Senin, 01 Mei 2017

(Meng)Ilmu

Ilmu, suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Akal yang dikaruniakan Allah idealnya diisi dengan ilmu, terutama ilmu untuk meningkatkan kapasitas keimanan. 


Dalam perjalanannya, menuntut ilmu tidaklah mudah. Tidak jarang orang yang berputus asa di tengah perjalanannya menuntut ilmu. 

Sekiranya, mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri, "apa niatmu mencari ilmu, sekolah, sekolah lagi, sekolah lagi lagi, sekolah lagi lagi lagi?"

Nenek saya dulu pernah menasehati saya, ketika SD dalam suatu catur wulan rangking saya turun dari biasanya. Nenek saya bilang, "Jadilah orang tawadhu' dalam belajar, jika Allah sudah cinta maka mudah sekali Allah gerakkan hati orang untuk cinta kepadanya. Ilmu tak akan mau mengalir kepada orang yang tak tawadhu', laksana air tak bisa mengalir ke arah tempat yang lebih tinggi." (versi bahasa jawa ya tapi hehe). 


Semalam, saat tadabbur Al-Qur'an time ala-ala saya, saya menemukan kalimat yang begitu indah rasanya untuk saya pribadi saat ini. QS 12: 76, “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmin ‘Aliim.”, “Dan di atas tiap-tiap pemilik ilmu, ada yang jauh lebih dalam ilmunya.”. Sejalan dengan apa yang pernah dinasehatkan oleh almarhumah nenek saya bertahun-tahun lalu. Ada langit di atas langit, ada ilmu yang harus terus dicari dan digali. Tawadhu' dalam mengilmu... 



Saya pernah membaca mengenai biografi Imam Syafi'i (bukunya dapat pinjam di perpustakaan kota. (always... nggak modal) mihihik). 

Kisahnya terjadi pada suatu musim haji. Saat itu berhimpunlah 3 ‘ulama ahlul hadits; Ishaq ibn Rahawayh, Ahmad, Yahya ibn Ma’in. 

Mereka hendak menemui Imam ‘Abdurrazaq, penulis Kitab Al Mushannaf. Tapi di pintu Masjidil Haram, tampak seorang pemuda berwibawa. Dia duduk di kursi indah & dikelilingi oleh begitu banyak orang yang bergantian menanyakan berbagai macam persoalan hadits & fiqh. Ketiga ‘alim itu bertanya, “Siapakah pemuda ini?” Seseorang menjawab, “Faqih-nya Quraisy dari Bani Muthalib, Muhammad ibn Idris.” 

Selama ini ketiganya baru mendengar nama Asy Syafi’i yang masyhur; baru kali ini mereka melihatnya. Sungguh masih muda & tawadhu’. Yahya ibn Ma’in; pakar dalam Jarh wat Ta’dil (ilmu kritik kelayakan Rawi hadits), segera menyuruh Imam Ahmad menguji Asy Syafi’i. 

“Coba tanyakan padanya hadits Nabi SAW: ‘Biarkan burung dalam sarangnya!”, ujar Yahya. {HR Abu Dawud 2835, Ahmad 6/381-422. Al Humaidi 345, Ath Thayalisi 1634, At Tirmidzi 1516, An Nasa’i 7/164, Ibnu Majah 3162}.
Ahmad menanyai Yahya: Apa tafsirnya? 

Kata Yahya, “Sefahamku, biarkan burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” Imam Ahmad tersenyum, sebab itu pemaknaan beliau. 

shaq ibn Rahawayh menyahut, “Baiklah, aku yang akan menanyainya!” Maka dia memanggil Asy Syafi’i, “Wahai pemuda Bani Muthalib!” 

“Ya wahai ‘Alim-nya orang ‘Iraq!”, sahut Asy Syafi’i. Lalu Ishaq menanyakan tafsir hadits itu. Yang ditanya tersenyum tawadhu’. 

“Aku mendengar bahwa sahabat kalian Ahmad ibn Hanbal menafsirnya sebagai; biarkan burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” 

“Adapun aku”, lanjut Asy Syafi’i, “Mendapatkan hadits itu dari Sufyan ibn ‘Uyainah. Ketika itu, aku telah menanyakan tafsirnya.” 

Tetapi Ibn ‘Uyainah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa maksud hadits ini.” Aku berkata, “Rahimakallaah Ya Aba Muhammad.” 

Seketika Ibn ‘Uyainah menggigil, berkeringat dingin, & beristighfar berulang kali sebab takut meriwayatkan hadits tak terfahami. “Maka”, sambung Asy Syafi’i, “Ibn ‘Uyainah menggamit tanganku & mendudukkanku di kursinya. Ketika itu, usiaku baru awal belasan.”. Ibn ‘Uyainah berkata; “Engkau seorang Quraisy hingga lebih memahami Rasulullah serta kebiasaan bangsa Arab. Ajari kami tafsirnya!” 

Maka Asy Syafi’i saat itu dengan penuh ta’zhim membahas maknanya. Dia berkata; “Dahulu, orang Jahiliah jika hendak bepergian. Mereka menangkap burung, lalu melepaskannya lagi dengan mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, ia dianggap pertanda baik. Mereka akan melangsungkan perjalanannya. Tapi jika si burung terbang ke kiri atau ke belakang, ia dianggap pertanda buruk. Sehingga mereka mengurungkan niat safarnya. Ketika Rasulullah melihat hal ini [tathayyur] masih mentradisi, maka sabdanya: Biarkanlah burung di dalam sarangnya. Berangkatlah pada pagi hari dengan menyebut asma Allah.”, demikian Asy Syafi’i bertutur. 

Para ‘ulama yang hadir berdecak takjub akan ilmu Asy Syafi’i. Ishaq ibn Rahawayh tersenyum pada 2 rekannya & berkata; “Demi Allah. Andai kita datang berjalan kaki dari ‘Iraq hanya tuk mendengar makna hadits ini saja, cukuplah itu bagi kita!” Ahmad mengangguk. 

Lalu bergumamlah Ahmad dengan menukil QS 12: 76 tadi yang tidak sengaja saya temukan semalam saat tilawah, “Wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘Alim.” {Manaqib Asy Syafi’i, Al Baihaqi, 1/308}. 

Peristiwa ini adalah awal perkenalan Imam Asy Syafi’i dengan Imam Ahmad nan membuat mereka bersahabat & saling berguru seterusnya. Saat murid-murid Asy Syafi’i keberatan mengapa beliau mengunjungi Ahmad yang mereka anggap muridnya, Asy Syafi’i melantun syair. “Semua kemuliaan ada pada Ahmad. Jika dia mengunjungiku, itu kemurahan hatinya. Jika aku mengunjunginya, itu sebab keutamaannya.” 

Suatu hari Yahya ibn Ma’in menegur Ahmad yang dianggapnya merendahkan ilmu hadits nan mulia dengan menuntun kendaraan Asy Syafi’i. “Katakan pada Yahya”, jawab Ahmad, “Aku berada dalam kemuliaan, yang jika dia inginkan keluhuran serupa, marilah ke sini bersua. Akan kutuntun keledai Asy Syafi’i di sebelah kiri, dan silakan dia menuntunnya dari sisi yang kanan. Itulah jalan kemuliaan.” 

“Selama 40 tahun aku berdoa”, ujar Ahmad kelak, “Tak pernah alpa kusebut nama Asy Syafi’i bersama semua pinta.” Ditanyakan kenapa? “Asy Syafi’i adalah mentari bagi siang dan obat bagi penyakit, maka siapakah yang tak menghajatkan keduanya?” Ahmad pun bersaksi: “Di tiap 100 tahun Allah bangkitkan seorang mujaddid untuk memelihara agamaNya. Di abad lalu dialah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, dan di abad ini, dialah Asy Syafi’i.” Adapun Asy Syafi’i selalu berkata pada Ahmad, “Kau lebih tahu tentang hadits, maka bawakan padaku yang shahih dari Nabi SAW, baik dari ‘Iraq maupun Syam.” Adapun hadits Hijjaz, Yaman, & Mesir Asy Syafi’i lebih tahu. 

“Dulu fiqh terkunci pada ahlinya”, ujar Ahmad, “Lalu Asy Syafi’i membukanya hingga kami tahu Bayan, ‘Am & Khas, Nasikh & Mansukh.” 

“Kutinggalkan Baghdad”, ujar Asy Syafi’i, “Dan tak seorangpun yang lebih hafizh, ‘alim, faqih, zahid, & wara’ daripada Ahmad.” 


MasyaAllah... demikian secuil kisah orang-orang penuh ilmu, semoga terteladani oleh kita jalan mulia nan mereka tempuh dengan perjuangan. 

Jalan ilmu adalah jalan kerendahan hati. Seperti firmanNya ternukil, “Di atas tiap-tiap pemilik ilmu, ada yang jauh lebih berilmu.”:) 

Jadi semoga kita mengerti mengapa dan untuk tujuan apa kita mengilmu. 


MasyaAllah... pernahkah kamu merasakan niat menuntut ilmu yang hampir melenceng? Haha saya pernah *tampar*. Astagfirullah... 

Sulitttt sekali mempertahankan prinsip dan mengajarkan hati ini untuk meluruskan niat mencari ilmu hanya karena Allah, untuk nantinya dipersembahkan hanya di jalan Allah. Untung Allah begitu baik kepada saya, walaupun saya ini masih merangkak-rangkak mendekati Allah, seringnya lalai, tapi Ia tetap mengirimkan dan mengelilingi saya dengan orang-orang yang benar-benar mencintai ilmu dan mengilmu hanya untukNya. Dari merekalah saya banyak memahami dan belajar hakikat mengilmu dan mencintai ilmu yang sesungguhnya. 


Kebanyakan dari kita saat ini (diakui atau tidak), 'tuntutlah ilmu sebisanya. Andaikata ada kesempatan ke luar negri, lakukan jika itu perlu. Kurang lebih arahnya, karir collective. Tuntut ilmu sebisanya biar karir bagus, dapat kerja. Dan banyak arahan lain (misal: kemampuan taktis)'. 


Then, saya membaca (masih pada kisah Imam Syafi'i) bahwa beliau (dan beberapa ulama' pada masanya) bekerja untuk sekedar bisa melanjutkan menuntut ilmu. Ilmu adalah tujuan, sesiapa yang paling banyak ilmunya maka ia akan lebih banyak memberi manfaat. Sementara kita? Terkadang motivasi belajar pun masih terkekang untuk tujuan pekerjaan atau jabatan yang lebih baik. 


Jadi? Bekerja untuk belajar, belajar untuk bekerja, bekerja lalu belajar untuk bekerja atau belajar untuk bekerja biar bisa belajar? *bingunging ya? Emang* 

Mana yang benar? Wallahu’alam.... hehe. Tapi yang pasti salah adalah ketika sudah puas dengan ilmu yang ada dan enggan belajar lagi. Apalagi berhenti belajar agama, padahal itu yang menjaga.
Saya bersyukur, setidaknya tradisi keilmuan tidak boleh extinct. :) 



Selamat belajar !!! Karena sepanjang hidup kita belajar. 

-Selamat Hari Pendidikan Nasional-

Yayyyyy. Semoga kita makin 'cerdas' dan 'tangkas' untuk mengilmu :)

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact