Kamis, 04 Mei 2017

Koran

Tentu saja saya tersulut. Sebagai satu-satunya orang yang percaya hingga ke ubun-ubun bahwa saya keren, pastilah saya ingin membuktikan bahwa kepercayaan saya benar. Lebih kurang begini kata murabbi saya waktu itu (semoga Allah merahmatinya), “muslimah itu harus gaul,, jangan ngaku keren kalau ngga up to date sama berita-berita terkini, blablabla, harus sering baca koran, blablabla”.

Terus terang, saya ini jarang bersinggungan dengan koran, kecuali saat makan di warteg dan itu bungkus luarnya adalah koran. Tapi saya masih percaya ini bukan keinginan saya. Ini sindrom yang tak bisa saya kendalikan *alesan*. Jika anda melihat saya sedang membaca koran pada pukul 10.00. Maka, pada pukul 10.10 anda akan melihat saya tertidur pulas tanpa dosa. Dan entah kenapa, saya sepertinya akan merasa sangat bersalah jika membaca koran. Karena saya memegang prinsip: jika keinginan membaca itu datang, yang mana itu sangat langka, saya harus memanfaatkannya untuk membaca buku-buku yang menarik saja.

Jadi pada akhirnya, pada suatu Jum’at yang damai, saya mengambil keputusan yang sulit: Ya! saya akan membeli koran (dan membacanya). Waktu itu hari jum'at libur karena tanggal merah, dan saya ingin sholat di suatu masjid tertentu untuk mencari ketenangan batin, akhirnya kira-kira jam 11-an saya sampai di masjid tersebut. Karena masih jam 11an, akhirnya saya makan di sekitaran masjid itu sekaligus merealisasikan niat mulia membeli koran.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jujur saja, saya tidak tau “ulam” itu apa dan apa relasinya dengan pucuk dicinta. Tapi saya yakin sedang memakai peribahasa yang tepat. Ketika sedang makan, ada bapak-bapak penjaja koran yang mampir di food court tempat saya sedang makan. Tanpa berpikir panjang, saya panggil si bapak-bapak sambil tidak lupa menjentikkan jari seperti menyetop angkot. Saya harus memanggilnya dua kali, karena si bapak tampak ragu apakah benar ia yang saya panggil. Bapak itu kemudian mendatangi saya dengan wajah masih bingung yang membuat saya juga bingung dan sedikit berbesar kepala, saya merasa seakan-akan si Bapak itu tidak membayangkan dalam mimpi sekalipun seorang wanita anggun seperti saya akan membeli korannya. Ah. saya jadi malu.

Saya pun memulai transaksi.

“berapaan pak korannya?”

“seribu neng”, jawab si Bapak

“oh, seribu??” kata saya dengan nada seolah-olah akan memborong semua koran. Pongah sekali. Tapi bukan apa-apa, saya agak terkejut. Waktu itu saya menaksir koran berada di kisaran harga lima sampai sepuluh ribu. huks. Saya pikir koran harga seribu itu cuma yang di bis bis antar kota saja.

Akhirnya transaksi jual beli terjadi. Seketika kepercayaan diri saya meningkat beberapa derajat. Bagaimana tidak, di genggaman saya sudah ada koran. Ya. Koran. Sakti sekali, dia akan memberi tahu saya kabar-kabar paling anyar di kehidupan ini.

Tanpa berbasa basi, dengan gaya-pada-umumnya orang membaca koran yang sering saya lihat di televisi, saya kibaskan, buka lebar, dan guncang-guncang pelan agar rapi (?) koran itu dengan style paling elegan yang bisa saya lakukan. Gagah sekali. Jujur saja, membaca koran di depan umum cukup membuat saya deg-degan.

Dan, taraaa!!! Hanya selang beberapa detik setelah adegan andalan saya (kibas, buka lebar, dan guncang-guncang), saya langsung kebingungan, dan mendumel bodoh dalam hati sambil membalik-balik halaman koran “loh? ini gimana cara bacanya? halaman depannya mana ya? ini koran judulnya apa sih? kok tipis banget ya?”. Saya ulang membolak balik halaman koran dengan hiperbolik, seperti pengangguran yang bernafsu mencari lowongan kerja. Saya benar-benar kebingungan. Untuk memudahkan pemula, harusnya koran tidak dicetak semisterius ini. Saya tidak sadar kalau saya sudah terlalu lebay, mengakibatkan orang-orang di sekeliling yang terusik sudah melirik-lirik ke arah saya.

Seperti di sambar gledek di siang bolong melompong, saya menyadari sesuatu. Rasanya waktu berhenti sepersekian detik. Hening. Dan kemudian sebuah suara bergema dalam otak saya “HELLOO?! Sekarang hari jumat, sist!!! J-U-M-‘-A-T!!! orang-orang bentar lagi SHOLAT JUM’AT! Dan koran itu, iya. Koran itu, oh please, itu buat ALAS SHOLAT JUM’AT!!! Ya tentu aja halamannya ngaco” Saya hancur berkeping-keping. Merasa dipecundangi oleh si Bapak-bapak penjual koran yang tadi berwajah kebingungan. Kepercayaan diri saya yang tadi sudah meningkat beberapa derajat kini jatuh terjerembab dengan dramatis.

Lalu saya lipat koran itu dalam gerakan slow motion sambil melirik ke kiri dan ke kanan seperti akan mencuri sandal. Saat itu, saya malu sekali, saya benar-benar berharap tidak menjumpai orang yang saya kenal. Maklum, image saya masih suci putih bersih seperti bayi yang baru lahir. Saya masih tidak rela dipergoki dalam kejadian-kejadian memalukan. Saya beringsut keluar dari food court dengan langkah kaku, pelan-pelan takut limbung, diiringi musik latar pengantar pengantin menuju altar: Here’s come the Bride. Dengan suara violin tercekik. Saya merasa mata-mata yang tadi melirik ke arah saya masih mengikuti gerakan-gerakan aneh yang spontan saya lakukan.

Saya mempercepat langkah. Meninggalkan si koran nista di bangku-bangku depan food court. Berjalan menjauh sambil mengguncang-guncang kepala seakan-akan memori tertentu (yang memalukan) bisa hilang begitu saja dengan mengguncang-guncang kepala. Jelas sia-sia. Tapi tetap saja selalu saya lakukan.

Baiklah.

Hikmah yang saya petik adalah pertama: sering kali kecenderungan terjadinya hal-hal konyol alamiah yang memalukan berbanding lurus dengan keinginan membuktikan kekerenan. Kedua: kesotoyan kadang memilukan. Hidup ada kalanya pahit, jenderal!

Beberapa saat berlalu, saat saya sudah hampir menerima kenyataan pahit ini, pikiran saya seolah ingin menenangkan saya dengan berkata "Hal-hal seperti itu lazim terjadi di zaman sekarang(?), saya tidak perlu lebay menanggapinya." Hoho. Saya sangat dewasa. Selesai.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact