Setelah beberapa saat lalu karena saya penasaran dengan istilah
logore, yang terdengar kece di telinga saya, muncullah bohlam lampu di dalam
kepala saya. Saya melaksanakan asas pencaritahuan pengetahuan, atau bahasa
kekiniannya, kepo(?). Saat mencari, nyangkut lah istilah solitude. Wiiii, ini
terlihat kece juga di mata saya. Bertransmigrasi lah ke-kepo-an saya dari
logore ke solitude. Ada hal menarik mengenai solitude ini...
Di dunia yang riuh seperti sekarang, dimana pelatihan
kepemudaan atau kepemimpinan selalu diisi dengan materi semacam: team work,
team building, public speaking, how to influence people, dan semacamnya,
menurut saya kita jadi lupa makna pentingnya kemampuan menghandle kesendirian
*hazeggg*.
Kemampuan untuk memaknai sendiri sebagai “solitude” dan
bukannya “loneliness”. Kata “solitude” ada untuk menggambarkan 'the glory of
being alone'. Solitude matters.
Kita hidup di zaman yang penuh dengan motivasi untuk berbuat
sesuatu yang ‘besar’. Identik dengan menginisiasi pergerakan atau ‘being
somebody’ (read: obsesi ketokohan) diantara orang banyak. Semua itu diarahkan
untuk menuju perubahan yang lebih baik. It’s good, agama kita juga kan
mengajarkan tentang amal jama’i atau hidup berjamaah, right?
Tapi seharusnya pun kita jangan lupa, dalam hidup ini ada
perubahan-perubahan yang bisa dibawa oleh orang-perseorangan, dalam waktu yang ‘saat
itu juga’. Ingat Tugce AlBayrak? Seorang gadis Jerman turunan Turki yang berani
menghentikan sekelompok pemuda yang melecehkan dua orang gadis di toilet
restoran di daerah Frankfurt, dan akhirnya wafat karena ditinju di bagian
wajahnya oleh pemuda-pemuda tadi di parkiran. Eh, nggak usah jauh-jauh sampai
ke Jerman dan bicara tentang kasus menghentikan pelecehan yang butuh keberanian
superb besar deh, kasus-kasus yang sering kita temui sehari-hariiii aja: orang
merokok di tempat umum atau buang sampah sembarangan, berani nggak kita
menghadapi orang-orang semacam itu dan menegurnya saat kita sedang sendirian?
Well, kita bisa menginisiasi pergerakan #stopharassment misalnya, tapi kita
juga butuh perubahan yang dilakukan saat itu juga. Tindakan berani yang
dilakukan Tugce contohnya.
Kita bisa berani dan idealis saat berkumpul bersama orang
lain, tapi saat sendiri? Itulah kondisi sebenarnya untuk mengetes seberapa
teguh kita pada kebenaran.
Akhir-akhir ini, kita dengan mudah ‘blown away’ oleh
pertunjukan di media tentang pemimpin yang ngamuk lah, muntab karena mergokin
suap lah, dan kasus umbar amarah lainnya. Tapi sadar nggak sih kita (terutama
saya), ‘the real deal’ itu nanti waktu pemimpin tersebut sedang jauh dari
sorotan kamera dan dihadapannya terhampar kesempatan untuk menggemukkan
pundi-pundi kekayaan, misalnya.
Yupssss, karena orang-orang yang bermain dengan uang panas
itu less likely akan muncul ke hadapan mereka dengan membawa rombongan
pengantin sunat, menghaturkan sambutan-sambutan dari tokoh masyarakat setempat,
diiringi tarian rampak kendang dan apalagi... pewarta berita. Disitulah keteguhan
pribadi seorang pemimpin akan diuji sepenuhnya. Saat dia sendiri, nggak ada
siapapun yang menyaksikan dirinya yang sedang menolak suap, nggak akan ada
headline berita di media masa.
Yang terakhir, sadarkah kita, kesendirian itu sering
dijadikan hukuman? Penjara misalnya. Bentuk isolasi itu akan menjauhkan kita
dari lingkungan yang familiar dengan kita, hak-hak kita. Contoh lain:
Pembunuhan karakter. Bayangkan dari orang yang tadinya dianggap teman atau
bahkan dipuja lalu kemudian dihujat-hujat. Itu bentuk kesendirian juga lhoh.
Atau dalam kehidupan sehari-hari: dikucilkan. Euhhhh, berapa
banyak ABG yang ikut-ikutan hal-hal buruk karena ketakutannya akan dikucilkan teman-teman
se-geng *boy bandnya*(?)
Maka, berteman baiklah dengan kesendirian dengan mengetahui
bagaimana cara menghandlenya. Karena saat kita memaknai kesendirian itu sebagai
“solitude” dan bukannya “loneliness”, kesendirian tidak akan pernah bisa
menghukum kita saat kita berada dalam kebenaran.
Hmmm bicara itu sesulit diam, pun demikian, diam juga
sesulit bicara.
0 komentar:
Posting Komentar