Sabtu, 29 Oktober 2016

Adik Laki-Laki

Saya : *rapi-rapi jilbab* *menjajal-jajal gaya tersenyum*

Adik : mbak, gw nggak mau yaaa lu foto cantik-cantikan. Udah mainstream. Nggak hits. Gaya jelek aja yak.

Saya : mmmm... oh, gitu ya(?) Kamu juga gaya jelek juga?

Adik : iyak

Saya : khayyy

*cekrek* 

Daaaannn seperti di atas hasil fotonya. Dia senyum cakep, sementara saya seperti orang nahan perut mules, bibir sariawan, pipi bengkak. Hiks. Jadi ladies, jangan gampang percaya sama laki-laki yak.. sama adik laki-laki sendiri aja kena tipu. Percayalah hanya pada Allah SWT.
Nggakkk ding hehe candaaa... sayangilah laki-laki disekitar kita, hormati. Misalnya seperti, ayah dan saudara laki-laki kita. 'Laki-laki sebenarnya tidak ada yang jahat pada perempuan. Kalau dia jahat, ya berarti bukan laki-laki.', itu kata bapak saya sih hehe.

Salah satu hal besar yang sangat saya syukuri dalam hidup saya adalah saya mempunyai adik laki-laki, dan yang menjadi adik saya adalah dia.


Banyak hal yang diajarkan orangtua kepada kami.
Adalah mereka yang pandai bersyukur yang mengajarkan kami -anak-anaknya- tentang mudahnya cara bersyukur, tentu saja.

Adalah peringainya yang membuat kami percaya, rezeki tidak pernah salah penerima, pun banyak sedikitnya.

Adalah yang jauh dan yang dekat, gula-gula dan coklat, pahit kopi pekat, hambar dan asam yang melekat dalam senang dan penat. 
Dari segala kurang dan lebihnya, terima kasih telah mengajarkan kami tentang sabar dan lapangnya menerima.

Tidak ada yang sempurna, oleh sebab itulah kita tidak akan puas mencerna. Adalah kehadirannya yang menambah lapar dan dahaga, hingga lahapnya menegak ilmu bagaikan tiada fana.

Hingga segalanya benar-benar dihisap pusara, semoga selalu senada, berjuang agar kembali bersapa dalam nirwana milikNya keluarga kita, ya.

Terimakasih. Sudah menemani aku -anak pertama keluarga ini- belajar mendewasa. Walaupun kamu harus memaksakan diri sendiri, untuk dewasa sebelum waktunya :)





continue reading Adik Laki-Laki

Jumat, 28 Oktober 2016

Monolog

Ada yang berkata pada saya, bahwa...
Ternyata benar, hakikat doa itu bukan soal isinya, namun pada kesadaranmu untuk lepas dari ketidaktahuandiri akan butuhmu pada Tuhan. Hakikat doa itu ada pada kesediaanmu merendah, dan bercakap denganNya. Sebab meski hanya dengan begitu, kau sudah jauh lebih tenang. Tuhan sudah tahu maumu, sudah tahu yang terbaik untukmu, iya sudah tahu tanpa kau isi doamu dengan meminta ini itu. Jadikan momen berdoa itu berbincang mesra denganNya.

continue reading Monolog

Rabu, 26 Oktober 2016

Dehumanisasi Komunikasi

“Neng, maaf kalau aku pernah melakukan dehumanisasi komunikasi, saat Ping menggantikan salam dan tidak menanyai kabar... Semoga seterusnya,aku bisa ngambil hikmahnya.”

Pagi ini, saya membaca kalimat tersebut dari salah seorang sahabat saya. Astagfirullah... saya pun seketika menunduk lunglai. Iya, saya pun sering melakukan hal demikian, maaf Allah, punten pisan, Neng.



Terimakasih sudah memberi ‘tamparan’ pagi-pagi ketika akhir-akhir ini saya lebih banyak mengurusi hal-hal pribadi. Hingga melupakan hak orang lain untuk di-humanisasi.

Semoga Allah senantiasa menghimpun kita semua dalam lingkungan yang baik. Sebab, lingkungan yang baik tentu akan memberikan dampak yang baik. Dampak yang baik akan selalu diterima oleh hati yang baik. Dan hati yang baik akan selalu terisi oleh prasangka-prasangka baik. Sementara teman yang baik ialah mereka yang selalu menunjukkan, mengingatkan, serta mengajak kita untuk terus berbuat baik.
continue reading Dehumanisasi Komunikasi

Selasa, 25 Oktober 2016

Iguana dalam Pigura

“Kakek, aku mau lihat kebun binatang.”
Kakek mengusap butiran peluh di keningnya, tenaganya terkuras setelah berkeliling kebun binatang seharian. Apapun akan ia lakukan untuk cucu kesayangannya, bahkan jika ia harus menguras seluruh tabungannya seperti hari ini.
“Ini namanya Panda. Gembrot mirip Ikhsan.”  ledek kakek. Ikhsan terbahak, matanya terus memelototi Panda besar yang menurutnya lebih mirip kasur dari pada dirinya. Ini pertama kalinya ia melihat Panda. Sepertinya enak ditiduri, pikirnya.
“Kalau yang ini namanya apa kek?” Ikhsan menunjuk sebuah hewan melata yang baginya terlihat seram. “Itu iguana,” jawab kakek.
“Serem ya kek. Sama seremnya kayak ular dan kadal.” Ikhsan tak pernah suka hewan melata.
“Siapa bilang iguana seram.. banyak yang suka sama iguana lho San.” jelas kakek. Mata Ikhsan terbelalak seolah sedang mengambil alih mulutnya untuk bertanya kok bisa kek?
“Karena iguana unik, dan jumlahnya tidak sebanyak ular dan kadal. Dia juga ramah pada manusia,”
Iksan mengangguk, tapi masih juga belum mengerti. “San, kamu mau jadi seperti iguana? Menjadi manusia unik nan ramah dan disukai banyak orang?”
Lagi-lagi Ikhsan mengangguk. Di atas tempat tidur, Ikhsan mengusap-usap kedua kakinya yang hanya separuh. Sebuah truk besar mematahkan keduanya saat ia berusia tiga tahun.  Kakek memengang tangan Ikhsan, menghentikan gerakan tangan cucunya. “Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing San. Ikhsan pintar mengaji, banyak teman-teman ikhsan yang minta diajarin ngaji. Itu kelebihan yang tidak semua orang punya. Ikhsan dan iguana mungkin sama-sama tidak bisa berlari kencang seperti yang lain, tapi karena kalian unik, banyak yang akan mencari.”
“Makasih ya kek, kakek mau pergi ke kebun binatang dan memotretkan binatang-binatang itu untuk Ikhsan. Ikhsan seneng banget bisa lihat kebun binatang, biarpun cuma lewat foto.” Ikhsan merangkul tubuh kakek, satu-satunya keluarga yang ia  miliki di dunia ini. Kini badannya mulai ringkih. Dagingnya menipis dimakan usia.
“Aku mau pasang foto iguananya di pigura kek. Nanti kalau aku udah besar, aku mau pelihara Iguana. Boleh kan?”


continue reading Iguana dalam Pigura

Kulepaskan Kau dari Hatiku (KKDH)

(Tulisan ini, pada zamannya diikutkan sebagai naskah lomba kepenulisan (prolog -kalau saya tidak salah ingat-) dengan tema senada seperti judul post ini. Masih pada tahun-tahun ketika saya masih di SMA.)
Hehe, kalau ada yang banyak bertanya 'kenapa saya suka menulis -walaupun tulisannya amburadul-?' Mmmm... kenapa, ya. Ah ini, mungkin salah satu alasannya adalah agar menjaga saya supaya tetap waras.




Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku. Seperti langit yang merelakan malam menghilang demi pagi agar bisa lekas menjelang. Dan Dia, sang pemilik benteng bercahaya bernama kejora akan membawaku lari dari awan nimbustratus ke tempat yang lebih jauh dari saturnus. Dia, juga akan mengendongku saat masih terlelap di kasur kelabu ber-merk ‘kamu’ menuju Lembah Urumba di Peru.


Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku. Seperti pohon yang melepaskan daun kering dari ranting demi estetika yang ingin tetap dikagumi jutaan pasang mata. Dan Dia, sang pembuat taman bunga terindah di dunia akan merebahkanku di atas kelopak bunga, sambil mengejakan sederet aksara yang berjejer mulai dari ‘b’, ‘a’, ‘h’, ‘a’, ‘g’, ‘i’, hingga ‘a’ dan menuturkan padaku apa maknanya.



Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku. Persis seperti butir es yang kubiarkan meluruh dari genggaman sore tadi. Dan Dia, sang pecipta senja akan menghentikan putaran bianglala di puncak tertingginya agar aku dapat menyentuh jingga. Merasakan indahnya pendar cahaya kuning-keemasan dan melupakan warna hitam yang kau torehkan.



Karena melepasmu adalah pekerjaan termanis,
Seperti rasa permen nougat khas Perancis.



continue reading Kulepaskan Kau dari Hatiku (KKDH)

Rumah Kebun Binatang

(Cerita ini ditulis pada tahun 2010, mmm... saat saya masih duduk di bangku SMA, ya. Hari ini kembali membuka tulisan-tulisan lama. Dan, binggo!! Ketemu tulisan ini.) 



Rumah kami, ada di ujung gang kecil. Walau keadaannya amat sederhana, tetapi itu istimewa bagi kami. Rumah yang membuat kami sibuk dan kompak di waktu hujan. Mengambil ember, waskom dan beberapa lap untuk menahan bocoran air dari atap. Rumah yang membuat kami seperti bebek panggang di dalam oven jika panas terik. Itulah mengapa aku senantiasa membuka semua jendela dan pintu yang ada. Berharap  dewa angin bisa mengelus  kami dengan kesejukannya.

Aku ingat, pertama kali anakku datang, mulutnya dimonyongkan. Lalu ada semburan kata –kata kecewa keluar dari mulutnya.

“Rumah apa nih Ma, kok kecil dan jelek sekali.”

Aku tersenyum.”Biar begitu ini kan rumah kita.”

“Aku nggak mau tinggal di sini ah. Mau tinggal sama nenek saja yang rumahnya bagus dan besar,” jawabnya agak menciutkan hatiku.

“Silakan saja,” kataku. “Tapi bagaimana kau bisa membiayai hidupmu jika kau tinggal di sana?”
Anakku diam.

“Biar jelek ini rumahmu. Lihat, berapa puluh gelandangan mengais – ngais rupiah di tempat sampah. Mereka tidak punya rumah sama sekali. Jangankan untuk membeli rumah. Untuk makan saja mereka susah.”
Anakku cukup cerdas. Walau waktu itu baru  kelas satu SMP , aku yakin ia mengerti sekali apa yang kumaksudkan.

“Mempunyai rumah sendiri jauh lebih nikmat, daripada kita  tinggal di istana, tapi sekedar numpang,” cerocosku akhirnya.

Ia berpikir dalam diam. Dan lagi-lagi aku percaya bahwa ia  cukup cerdas memaknai ucapanku. Sejak kecil aku terbiasa berbicara kata-kata penuh filosofi padanya.

Ketika kelas satu  SMA, ia melihat rumahnya  sebagai bagian dari dirinya. Ia malah membuatnya menjadi semacam gurauan ringan.

“Rumah kita persis kebun binatang ya Ma,” senyumnya renyah.

“Lho, emang kenapa? Apa ada gajah masuk rumah kita?” kataku ikut berseloroh.

“Bukan Ma, kemarin ada tikus bertenaga kuat, bisa membobol lubang air tempat cuci. Kemudian ia nongol, lalu pergi lagi.”

Aku tersenyum. Dia tidak mendengar suara tikus menggerogoti pipa itu tiap  harinya. Tidurnya terlalu nyenyak. Setiap malam, sedikit demi sedikit tikus got itu menggigit pipa paralon dengan uletnya. Bunyinya greet…greet…greeet…Aku saja sampai terbangun dibuatnya.

“Tahu nggak Ma, kemarin Kakak lihat dua kecoa terbang. Besoknya lagi ada binatang berkaki banyak di bawah kursi. Terus siput yang bergaya di pintu.  Belum kodok besar yang terjebak di sudut kamarku. Dan yang paling sering lintah. Kakak paling benci binatang satu itu Ma. Menjijikkan,” tambahnya lagi.
Aku tertawa dan membenarkannya.

“Ya, rumah kita persis kebun binatang!” tanggapku.

Kami lalu tertawa bersama. Dia tidak tahu, kalau seekor kupu – kupu langka pernah nyelonong masuk. Tapi itu terasa indah karena terbang dari kaca jendela yang satu ke kaca jendela yang lainnya. Konon kalau kupu – kupu masuk rumah pertanda akan ada tamu datang. Dan katanya lagi, kalau tamu itu akan membawa berkah. Mudah-mudahan.

Yang ngeri kalau lebah yang bertamu. Nngggggggg….aku segera berjongkok. Tapi tidak bilang ‘pahit, pahit,’ seperti ketika aku kecil dulu. Burung juga pernah kesasar masuk. Lucunya ia menabrak kaca. Kasihan, pasti sakit. Maka kacanya kubuka. Dan ia lepas terbang ke angkasa. Selain burung, ulat bulu juga pernah beberapa kali berjalan-jalan di lantai rumahku.

“Suara apa itu Ma?” Anakku pernah merasa heran ketika  mendengar suara jangkrik di kamarnya.

Kalau suara jangkrik, anakku suka sekali. Apalagi setelah kuberi tahu bahwa jika ada suara jangkrik, jangan terganggu. Sebab jangkrik membantu kita mengusir tikus. Konon, tikus paling benci mendengar suara itu.  Anakku jadi ngefans pada suaranya. Kalau tak ada ia suka merindukannya.

Di luar rumah sering kedapatan ular. Mereka datang dari selokan agak jauh dari rumahku. Kalau malam hari burung hantu paling senang bertengger di kabel listrik. Asalnya sih suka mangkal di pohon sukun. Karena pohon itu aku tebang bagian atasnya, maka ia sering berdiam di kabel itu.
Keberadaan burung itu mendapat tanggapan miring tetanggaku. Konon burung hantu itu pembawa sial karena burung jejadian dari siluman, katanya. Tapi aku cukup menanggapi dengan senyum saja. Bagiku ia adalah kawan. Ia bersuara, setia menemani saat aku masih mengetik naskah mengejar deadline lomba, di tengah sunyinya malam.
Sekarang malah ada selentingan baru. Katanya kalau ada burung hantu berarti ada orang hamil di sekitar situ. Aku terperanjat. Jangan – jangan tetangga menyangka aku hamil. Tapi bagaimana aku bisa hamil, aku kan tidak punya suami. Untungnya, ternyata yang disangka hamil adalah adik perempuanku yang sudah mempunyai dua anak.

Berbicara tentang burung. Tiap pagi aneka burung hinggap dan bernyanyi di pohon – pohon depan rumahku. Burung – burung itu banyak macamnya. Warnanya aneka rupa. Lukisan Tuhan yang maha dahsyat. Karena warna – warnanya sangat segar dan menawan. Ada abu – abu bercampur biru. Perpaduan hijau dan kuning. Ada yang kemerahan berpadu hitam. Seribu satu macam. Sepertinya burung-burung itu berasal dari gunung Manglayang dibelakang rumahku. Suaranya pun macam – macam. Yang lucu ada yang berteriak–teriak seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Piaak…Piaak…

Kalau tidak punya uang, kadang terpikir untuk menangkap burung – burung itu dan menjualnya. Aku pernah melihat burung – burung kecil itu dijual di pasar yang khusus menjual burung. Bahkan aku sudah memikirkan cara untuk menangkapnya.
Tapi walau demi uang, aku paling tidak suka penganiayaan. Burung pun butuh kebebasan dan kebahagiaan. Alam adalah rumahnya. Jadi aku tak mau melakukan perbuatan itu. Karena rumah kecilku itu juga cerminan kebebasan dan kebahagiaanku.  Sekedar untuk membuktikan kepada dunia bahwa aku bisa mandiri.

Rumahku walau keadaannya begitu, telah menjadi berkah dalam banyak hal. Jika aku butuh cabe, bawang daun, aku tinggal memetiknya di halaman depan. Bahkan beberapa sering kujual jika aku membutuhkan uang. Apalagi kalau musim mangga, lebatnya luar biasa. Aku bisa meraup uang lebih dari ketiga pohon mangga di depan rumahku itu.

Namun kehidupan bergulir terus. Rumah kesayangan yang tak pernah kuperbaharui sekalipun itu, haruslah kutinggalkan karena akan dibeli orang lain.
Sebuah grosir kenamaan membuka cabangnya depan rumahku. Tempatku ditaksir dengan harga yang tinggi.  Bukan karena jumlah uangnya akhirnya kurelakan. Rumah yang sering kuisi shalat malam, menghantar doa untuk mendapatkan jodoh itu akhirnya harus kutinggalkan. Aku harus rela melepasnya karena aku harus ikut bersama suami baruku, menempati rumah baru yang sangat besar nun jauh di kota London sana.

Sepertinya aku dan anakku harus mengucapkan selamat tinggal pada rumah istimewa, rumah kebun binatangku. Rumah kenangan dengan burung – burung, kupu – kupu dan semua binatangnya yang bekeliaran bebas.

Semoga rumah baru kami nanti menjadi rumah yang lebih istimewa lagi. Dimana kami bisa menegakkan derajat kami sebagai manusia dan mempunyai kedudukan yang layak di mata Tuhan. Aamiin.
continue reading Rumah Kebun Binatang

Senin, 24 Oktober 2016

Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban

Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban, Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban (31 kali dalam 1 Surah)


Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia....
Allah SWT tahu betapa keras engkau sudah berusaha.

Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih...
Allah SWT sudah menghitung airmatamu.

Jika kau pikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu dan waktu serasa berlalu begitu saja...
Allah SWT sedang menunggu bersama denganmu.

Ketika kau merasa sendirian dan teman-temanmu terlalu sibuk untuk dunianya.
Allah SWT selalu berada di sampingmu.

Ketika kau pikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu hendak berbuat apa lagi....
Allah SWT punya jawabannya.

Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan...
Allah SWT dapat menenangkanmu.

Jika tiba-tiba kau dapat melihat jejak-jejak harapan...
Allah SWT sedang berbisik kepadamu.

Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan merasa ingin mengucap syukur...
Allah SWT telah memberimu rahmat.

Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban...
Allah SWT telah tersenyum padamu.

Ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi...
Allah SWT sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu.

Ingat bahwa dimanapun kau atau kemanapun kau menghadap....
ALLAH SWT MAHA TAHU & MAHA MENDENGAR...

Bagi Allah adalah mudah meneguhkan hati seseorang. Manusia hanya perlu yakin dan percaya, bahwa apapun mudah bagi Allah..




continue reading Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban

Minggu, 23 Oktober 2016

Solitude

Setelah beberapa saat lalu karena saya penasaran dengan istilah logore, yang terdengar kece di telinga saya, muncullah bohlam lampu di dalam kepala saya. Saya melaksanakan asas pencaritahuan pengetahuan, atau bahasa kekiniannya, kepo(?). Saat mencari, nyangkut lah istilah solitude. Wiiii, ini terlihat kece juga di mata saya. Bertransmigrasi lah ke-kepo-an saya dari logore ke solitude. Ada hal menarik mengenai solitude ini...

Di dunia yang riuh seperti sekarang, dimana pelatihan kepemudaan atau kepemimpinan selalu diisi dengan materi semacam: team work, team building, public speaking, how to influence people, dan semacamnya, menurut saya kita jadi lupa makna pentingnya kemampuan menghandle kesendirian *hazeggg*.

Kemampuan untuk memaknai sendiri sebagai “solitude” dan bukannya “loneliness”. Kata “solitude” ada untuk menggambarkan 'the glory of being alone'. Solitude matters.

Kita hidup di zaman yang penuh dengan motivasi untuk berbuat sesuatu yang ‘besar’. Identik dengan menginisiasi pergerakan atau ‘being somebody’ (read: obsesi ketokohan) diantara orang banyak. Semua itu diarahkan untuk menuju perubahan yang lebih baik. It’s good, agama kita juga kan mengajarkan tentang amal jama’i atau hidup berjamaah, right?

Tapi seharusnya pun kita jangan lupa, dalam hidup ini ada perubahan-perubahan yang bisa dibawa oleh orang-perseorangan, dalam waktu yang ‘saat itu juga’. Ingat Tugce AlBayrak? Seorang gadis Jerman turunan Turki yang berani menghentikan sekelompok pemuda yang melecehkan dua orang gadis di toilet restoran di daerah Frankfurt, dan akhirnya wafat karena ditinju di bagian wajahnya oleh pemuda-pemuda tadi di parkiran. Eh, nggak usah jauh-jauh sampai ke Jerman dan bicara tentang kasus menghentikan pelecehan yang butuh keberanian superb besar deh, kasus-kasus yang sering kita temui sehari-hariiii aja: orang merokok di tempat umum atau buang sampah sembarangan, berani nggak kita menghadapi orang-orang semacam itu dan menegurnya saat kita sedang sendirian?
Well, kita bisa menginisiasi pergerakan #stopharassment misalnya, tapi kita juga butuh perubahan yang dilakukan saat itu juga. Tindakan berani yang dilakukan Tugce contohnya.

Kita bisa berani dan idealis saat berkumpul bersama orang lain, tapi saat sendiri? Itulah kondisi sebenarnya untuk mengetes seberapa teguh kita pada kebenaran.

Akhir-akhir ini, kita dengan mudah ‘blown away’ oleh pertunjukan di media tentang pemimpin yang ngamuk lah, muntab karena mergokin suap lah, dan kasus umbar amarah lainnya. Tapi sadar nggak sih kita (terutama saya), ‘the real deal’ itu nanti waktu pemimpin tersebut sedang jauh dari sorotan kamera dan dihadapannya terhampar kesempatan untuk menggemukkan pundi-pundi kekayaan, misalnya.
Yupssss, karena orang-orang yang bermain dengan uang panas itu less likely akan muncul ke hadapan mereka dengan membawa rombongan pengantin sunat, menghaturkan sambutan-sambutan dari tokoh masyarakat setempat, diiringi tarian rampak kendang dan apalagi... pewarta berita. Disitulah keteguhan pribadi seorang pemimpin akan diuji sepenuhnya. Saat dia sendiri, nggak ada siapapun yang menyaksikan dirinya yang sedang menolak suap, nggak akan ada headline berita di media masa.

Yang terakhir, sadarkah kita, kesendirian itu sering dijadikan hukuman? Penjara misalnya. Bentuk isolasi itu akan menjauhkan kita dari lingkungan yang familiar dengan kita, hak-hak kita. Contoh lain: Pembunuhan karakter. Bayangkan dari orang yang tadinya dianggap teman atau bahkan dipuja lalu kemudian dihujat-hujat. Itu bentuk kesendirian juga lhoh.

Atau dalam kehidupan sehari-hari: dikucilkan. Euhhhh, berapa banyak ABG yang ikut-ikutan hal-hal buruk karena ketakutannya akan dikucilkan teman-teman se-geng *boy bandnya*(?)

Maka, berteman baiklah dengan kesendirian dengan mengetahui bagaimana cara menghandlenya. Karena saat kita memaknai kesendirian itu sebagai “solitude” dan bukannya “loneliness”, kesendirian tidak akan pernah bisa menghukum kita saat kita berada dalam kebenaran.

Hmmm bicara itu sesulit diam, pun demikian, diam juga sesulit bicara.






continue reading Solitude

Sajak dari Ibu

Nak, hari-hari yang kamu hadapi berbeda dengan hari-hari Ibu kebelakang
Pilihan yang muncul di depanmu juga sudah jauh berbeda dengan masa Ibu dahulu

Pssttt.... tapi jangan khawatir, Nak
pegangan yang kokoh dalam hidup tetap sama
Tidak perlu berpikir keras, karena semuanya sudah ada dalam kitab yang sudah ditetapkan

Yang harus terus kau pelihara adalah iman; pada pilihan hidupmu, minta hanya kepada Dia yang menguasai semesta, supaya selalu dijaga.

Dari Ibumu, sang pembaca angin.
continue reading Sajak dari Ibu

Kamis, 20 Oktober 2016

'Kegilaan' Seorang Ibu

Saya pernah tidak mengerti, kegilaan macam apa yang membuat seorang ibu begitu mencintai anaknya -orang yang membuatnya merasakan segala macam rasa sakit dan kekhawatiran-. Coba bayangkan, kehamilan membuat wanita mudah sekali lelah, kaki dan pinggang yang sering keram, belum lagi emosi yang tidak stabil. Dan hanya pada saat hamil, para wanita malah dengan senang hati mengikuti angka timbangan yang mengalami tren kenaikan. What a phenomenon. (Ini bukan pengalaman saya pribadi, bukan. Saya belum menikah, apalagi hamil -__- jadi ini validitasnya masih diragukan ya mungkin(?) karena saya belum mengalaminya sendiri. Ah, tapi sepertinya memang iya begitu deh rasanya.)



Lalu tentang perjuangan saat persalinan, konon kabarnya lagi, rasa sakit melahirkan setara dengan 20 tulang patah bersamaan. Atau, rasa perih c-sectio yang traumatis, yang ngilunya baru bisa hilang berminggu-minggu kemudian. Hingga bukan tanpa alasan melahirkan disebut perjuangan antara hidup dan mati. Apakah semua "penderitaan" ini berakhir setelah persalinan? Nope. Justru baru saja dimulai. Akan ada malam-malam panjang dalam keterjagaan, tidur yang jauh berkurang, tenaga dan emosi yang terkuras, belum lagi tantangan dari lingkungan yang rese. Sampai kapan semua drama ini? Sampai anak-anak sudah besar? Actually nope. Hanya satu hal yang dapat menghentikan drama perjuangan ibu untuk anaknya: kematian. See?
Ya, Ini gila.


Padahal, bisa saja ibu-ibu kita memilih untuk jalan-jalan menikmati masa mudanya ketimbang mengurus kita anak-anaknya yang mungkin saja bisa jadi anak yang tidak tahu diri dan tidak tahu balas budi.


Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan sebuah cerita dari seorang kakak perempuan yang menekuni bidang ilmu gizi dan saat ini sedang melanjutkan studinya di Kopenhagen. Sebelumnya, dia pernah melakukan semacam kegiatan pengabdian di daerah NTT, tepatnya di desa Sunu. Desa yang letaknya 107.5 km dari Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, sekitar 62.6 km untuk menuju ke Ibu Kota Kabupaten di Soe (jauh ya? Huum). Alhamdulillah, walaupun terletak di desa, tetapi sudah ada layanan untuk kesehatan ibu hamil dari Foundation for Mother and Child Health Indonesia (FMCH Indonesia).


Disana ia bertemu dengan dua orang ibu-ibu muda, usianya 23 tahun (yassalam... saya umur 23 tahun ini aja masih sering nangis kalau ketinggalan abang-abang penjual cilok. Ehh dia udah punya 2 anak ajah. Hmm). Ada cerita menarik dari dua orang ibu-ibu muda ini. Ibu pertama, baru pertama kali mengikuti kelas ibu hamil walaupun sudah pernah hamil sebelumnya. Si ibu merasa senang karena dapat berkumpul bersama ibu hamil lainnya dan merasa tubuhnya menjadi lebih sehat. Dari kegiatan ini pula dia mengaku mendapatkan pengetahuan baru yang menurutnya berharga, mengenai ASI eksklusif yang diberikan selama 6 bulan beserta segala manfaatnya untuk bayi serta resep-resep makanan selingan untuk anak pertamanya (Nah bu ibu... harus bisa masak nih!!! *ngomong depan kaca*).


Lalu, cerita Ibu kedua... Si ibu ini 2 anaknya meninggal karena bayi lahir prematur. Anak keduanya lahir pada usia 6 bulan dan anak ketiga ketika 7 bulan’an, dua-duanya meninggal.

(intermezo: pas bagian cerita usia kelahiran prematur, saya ingat kebodohan saya. Saya pernah sempat bodoh karena dibodoh-bodohi dukun beranak -_- Saya terlibat pembicaraan dengan dukun beranak, si dukun beranak ngeyel, saya coba menjelaskan dengan ilmu yang pernah saya dapatkan di kuliah, lalu dia menanyakan pengalaman saya tentang lahir melahirkan ‘Eneng mah belum pernah melahirkan kan(?) belum pernah juga menangani orang melahirkan(?) saya sudah puluhan tahun atuh’, yahhh setelah itu saya hanya mampu gantung diri di pohon cabai. Jadi, dikalangan dukun beranak mempercayai bahwa ‘lahir 7 bulan itu lebih baik daripada 8 bulan. Karena kehamilan 7 bulan adalah kehamilan tua’, can you imagine? Saya sih engga. Padahal, makin muda usia kelahiran bayi, resiko akan makin tinggi, ini kata teman saya -yang sudah punya pengalaman lahir melahirkan. Emm maksudnya, pengalaman melihat proses melahirkan, lebih tepatnya. Karena sampai akhir dunia ini sepertinya dia tidak akan pernah melahirkan-. Jadi, nanti, kalau ada dukun beranak yang bilang ‘lahir 7 bulan itu lebih baik daripada 8 bulan’ , jangan percaya. Percayalah hanya pada Allah SWT, ya).


Motivasi ibu kedua ini beda sama ibu pertama, si ibu kedua ikut kelas kehamilan karena menurutnya ada yang ‘salah’ dengan cara dia sehingga 2 anaknya lahir prematur dan meninggal, maka dia ingin mencari pengetahuan dengan ikut kelas hamil tersebut. Bergabung dalam kelas ibu hamil bukan masalah datang atau tidak datang namun perjuangan yang harus dia lakukan. Wanita yang berusia 36 tahun itu tetap semangat meski harus berjalan berkilo-kilo meter (dengan kondisi hamil) untuk menuju balai desa Sunu. Masya Allah ya..


Sosok ke-dua ibu di atas hanya sebagian kecil kisah ibu hamil yang luar biasa di NTT. Mereka terus berjuang untuk kesehatan dirinya sendiri, anak, dan keluarganya. Si Ibu mempersiapkan hal terbaik yang bisa ia lakukan bahkan jauh sebelum anaknya lahir. Ahh, tidak perlu jauh-jauh mungkin ya... lihat ibu kita sendiri, orangtua kita, yang selalu mengusahakan apa-apa yang terbaik untuk anak-anaknya, walaupun mungkin itu sulit bagi mereka. Saya memang belum mengalami kegilaan semacam itu saat ini.


Tapi melihat ‘kegilaan’ orangtua saya, utamanya ibu saya, membuat saya belajar bahwa ‘dunia tidak selalu bekerja sesuai nalar dan cara pandang kita. Ada hal-hal yang kebal nalar, seperti cinta orangtua terhadap anaknya. Yang bodoh amat sama namanya rasa sakit dan rasa lelah. Yang mereka tahu, mereka bahagia jika kita bahagia. Yang melihat senyum kita, menjadikan mereka manusia paling kuat dan paling bahagia sedunia. Yang mendengar kita bilang sayang kepada mereka, menjadikan mereka rasanya tak butuh makan berbulan-bulan.’
continue reading 'Kegilaan' Seorang Ibu

Rabu, 19 Oktober 2016

Perantara Syukur

Sejak purna dari kampus, saya memang jarang muncul di sosial media. Eh, sepertinya malah memang tidak muncul di akun-akun saya deh. Ya cuma blog ini saja (yang menampung semua sampah saya) hehe. Banyak yang bertanya mengenai keberadaan saya, kabar saya, kesibukan saya, hilangnya saya(?) hehe.. kangennn yaaa pasti yaaa *tampar*. Saya masih disini, alhamdulillah sehat fisik serta jiwanya(?). Pun masih bisa dihubungi dengan mudah (insya Allah).

Saya mau cerita satu hal, mengenai sosial-sosial media saya. Dulu kala, satu motivasi saya membuat sosial media adalah "supaya saya mudah dihubungi oleh siapapun", karena kala itu saya masih diberi tanggung jawab amanah yang artinya saya harus mudah 'mendengarkan' dan 'disentuh' oleh siapapun. Saya membuat sosial media saat sekiranya cakupan amanah yang saya emban cukup luas dan tidak memungkinkan jika hanya dengan hubungan intrapersonal.

Sebenarnya setelah purna kampus pun saya tidak ada niatan untuk vakum di sosial-sosial media saya sih. Sampai ada satu momen, yang bikin saya mikir.
Saat itu saya masih dalam proses berdarah-darah *lebayyyy* mengerjakan skripsi. Lalu ketika saya membuka sosial media saya, saya menemukan banyak postingan foto wisuda yang membuat hati saya remuk redam sedih gundah gulana haha. Saat itu saya semacam memiliki traumatik tersendiri, men-deaktif-kan sosial media saya saat musim-musim wisuda supaya saya tidak menjadi-jadi kotor hatinya. Eh tapi ini murni karena hati saya yang kotor kali ya, bukan karena kesalahan orang-orang yang memposting postingan tersebut. Bukan. Saya yakin orang-orang punya niatan tulus ingin berbagi kebahagiaannya. Salah? Engga lah!. Tapi kok ya saya ini yang hatinya 'lucu'. Astagfirullah...

Dari situ saya jadi mikir, 'Ya Allah, niat baik dari kita mungkin tanpa kita sadari malah mencederai hati dan perasaan orang lain, ya'.

Maka sejak saat itu, saya lebih berhati-hati dalam memilih 'membagi kebahagiaan' di sosial media. Karena mungkin iya niat kita baik, tapi kalau ndilalahnya postingan kita bertemu dengan orang yang hatinya sedang tidak baik (seperti saya waktu itu) dan bisa menjadi trigger cederai hatinya(?) kan mending nyari amannya saja. Hehe itu pikir saya.

"Via media sosial, kita bisa banyak berdakwah kalik."
Lhoh, iya, emang. Saya pun menemukan banyak sekali akun pribadi yang memang 'diwakafkan' untuk berdakwah. Masya Allah, saya yang cuma melihat saja senang rasanya. Bagaimana jadi mereka-mereka itu ya, pasti syukurnya tumpe-tumpe. Karena mungkin banyak orang terinspirasi dan belajar dari postingan-postingannya. Nah ini pentingnya proses memilah-milah postingan tadi, sih, saya rasa. Mana yang bisa mentrigger pembelajaran dan syukur dari orang lain.
Sekali lagi saya bilang *pakai gaya konferensi pers*, saya pun tidak off dari media sosial, saya masih membutuhkannya untuk menemukan informasi-informasi, untuk bersilaturahmi. Masih. Saya masih memanfaatkan fitur direct message pada sosial media tersebut. Hanya saja saya lebih presisi dalam membagikannya. Mungkin nanti ketika saya punya foto selfie yang mirip Maudy Ayunda, baru akan saya post deh sepertinya *mukelujauhmon!*

Kita selalu butuh keseimbangan. Dibutuhkan aktivis kebaikan di dunia maya yang menyasar kalangan pengguna media sosial, pun dibutuhkan juga agen di dunia nyata nya. Kita butuh keduanya, keduanya sama-sama penting. Lalu kita, mau pilih jadi yang mana? *tanya pada rumput yang bergoyang*. Pilihan yang manapun, tidak masalah, kok. Semoga segala niat dan aktivitas kita selalu diberkahi Allah ^^


***

"Tahu, mengapa kita tak boleh terlalu senang berlebihan saat dikaruniai kenikmatan?
Agar kita menjaga yang lain untuk tetap bersyukur.. 
Karena, tak semestinya kita menjadi perantara orang untuk kufur nikmat..

Yang wisuda, menjaga perasaan orang yang belum wisuda..
Yang hamil, menjaga perasaan orang yang belum hamil..
Yang sudah menikah, menjaga perasaan orang yang belum menikah..
Yang kaya, menjaga perasaan orang yang miskin..
Yang sempurna fisiknya, menjaga perasaan orang yang memiliki kekurangan fisik..

Indah.

Kita menjaga diri bukan lantaran orang-orang disekitar kita iri..
Kita menjaga diri bukan berarti kita tidak berhak mengekspresikan rasa senang dan syukur kita..
Kita menjaga diri karena kita ingin sama-sama bersyukur dengan mereka yang belum mendapati nikmat yang sudah kita dapati..
Karena menjadi perantara syukur bagi orang lain adalah kenikmatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya"

continue reading Perantara Syukur

Senin, 17 Oktober 2016

Tentang Kepemimpinan

Hai para kolega...

Didorong oleh rasa khawatir jikalau tidak bikin tulisan cogab cagub dianggap tidak gahol(?) dan rasa pengen ikut-ikutan yang menggebu mengharu biru, maka saya sempatkan untuk menuliskan tulisan ini.
Sungguh saya tidak peduli anda memilih paslon cagub DKI yang mana. Itu urusan anda dan saya tidak ingin mencederai demokrasi. Apapun pilihan anda, saya yakin dilandasi kecintaan anda pada ibukota negara ini, bukan semata-mata karena kecintaan anda pada figur atau kebencian anda pada lawannya.


Tapi dalam pencaturan kepemimpinan di DKI kali ini, setelah tsunami kampanye yang luar biasa, setelah overdosis informasi masuk ke otak saya, saya mendapatkan banyak pelajaran berharga... yang menjadikan saya kembali membuka kisah Umar bin Abdul Aziz.


Begitu harum nama Umar bin Abdul Aziz (Omar II), sang pemimpin, bintang terang bani Umayyah, sampai-sampai 13abad setelah keberpulangannya, saya masih dapat mencium bau semerbak.
Ia tidak pernah mencalonkan diri, tidak berkampanye, apalagi sampai punya cybertroops(?), ia dipilih secara sepihak. Ketika diangkat menjadi khalifah, yang dilakukannya adalah menangis bercucuran air mata, menggalau, bagaimana bisa Allah memberi ujian kepemimpinan sedemikian berat di usianya yang masih muda, 37 tahun.

Tahukah, seluas apa wilayah yang harus dipimpinnya? Sungguh, sepotong negeri yang gemah ripah nun jauh di sana tidak ada apa-apanya. Bani Umayyah membentang dari ujung barat Afrika bagian utara hingga ke Asia kecil, menaungi eropa barat: Portugis, Spanyol hingga ke pintu kota Paris, seluruh timur tengah sampah ke dataran Tiongkok. Jika ditotal, hampir 1/3 belahan dunia, tidak kurang dari 30 negara berdaulat yang kita kenal hari ini. Luas sekali.

Di sinilah letak beda pemimpin sejati dengan sekedar penguasa. Umar mampu membereskan karut marut pemerintahan terdahulu dan mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam arti sesungguhnya. Di masa kepemimpinannya, tak ada satu orangpun yang secara finansial wajib dizakati. Hingga konon kabarnya, kas zakat yang menggunung harus sampai "diiklankan" untuk mendapatkan penerima. Aih, jangankan manusia, seekor dombapun ia pikirkan kesejahteraannya. Dan coba tebak, berapa lama waktu yang diperlukan Umar untuk melakukan itu semua? 32 tahun? 10? 8? 5? Bukan. Hanya 2 tahun, 5 bulan, 5 hari. Karena sang pemimpin berpulang di usia 39tahun.


Lalu pertanyaannya, bagaimana bisa? manusia macam apa Umar ini? Jika anda pernah membaca kisah keteladanannya, ada 3 karakter Umar yang selalu di-bold para penukil sejarah : tegas, amanah dan bersahaja.


Pemimpin mana yang memadamkan lampu ketika menjamu keluarganya yang datang bertamu?alasannya, tamu berkunjung untuk urusan pribadi, sedangkan lampu yang ada saat itu adalah fasilitas negara.


Pemimpin mana yang menolak pemberian sebutir apel (yep, sebutir) yang sangat ia idamkan karena takut ada benih-benih korupsi?

tentang kesahajaannya jangan ditanya, pemimpin mana yang diakhir hayatnya, harta yang ia miliki hanya sehelai baju. Ya, sehelai baju yang sedang ia kenakan. Padahal ia berkuasa atas seluruh negeri, segenap emas dan perak. Dan tak ada sepeserpun yang ia wariskan pada keturunannya. Lebih kurang begini katanya, "jika aku meninggalkan anak-anak yang sholeh, maka Allah sendiri yang akan menolongnya. Tapi jika aku meninggalkan keturunan yang tidak sholeh, untuk apa kutinggalkan harta benda jika digunakan untuk kemaksiatan?"


Anda seperti membaca dongeng ya? ini memang terlalu keren untuk jadi nyata.

Dan sekarang saya jadi teramat galau, kapan "terlahir" pemimpin seperti itu dari rahim bangsa ini? ntahlah, mungkin pemimpin fantastis seperti Umar hanya ada 1 dalam 1 millenium. Tapi dari hati yang paling dalam saya yakin, tidak luput kita semua berdoa (karena saya tidak bisa ikut milih. Maka hanya mampu berdoa. Hiks), semoga Allah pantaskan bangsa ini khususnya ibukota negara ini dipimpin oleh seorang pemimpin sejati, yang mencintai kita lebih dari dirinya sendiri, bukan sekedar penguasa yang hanya ingin bertambah kaya dengan segala macam cara apalagi sampai menistakan panduan hidup keyakinan lawannya.

Aamiin 
continue reading Tentang Kepemimpinan

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact