan dari mereka.)"



Semalam, listrik di tempat si dia yang saya ceritakan sedari tadi sedang mati, agaknya dia butuh menggerakkan tangannya. Lalu dia melakukan game "you on my mind" wakakaka apaaa yaa saya lupa lah nama gamenya, kurang lebihnya begitu. Dan taraaaa... saya dibuatkan ini oleh dia dalam hitungan detik(?)... She was talented, isn't it? *setidaknya saya nggak kelihatan kurus krempeng kering, makanya dia saya puji-puji*


continue reading Perempuan (lagi)

Selasa, 02 Mei 2017

Istanbul

Saya sedang bosan dengan wallpaper komputer saya di kantor. Gambar mikroskop dengan tulisan "Design is where science and art break even -Robin Matthew-" yassalammm saya juga tidak habis pikir kenapa saya memasang wallpaper macam begini setahun ini. Pantas saja lama-lama kenampakan saya macem bakteri, tiap hari ketemunya mikroskop sama Om Matthew. 


Istanbul, yang dulu bernama Islambol, sebelumnya Constantinople dan sebelumnya lagi Byzantium. Kota yang menjadi obsesi saya. 


How can i not? Istanbul adalah bukan sekedar kota, melainkan kota penting dalam kurun waktu lebih dari 2600 tahun. Menjadi tempat silih berganti jaya dan jatuhnya peradaban-perabadan besar di muka bumi : Yunani, Romawi, dan Islam. Istanbul adalah rahim sejarah-sejarah penting, bahkan ia adalah sejarah itu sendiri. Ia adalah satu-satunya kota di dunia yang terbentang di dua benua: Asia dan Eropa. Tempat bertemunya Barat dan Timur. Habitat manusia-manusia rupawan peranakan Timur Tengah dan Eropa Timur *Mon? Please -_- ehe*.

Tidak berlebihan rasanya Napoleon Bonaparte pernah berujar, "If the Earth was a single state, Istanbul would be its capital". Istanbul benar-benar terbuat dari kebanggaan.

Hanya ada beberapa hal di dunia ini yang membuat saya tergila-gila dan merasa gila(?). Salah satunya Istanbul.


Benang merah dari cerita ini adalah wallpaper komputer tadi hehe. Tersebab saya akhirnya ganti wallpaper ini



continue reading Istanbul

Senin, 01 Mei 2017

(Meng)Ilmu

Ilmu, suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Akal yang dikaruniakan Allah idealnya diisi dengan ilmu, terutama ilmu untuk meningkatkan kapasitas keimanan. 


Dalam perjalanannya, menuntut ilmu tidaklah mudah. Tidak jarang orang yang berputus asa di tengah perjalanannya menuntut ilmu. 

Sekiranya, mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri, "apa niatmu mencari ilmu, sekolah, sekolah lagi, sekolah lagi lagi, sekolah lagi lagi lagi?"

Nenek saya dulu pernah menasehati saya, ketika SD dalam suatu catur wulan rangking saya turun dari biasanya. Nenek saya bilang, "Jadilah orang tawadhu' dalam belajar, jika Allah sudah cinta maka mudah sekali Allah gerakkan hati orang untuk cinta kepadanya. Ilmu tak akan mau mengalir kepada orang yang tak tawadhu', laksana air tak bisa mengalir ke arah tempat yang lebih tinggi." (versi bahasa jawa ya tapi hehe). 


Semalam, saat tadabbur Al-Qur'an time ala-ala saya, saya menemukan kalimat yang begitu indah rasanya untuk saya pribadi saat ini. QS 12: 76, “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmin ‘Aliim.”, “Dan di atas tiap-tiap pemilik ilmu, ada yang jauh lebih dalam ilmunya.”. Sejalan dengan apa yang pernah dinasehatkan oleh almarhumah nenek saya bertahun-tahun lalu. Ada langit di atas langit, ada ilmu yang harus terus dicari dan digali. Tawadhu' dalam mengilmu... 



Saya pernah membaca mengenai biografi Imam Syafi'i (bukunya dapat pinjam di perpustakaan kota. (always... nggak modal) mihihik). 

Kisahnya terjadi pada suatu musim haji. Saat itu berhimpunlah 3 ‘ulama ahlul hadits; Ishaq ibn Rahawayh, Ahmad, Yahya ibn Ma’in. 

Mereka hendak menemui Imam ‘Abdurrazaq, penulis Kitab Al Mushannaf. Tapi di pintu Masjidil Haram, tampak seorang pemuda berwibawa. Dia duduk di kursi indah & dikelilingi oleh begitu banyak orang yang bergantian menanyakan berbagai macam persoalan hadits & fiqh. Ketiga ‘alim itu bertanya, “Siapakah pemuda ini?” Seseorang menjawab, “Faqih-nya Quraisy dari Bani Muthalib, Muhammad ibn Idris.” 

Selama ini ketiganya baru mendengar nama Asy Syafi’i yang masyhur; baru kali ini mereka melihatnya. Sungguh masih muda & tawadhu’. Yahya ibn Ma’in; pakar dalam Jarh wat Ta’dil (ilmu kritik kelayakan Rawi hadits), segera menyuruh Imam Ahmad menguji Asy Syafi’i. 

“Coba tanyakan padanya hadits Nabi SAW: ‘Biarkan burung dalam sarangnya!”, ujar Yahya. {HR Abu Dawud 2835, Ahmad 6/381-422. Al Humaidi 345, Ath Thayalisi 1634, At Tirmidzi 1516, An Nasa’i 7/164, Ibnu Majah 3162}.
Ahmad menanyai Yahya: Apa tafsirnya? 

Kata Yahya, “Sefahamku, biarkan burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” Imam Ahmad tersenyum, sebab itu pemaknaan beliau. 

shaq ibn Rahawayh menyahut, “Baiklah, aku yang akan menanyainya!” Maka dia memanggil Asy Syafi’i, “Wahai pemuda Bani Muthalib!” 

“Ya wahai ‘Alim-nya orang ‘Iraq!”, sahut Asy Syafi’i. Lalu Ishaq menanyakan tafsir hadits itu. Yang ditanya tersenyum tawadhu’. 

“Aku mendengar bahwa sahabat kalian Ahmad ibn Hanbal menafsirnya sebagai; biarkan burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” 

“Adapun aku”, lanjut Asy Syafi’i, “Mendapatkan hadits itu dari Sufyan ibn ‘Uyainah. Ketika itu, aku telah menanyakan tafsirnya.” 

Tetapi Ibn ‘Uyainah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa maksud hadits ini.” Aku berkata, “Rahimakallaah Ya Aba Muhammad.” 

Seketika Ibn ‘Uyainah menggigil, berkeringat dingin, & beristighfar berulang kali sebab takut meriwayatkan hadits tak terfahami. “Maka”, sambung Asy Syafi’i, “Ibn ‘Uyainah menggamit tanganku & mendudukkanku di kursinya. Ketika itu, usiaku baru awal belasan.”. Ibn ‘Uyainah berkata; “Engkau seorang Quraisy hingga lebih memahami Rasulullah serta kebiasaan bangsa Arab. Ajari kami tafsirnya!” 

Maka Asy Syafi’i saat itu dengan penuh ta’zhim membahas maknanya. Dia berkata; “Dahulu, orang Jahiliah jika hendak bepergian. Mereka menangkap burung, lalu melepaskannya lagi dengan mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, ia dianggap pertanda baik. Mereka akan melangsungkan perjalanannya. Tapi jika si burung terbang ke kiri atau ke belakang, ia dianggap pertanda buruk. Sehingga mereka mengurungkan niat safarnya. Ketika Rasulullah melihat hal ini [tathayyur] masih mentradisi, maka sabdanya: Biarkanlah burung di dalam sarangnya. Berangkatlah pada pagi hari dengan menyebut asma Allah.”, demikian Asy Syafi’i bertutur. 

Para ‘ulama yang hadir berdecak takjub akan ilmu Asy Syafi’i. Ishaq ibn Rahawayh tersenyum pada 2 rekannya & berkata; “Demi Allah. Andai kita datang berjalan kaki dari ‘Iraq hanya tuk mendengar makna hadits ini saja, cukuplah itu bagi kita!” Ahmad mengangguk. 

Lalu bergumamlah Ahmad dengan menukil QS 12: 76 tadi yang tidak sengaja saya temukan semalam saat tilawah, “Wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘Alim.” {Manaqib Asy Syafi’i, Al Baihaqi, 1/308}. 

Peristiwa ini adalah awal perkenalan Imam Asy Syafi’i dengan Imam Ahmad nan membuat mereka bersahabat & saling berguru seterusnya. Saat murid-murid Asy Syafi’i keberatan mengapa beliau mengunjungi Ahmad yang mereka anggap muridnya, Asy Syafi’i melantun syair. “Semua kemuliaan ada pada Ahmad. Jika dia mengunjungiku, itu kemurahan hatinya. Jika aku mengunjunginya, itu sebab keutamaannya.” 

Suatu hari Yahya ibn Ma’in menegur Ahmad yang dianggapnya merendahkan ilmu hadits nan mulia dengan menuntun kendaraan Asy Syafi’i. “Katakan pada Yahya”, jawab Ahmad, “Aku berada dalam kemuliaan, yang jika dia inginkan keluhuran serupa, marilah ke sini bersua. Akan kutuntun keledai Asy Syafi’i di sebelah kiri, dan silakan dia menuntunnya dari sisi yang kanan. Itulah jalan kemuliaan.” 

“Selama 40 tahun aku berdoa”, ujar Ahmad kelak, “Tak pernah alpa kusebut nama Asy Syafi’i bersama semua pinta.” Ditanyakan kenapa? “Asy Syafi’i adalah mentari bagi siang dan obat bagi penyakit, maka siapakah yang tak menghajatkan keduanya?” Ahmad pun bersaksi: “Di tiap 100 tahun Allah bangkitkan seorang mujaddid untuk memelihara agamaNya. Di abad lalu dialah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, dan di abad ini, dialah Asy Syafi’i.” Adapun Asy Syafi’i selalu berkata pada Ahmad, “Kau lebih tahu tentang hadits, maka bawakan padaku yang shahih dari Nabi SAW, baik dari ‘Iraq maupun Syam.” Adapun hadits Hijjaz, Yaman, & Mesir Asy Syafi’i lebih tahu. 

“Dulu fiqh terkunci pada ahlinya”, ujar Ahmad, “Lalu Asy Syafi’i membukanya hingga kami tahu Bayan, ‘Am & Khas, Nasikh & Mansukh.” 

“Kutinggalkan Baghdad”, ujar Asy Syafi’i, “Dan tak seorangpun yang lebih hafizh, ‘alim, faqih, zahid, & wara’ daripada Ahmad.” 


MasyaAllah... demikian secuil kisah orang-orang penuh ilmu, semoga terteladani oleh kita jalan mulia nan mereka tempuh dengan perjuangan. 

Jalan ilmu adalah jalan kerendahan hati. Seperti firmanNya ternukil, “Di atas tiap-tiap pemilik ilmu, ada yang jauh lebih berilmu.”:) 

Jadi semoga kita mengerti mengapa dan untuk tujuan apa kita mengilmu. 


MasyaAllah... pernahkah kamu merasakan niat menuntut ilmu yang hampir melenceng? Haha saya pernah *tampar*. Astagfirullah... 

Sulitttt sekali mempertahankan prinsip dan mengajarkan hati ini untuk meluruskan niat mencari ilmu hanya karena Allah, untuk nantinya dipersembahkan hanya di jalan Allah. Untung Allah begitu baik kepada saya, walaupun saya ini masih merangkak-rangkak mendekati Allah, seringnya lalai, tapi Ia tetap mengirimkan dan mengelilingi saya dengan orang-orang yang benar-benar mencintai ilmu dan mengilmu hanya untukNya. Dari merekalah saya banyak memahami dan belajar hakikat mengilmu dan mencintai ilmu yang sesungguhnya. 


Kebanyakan dari kita saat ini (diakui atau tidak), 'tuntutlah ilmu sebisanya. Andaikata ada kesempatan ke luar negri, lakukan jika itu perlu. Kurang lebih arahnya, karir collective. Tuntut ilmu sebisanya biar karir bagus, dapat kerja. Dan banyak arahan lain (misal: kemampuan taktis)'. 


Then, saya membaca (masih pada kisah Imam Syafi'i) bahwa beliau (dan beberapa ulama' pada masanya) bekerja untuk sekedar bisa melanjutkan menuntut ilmu. Ilmu adalah tujuan, sesiapa yang paling banyak ilmunya maka ia akan lebih banyak memberi manfaat. Sementara kita? Terkadang motivasi belajar pun masih terkekang untuk tujuan pekerjaan atau jabatan yang lebih baik. 


Jadi? Bekerja untuk belajar, belajar untuk bekerja, bekerja lalu belajar untuk bekerja atau belajar untuk bekerja biar bisa belajar? *bingunging ya? Emang* 

Mana yang benar? Wallahu’alam.... hehe. Tapi yang pasti salah adalah ketika sudah puas dengan ilmu yang ada dan enggan belajar lagi. Apalagi berhenti belajar agama, padahal itu yang menjaga.
Saya bersyukur, setidaknya tradisi keilmuan tidak boleh extinct. :) 



Selamat belajar !!! Karena sepanjang hidup kita belajar. 

-Selamat Hari Pendidikan Nasional-

Yayyyyy. Semoga kita makin 'cerdas' dan 'tangkas' untuk mengilmu :)
continue reading (Meng)Ilmu

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact