Selasa, 25 Oktober 2016

Rumah Kebun Binatang

(Cerita ini ditulis pada tahun 2010, mmm... saat saya masih duduk di bangku SMA, ya. Hari ini kembali membuka tulisan-tulisan lama. Dan, binggo!! Ketemu tulisan ini.) 



Rumah kami, ada di ujung gang kecil. Walau keadaannya amat sederhana, tetapi itu istimewa bagi kami. Rumah yang membuat kami sibuk dan kompak di waktu hujan. Mengambil ember, waskom dan beberapa lap untuk menahan bocoran air dari atap. Rumah yang membuat kami seperti bebek panggang di dalam oven jika panas terik. Itulah mengapa aku senantiasa membuka semua jendela dan pintu yang ada. Berharap  dewa angin bisa mengelus  kami dengan kesejukannya.

Aku ingat, pertama kali anakku datang, mulutnya dimonyongkan. Lalu ada semburan kata –kata kecewa keluar dari mulutnya.

“Rumah apa nih Ma, kok kecil dan jelek sekali.”

Aku tersenyum.”Biar begitu ini kan rumah kita.”

“Aku nggak mau tinggal di sini ah. Mau tinggal sama nenek saja yang rumahnya bagus dan besar,” jawabnya agak menciutkan hatiku.

“Silakan saja,” kataku. “Tapi bagaimana kau bisa membiayai hidupmu jika kau tinggal di sana?”
Anakku diam.

“Biar jelek ini rumahmu. Lihat, berapa puluh gelandangan mengais – ngais rupiah di tempat sampah. Mereka tidak punya rumah sama sekali. Jangankan untuk membeli rumah. Untuk makan saja mereka susah.”
Anakku cukup cerdas. Walau waktu itu baru  kelas satu SMP , aku yakin ia mengerti sekali apa yang kumaksudkan.

“Mempunyai rumah sendiri jauh lebih nikmat, daripada kita  tinggal di istana, tapi sekedar numpang,” cerocosku akhirnya.

Ia berpikir dalam diam. Dan lagi-lagi aku percaya bahwa ia  cukup cerdas memaknai ucapanku. Sejak kecil aku terbiasa berbicara kata-kata penuh filosofi padanya.

Ketika kelas satu  SMA, ia melihat rumahnya  sebagai bagian dari dirinya. Ia malah membuatnya menjadi semacam gurauan ringan.

“Rumah kita persis kebun binatang ya Ma,” senyumnya renyah.

“Lho, emang kenapa? Apa ada gajah masuk rumah kita?” kataku ikut berseloroh.

“Bukan Ma, kemarin ada tikus bertenaga kuat, bisa membobol lubang air tempat cuci. Kemudian ia nongol, lalu pergi lagi.”

Aku tersenyum. Dia tidak mendengar suara tikus menggerogoti pipa itu tiap  harinya. Tidurnya terlalu nyenyak. Setiap malam, sedikit demi sedikit tikus got itu menggigit pipa paralon dengan uletnya. Bunyinya greet…greet…greeet…Aku saja sampai terbangun dibuatnya.

“Tahu nggak Ma, kemarin Kakak lihat dua kecoa terbang. Besoknya lagi ada binatang berkaki banyak di bawah kursi. Terus siput yang bergaya di pintu.  Belum kodok besar yang terjebak di sudut kamarku. Dan yang paling sering lintah. Kakak paling benci binatang satu itu Ma. Menjijikkan,” tambahnya lagi.
Aku tertawa dan membenarkannya.

“Ya, rumah kita persis kebun binatang!” tanggapku.

Kami lalu tertawa bersama. Dia tidak tahu, kalau seekor kupu – kupu langka pernah nyelonong masuk. Tapi itu terasa indah karena terbang dari kaca jendela yang satu ke kaca jendela yang lainnya. Konon kalau kupu – kupu masuk rumah pertanda akan ada tamu datang. Dan katanya lagi, kalau tamu itu akan membawa berkah. Mudah-mudahan.

Yang ngeri kalau lebah yang bertamu. Nngggggggg….aku segera berjongkok. Tapi tidak bilang ‘pahit, pahit,’ seperti ketika aku kecil dulu. Burung juga pernah kesasar masuk. Lucunya ia menabrak kaca. Kasihan, pasti sakit. Maka kacanya kubuka. Dan ia lepas terbang ke angkasa. Selain burung, ulat bulu juga pernah beberapa kali berjalan-jalan di lantai rumahku.

“Suara apa itu Ma?” Anakku pernah merasa heran ketika  mendengar suara jangkrik di kamarnya.

Kalau suara jangkrik, anakku suka sekali. Apalagi setelah kuberi tahu bahwa jika ada suara jangkrik, jangan terganggu. Sebab jangkrik membantu kita mengusir tikus. Konon, tikus paling benci mendengar suara itu.  Anakku jadi ngefans pada suaranya. Kalau tak ada ia suka merindukannya.

Di luar rumah sering kedapatan ular. Mereka datang dari selokan agak jauh dari rumahku. Kalau malam hari burung hantu paling senang bertengger di kabel listrik. Asalnya sih suka mangkal di pohon sukun. Karena pohon itu aku tebang bagian atasnya, maka ia sering berdiam di kabel itu.
Keberadaan burung itu mendapat tanggapan miring tetanggaku. Konon burung hantu itu pembawa sial karena burung jejadian dari siluman, katanya. Tapi aku cukup menanggapi dengan senyum saja. Bagiku ia adalah kawan. Ia bersuara, setia menemani saat aku masih mengetik naskah mengejar deadline lomba, di tengah sunyinya malam.
Sekarang malah ada selentingan baru. Katanya kalau ada burung hantu berarti ada orang hamil di sekitar situ. Aku terperanjat. Jangan – jangan tetangga menyangka aku hamil. Tapi bagaimana aku bisa hamil, aku kan tidak punya suami. Untungnya, ternyata yang disangka hamil adalah adik perempuanku yang sudah mempunyai dua anak.

Berbicara tentang burung. Tiap pagi aneka burung hinggap dan bernyanyi di pohon – pohon depan rumahku. Burung – burung itu banyak macamnya. Warnanya aneka rupa. Lukisan Tuhan yang maha dahsyat. Karena warna – warnanya sangat segar dan menawan. Ada abu – abu bercampur biru. Perpaduan hijau dan kuning. Ada yang kemerahan berpadu hitam. Seribu satu macam. Sepertinya burung-burung itu berasal dari gunung Manglayang dibelakang rumahku. Suaranya pun macam – macam. Yang lucu ada yang berteriak–teriak seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Piaak…Piaak…

Kalau tidak punya uang, kadang terpikir untuk menangkap burung – burung itu dan menjualnya. Aku pernah melihat burung – burung kecil itu dijual di pasar yang khusus menjual burung. Bahkan aku sudah memikirkan cara untuk menangkapnya.
Tapi walau demi uang, aku paling tidak suka penganiayaan. Burung pun butuh kebebasan dan kebahagiaan. Alam adalah rumahnya. Jadi aku tak mau melakukan perbuatan itu. Karena rumah kecilku itu juga cerminan kebebasan dan kebahagiaanku.  Sekedar untuk membuktikan kepada dunia bahwa aku bisa mandiri.

Rumahku walau keadaannya begitu, telah menjadi berkah dalam banyak hal. Jika aku butuh cabe, bawang daun, aku tinggal memetiknya di halaman depan. Bahkan beberapa sering kujual jika aku membutuhkan uang. Apalagi kalau musim mangga, lebatnya luar biasa. Aku bisa meraup uang lebih dari ketiga pohon mangga di depan rumahku itu.

Namun kehidupan bergulir terus. Rumah kesayangan yang tak pernah kuperbaharui sekalipun itu, haruslah kutinggalkan karena akan dibeli orang lain.
Sebuah grosir kenamaan membuka cabangnya depan rumahku. Tempatku ditaksir dengan harga yang tinggi.  Bukan karena jumlah uangnya akhirnya kurelakan. Rumah yang sering kuisi shalat malam, menghantar doa untuk mendapatkan jodoh itu akhirnya harus kutinggalkan. Aku harus rela melepasnya karena aku harus ikut bersama suami baruku, menempati rumah baru yang sangat besar nun jauh di kota London sana.

Sepertinya aku dan anakku harus mengucapkan selamat tinggal pada rumah istimewa, rumah kebun binatangku. Rumah kenangan dengan burung – burung, kupu – kupu dan semua binatangnya yang bekeliaran bebas.

Semoga rumah baru kami nanti menjadi rumah yang lebih istimewa lagi. Dimana kami bisa menegakkan derajat kami sebagai manusia dan mempunyai kedudukan yang layak di mata Tuhan. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact