Rabu, 19 Oktober 2016

Perantara Syukur

Sejak purna dari kampus, saya memang jarang muncul di sosial media. Eh, sepertinya malah memang tidak muncul di akun-akun saya deh. Ya cuma blog ini saja (yang menampung semua sampah saya) hehe. Banyak yang bertanya mengenai keberadaan saya, kabar saya, kesibukan saya, hilangnya saya(?) hehe.. kangennn yaaa pasti yaaa *tampar*. Saya masih disini, alhamdulillah sehat fisik serta jiwanya(?). Pun masih bisa dihubungi dengan mudah (insya Allah).

Saya mau cerita satu hal, mengenai sosial-sosial media saya. Dulu kala, satu motivasi saya membuat sosial media adalah "supaya saya mudah dihubungi oleh siapapun", karena kala itu saya masih diberi tanggung jawab amanah yang artinya saya harus mudah 'mendengarkan' dan 'disentuh' oleh siapapun. Saya membuat sosial media saat sekiranya cakupan amanah yang saya emban cukup luas dan tidak memungkinkan jika hanya dengan hubungan intrapersonal.

Sebenarnya setelah purna kampus pun saya tidak ada niatan untuk vakum di sosial-sosial media saya sih. Sampai ada satu momen, yang bikin saya mikir.
Saat itu saya masih dalam proses berdarah-darah *lebayyyy* mengerjakan skripsi. Lalu ketika saya membuka sosial media saya, saya menemukan banyak postingan foto wisuda yang membuat hati saya remuk redam sedih gundah gulana haha. Saat itu saya semacam memiliki traumatik tersendiri, men-deaktif-kan sosial media saya saat musim-musim wisuda supaya saya tidak menjadi-jadi kotor hatinya. Eh tapi ini murni karena hati saya yang kotor kali ya, bukan karena kesalahan orang-orang yang memposting postingan tersebut. Bukan. Saya yakin orang-orang punya niatan tulus ingin berbagi kebahagiaannya. Salah? Engga lah!. Tapi kok ya saya ini yang hatinya 'lucu'. Astagfirullah...

Dari situ saya jadi mikir, 'Ya Allah, niat baik dari kita mungkin tanpa kita sadari malah mencederai hati dan perasaan orang lain, ya'.

Maka sejak saat itu, saya lebih berhati-hati dalam memilih 'membagi kebahagiaan' di sosial media. Karena mungkin iya niat kita baik, tapi kalau ndilalahnya postingan kita bertemu dengan orang yang hatinya sedang tidak baik (seperti saya waktu itu) dan bisa menjadi trigger cederai hatinya(?) kan mending nyari amannya saja. Hehe itu pikir saya.

"Via media sosial, kita bisa banyak berdakwah kalik."
Lhoh, iya, emang. Saya pun menemukan banyak sekali akun pribadi yang memang 'diwakafkan' untuk berdakwah. Masya Allah, saya yang cuma melihat saja senang rasanya. Bagaimana jadi mereka-mereka itu ya, pasti syukurnya tumpe-tumpe. Karena mungkin banyak orang terinspirasi dan belajar dari postingan-postingannya. Nah ini pentingnya proses memilah-milah postingan tadi, sih, saya rasa. Mana yang bisa mentrigger pembelajaran dan syukur dari orang lain.
Sekali lagi saya bilang *pakai gaya konferensi pers*, saya pun tidak off dari media sosial, saya masih membutuhkannya untuk menemukan informasi-informasi, untuk bersilaturahmi. Masih. Saya masih memanfaatkan fitur direct message pada sosial media tersebut. Hanya saja saya lebih presisi dalam membagikannya. Mungkin nanti ketika saya punya foto selfie yang mirip Maudy Ayunda, baru akan saya post deh sepertinya *mukelujauhmon!*

Kita selalu butuh keseimbangan. Dibutuhkan aktivis kebaikan di dunia maya yang menyasar kalangan pengguna media sosial, pun dibutuhkan juga agen di dunia nyata nya. Kita butuh keduanya, keduanya sama-sama penting. Lalu kita, mau pilih jadi yang mana? *tanya pada rumput yang bergoyang*. Pilihan yang manapun, tidak masalah, kok. Semoga segala niat dan aktivitas kita selalu diberkahi Allah ^^


***

"Tahu, mengapa kita tak boleh terlalu senang berlebihan saat dikaruniai kenikmatan?
Agar kita menjaga yang lain untuk tetap bersyukur.. 
Karena, tak semestinya kita menjadi perantara orang untuk kufur nikmat..

Yang wisuda, menjaga perasaan orang yang belum wisuda..
Yang hamil, menjaga perasaan orang yang belum hamil..
Yang sudah menikah, menjaga perasaan orang yang belum menikah..
Yang kaya, menjaga perasaan orang yang miskin..
Yang sempurna fisiknya, menjaga perasaan orang yang memiliki kekurangan fisik..

Indah.

Kita menjaga diri bukan lantaran orang-orang disekitar kita iri..
Kita menjaga diri bukan berarti kita tidak berhak mengekspresikan rasa senang dan syukur kita..
Kita menjaga diri karena kita ingin sama-sama bersyukur dengan mereka yang belum mendapati nikmat yang sudah kita dapati..
Karena menjadi perantara syukur bagi orang lain adalah kenikmatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya"

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact