Saya pernah tidak mengerti, kegilaan macam apa yang membuat seorang ibu begitu mencintai anaknya -orang yang membuatnya merasakan segala macam rasa sakit dan kekhawatiran-. Coba bayangkan, kehamilan membuat wanita mudah sekali lelah, kaki dan pinggang yang sering keram, belum lagi emosi yang tidak stabil. Dan hanya pada saat hamil, para wanita malah dengan senang hati mengikuti angka timbangan yang mengalami tren kenaikan. What a phenomenon. (Ini bukan pengalaman saya pribadi, bukan. Saya belum menikah, apalagi hamil -__- jadi ini validitasnya masih diragukan ya mungkin(?) karena saya belum mengalaminya sendiri. Ah, tapi sepertinya memang iya begitu deh rasanya.)
Lalu tentang perjuangan saat persalinan, konon kabarnya lagi, rasa sakit melahirkan setara dengan 20 tulang patah bersamaan. Atau, rasa perih c-sectio yang traumatis, yang ngilunya baru bisa hilang berminggu-minggu kemudian. Hingga bukan tanpa alasan melahirkan disebut perjuangan antara hidup dan mati. Apakah semua "penderitaan" ini berakhir setelah persalinan? Nope. Justru baru saja dimulai. Akan ada malam-malam panjang dalam keterjagaan, tidur yang jauh berkurang, tenaga dan emosi yang terkuras, belum lagi tantangan dari lingkungan yang rese. Sampai kapan semua drama ini? Sampai anak-anak sudah besar? Actually nope. Hanya satu hal yang dapat menghentikan drama perjuangan ibu untuk anaknya: kematian. See?
Ya, Ini gila.
Padahal, bisa saja ibu-ibu kita memilih untuk jalan-jalan menikmati masa mudanya ketimbang mengurus kita anak-anaknya yang mungkin saja bisa jadi anak yang tidak tahu diri dan tidak tahu balas budi.
Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan sebuah cerita dari seorang kakak perempuan yang menekuni bidang ilmu gizi dan saat ini sedang melanjutkan studinya di Kopenhagen. Sebelumnya, dia pernah melakukan semacam kegiatan pengabdian di daerah NTT, tepatnya di desa Sunu. Desa yang letaknya 107.5 km dari Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, sekitar 62.6 km untuk menuju ke Ibu Kota Kabupaten di Soe (jauh ya? Huum). Alhamdulillah, walaupun terletak di desa, tetapi sudah ada layanan untuk kesehatan ibu hamil dari Foundation for Mother and Child Health Indonesia (FMCH Indonesia).
Disana ia bertemu dengan dua orang ibu-ibu muda, usianya 23 tahun (yassalam... saya umur 23 tahun ini aja masih sering nangis kalau ketinggalan abang-abang penjual cilok. Ehh dia udah punya 2 anak ajah. Hmm). Ada cerita menarik dari dua orang ibu-ibu muda ini. Ibu pertama, baru pertama kali mengikuti kelas ibu hamil walaupun sudah pernah hamil sebelumnya. Si ibu merasa senang karena dapat berkumpul bersama ibu hamil lainnya dan merasa tubuhnya menjadi lebih sehat. Dari kegiatan ini pula dia mengaku mendapatkan pengetahuan baru yang menurutnya berharga, mengenai ASI eksklusif yang diberikan selama 6 bulan beserta segala manfaatnya untuk bayi serta resep-resep makanan selingan untuk anak pertamanya (Nah bu ibu... harus bisa masak nih!!! *ngomong depan kaca*).
Lalu, cerita Ibu kedua... Si ibu ini 2 anaknya meninggal karena bayi lahir prematur. Anak keduanya lahir pada usia 6 bulan dan anak ketiga ketika 7 bulan’an, dua-duanya meninggal.
(intermezo: pas bagian cerita usia kelahiran prematur, saya ingat kebodohan saya. Saya pernah sempat bodoh karena dibodoh-bodohi dukun beranak -_- Saya terlibat pembicaraan dengan dukun beranak, si dukun beranak ngeyel, saya coba menjelaskan dengan ilmu yang pernah saya dapatkan di kuliah, lalu dia menanyakan pengalaman saya tentang lahir melahirkan ‘Eneng mah belum pernah melahirkan kan(?) belum pernah juga menangani orang melahirkan(?) saya sudah puluhan tahun atuh’, yahhh setelah itu saya hanya mampu gantung diri di pohon cabai. Jadi, dikalangan dukun beranak mempercayai bahwa ‘lahir 7 bulan itu lebih baik daripada 8 bulan. Karena kehamilan 7 bulan adalah kehamilan tua’, can you imagine? Saya sih engga. Padahal, makin muda usia kelahiran bayi, resiko akan makin tinggi, ini kata teman saya -yang sudah punya pengalaman lahir melahirkan. Emm maksudnya, pengalaman melihat proses melahirkan, lebih tepatnya. Karena sampai akhir dunia ini sepertinya dia tidak akan pernah melahirkan-. Jadi, nanti, kalau ada dukun beranak yang bilang ‘lahir 7 bulan itu lebih baik daripada 8 bulan’ , jangan percaya. Percayalah hanya pada Allah SWT, ya).
Motivasi ibu kedua ini beda sama ibu pertama, si ibu kedua ikut kelas kehamilan karena menurutnya ada yang ‘salah’ dengan cara dia sehingga 2 anaknya lahir prematur dan meninggal, maka dia ingin mencari pengetahuan dengan ikut kelas hamil tersebut. Bergabung dalam kelas ibu hamil bukan masalah datang atau tidak datang namun perjuangan yang harus dia lakukan. Wanita yang berusia 36 tahun itu tetap semangat meski harus berjalan berkilo-kilo meter (dengan kondisi hamil) untuk menuju balai desa Sunu. Masya Allah ya..
Sosok ke-dua ibu di atas hanya sebagian kecil kisah ibu hamil yang luar biasa di NTT. Mereka terus berjuang untuk kesehatan dirinya sendiri, anak, dan keluarganya. Si Ibu mempersiapkan hal terbaik yang bisa ia lakukan bahkan jauh sebelum anaknya lahir. Ahh, tidak perlu jauh-jauh mungkin ya... lihat ibu kita sendiri, orangtua kita, yang selalu mengusahakan apa-apa yang terbaik untuk anak-anaknya, walaupun mungkin itu sulit bagi mereka. Saya memang belum mengalami kegilaan semacam itu saat ini.
Tapi melihat ‘kegilaan’ orangtua saya, utamanya ibu saya, membuat saya belajar bahwa ‘dunia tidak selalu bekerja sesuai nalar dan cara pandang kita. Ada hal-hal yang kebal nalar, seperti cinta orangtua terhadap anaknya. Yang bodoh amat sama namanya rasa sakit dan rasa lelah. Yang mereka tahu, mereka bahagia jika kita bahagia. Yang melihat senyum kita, menjadikan mereka manusia paling kuat dan paling bahagia sedunia. Yang mendengar kita bilang sayang kepada mereka, menjadikan mereka rasanya tak butuh makan berbulan-bulan.’
0 komentar:
Posting Komentar