Sabtu, 30 Juli 2016

Senin, 25 Juli 2016

Terlalu Cuek

Jika ada yang bertanya kenapa aku memilih jalan yang terlampau mandiri sebagai seorang perempuan, menampik tangan-tangan yang diulurkan ‘sementara’, bukan karena aku sudah amat kuat, alasannya justru sebaliknya. Aku tidak memilih perjalanan yang nyaman, karena nyaman dapat diciptakan. Aku bertemu orang asing, menelusuri tempat baru seorang diri bukan karena apa, tetapi karena aku selalu ingin belajar sekaligus menguji sejauh mana aku bisa menjaga diri, mengatasi masalah, mengendalikan ketakutan, dan bertanggung jawab untuk kembali pulang dengan selamat. Karena wanita yang seperti itu terlalu kuat untuk diperlakukan sembarangan oleh siapa pun.

Walau begitu, jangan lupa bahwa kita tetaplah wanita. Sekuat-kuatnya, haruslah tetap hangat hatinya. Setegas-tegasnya, haruslah tetap lembut perangainya. Setegar-tegarnya, tetaplah harus santun dan tunduk jiwanya. Semoga :)
continue reading Terlalu Cuek

Rabu, 20 Juli 2016

Doa

Sebenarnya saya penasaran, apakah doa manusia (selain saya) itu buaaaanyak juga seperti doa saya? Seperti banyaknya permintaan saya ke Allah? Andai saja ya, setiap satu doa kita bakal ditandai dengan satu titik di wajah kita hehe, kan saya jadi mudah lihat seberapa banyaknya doa-doa orang yang saya temui. Apa pula saya ini pakai acara penasaran dengan doa orang lain?
Mmmm jadi begini... Saya, punya binyik bingit (read: "binyik bingit" merupakan kalimat jamak dari kata "buuuanyak buuuanget" *sotoy mode on* *ilmu sesat*). Dan pada setiap kesempatan waktu-waktu mustajab untuk berdoa, saya selalu tidak mau ketinggalan. Itu sebabnya mengapa saya suka hujan, bukan karena ingin hujan-hujanan... bukan. Tapi karena saya ingin berdoa. Itu sebabnya mengapa saya selalu menunggu waktu berbuka puasa, bukan karena ingin cepat-cepat makan... bukan. Tapi karena saya ingin berdoa. Itu sebabnya mengapa saya suka duduk di sajadah berlama-lama setelah sholat-sholat yang saya lakukan, bukan karena kaki saya kesemutan... bukan. Tapi karena saya ingin berdoa. Dannn di waktu-waktu yang lainnya.

Cuma, kadang saya bingung... dasarnya manusia kan nggak mau rugi ya. Minta ke Allah juga maunya semuanya diomongin ke Allah kalau pas momennya ada. Kan katanya doa itu harus diulang-ulang terus ya... Nah, karena doa saya yang binyik bingit tadi, terkadang tidak berbanding dengan waktu berdoa yang tersedia. Karena misalnya, waktu sholat dan jadwal keberangkatan pesawat mepet, padahal kita pergi juga bawa amanah orang. Alhasil nggak bisa duduk lama di sajadah buat ngedoain semuaaaaa yang ingin disampaikan ke Allah.

Udah gitu... saya cuma mau bercerita begitu di tulisan ini. Kesimpulannya.... penting nggak penting buat dibaca sih tulisan ini -,- *tampar pakai sandal* *ngomong nggak penting pas udah di akhir* *udah terlanjur baca ya?* *punten akang-akang dan teteh-teteh :( *


"Bila engkau ingin berdoa, sementara waktu begitu sempit, padahal di dalam dadamu dipenuhi oleh begitu banyak hajat (kebutuhan), maka jadikan seluruh isi doamu berupa permohonan Maaf (istigfar) kepada Allah. Karena bila Dia memaafkanmu, maka semua keperluanmu akan dipenuhi olehNya tanpa engkau memintaNya" (Ibnu Qayyim)


Terimakasih untuk semua doa yang diberikan untuk saya, dari siapapun, baik diam-diam, ataupun terang-terangan. Semoga Allah selalu memberkahi kalian semua, semoga doa baik tercurah pula untuk kalian...

Salam,
dari Saya, orang yang manis (karena habis ketumpahan gula) 
continue reading Doa

RADANG

Ibarat penyakit, kalau yang diserang adalah organ vital, semisal otak, jantung, ginjal, dsb, tentu potensi melemahkannya akan jauh lebih besar ketimbang ketika yang diserang adalah organ lain. Contoh: radang. Radang kalau yang diserang adalah tenggorokan (faringitis), mungkin kita merasa biasa-biasa saja. “Ah, paling bentar juga sembuh.” Tapi jika peradangannya menyerang selaput otak (meningitis), bahkan mendengar namanya saja mungkin kita sudah merasa ngeri.
Seperti itulah kemaksiatan.
Kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang rakyat jelata, tentu efek merusaknya tak sebesar kemaksiatan pemimpinnya.
Kemaksiatan seorang sipil, tentu efek merusaknya tak sebesar kemaksiatan panglimanya.
Kemaksiatan seorang anak, tentu efek merusaknya tak sebesar kemaksiatan orangtuanya.
Kemaksiatan seorang anggota dan simpatisan, tentu efek merusaknya tak sebesar kemaksiatan mas'ulnya.
Kemaksiatan seorang mad'u, tentu efek merusaknya tak sebesar kemaksiatan murabbi (guru)nya.
Kemaksiatan seorang yang jahil (bodoh), tentu efek merusaknya tak sebesar kemaksiatan seorang ‘alim yang menjadi tempat banyak orang bertanya.
Terlebih jika kemaksiatan-kemaksiatan itu dilakukan terang-terangan, tanpa sadar, tanpa merasa bersalah. Astaghfirullaah, na'udzubillaahi min dzaalik.
Oleh sebab itu, perhatikan dimana posisi kita, sebagai apa kita saat ini. Jangan sampai tertundanya kemenangan, kepayahan besar yang kita alami, terjungkal-jungkalnya langkah kita, ternyata karena ulah kita sendiri.


Lebih parahnya, kita melakukan itu tanpa kita sadari. Merasa sedang membangun, padahal hakikatnya merobohkan. Merasa sedang memperbaiki, padahal hakikatnya merusakkan. Merasa sedang mengokohkan, padahal hakikatnya melemahkan. Merasa sedang mempersatukan, padahal hakikatnya menceraiberaikan.

Lebih jeli menilai diri. Kenalilah dirimu sendiri, sebelum engkau banyak menilai orang lain. Pahamilah dirimu sendiri, sebelum orang lain lebih banyak paham tentang dirimu.

Allaahumma 'arifni nafsii… Ya Allaah, kenalkanlah aku pada diriku sendiri… (Lanina L.)
continue reading RADANG

Senin, 18 Juli 2016

Uhmmm

Seringkali yang kita butuhkan hanyalah bersyukur atas kekurangan dan ketidakmampuan yang kita miliki, darinya kita belajar terus menerus.
Saat ingin bahagia, sebenarnya cukup dengan tidak membandingkan apapun.
Yang kelihatannya baik-baik di dunia belum tentu keren di akhirat. Yang hidupnya mulus-mulus di instagram, belum tentu kenceng amalannya.
Kadang-kadang kita hanya menyisihkan waktu untuk akhirat dan memilih menghabiskan waktu mengedit foto unyu dan main candy crush. Kita?? Huehe mungkin saya doang.
Istigfar, saya bolehlah biasa-biasa saja di dunia, mirip lengkoas diantara tumpukan rendang. Tapi rasanya, hidup akan sia-sia kalau akhirat juga di-anaktiri-kan. Lalu apa yang bisa dibanggakan?
Pengen bikin Allah terkesan, pengen diinget terus sama Allah.
Jadi, hidup itu adalah tentang memilih prioritas, ya kan?

*Ditulis saat-saat dimana flu sedang melanda, yang datangnya tiba-tiba* *meler-meler* *usap-usap ingus*
continue reading Uhmmm

Sabtu, 16 Juli 2016

Kamu, Maunya Apa?

Saya mengenal salah seorang kakak, kami satu almamater (cuma beda fakultas). Beliau leader pertama saya di organisasi internal kampus, orang yang lembut dan talk less do more. Salah satu sosok pemimpin (yang pernah memimpin saya di kampus) yang saya respect. Seseorang yang mengajari saya menulis dari yang awalnya acak adut bingit sampai sekarang (yang juga masih acak adut. Hiks).
Beliau orang yang persistance dalam setiap goal project hidupnya. Kala itu, di setiap sela-sela kami menunggu pejabat kampus *Adek ini pendekar ya banget ya, dari kecil udah diajarin menunggu :p*, beliau selalu bercerita tentang arti-arti mimpi maupun cita-citanya. Saya yang masih kecil, angguk-angguk aja, nggak mudeng. Sampai pada suatu saat, dia memilih istirahat dari perjuangan bersama kami. Untuk cita-citanya. Itu alasannya. Walau begitu, beliau masih menyokong kami dari luar 'rumah', selalu kata-kata 'maaf' yang saat itu beliau ucapkan. Waktu itu saya berpikir, "maaf? For what?". Saya menyanyangi beliau sebagai kakak saya, seperti apapun ia meninggalkan kami dengan segala PR yang ada, tak jarang hal itu sering membuat kami menangis, saya tetap menyayanginya. Beliau pasti punya alasan untuk keputusan yang menyakitkan tersebut, kala itu. Itu yang menyebabkan komunikasi kami tetap berjalan baik walaupun sudah tidak dalam 'satu rumah'. Beliau selalu membantu saya, baik dalam urusan 'rumah itu' ataupun di luar itu. Beliau selalu memberikan 'pintu' untuk saya, bukan sekedar 'jendela' yang hanya bisa saya terawang saat saya mendatanginya dengan setumpuk kebingungan mengenai perjalanan yang ada. *Hmmm... ini berasa promosi yak -,-*
Sampai suatu saat, beliau mengabari saya, bahwa beliau akan melanjutkan studi masternya di Inggris dengan kampus yang top list dengan konsen bidangnya renewable energy, karena beliau mendapat salah satu beasiswa bergengsi di negeri ini. Head shoot buat saya lah hehe... ketika saya bertanya, beliau menceritakan apa saja yang beliau lakukan sejak berpisah dengan kami. It was amazing :") persistance for your goal.
Saya, makin makin makin tidak menyesal pernah megizinkannya pergi dari 'rumah' kami, beliau membuktikan, bahwa dengan keputusannya kala itu, beliau bisa mendapatkan jalan yang lebih baik yang sesuai plan lifenya.

Akhir tahun ini beliau akan kembali ke Indonesia karena studinya sudah selesai. Saya tanya lagi, apa yang ingin dilakukan di Indonesia... dia jawab "Pengennya sih langsung praktekin ilmunya ke daerah terluar Indonesia, sekalian menempa diri. Soalnya ini program yang diambil berkaitan dengan energi.. Saya sih mikirnya biar seimbang, tau luar negeri tapi tau kondisi di pelosok juga.. doakan ya semoga selalu konsisten :)". Busetttt, head shoot kedua kalinya buat saya... Saya pikir, beliau susah-susah dapat beasiswa, yaaa setidaknya ada gitu pikiran (walaupun dikittt aja, dikit nggak perlu banyak-banyak) untuk menikmati sesuatu yang sudah diperjuangkan untuk dirinya sendiri. Ehhh ini mah engga, tetep aja si kakak ini mah mikirin orang lain...

Dari sini saya belajar, dulu saya selalu merasa egois jika memikirkan tentang diri saya sendiri. Masih banyak urusan lain yang harus diurus, kita takboleh melulu berpikir tentang diri sendiri. Yang ada di otak saya hanya "harus jadi bermanfaat! Harus jadi bermanfaat!" Gituuu aja terus muter-muter. Hanya dengan let it flow aja berdampingan dengan lingkungan dan kondisi sekitar, maksudnya gini... kalau ada celah saya bisa nolong yaudah saya tolong, kalau ada celah bisa bermanfaat yaudah saya lakuin. Pokoknya nunggu doang gitu.. kalau ada baru melakukan.
Setelah belajar dari kakak tersebut dan membaca dan menerawang, saya makin sadar. Perspektif melihat, kebermanfaatan saya di masyarakat, juga perlu diimbangi dengan manajemen diri sendiri.
Ada satu titik dimana…jika kita tidak benar-benar tahu apa yang kita mau, kita tak benar-benar melangkah maju. => quote nemu dimana lupa Adek, Bang.
Saya ini orangnya kepinginan. Lihat ada yang mengajar di pedalaman, saya pengen. Lihat ada yang mengabdikan diri di industri kreatif untuk kemajuan anak negeri, saya pengen, dsb. Banyak pengennya deh pokoknya... Lalu sebenarnya saya ini…maunya apa?

Dan akhirnya, kita perlahan harus mulai menata, untuk lebih tahu apa yang diri kita butuhkan, apa sebenarnya mimpi kita, apa yang membuat kita menjadi ladang manfaat untuk orang-orang disekitar. Maka sejatinya setelah itu, kita jadi lebih mudah memetakan. Mana langkah yang seharusnya dimantapkan, mana yang tidak linear dengan fokus, dan mana yang sekiranya banyak mudharatnya.
Tanyakan sekali lagi pada diri sendiri : Hidupmu akan digunakan untuk apa? Kamu ini siapa? Maunya apa? Rencana ke depan bagaimana? Cara mencapainya seperti apa? Sebelum yang tanya…malaikat Raqib Atid. Hehehehehehe
Apapun jawaban dari segala pertanyaan itu, kaitkan selalu pada Tuhan.
continue reading Kamu, Maunya Apa?

Kamis, 14 Juli 2016

Minggu, 10 Juli 2016

Seseorang yang ingin berubah adalah ia yang mempersiapkan dirinya. Menyadari bahwa perjalanannya begitu panjang. Tak cukup jika hanya mengandalkan alas kaki. Ia berkemas, bersama dengan teman seperjalanan yang dapat ia percayai, bahkan ketika dirinya sedang tidak ingin mempercayai siapa-siapa.
Dan teman sejatinya sesungguhnya adalah Iman…
Kini ia menyadari, bahwa yang terbaik berasal dari sesuatu yang ingin diperbaiki… 

(10 juli '16 at Yogyakarta. Hmmm... seperti mengulang perasaan bertahun-tahun lalu. Ketika sudah beberapa lama di rumah dan harus menetap di suatu tempat baru, rasanya ada rongga-rongga yang kosong di hatimu. Mungkin... ini tentang move on aja kali ya. Meninggalkan dan ditinggalkan itu sama-sama sakit, tapi saya rasa... meninggalkan akan jauh terasa sakit -aduhaiiii-)
continue reading

Jumat, 08 Juli 2016

Istana Cermin

Ini kisah tentang istana cermin...

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang raja yang pengasih terhadap rakyatnya, adil pada setiap tindakannya, bijak pada setiap keputusannya.
Rakyat dan negeri yang dipimpin raja tersebut sangatlah makmur, semuanya hidup bahagia.

Namun, ada satu hal yang selalu raja itu anggap sebagai kelemahannya. Yaitu pangeran-pangeran dan putri-putrinya. Sang raja memiliki dua pangeran dan dua putri, namun mereka berasal dari ibu yang berbeda. Semakin lama, raja semakin sedih memikirkan tentang hal tersebut. Ketakutan-ketakutan akan sepeninggalnya Ia. Bagaimana cara menyatukan pangeran-pangeran dan putri-putrinya yang tinggal di pondok-pondok berbeda dalam istana.

Akhirnya, pada suatu hari... Sang raja memutuskan untuk membangun istana cermin. Istana tersebut dibangun untuk tempat bermain pangeran dan putri saat akhir minggu. Bangunannya indah... Kubahnya berwarna emas, warna kesukaan putri ketiga. Temboknya berhias perak, kesukaan pangeran kedua. Terdapat pula pedang anggar di tembok-tembok istana, supaya pangeran pertama bisa memainkannya saat bermain di istana cermin. Ada pula ayunan yang tersusun dari bulu angsa, lembut, tempat putri keempat sering menghabiskan waktunya.
Di setiap bagian istana, terdapat banyak sekali cermin. Raja ingin, ketika sudah dewasa nanti, saat pangeran dan putrinya berdiri di depan cermin tersebut, mereka ingat akan kebersamaan masa kecilnya, melihat wajah ayahnya pada diri masing-masing mereka, dan lupa akan campuran darah-darah ibu yang berbeda.

Waktu terus berjalan, sepeninggal raja, ratu dan selir-selir mengerat tahta peninggalan raja. Satu sama lainnya mengajukan pangeran dan putrinya untuk menduduki kursi raja. Pada setiap kompetisi selalu ada menang dan kalah. Pangeran pertama lah yang mendapatkan kursi raja tersebut, inilah awal dari petaka negeri. Hancurnya persaudaraan para pangeran dan putri.
Sejak saat itu, istana cermin ditutup karena pangeran serta putri tidak ada yang pernah berkunjung. Bahkan, untuk berdiri di depan cermin saja mereka tidak mau. Mereka lupa akan darah yang sama, darah ayahnya. Yang mereka ingat hanya darah yang berbeda.


"Kakak dan Adik hanyalah sebuah status, yang terpenting adalah ikatan persaudaraannya. Kadang, rasa sakit yang diciptakan oleh saudara-saudara kita jauhhh terasa lebih menyakitkan daripada disakiti oleh orang lain. Maka semestinya persaudaraan itu, sama tinggi sama rendah, sama pasang sama surut."
continue reading Istana Cermin

Senin, 04 Juli 2016

Adab Berpakaian di Hari Raya

Hari raya dalam Islam ada dua, yaitu idul fitri dan idul adha.  

Salah satu tuntunan Islam ketika hari raya adalah tajammul.  

Tajammul artinya berpenampilan sebaik mungkin, pada tubuh maupun pakaian. 

Disunnahkan bagi lelaki untuk memakai pakaian paling bagus yang dia miliki. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma; beliau berkata, 

عن عبدالله بن عُمَرَ رضي الله عنهما قال: أخَذَ عُمَرُ جبةً من إسْتَبرقٍ ـ أي حريرٍ ـ تباعُ في السوقِ فأتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلّم فقالَ: يا رسولَ الله ابْتَعْ هذِه يعني اشتَرِها تجمَّلُ بها للعيدِ والوفودِ، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلّم : إنما هذِهِ لباسُ مَنْ لا خلاقَ له 

‘Umar mengambil sebuah jubah dari sutra. Dia membelinya di pasar. Kemudian dia memberinya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; beliau katakan, ‘Wahai Rasulullah, aku membeli jubah ini supaya engkau bisa ber-tajammul (mengenakannya untuk tujuan tampil bagus/tampan) ketika hari raya dan ketika menyambut tamu.’ Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ini adalah baju untuk orang yang tidak punya bagian (di surga).” (HR. Bukhari) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkomentar demikian semata-mata karena jubah tersebut terbuat dari sutra. Jadi, yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam komentari adalah bahan sutranya, bukan perkataan Umar bahwa jubah itu untuk digunakan untuk ber-tajammul pada hari raya atau ketika menyambut tamu. 

Wanita juga disunnahkan untuk menghadiri pelaksanaan shalat ‘id dengan mengenakan pakaian terbaik yang dia miliki, tapi tanpa tabarruj (berhias) dan tanpa memakai parfum. (Disarikan dari penjelasan Syaikh Al-Utsaimin di kitab Majalis Syahri Ramadhan) 

Larangan berhias di sini mencakup pakaian, wajah, maupun tubuh. 

• Parameter tabarruj (berhias/berdandan) 

Ketika Syaikh Ali Hasan Al-Halabi ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)”  

Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah: “Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (‘urf ).” 

Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan.  

Hal serupa kita jumpai dalam pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang terlarang.  

Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.

Contoh tabarruj : 

Berdasarkan parameter yang diberikan oleh Syaikh Ali Hasan di atas, kita bisa pahami bahwa secara umum contoh tabarruj (berhias/berdandan) di masyarakat kita adalah : 

1. Pada wajah: maskara, eye shadow, lipstik, dll. 

2. Pada tubuh: memakai parfum, dll. 

3. Pada pakaian: payet, manik-manik, corak warna-warni, bros, dll. 

* Cara tajammul tanpa tabarruj 

Jadi, bagaimana caranya wanita melaksanakan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ber-tajammul (berpenampilan terbaik) pada hari raya, padahal wanita dilarang bertabarruj (berdandan) di depan lelaki yang bukan mahramnya? 

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari cara berpakaian anak sekolah. Anak sekolah diwajibkan berseragam ke sekolah. Apakah para siswi jadi tampak kucel bila tidak berdandan? Tentu saja tidak. Dengan mengenakan pakaian yang bersih, sudah diseterika (tidak kusut), dan berjilbab dengan rapi, para siswi tersebut sudah disebut berpakaian dengan baik.  

Untuk berpakaian dengan baik, mereka tidak perlu menambahkan manik-manik atau payet di bajunya. Mereka juga tidak perlu merias wajahnya dengan eye shadow, maskara, atau lipstik. 

Demikian pula wanita muslimah ketika hari raya. Hendaklah mereka mengenakan pakaian yang bersih, sudah diseterika (tidak kusut), dan tidak apek. Dengan berpenampilan demikian, mereka telah menaati Allah dan Rasul-Nya lewat dua cara : tajammul (berpenampilan terbaik) ketika hari raya dan tidak bertabarruj (tidak berdandan di hadapan lelaki yang bukan mahram). 

Duhai Ukhti salihah, raihlah pahala pada hari raya, dengan tajammul tanpa tabarruj. 

Semoga kita bisa mengamalkan setiap ilmu yang kita miliki...  

Wallahu a’lam. 

Penulis : Athirah Mustadjab


***

Hari ke-30 di Ramadhan 1437 H.
Semoga Allah berkahi perjalanan kita sebulan ini. Semoga pula semangat bulan suci ini akan menjadi tenaga yang disimpan untuk beribadah 11 bulan ke depan hingga bertemu kembali dengan Ramadhan tahun berikutnya... Semoga, aamiin :)

Hari ini ada berita bahwa di kompleks masjid Nabawi telah ada bom bunuh diri.
Jangan lupa doa dulu sebelum berprasangka ataupun terprovokasi oleh apapun. Setiap kejadian ada hikmahnya. Minta sama Allah untuk dipahamkan, dibikin ngerti.
Saya cinta masjid Nabawi? Tentu.. Masjid yang dibuat oleh Baginda Rasullulah, umat muslim mana yang tak cinta. Saya sedih mendengar berita tersebut? Tentu, jangan bertanya perasaan yang pasti ada. Tapi sekali lagi, bagi umat muslim yang tidak sedang pada lokasi kejadian, kita hanya bisa mendapat informasi dari media dan milis-milis yang ada. Ingat, setiap media dan tulisan selalu punya tujuan :)
Jadi, hal bijak yang bisa dilakukan adalah berdoa aja dulu...
continue reading Adab Berpakaian di Hari Raya

Lilin

Ia lupa, bahwa dirinya berniat menerangi tapi di waktu yang bersamaan dengan itu sebenarnya dia sedang membakar dirinya sendiri.
Lalu sekarang bagaimana? Siapa yang akan bertanggung jawab setelah terbakar seperti ini? Manusia yang diterangi? Ohhh tentu saja bukan. Apa pedulinya manusia pada lilin tersebut. Sang manusia hanya butuh cahaya, bukan lilinnya. Jika satu lilin habis terbakar, nyalakan lagi saja lilin yang lain.
Ahh si lilin lupa lagi, dia ada hanya untuk jadi seperti itu. Dicari hanya untuk dibutuhkan cahayanya. Hanya itu.

Sekian :)

terinspirasi dari listrik yang padam di saat hari sudah gelap begini. Lilin mana lilin oy -,- *di zaman yang sudah modern begini, tetap saja saat mati lampu andalan saya adalah lilin*. Lilinku sayang, lilinku malang
continue reading Lilin

Taman Kanak-Kanak

Hari ini seorang teman pamer foto masa kecilnya haha, eh sebentar-sebentar. Ralat, bukan pamer -,- dia tidak pamer, tapi saya yang memaksanya untuk pamer (?). Foto masa kecilnya secara otomatis membuka ingatan masa kecil saya... Saya juga dulu pernah kecil, walaupun sampai saat ini saya masih juga kecil sih. Hiks.
Tulisan ini hanya tulisan nostalgila saya, daripada kamu menghabiskan waktu dan tidak mendapatkan apapun dari tulisan ini, saya sarankan kamu berhenti sekarang saja ya....

Jadi bagaimana tadi?

Aaa iya, masa kecil saya ya...
Sejak kecil jiwa premanisme saya sepertinya memang sudah melekat. Di kompleks rumah, hanya ada satu anak perempuan seusia saya. Ibu kami berada dalam satu kelompok arisan yang sama *ya ampunnn*. Alhasil, kami berdua pun sering menghabiskan hari bersama. Tapi, seiring berjalannya waktu, saya mulai angker. Sering menjitak teman saya itu dengan gelas bekas minum saya. Dia menangis, ibunya kesal, kami dijauhkan (?). Ahhh andai saja ibu-ibu kami tahu apa alasan saya sering menjitaknya dengan gelas... saya selalu kesal karena dia seringnya tidak mengerti dengan apa yang saya bicarakan, dengan apa yang saya mainkan. Saya ingin membuat kue dari tanah, ehhh dia malah mengguyur tanah saya dengan air kran seember... nggak jadi kue, yang ada mah jadi selokan -,- gemash kan ya (?) Ya begitulah kehidupan saya kala itu. Entah dia yang susah mengerti, atau memang saya yang susah dimengerti *tsahhhh* *astagfirullah, maklum itu zaman-zaman saya masih terkungkung di dunia kegelapan*

Akhirnya karena sifat saya yang 'nakal', orangtua saya menyimpulkan bahwa rasa sosial saya kurang, sehingga saya harus mendapat 'pelatihan' intensif mengenai kehidupan bersosialisasi. Umur 3 tahun, saya dipaksa dewasa sebelum waktunya dengan masuk TK *zaman dulu di kampung belum ada PAUD euy. Hiks* dengan harapan, setelah bertemu dengan banyak orang, saya akan lebih menghargai orang lain.

Sebenarnya saya adalah jelmaan anak berseragam kemeja putih dengan rok gantung biru dongker di atas lutut. Yang rambutnya disisir rapi, dikepang dua, berponi rata, sesekali ibunya membiarkan rambutnya diikat dengan ikatan buntut kuda.

Di hari pertamanya bersekolah, ia menangis, karena tak bisa satu kelas dengan teman satu-satunya yang ia kenal. Ibunya menghampiri kepala sekolah, membujuknya supaya anaknya bisa pindah kelas, dari kelas Ibu Win menjadi kelas Ibu Macik.

Di hari pertamanya bersekolah, ia duduk di bangku terdepan, tak berani berkenalan, menyuruh ibunya tetap di depan jendela, supaya ia bisa melihatnya kalau-kalau ia merasa ingin menangis.

Di hari pertamanya bersekolah, Ia memberanikan diri berkenalan dengan temannya di satu ayunan. Mencoba menuruni seluncuran, dan menaiki papan jungkit.

Hari-harinya bersekolah, ia menggambar langit dengan warna abu-abu, gurunya bertanya, “kenapa langitnya abu-abu?”, si anak diam..berfikir..lalu menjawab, “langitnya mendung bu….” “oh, mendung, tapi kok mona gambar mataharinya besar?” ibu guru membuat si anak merasa bersalah pada langit dan matahari, dalam hatinya ia bergumam oh ibu, jangan tanya-tanya saya lagi…

Hari-harinya bersekolah, ia takut saat jam makan tiba. Ibunya bilang, si anak menganggap jam makan sebagai lomba cepat-cepat menghabisi makanan. Ia takut karena ia tidak bisa menggunakan sendoknya dengan benar, ia masih harus disuapi. Temannya yang lain memulai makan dengan tenang, kebanyakan mereka membawa nasi dengan lauk, yang di mata si anak adalah makanan yang sulit untuk dikuasai sendok garpunya. Ia hanya mau membawa bekal nasi goreng. Ia lambat dalam memproses makanan, saat temannya telah selesai, ia ketakutan, maka ia akan berteriak memanggil ibunya, ibunya akan masuk kelas, menyuapinya. Ibunya memutuskan, bahwa untuk jam makan berikutnya, anaknya akan dibekali lapis legit, bolu, kentang goreng, apapun makanan yang tidak membutuhkan sendok untuk ia pegang.

Akhirnya, si anak berlatih makan sendiri di rumah, hingga akhirnya ia mampu makan dengan tangannya sendiri.

Hari-harinya bersekolah, ia bermain harmonika. Harmonika miliknya bergambar baju di bagian depannya. Jadi tidak tertukar dengan harmonika temannya yang lain. Ia berlatih tarian kretek untuk acara perpisahan.

Ia benci jika bajunya kotor, hingga dewasa, ia tetap begitu. Ia tak suka kukunya panjang, hingga dewasa, ia tetap begitu. Ia selalu suka sarapan bubur kacang hijau dekat sekolahnya, hingga dewasa, ia tetap begitu. Dan ia gemar menempeli plester atau ‘tato’ murahan hadiah permen karet di lututnya (kadang juga di pipinya), untung tidak bertahan hingga dewasa.

Suatu saat gurunya meminta para murid untuk menggambar pemandangan. Ia pun menggambar pemandangan. Dua garis sejajar yang panjangnya dari ujung kanan buku gambar ke ujung kiri buku gambar, lalu diwarnai hitam. Ketika maju ke meja guru untuk meminta bintang atas gambar karyanya, ibu guru bertanya, "Ini pemandangan apa?", Ia menjawab, "Jalan.". Iyaaa.. di depan rumahnya memang jalan, pemandangan yang Ia pandang ya jalan. Tadinya ingin menggambar sekalian mobil-mobilnya, tapi Ia tidak bisa menggambar mobil. "Coba kita gambar gunung, ini ada petani lagi bajak sawah, ada rumput, ada pohon." gurunya mulai mencorat-coret buku gambarnya. Si anak hanya diam melihat wajah gurunya, bukan buku gambar yang sedang ditingkahi gurunya. Dalam hati Ia bergumam, kenapa pemandangan itu harus gunung... ia tidak pernah melihat gunung yang seperti itu.
Setelah Ia dewasa, barulah mengerti... bahwa kala itu penafsiran dan keluasan pengetahuan antara Ia dan gurunya berbeda. Baginya, pemandangan hanya sesempit depan rumahnya. Tapi tidak bagi gurunya, gurunya telah melihat pemandangan yang jauh lebih luas dari hanya sekedar depan rumah.

Awal masuk TK, hal pertama yang diajarkan adalah menulis angka. Ibu guru menyuruh para murid menulis angka terus menurus sampai satu halaman buku penuh. Kini, Ia baru mengerti. Ternyata ibu guru ingin mengajarkan, bahwa konsistensi dan istiqomah itu sungguh perlu. Latihan terus menerus akan membuat tanganmu terbiasa.


Saya akhirnya keluar dari penjelmaan murid taman kanak-kanak, bergegas mengambil minum dari meja makan, karena bedug magrib sudah terdengar.

Sampai jumpa, masa-masa di taman kanak-kanak pertiwi.



continue reading Taman Kanak-Kanak

Minggu, 03 Juli 2016

Matahari dan Angin

Pada suatu hari, matahari dan angin bertengkar untuk menentukan siapa yang lebih kuat. kemudian si angin berkata,

“saya akan buktikan bahwa saya yang terkuat. kau lihat lelaki tua disana dengan jaketnya? Saya bertaruh kalau saya mampu melepaskan jaketnya lebih cepat dibandingkan yang kau lakukan.”

maka sang matahari pindah ke belakang si awan, kemudian sang angin meniup kencang hampir seperti tornado, namun semakin keras dia meniup, semakin erat lelaki tua itu mencengkeram jubahnya ke tubuhnya.

akhirnya, sang angin menjadi tenang dan menyerah, kemudian sang matahari muncul dari balik awan dan tersenyum ramah pada lelaki tua itu. kini, si lelaki tua menyeka alisnya dan menanggalkan jaketnya. sang matahari kemudian mengatakan pada angin bahwa keramahan dan kelembutan selalu lebih kuat daripada kekuatan dan kemarahan.

Matahari bisa membuat lelaki tua itu menanggalkan jaketnya lebih cepat daripada angin; dan kebaikan hati, pendekatan ramah dan penghargaan dapat membuat orang mengubah pikirannya lebih cepat daripada semua gertakan dan serangan di dunia ini.

ingatlah apa yang dikatakan Abraham Lincoln:

“Setetes madu menangkap lebih banyak lalat daripada segalon empedu.”

jadi, mulailah hari ini dengan cara yang ramah :)
continue reading Matahari dan Angin

Sabtu, 02 Juli 2016

Yang Hendak Pergi

Di dinding putih yang megah,
padanya aku berkata
Lihat lantaran menjingganya matamu yang mulai basah
Airmatanya hinggap dipelupuk, menetes ke lantai
Di kain jilbabmu yang menjuntai

Hatinya sendu, jiwanya gelisah
Apa dirinya masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali, untuk sekedar memperbaiki kisah
Lagi-lagi matanya basah
Dalam dekapan sejuknya rumah Allah
Di sepertiga malam hingga fajar menjelang…




Hari ke-27 Ramadhan 1437
continue reading Yang Hendak Pergi

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact