Saya mengenal salah seorang kakak, kami satu almamater (cuma beda fakultas). Beliau leader pertama saya di organisasi internal kampus, orang yang lembut dan talk less do more. Salah satu sosok pemimpin (yang pernah memimpin saya di kampus) yang saya respect. Seseorang yang mengajari saya menulis dari yang awalnya acak adut bingit sampai sekarang (yang juga masih acak adut. Hiks).
Beliau orang yang persistance dalam setiap goal project hidupnya. Kala itu, di setiap sela-sela kami menunggu pejabat kampus *Adek ini pendekar ya banget ya, dari kecil udah diajarin menunggu :p*, beliau selalu bercerita tentang arti-arti mimpi maupun cita-citanya. Saya yang masih kecil, angguk-angguk aja, nggak mudeng. Sampai pada suatu saat, dia memilih istirahat dari perjuangan bersama kami. Untuk cita-citanya. Itu alasannya. Walau begitu, beliau masih menyokong kami dari luar 'rumah', selalu kata-kata 'maaf' yang saat itu beliau ucapkan. Waktu itu saya berpikir, "maaf? For what?". Saya menyanyangi beliau sebagai kakak saya, seperti apapun ia meninggalkan kami dengan segala PR yang ada, tak jarang hal itu sering membuat kami menangis, saya tetap menyayanginya. Beliau pasti punya alasan untuk keputusan yang menyakitkan tersebut, kala itu. Itu yang menyebabkan komunikasi kami tetap berjalan baik walaupun sudah tidak dalam 'satu rumah'. Beliau selalu membantu saya, baik dalam urusan 'rumah itu' ataupun di luar itu. Beliau selalu memberikan 'pintu' untuk saya, bukan sekedar 'jendela' yang hanya bisa saya terawang saat saya mendatanginya dengan setumpuk kebingungan mengenai perjalanan yang ada. *Hmmm... ini berasa promosi yak -,-*
Sampai suatu saat, beliau mengabari saya, bahwa beliau akan melanjutkan studi masternya di Inggris dengan kampus yang top list dengan konsen bidangnya renewable energy, karena beliau mendapat salah satu beasiswa bergengsi di negeri ini. Head shoot buat saya lah hehe... ketika saya bertanya, beliau menceritakan apa saja yang beliau lakukan sejak berpisah dengan kami. It was amazing :") persistance for your goal.
Saya, makin makin makin tidak menyesal pernah megizinkannya pergi dari 'rumah' kami, beliau membuktikan, bahwa dengan keputusannya kala itu, beliau bisa mendapatkan jalan yang lebih baik yang sesuai plan lifenya.
Akhir tahun ini beliau akan kembali ke Indonesia karena studinya sudah selesai. Saya tanya lagi, apa yang ingin dilakukan di Indonesia... dia jawab "Pengennya sih langsung praktekin ilmunya ke daerah terluar Indonesia, sekalian menempa diri. Soalnya ini program yang diambil berkaitan dengan energi.. Saya sih mikirnya biar seimbang, tau luar negeri tapi tau kondisi di pelosok juga.. doakan ya semoga selalu konsisten :)". Busetttt, head shoot kedua kalinya buat saya... Saya pikir, beliau susah-susah dapat beasiswa, yaaa setidaknya ada gitu pikiran (walaupun dikittt aja, dikit nggak perlu banyak-banyak) untuk menikmati sesuatu yang sudah diperjuangkan untuk dirinya sendiri. Ehhh ini mah engga, tetep aja si kakak ini mah mikirin orang lain...
Dari sini saya belajar, dulu saya selalu merasa egois jika memikirkan tentang diri saya sendiri. Masih banyak urusan lain yang harus diurus, kita takboleh melulu berpikir tentang diri sendiri. Yang ada di otak saya hanya "harus jadi bermanfaat! Harus jadi bermanfaat!" Gituuu aja terus muter-muter. Hanya dengan let it flow aja berdampingan dengan lingkungan dan kondisi sekitar, maksudnya gini... kalau ada celah saya bisa nolong yaudah saya tolong, kalau ada celah bisa bermanfaat yaudah saya lakuin. Pokoknya nunggu doang gitu.. kalau ada baru melakukan.
Setelah belajar dari kakak tersebut dan membaca dan menerawang, saya makin sadar. Perspektif melihat, kebermanfaatan saya di masyarakat, juga perlu diimbangi dengan manajemen diri sendiri.
Ada satu titik dimana…jika kita tidak benar-benar tahu apa yang kita mau, kita tak benar-benar melangkah maju. => quote nemu dimana lupa Adek, Bang.
Saya ini orangnya kepinginan. Lihat ada yang mengajar di pedalaman, saya pengen. Lihat ada yang mengabdikan diri di industri kreatif untuk kemajuan anak negeri, saya pengen, dsb. Banyak pengennya deh pokoknya... Lalu sebenarnya saya ini…maunya apa?
Dan akhirnya, kita perlahan harus mulai menata, untuk lebih tahu apa yang diri kita butuhkan, apa sebenarnya mimpi kita, apa yang membuat kita menjadi ladang manfaat untuk orang-orang disekitar. Maka sejatinya setelah itu, kita jadi lebih mudah memetakan. Mana langkah yang seharusnya dimantapkan, mana yang tidak linear dengan fokus, dan mana yang sekiranya banyak mudharatnya.
Tanyakan sekali lagi pada diri sendiri : Hidupmu akan digunakan untuk apa? Kamu ini siapa? Maunya apa? Rencana ke depan bagaimana? Cara mencapainya seperti apa? Sebelum yang tanya…malaikat Raqib Atid. Hehehehehehe
Apapun jawaban dari segala pertanyaan itu, kaitkan selalu pada Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar