Senin, 17 Oktober 2016

Tentang Kepemimpinan

Hai para kolega...

Didorong oleh rasa khawatir jikalau tidak bikin tulisan cogab cagub dianggap tidak gahol(?) dan rasa pengen ikut-ikutan yang menggebu mengharu biru, maka saya sempatkan untuk menuliskan tulisan ini.
Sungguh saya tidak peduli anda memilih paslon cagub DKI yang mana. Itu urusan anda dan saya tidak ingin mencederai demokrasi. Apapun pilihan anda, saya yakin dilandasi kecintaan anda pada ibukota negara ini, bukan semata-mata karena kecintaan anda pada figur atau kebencian anda pada lawannya.


Tapi dalam pencaturan kepemimpinan di DKI kali ini, setelah tsunami kampanye yang luar biasa, setelah overdosis informasi masuk ke otak saya, saya mendapatkan banyak pelajaran berharga... yang menjadikan saya kembali membuka kisah Umar bin Abdul Aziz.


Begitu harum nama Umar bin Abdul Aziz (Omar II), sang pemimpin, bintang terang bani Umayyah, sampai-sampai 13abad setelah keberpulangannya, saya masih dapat mencium bau semerbak.
Ia tidak pernah mencalonkan diri, tidak berkampanye, apalagi sampai punya cybertroops(?), ia dipilih secara sepihak. Ketika diangkat menjadi khalifah, yang dilakukannya adalah menangis bercucuran air mata, menggalau, bagaimana bisa Allah memberi ujian kepemimpinan sedemikian berat di usianya yang masih muda, 37 tahun.

Tahukah, seluas apa wilayah yang harus dipimpinnya? Sungguh, sepotong negeri yang gemah ripah nun jauh di sana tidak ada apa-apanya. Bani Umayyah membentang dari ujung barat Afrika bagian utara hingga ke Asia kecil, menaungi eropa barat: Portugis, Spanyol hingga ke pintu kota Paris, seluruh timur tengah sampah ke dataran Tiongkok. Jika ditotal, hampir 1/3 belahan dunia, tidak kurang dari 30 negara berdaulat yang kita kenal hari ini. Luas sekali.

Di sinilah letak beda pemimpin sejati dengan sekedar penguasa. Umar mampu membereskan karut marut pemerintahan terdahulu dan mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam arti sesungguhnya. Di masa kepemimpinannya, tak ada satu orangpun yang secara finansial wajib dizakati. Hingga konon kabarnya, kas zakat yang menggunung harus sampai "diiklankan" untuk mendapatkan penerima. Aih, jangankan manusia, seekor dombapun ia pikirkan kesejahteraannya. Dan coba tebak, berapa lama waktu yang diperlukan Umar untuk melakukan itu semua? 32 tahun? 10? 8? 5? Bukan. Hanya 2 tahun, 5 bulan, 5 hari. Karena sang pemimpin berpulang di usia 39tahun.


Lalu pertanyaannya, bagaimana bisa? manusia macam apa Umar ini? Jika anda pernah membaca kisah keteladanannya, ada 3 karakter Umar yang selalu di-bold para penukil sejarah : tegas, amanah dan bersahaja.


Pemimpin mana yang memadamkan lampu ketika menjamu keluarganya yang datang bertamu?alasannya, tamu berkunjung untuk urusan pribadi, sedangkan lampu yang ada saat itu adalah fasilitas negara.


Pemimpin mana yang menolak pemberian sebutir apel (yep, sebutir) yang sangat ia idamkan karena takut ada benih-benih korupsi?

tentang kesahajaannya jangan ditanya, pemimpin mana yang diakhir hayatnya, harta yang ia miliki hanya sehelai baju. Ya, sehelai baju yang sedang ia kenakan. Padahal ia berkuasa atas seluruh negeri, segenap emas dan perak. Dan tak ada sepeserpun yang ia wariskan pada keturunannya. Lebih kurang begini katanya, "jika aku meninggalkan anak-anak yang sholeh, maka Allah sendiri yang akan menolongnya. Tapi jika aku meninggalkan keturunan yang tidak sholeh, untuk apa kutinggalkan harta benda jika digunakan untuk kemaksiatan?"


Anda seperti membaca dongeng ya? ini memang terlalu keren untuk jadi nyata.

Dan sekarang saya jadi teramat galau, kapan "terlahir" pemimpin seperti itu dari rahim bangsa ini? ntahlah, mungkin pemimpin fantastis seperti Umar hanya ada 1 dalam 1 millenium. Tapi dari hati yang paling dalam saya yakin, tidak luput kita semua berdoa (karena saya tidak bisa ikut milih. Maka hanya mampu berdoa. Hiks), semoga Allah pantaskan bangsa ini khususnya ibukota negara ini dipimpin oleh seorang pemimpin sejati, yang mencintai kita lebih dari dirinya sendiri, bukan sekedar penguasa yang hanya ingin bertambah kaya dengan segala macam cara apalagi sampai menistakan panduan hidup keyakinan lawannya.

Aamiin 

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact