Senin, 04 Juli 2016

Taman Kanak-Kanak

Hari ini seorang teman pamer foto masa kecilnya haha, eh sebentar-sebentar. Ralat, bukan pamer -,- dia tidak pamer, tapi saya yang memaksanya untuk pamer (?). Foto masa kecilnya secara otomatis membuka ingatan masa kecil saya... Saya juga dulu pernah kecil, walaupun sampai saat ini saya masih juga kecil sih. Hiks.
Tulisan ini hanya tulisan nostalgila saya, daripada kamu menghabiskan waktu dan tidak mendapatkan apapun dari tulisan ini, saya sarankan kamu berhenti sekarang saja ya....

Jadi bagaimana tadi?

Aaa iya, masa kecil saya ya...
Sejak kecil jiwa premanisme saya sepertinya memang sudah melekat. Di kompleks rumah, hanya ada satu anak perempuan seusia saya. Ibu kami berada dalam satu kelompok arisan yang sama *ya ampunnn*. Alhasil, kami berdua pun sering menghabiskan hari bersama. Tapi, seiring berjalannya waktu, saya mulai angker. Sering menjitak teman saya itu dengan gelas bekas minum saya. Dia menangis, ibunya kesal, kami dijauhkan (?). Ahhh andai saja ibu-ibu kami tahu apa alasan saya sering menjitaknya dengan gelas... saya selalu kesal karena dia seringnya tidak mengerti dengan apa yang saya bicarakan, dengan apa yang saya mainkan. Saya ingin membuat kue dari tanah, ehhh dia malah mengguyur tanah saya dengan air kran seember... nggak jadi kue, yang ada mah jadi selokan -,- gemash kan ya (?) Ya begitulah kehidupan saya kala itu. Entah dia yang susah mengerti, atau memang saya yang susah dimengerti *tsahhhh* *astagfirullah, maklum itu zaman-zaman saya masih terkungkung di dunia kegelapan*

Akhirnya karena sifat saya yang 'nakal', orangtua saya menyimpulkan bahwa rasa sosial saya kurang, sehingga saya harus mendapat 'pelatihan' intensif mengenai kehidupan bersosialisasi. Umur 3 tahun, saya dipaksa dewasa sebelum waktunya dengan masuk TK *zaman dulu di kampung belum ada PAUD euy. Hiks* dengan harapan, setelah bertemu dengan banyak orang, saya akan lebih menghargai orang lain.

Sebenarnya saya adalah jelmaan anak berseragam kemeja putih dengan rok gantung biru dongker di atas lutut. Yang rambutnya disisir rapi, dikepang dua, berponi rata, sesekali ibunya membiarkan rambutnya diikat dengan ikatan buntut kuda.

Di hari pertamanya bersekolah, ia menangis, karena tak bisa satu kelas dengan teman satu-satunya yang ia kenal. Ibunya menghampiri kepala sekolah, membujuknya supaya anaknya bisa pindah kelas, dari kelas Ibu Win menjadi kelas Ibu Macik.

Di hari pertamanya bersekolah, ia duduk di bangku terdepan, tak berani berkenalan, menyuruh ibunya tetap di depan jendela, supaya ia bisa melihatnya kalau-kalau ia merasa ingin menangis.

Di hari pertamanya bersekolah, Ia memberanikan diri berkenalan dengan temannya di satu ayunan. Mencoba menuruni seluncuran, dan menaiki papan jungkit.

Hari-harinya bersekolah, ia menggambar langit dengan warna abu-abu, gurunya bertanya, “kenapa langitnya abu-abu?”, si anak diam..berfikir..lalu menjawab, “langitnya mendung bu….” “oh, mendung, tapi kok mona gambar mataharinya besar?” ibu guru membuat si anak merasa bersalah pada langit dan matahari, dalam hatinya ia bergumam oh ibu, jangan tanya-tanya saya lagi…

Hari-harinya bersekolah, ia takut saat jam makan tiba. Ibunya bilang, si anak menganggap jam makan sebagai lomba cepat-cepat menghabisi makanan. Ia takut karena ia tidak bisa menggunakan sendoknya dengan benar, ia masih harus disuapi. Temannya yang lain memulai makan dengan tenang, kebanyakan mereka membawa nasi dengan lauk, yang di mata si anak adalah makanan yang sulit untuk dikuasai sendok garpunya. Ia hanya mau membawa bekal nasi goreng. Ia lambat dalam memproses makanan, saat temannya telah selesai, ia ketakutan, maka ia akan berteriak memanggil ibunya, ibunya akan masuk kelas, menyuapinya. Ibunya memutuskan, bahwa untuk jam makan berikutnya, anaknya akan dibekali lapis legit, bolu, kentang goreng, apapun makanan yang tidak membutuhkan sendok untuk ia pegang.

Akhirnya, si anak berlatih makan sendiri di rumah, hingga akhirnya ia mampu makan dengan tangannya sendiri.

Hari-harinya bersekolah, ia bermain harmonika. Harmonika miliknya bergambar baju di bagian depannya. Jadi tidak tertukar dengan harmonika temannya yang lain. Ia berlatih tarian kretek untuk acara perpisahan.

Ia benci jika bajunya kotor, hingga dewasa, ia tetap begitu. Ia tak suka kukunya panjang, hingga dewasa, ia tetap begitu. Ia selalu suka sarapan bubur kacang hijau dekat sekolahnya, hingga dewasa, ia tetap begitu. Dan ia gemar menempeli plester atau ‘tato’ murahan hadiah permen karet di lututnya (kadang juga di pipinya), untung tidak bertahan hingga dewasa.

Suatu saat gurunya meminta para murid untuk menggambar pemandangan. Ia pun menggambar pemandangan. Dua garis sejajar yang panjangnya dari ujung kanan buku gambar ke ujung kiri buku gambar, lalu diwarnai hitam. Ketika maju ke meja guru untuk meminta bintang atas gambar karyanya, ibu guru bertanya, "Ini pemandangan apa?", Ia menjawab, "Jalan.". Iyaaa.. di depan rumahnya memang jalan, pemandangan yang Ia pandang ya jalan. Tadinya ingin menggambar sekalian mobil-mobilnya, tapi Ia tidak bisa menggambar mobil. "Coba kita gambar gunung, ini ada petani lagi bajak sawah, ada rumput, ada pohon." gurunya mulai mencorat-coret buku gambarnya. Si anak hanya diam melihat wajah gurunya, bukan buku gambar yang sedang ditingkahi gurunya. Dalam hati Ia bergumam, kenapa pemandangan itu harus gunung... ia tidak pernah melihat gunung yang seperti itu.
Setelah Ia dewasa, barulah mengerti... bahwa kala itu penafsiran dan keluasan pengetahuan antara Ia dan gurunya berbeda. Baginya, pemandangan hanya sesempit depan rumahnya. Tapi tidak bagi gurunya, gurunya telah melihat pemandangan yang jauh lebih luas dari hanya sekedar depan rumah.

Awal masuk TK, hal pertama yang diajarkan adalah menulis angka. Ibu guru menyuruh para murid menulis angka terus menurus sampai satu halaman buku penuh. Kini, Ia baru mengerti. Ternyata ibu guru ingin mengajarkan, bahwa konsistensi dan istiqomah itu sungguh perlu. Latihan terus menerus akan membuat tanganmu terbiasa.


Saya akhirnya keluar dari penjelmaan murid taman kanak-kanak, bergegas mengambil minum dari meja makan, karena bedug magrib sudah terdengar.

Sampai jumpa, masa-masa di taman kanak-kanak pertiwi.



0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact