"Keputusan ini diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap umat Islam. Namun semata-mata dalam menjaga dan merawat keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945", begitulah kutipan pidato seseorang yang saya tidak kenal atau pernah berjabat tangan hanya tahu nama saja, yang maka untuk keperluan saya, sebut saja namanya Om. Saya tidak tahu apakah redaksi kalimat Om memang seperti itu atau tidak, saya hanya mengutip dari media, karena saya tidak melihat pidatonya secara langsung. Saya juga tidak ingin mengecek kebenarannya karena memang saya tidak seberniat itu.
Jujur, saya pribadi tidak mengetahui apa definisi formal “negara agama”. Tapi jika yang dimaksud dan dikhawatirkan adalah negara dengan landasan agama tertentu, maka dengan rendah hati, saya yang naif ini berpendapat bahwa Om telah keliru. Perlu saya luruskan dulu, kalau yang saya maksud dengan yang Om maksud (?) negara agama adalah bukan sekedar label. Misalnya jika sebuah negara tidak secara de yure menyatakan bahwa ia adalah negara islam, tapi secara de facto menetapkan syariat islam, maka negara tersebut adalah -tetap- negara islam. Maksud saya, kita tidak perlu berubah dulu menjadi ‘Negara Republik Islam Indonesia’ juga sih untuk menerapkan nilai-nilai islami dalam praktik kenegaraan. Jika yang dimaksud Om dengan 3 alasan pembubaran ormas tersebut yang salah satunya “Kegiatan yang dilaksanakan XXX terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.” (yang mau tahu isi UU tersebut bisa baca di sini ) adalah seperti yang saya jelaskan, maka saya tidak berseberangan dengan Om yang membubarkan ormas tersebut yang disebut-sebut membahayakan keutuhan NKRI dan bertentangan terkait asas, tujuan, dsb nya tersebab ormas tersebut memiliki ide khilafah yang kerap dituduh bersebrangan dengan dasar negara.
Nah tapi, berikutnya ada yang mengusik saya. Setelah saya mendengar keterangan dari salah satu ustad dari ormas tersebut, percayalah mereka hanya bermaksud untuk berdakwah (yaiya haha *aduh maaf, saya mulai tidak serius lagi, padahal kita sedang membahas hal krusial. Ehem uhuk. Oke kita kembali serius), aktivitasnya berlandaskan islam karena memang harakahnya berlandaskan islam itu tadi, bukan mengadopsi cara-cara keras dalam dakwahnya karena islam pun tidak memperkenankan dakwah dalam cara keras pun akan merontoki negara (semoga tidak ya. Aamiin). Jika kita bilang, dan kita tidak memandang secara kontekstual, maka “agama tidak perlu negara, Tuhan tidak butuh kamu” adalah benar. Tapi tunggu dulu. Well, Tuhan memang tidak butuh kita. Kita yang butuh Tuhan, semua theis setuju. Tak ada masalah.
Namun jika kalimat “agama tidak perlu negara. Tuhan tidak perlu kamu” adalah rasionalisasi untuk mengantitesiskan negara agama, maksud saya negara yang berlandaskan agama, maka kembali, dengan rendah hati, saya bilang logika kita mungkin keseleo. Ini sama saja dengan seseorang yang ketika ditanya “kenapa tidak makan?”, ia menjawab “tidak. makanan tidak butuh saya”. Dalam koridor logika sederhana yang benar, Kenapa A perlu eksis? karena entitas lain, misalnya B, perlu A. Bukan sebaliknya. Get my point? Kalau tidak, ya sudah tidak apa-apa saya memang sedang bicara serius dan berhubung saya ini riya' makanya jalan pikiran saya susah dimengerti.
Jika saya telaah lebih jauh, kalimat “agama tidak perlu negara” juga sebenarnya keliru. Negara dan agama tidak dihubungkan dalam relasi “keperluan” tentunya. Mungkin saya sudah membuat anda bingung. Tapi saya tidak akan menjabarkan lebih jauh, karena “agama” pun “negara” bisa menjadi sangat amat subjektif, kecuali anda dan saya punya definisi yang sama untuk keduanya. Jadi saya tidak akan buang-buang waktu untuk mendebatkan hal semacam itu.
Intinya, saya ingin katakan bahwa, sebagai seorang yang percaya agama maka saya juga percaya segala hal yang lahir dari agama. Nah, yang saya heran adalah, kenapa beberapa orang panaroid sekali dengan kata “agama”, lebih-lebih mendengar “syariat islam”. Bagian yang paling lucu adalah, beberapa yang paranoid justru adalah orang yang mengaku islam sendiri. Saya tidak mengerti kenapa orang-orang bisa sangat humoris seperti ini.
Saya paham, hal ini mungkin karena ketidakpahaman. Saya tidak bilang saya paling paham dalam beragama loh ya, tapi memangnya kenapa sih dengan syariat islam? Haha. Seolah-olah jika syariat islam ditegakkan, manusia-manusia Indonesia akan kehilangan hak azasinya yang hakiki, nonmuslim akan termarjinalkan, terjajah, dan kalau bisa jadi romusha, toleransi beragama hanyalah mitos. Ah, padahal siapa yang paling sempurna mencontohkan toleransi selain Muhammad bin Abdullah yang membawa risalah islam? Yang mau-maunya menyuapi-bahkan mengunyahkan makanan-seorang Yahudi yang langganan mencaci dan meludahinya? *Salam ‘alaik ya Rasulullah. Jadi wahai sekalian saudara-saudara seiman, islam TIDAK melulu “perang”. Justru teorinya gampang sekali: jangan campuradukkan urusan aqidah dan muamalah.
Nah jadi, apa yang salah dari negara Islam? Apa yang salah dengan syariat islam?
Well fine, saya sudah berpanjang lebar. Padahal mungkin yang saya tulis tidak penting-penting amat dan tidak menghasilkan apa-apa. Haha.
Terakhir, saya minta maaf kepada Om. Saya dan Anda hanyalah manusia yang tak luput dari alpa bukan, Om?
Salam dari saya,
yang bukan anggota ormas XXX, dan tapi saya punya KTP Indonesia
Peace ‘n g4ul, Om :)
yang bukan anggota ormas XXX, dan tapi saya punya KTP Indonesia
Peace ‘n g4ul, Om :)
0 komentar:
Posting Komentar