Jumat, 29 Januari 2016

Pagi dan Kereta Mimpi

Pagi ini, saya melempar pandangan ke segala arah. Mengamati stasiun kereta yang ricuh. Ada obrolan di sana sini. Suara-suara obrolan ditambah suara langkah kaki orang-orang lalu lalang secara konstruktif menciptakan bunyi seperti dengung lebah di telinga saya. Orang-orang merumpi dari A sampai Z. Saya hanya mendengar kelebatan saja. Tentang pendidikan anak, harga bahan pokok yang terus merangkak, mengeluhkan presiden, korupsi, atau tentang sistem transportasi di negeri ini yang kacau. Entah mereka memang benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan atau hanya sekedar ingin mengumpat-ngumpat saja di pagi hari. Pengganti sarapan.
Pedagang-pedagang asongan mendominasi peron. Mereka menawarkan dagangannya pada orang-orang yang pura-pura tidak mendengar apa yang mereka tawarkan atau seolah-olah tidak melihat mereka dan tidak menyadari kehadiran mereka. Orang-orang tetap pada aktivitasnya walaupun si pedagang sudah promosi dagangannya sampai mulut berbusa. Menyedihkan. Rasa simpati menyeruak begitu saja. Tapi saya tidak sebaik hati itu sampai bisa memborong semua dagangan seluruh pedagang asongan di stasiun. Terlebih lagi, tentu saja saya tidak punya cukup uang. Mungkin suatu saat nanti bisa saya lakukan itu. Aamiin.
Saya melirik pada papan jadwal kusam yang menggantung secara tidak niat di sebelah loket informasi. Kemudian beralih memperhatikan harum jam di tangan kanan saya. Dalam beberapa menit lagi kereta saya akan berangkat. Saya sudah lupa kapan terakhir kali naik kereta api. Tapi setidaknya saya masih bisa membayangkan suasana di atas gerbong. Orang-orang yang tidak saling mengenal dan tidak saling peduli, hanya kebetulan punya tujuan yang sama bisa berkumpul di sarana transportasi umum seperti ini. Tentu saja tiap orang berangkat dengan niat yang berbeda. Di kereta, saya selalu berlama-lama memperhatikan ekspresi penumpang-penumpang lain. Atau mengamati pemandangan dari balik jendela kereta, pohon-pohon yang seolah meloncat menjauh, rumah-rumah penduduk, ilalang-ilalang di lapangan kosong, petak sawah, atau sesekali anak-anak yang bermain riang bersama sebaya. Semuanya meloncat ke belakang, ke masa lalu. Namun tetap ada yang mereka titipkan bersama saya di gerbong kereta: kesan. Mereka lukis di hati saya dalam sejenak saja.
Pagi selalu punya cara membuat lukisan itu lebih indah, membuatnya jadi lebih nyata. Pada pagi, di pojoknya, sambil menunggu kereta, saya membilang lukisan-lukisan kesan yang sempat ada. Hawa pagi yang lembut memenuhi peron. Udara yang jernih dengan ramah menyapu puncak hidung. Cahaya matahari masih lemah, tapi meradiasikan energi baru sedemikian rupa. Saya berdiri, melangkah menuju kereta. Kali ini dengan kereta yang sedikit berbeda. Ia menempel pada rel yang adalah ekliptika tempat tiap mimpi saya mengitar. Di sepanjang rel itulah berjejal asa dan impian. Makanya tiap pagi, saya selalu bergegas menuju stasiun ini. Iya, pada pagi. Karena pagi selalu menyuguhkan aroma yang khas, pekat sekali: bau masa depan.
continue reading Pagi dan Kereta Mimpi

Rabu, 27 Januari 2016

Selasa, 26 Januari 2016

Makhluk Sosial = Manusia

Perlahan saya mulai berlapang dada dan mengambil hikmah dari fase yang saya jalani saat ini hehe *edisi waras*. Ternyata jika kita mau membuka mata (hati), Allah tebar-tebar hikmah di jalan yang kita lalui.

Saya ini orangnya (sok) iye banget, (sok) bisa melakukan semuanya sendiri. Ga jarang hal itu yang membuat saya berpotensi untuk menjadi orang yang menyebalkan bagi orang lain dan membuat susah diri saya sendiri sih *nangis di pojokan kamar*. Andai saja kalian tahu alasan saya tidak meminta tolong (lebih ke arah merepotkan) adalah karena saya tidak mau membebani kalian teman-teman *ekspresi ftv*.

"Heh Monce. Lu tuh orang ga sih. Lu anggep kita apa ha?! Sakit sampe gitu ga ngomong-ngomong."

"Lu yakin ga butuh bantuan? Lu yakin mau ngerjain itu sendiri? Sampe akhir hayat lu juga ga kelar-kelar."

"Serah lu deh!! Lu pikir lu orang paling hebat di dunia? Ga butuh orang lain?!."

"Mon, kok ga cerita-cerita ke kita sih :( . Kita free kok. Kita ke rumahmu yaaa.. kita selesein masalah ini bareng-bareng."

"Curang banget sih!! Lu pengen dapet pahala sendirian apa? Lu cuma mau nolong doang, giliran ditolong aja sok kuat banget. Ga mau bagi-bagi pahala lu?" *ngomong dalam hati: ini pakai ngomongin pahala segala. Sok luuuu -,- (kalau orangnya tau ternyata hatiku ngomong gitu, matik lah habis ini dihajar hiks)*

dannnn biasanya masih banyak hujatan-hujatan lainnya ke saya. Sering. Berkali-kali momen. Hmmm. Paittt paitttt. Hiks.
Sampai pada akhirnya Allah kasih kondisi yang emang bener-bener ga bisa saya atasi sendiri. Berlarut-larut lamanya kondisi tersebut.

Saya ingat cerita di zaman Rasulullah yang sangat sangat terkenal, saat seorang bertanya kepada Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib;

“Ya Ali, kulihat sahabat-sahabatmu begitu setia sehingga mereka banyak sekali, berapakah sahabatmu itu?”
Imam Ali menjawab, “Nanti akan kuhitung setelah aku tertimpa musibah”

Allah itu selalu memberi saya lebih dari apa yang saya harapkan *netes-netes*. Ketika di kondisi yang saya sebutkan di atas tadi. Saya memaksa diri ini untuk mencoba 'mengetuk' teman-teman saya. Dan masyallah... sungguh ternyata mereka adalah orang-orang dengan ketulusan hati yang Allah kirim untuk saya :') berbondong-bondong mempermudah jalan saya dengan bantuan-bantuan mereka baik support, tenaga, pikiran, dan yang pasti doa diam-diamnya. Mereka selalu ada untuk saya, saling bergantian membantu saya.

Sore ini saya kembali mengetuk seorang teman. Namanya Revi, dia selalu menyebut dirinya ingusan... di akhir texting kami dia nulis
"Setiap hamba Allah sudah seharusnya saling membantu kan, Bund"


You teach me something, Rev. 'SALING', iya saling... itu yang selama ini luput dari perhatian saya. Hak orang lain untuk membantu sesamanya yang sering saya lupakan (atau bahkan saya tutupi jalannya).
Mungkin kamu emang anak ingusan, Rev. Tapi sore ini ya ingusmu itu yang ngajarin saya sesuatu hal krusial :')
continue reading Makhluk Sosial = Manusia

Senin, 25 Januari 2016

E-G-O

Aku, kamu dan mereka pasti sering memeluk ego demikian erat. Entah untuk sebuah eksistensi atau sekedar ego yang bernama ego. 
Ego itu unik. Seunik kita memperlakukannya. Entah disadari atau tidak. Kita sering bersinggungan dengan orang lain hanya karena ego. 
Pernah nggak sih kita sadari? Kalau kita kadang bisa bersikap manis ketika sedang butuh. Berakrab ria ketika perlu saja. Itu menyakitkan banget lho. Seakan-akan sesuatu dianggap berarti hanya karena terpaksa. Padahal ketika semua lahir dari ketulusan, alangkah lebih manisnya. 

Ah, ego. Ya manusia seperti kita memang tidak pernah lepas dari ego. Tepatnya belum bisa memanage ego dengan baik. Malah kadang ego lebih bisa mengendalikan kita. Apa pun itu, kita harus terus mencoba untuk lebih membaikkan diri lagi. 

Semua akan terasa hambar kalau kita memperlakukan orang lain hanya karena kita membutuhkan mereka. Namun setelah itu, melepasnya begitu saja. Uniknya ego membuat manusia sering bertopeng. Apa yang kita lihat kadang tidak sama dengan apa yang disembunyikan di hatinya. Kebencian mungkin membuat kita menjauh tapi kebutuhan membuat kita mendekat, untuk kemudian kembali menjauh. Ayolah, hidup sejatinya bukan seperti ini. Ego adalah ego. Tapi hati tak seharusnya memeluk ego demikian erat hingga tak ada ruang tersisa untuk sebuah ketulusan. 
continue reading E-G-O

Terdidik karena Candu Dididik

Malam ini saya texting sama Bapak, beliau ga karuan hatinya menunggu nilai uas pertama adik saya hihi. Beliau bekerja di dunia pendidikan, 22 tahun menjadi anak Bapak, mengamati, mendengar cerita beliau tentang dunia pendidikan emmm.. yaaa update cerita Bapak itu bak seperti ilmu parenting buat saya nanti *toyor kepala sendiri.

Pendidikan adalah tema yang seksi. Bagaimana tidak, segala fenomena sosial yang ada dipantik oleh pendidikan. Kita mungkin bisa terjebak pada definisi sempit pendidikan sebagai imbas sistem pendidikan formal saat ini. Pendidikan sesungguhnya jauh lebih luas dari itu, jika kita mau menyadarinya. Saya rasanya sudah tak berselera mencerca buruknya sistem pendidikan di negeri ini. Mungkin anda jauh lebih tau. Ah yang benar saja, mencekoki anak usia sekolah dengan berbagai macam materi pelajaran dari A hingga Z, mengukur kesuksesan belajar dalam angka, memberikan hukuman dan yang sejenis itu adalah ide-ide yang kasar, primitif, dan sama sekali tidak keren. Jujur saja, zaman dapat pelajaran biologi dari SD-SMA saya tak ingat satupun tentang sistem pencernaan kecoa (eh sekarang malah jadi tema skripsi. Hikss. Paitt paittt), atau pernapasan protozoa, saya juga tidak pernah tau manfaatnya jikapun saya tau, dan tentu saja saya memang tidak tertarik. Saya cukup tau kalau kecoa bisa mencerna. Saya juga tidak pernah ingat nama-nama manusia purba, dimana dia ditemukan, siapa penemunya, dan apa pengaruhnya pada saya jikapun saya tau. Saya cukup tau saja kalau manusia purba ternyata sangat purba sekali *bzzt. Itu dulu saya rasakan ketika saya di bangku sekolah, ketioa banyak ilmu dijejalkan ke kepala saya, dan yang paling parah saya tidak diberi pengertian kenapa harus mempelajari itu sehingga saya tidak tau manfaatnya hehe alhasil selepas ujian semua yang dipelajari hilang. Karna yang saya tau adalah -belajar, hafal, ujian, selesai, buang dari ingatan-.
Maka pendidikan yang paripurna bukanlah angka-angka sepuluh di atas kertas, tapi pendidikan yang betul-betul mampu membuat kita terdidik dalam nilai-nilai kemanusiaan, yang membuat kita tak hanya tau dan pintar, namun bijak dan peduli. Pendidikan yang proporsional, yang punya takaran (?). Maka harusnya “dididik” adalah semacam candu yang harus selalu kita tuntut-tuntut dan kita perjuangkan. Bukan hal yang menyeramkan. Bukan begitu?saya juga ga yakin-yakin amat sih*egubrak
Tentu saja, daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Tapi saya suka keduanya. Yihi. *nyari-nyari korek

Ah, saya paling tidak suka jika melihat adik saya harus menghapal textbook tiap kali dia mau ujian.
continue reading Terdidik karena Candu Dididik

Minggu, 24 Januari 2016

Dalam hidup,

Dalam hidup, selalu ada kisah-kisah yang tak sempat selesai. Selalu ada cerita yang berakhir menggantung. Ada bagian-bagian yang selamanya tak pernah ada. Selalu ada pertanyaan  yang ditakdirkan untuk tak pernah mendapatkan jawaban.  Meninggalkan kita, saya sih,  yang jadi suka menerka dan lihai berandai-andai.  Padahal saya sadar bahwa bagian yang hilang, tak akan pernah ada, karena memang tak perlu ada. Jadi kenapa masih berpikir sia-sia ya si saya ini?*toyor kepala sendiri
Dalam hidup, memang ada hal-hal yang hanya bisa diobati oleh waktu. Dan saya suka cara waktu menyembuhkan hal-hal yang perlu disembuhkan. Entah dengan membuat saya lupa,  atau dengan mengubah cara pandang saya dalam melihat masa lalu; membuatnya menjadi begitu pantas disyukuri atau menjadi pantas ditertawakan.
Dalam hidup, perlu ada episode-episode yang berulang. Agar kita, saya sih, bisa belajar lebih banyak. Hidup persis sebuah lagu, kawan. Ada refrain yang diulang-ulang, dengan nada yang lebih tinggi dan partitur yang lebih dinamis. Memang ada tema-tema krusial yang butuh dielaborasi. Bukankah bagian yang paling mudah kita ingat dalam sebuah lagu adalah refrainnya?
Dalam hidup, kita hanya perlu banyak-banyak bersyukur.
continue reading Dalam hidup,

Sabtu, 23 Januari 2016

Jika Semua untuk Allah

Wahai hati……
Mengapa engkau harus begitu resah?
Kala manusia bersalah kaprah
Terhadap peranmu dalam berkiprah
Sementara takkan luput walau sebesar zarah
Semua terhitung dalam timbangan Allah
Biarlah…..
Tak perlu tenaga kau perah
Meramu kata apalagi berkilah
Demi membela diri yang tak salah
Biarlah….
Cukuplah satu dua kalimat pencerah
Membela dirimu dari lautan fitnah
Lalu serahkan semua pada Allah
Wahai hati……
Jika semua untuk Allah
Mengapa kini kau masih resah?
Wahai lisan…..
Mengapa engkau harus sibuk mengurai kata
Terhadap apa yang menjadi amalan nyata
Sementara takkan luput sezarahpun tercatat dalam kitabnya
Meski tiada satu makhlukpun mengetahuinya
Apalagi terdengar manis pujiannya
Biarlah….
Tak perlu lisan ini sibuk menyebutnya
Sementara pena telah menggores dalam kitab dikanannya
Tercatat sempurna tanpa luput satu aksara
Biarlah……
Takkan jadi lebih mulia
Saat terdengar menjadi berita
Kecuali keberkahannya menggerakkan manusia beramal nyata
continue reading Jika Semua untuk Allah

Ulat dan Daun Jambu

Aku sedang menatap matahari, saat sepasang sayap menghalangi pandanganku. Sayap itu berwarna biru, berkelebat cepat tepat di atasku. Sesaat, aku terpesona melihatnya hingga tak menyadari apa yang dilakukan si sayap biru tadi. Ia menjatuhkan telur lalu terbang lagi. Kembali membuatku melihat sinar sang mentari.
Teman di sebelahku menggesek tubuhnya. “Wah, gawat! Kau kejatuhan telur! Siap-siap saja untuk mati digerogoti,” katanya padaku. Aku hanya tersenyum padanya tanpa mengatakan apa-apa.
Tidak lama, para makhluk bersayap itu melewati pohon tempat kami tumbuh dan hidup. Beberapa diantaranya mendekati daun-daun dan mulai meletakkan telur-telur mereka. Meski berbeda ranting dan cabang, aku dapat mendengar para daun yang kejatuhan telur mulai berkeluh-kesah. 
“Kita harus cepat-cepat mengeluarkan racun untuk menghentikan para ulat itu. Sebelum ia jadi besar dan menggerogoti kita dengan rakus.”
“Ya, benar! Enak saja mereka memakan tubuhku! Aku kan harus hidup lebih lama untuk menyerap sinar mentari. Apalagi, sebentar lagi buah-buahan akan lahir. Kita harus bekerja ekstra keras!”
“Betul! Betul!” seru para daun yang lain setuju.
Pohon jambu tempat kami tumbuh dan hidup memang sedang berbunga. Calon-calon buah sudah mulai keluar dari tangkai, siap untuk membesar. Beberapa lebah seringkali datang untuk membantu penyerbukan.
Kebanyakan daun lebih mencintai lebah daripada kupu-kupu. Para lebah datang membantu penyerbukan kami tanpa meninggalkan hama yang akan merusak kelangsungan hidup para daun. Sementara itu, kupu-kupu hanya hinggap untuk meletakkan telur mereka. Membuat para daun layu, kering, dan akhirnya mati. 
Aku sendiri sebenarnya juga membenci kupu-kupu. Namun kupu-kupu yang tadi bertengger di tubuhku jelas kupu-kupu yang berbeda. Aku tak pernah melihat kupu-kupu sejenis itu sebelumnya. Seluruh sayapnya berwarna biru. Birunya bukan biru langit yang setiap hari kutatap. Birunya seperti biru saat sebuah minyak atau oli tergenang di aspal dan terkena sinar mentari. Biru metalik, temanku bilang.
Beberapa temanku langsung mengeluarkan racun dari tubuh mereka saat telur-telur kupu-kupu itu menetas. Aku tidak. Aku ingin melihat sayap biru itu lagi. Aku akan membiarkan ulat itu hidup, menggerogoti tubuhku. Menjadikan tubuhku tempatnya bernaung sebagai kepompong.
Hari demi hari berlalu, ulat yang tinggal di tubuhku semakin besar. Tubuhnya berbulu dan berwarna coklat. Jelas terlihat begitu menjijikan. Teman-teman daun yang satu ranting denganku mulai protes.
“Hei, kenapa kau tak segera mengeluarkan racunmu? Ulat itu berbahaya bagi kita!” seru temanku.
“Iya! Awas saja kalau ulat itu sampai hinggap di tubuhku!” seru temanku yang lain. Aku hanya diam, tidak menanggapi komentar mereka.
Bagaimana caranya kukatakan pada mereka kalau aku ingin si ulat terus hidup? Aku ingin si ulat tumbuh menjadi kupu-kupu cantik bersayap biru yang terbang rendah di dekatku.
Setiap hari, si ulat berjalan dari satu daun ke daun yang lain. Mengigiti tubuh mereka satu demi satu. Teman-temanku mulai mengeluarkan racun mereka. Namun ulat itu ternyata lebih kuat dari dugaan kami. Ia tak kunjung pergi.
Ketika malam tiba, ulat itu akan kembali ke tubuhku dan tidur di permukaannya. Kadang, aku sengaja mengayun-ayunkan tubuhku agar ulat itu merasa nyaman dan mudah terlelap. Kadang juga, aku menyanyikan lagu nina bobo untuknya dengan suara lirih. Aku tidak tahu apakah ulat itu dapat mendengar suaraku, tapi aku tetap menyanyi.
Ulat itu tidak menggerogoti tubuhku. Belum. Aku tahu suatu hari nanti ia akan memakanku juga. Sama seperti nasib kawan-kawanku yang menjadi sakit atau mati karena ulahnya. 
Seringkali aku berharap, ulat itu sadar aku tak pernah mengeluarkan racun untuk mengusirnya. Seringkali aku berharap, ulat itu tahu akulah yang membiarkannya hidup. Seringkali aku berharap, suatu hari nanti, ketika ia telah menjadi kupu-kupu cantik, ia akan mengingatku.

Suatu pagi, si ulat mulai mengigiti ujung tubuhku. Aku berpikir, inilah saatnya. Gerakan tubuh si ulat semakin lamban. Tubuhnya semakin gemuk, tiga kali lebih gemuk daripada saat pertama kali ia tumbuh menjadi ulat. Ia mengigiti tubuhku perlahan-lahan. Aku berjuang keras untuk tidak mengeluarkan racun dari tubuhku secara refleks. Terdengar suara kunyahan si ulat yang membuatku meringis menahan sakit, namun aku tetap diam. Membiarkan si ulat makan dengan tenang.
Ulat itu menyisakan separuh permukaan tubuhku. Kini sisa tubuhku telah koyak dan tepinya mulai berwarna kehitaman. Karena aku tidak mengeluarkan racun, kemungkinan tubuhku bertahan hidup tipis sekali. Mungkin hanya bilangan hari, lalu aku mati. Tidak apa-apa, pikirku. Aku rela mati demi kehidupannya.

Ulat itu sepertinya sudah memasuki masa puasa. Tubuhku adalah daun terakhir yang dia makan. Selanjutnya, dia mulai mengeluarkan benang-benang halus berwarna putih yang mengelilingi tubuhnya. Sebentar lagi ia akan mengurung diri. 

Kepompong si ulat bergantung tepat di ranting dekat ujung tangkai daunku. Di hari-hari terakhirku, aku berdoa agar kepompong si ulat tetap hangat dan selamat. Sehingga pada suatu hari nanti, ia akan keluar dan melihat dunia dengan sayap biru berkilaunya.
Hari ketiga sejak si ulat menggigit tubuhku, aku merasa hidupku tak akan lama lagi. Aku sudah tidak sanggup menyerap sinar mentari untuk makan, apalagi memberi sisa energiku kepada bunga dan para calon buah. Aku hanya bisa memejamkan mata. Berharap si ulat akan mengingatku ketika ia keluar dari kepompongnya nanti.
Sore hari, angin bertiup sangat kencang. Aku berharap kepompong si ulat cukup kuat bergantung di ranting. Namun ternyata, malah tangkaiku yang terlalu lemah menyangga tubuhku lagi.
Aku jatuh, melayang tertiup angin.
Aku pernah mendengar manusia berkata, daun yang jatuh tak pernah membenci angin. 
Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Aku membenci angin karena menjauhkanku dari si ulat. Namun aku tak pernah membenci si ulat karena telah menggerogoti tubuhku.
Suatu hari nanti, si ulat akan keluar dari kepompongnya. Ia akan terbang dengan sayap birunya yang kemilau tertimpa sinar mentari. Kau akan terpesona padanya saat ia terbang rendah di dekatmu. Jika saat itu tiba, tanyakan pada si kupu-kupu apakah ia mengingatku. Sehelai daun yang membiarkan tubuhnya digerogoti saat ia masih menjadi seekor ulat. Kuharap dia ingat.

***
Hai dunia! Dengan susah payah akhirnya aku keluar dari kepompongku. Sebenarnya aku tak terlalu suka terkurung di dalam ruang sempit kepompong. Tapi setiap ulat harus berada dalam kepompong sebelum memiliki sayap yang indah seperti yang kumiliki sekarang. 
Sayap biruku ini katanya sayap kupu – kupu paling cantik di dunia, meski aku tak tahu itu benar atau tidak, yang jelas sayapku memang cantik sekali. Aku tak terlalu ingat dengan kehidupanku sebelum keluar dari kepompong. Aku hanya ingat pagi ini aku membuka mata dan berada di salah satu ranting pohon jambu. 
Aku melihat sekeliling dan ada beberapa daun yang bentuknya sudah tak sempurna lagi, robek sana sini. Pastilah sebelum jadi kepompong aku begitu rakus memakan para daun jambu itu. Sudah jadi kewajaran jika hendak jadi kepompong kaumku akan punya nafsu makan yang luar biasa besar, karena kan aku harus berpuasa cukup lama ketika berada dalam kepompong. 
Aku tidak sabar ingin mencoba sayap biruku yang cantik ini. Aku ingin tahu rasanya terbang. Aku mengepakkan sayapku dan seketika tubuhku terangkat ke udara. Aku bisa merasakan aliran udara menyentuh – nyentuh geli wajahku. Aku suka terbang! Aku suka jadi kupu – kupu. Sepertinya daun yang kumakan sebelum ini penuh nutrisi yang baik, karena aku merasa begitu sehat dan bahagia. 
Omong–omong, sejak tadi aku tak menemukan teman – teman sejenisku. Sudah berjam–jam aku mengelilingi kebun jambu ini, dan tak ada satu pun kupu – kupu yang sama sepertiku, kupu–kupu bersayap biru. Lelah mencari, aku kembali ke pohon jambu tempat kulit kepompongku masih bergantung. 
Aku duduk di ranting sambil menatap matahari yang hendak terbenam. Sepi sekali ya di sini. Para daun jambu sesekali bergoyang–goyang tertiup angin. Kadang gesekannya terdengar seperti sebuah nyanyian, nyanyian yang begitu halus dan menina bobokan. Tiba–tiba aku ingat sesuatu. Aku ingat sebuah nyanyian, meski samar. Entah nyanyian siapa, yang jelas aku begitu ingat setiap ketukannya. Suaranya terdengar persis seperti nyanyian para daun jambu, hanya terdengar lebih indah. 
Sepertinya aku akan istirahat dulu saja malam ini. Biar besok saja aku mencari teman–teman sejenisku lagi, mungkin aku bukan berasal dari daerah ini. Mungkin inangku tak sengaja menjatuhkanku di sini. Aku meletakkan kepalaku di ranting pohon jambu yang wanginya begitu kusukai, wangi bunga–bunga jambu yang hanya serangga saja yang bisa menciumnya. 
Sebelum memejamkan mata, mataku melihat daun-daun jambu kering di bawah sana berserakan tertiup angin. Daun–daun yang mati, entah alasan apa yang membuat mereka mati. Mungkin karena mengantuk aku mulai berilusi, salah satu daun jambu kering di bawah sana itu seperti bernyanyi padaku. Suaranya seperti begitu ku kenal. Suara yang selalu mengantarkanku tidur. 
Aku tenggelam dalam mimpi yang panjang, mimpi saat aku menjadi ulat dan mengayun-ayun bahagia pada sebuah daun jambu. Tiba–tiba aku merasa rindu, tapi tak tahu pada siapa.
continue reading Ulat dan Daun Jambu

MERAWAT

Manusia adalah makhluk berjuta pinta. Keinginannya berjalan dalam deret geometri, meski seringkali kemampuan untuk memenuhinya berjalan dalam deret aritmatika. Kalau pun pada suatu titik mampu, apa yang dipinta kemudian hadir ke muka, belum tentu itu bertahan lama. Deret geometri itu terlalu menggoda bagi manusia untuk kembali berjalan. Meninggalkan. Atas nama bosan atau (sengaja me)lupa(kan).
Ikan louhan yang dulu dipinta, kini mengambang terbalik karena hampir tak pernah dilirik. Puluhan buku yang dulu begitu menggebu ingin dimiliki, kini terserak bersama debu di sudut ruangan, sebagian bahkan belum rampung diselami dalam-dalam. Pucuk merah, bunga soka, pecah beling yang menghiasi beranda demi bangun suasana sore bersama teh hangat dan kudapan, kini mulai layu karena jarang disiram.
Karena merawat itu memang tidak mudah. Terkadang ada faktor luar seperti nasib para juara bertahan yang bertarung untuk pertahankan gelar, tetapi seringkali faktor dalam lah yang signifikan memainkan peran.
Kita butuh komitmen. Kita butuh konsistensi. Di antara setiap silang, kita perlu menentukan pilihan: membiarkan untuk meninggalkan atau merawat untuk melanjutkan. Entah visi jangka panjang atau cinta yang telah sekian lama terpendam.
continue reading MERAWAT

Jumat, 22 Januari 2016

Amanah Besar Datang saat Amanah Kecil telah Dijalankan dengan Baik

Karena semua orang sudah menjadi si anu, berada dimana, dan mencapai ini itu, kamu harusnya ga boleh lupa bahwa mereka juga melakukan hal-hal kecil yang baik. Mereka tetap bangun sebelum shubuh, mereka membereskan tempat tidur, mereka menyapu lantai kamar, mereka memasak sarapan mereka, mereka menyikat gigi mereka dan mandi pagi, dan mereka berangkat dengan menebarkan senyum pada tetangga. Jangan sampai kamu terlalu sibuk mengejar yang besar, lalu mengabaikan yang kecil. Mereka-mereka yang besar, adalah karena amanah-amanah kecilnya sudah mereka tanggung dengan baik.
Gitu Mon...
continue reading Amanah Besar Datang saat Amanah Kecil telah Dijalankan dengan Baik

Nah ini

"Pada kasus tertentu, mematok target bisa jadi tidak relevan. Kuatnya keyakinan pada Allah dan pertolongan-Nya lah yang membuat kita melangkah lebih pasti. Ketika kita jujur pada target-target kita, Dia pasti akan menggenapkannya".
*Ust. Salim A Fillah*
continue reading Nah ini

Kamis, 21 Januari 2016

Obat untuk Jiwa yang Terluka

Saat hati dilanda gembira, tidak satu hal pun menjadi masalah. Tapi bila hati sedang berduka, apalagi duka yang cukup dalam, terkadang iman pun bisa goyah. Bila dibiarkan, dukanya bisa jadi semakin mendalam dan keimanan pun semakin rentan. Di saat-saat seperti ini, jiwa tersebut bisa dikatakan sedang terluka, atau sedang sakit. Maka yang harus dilakukan adalah sesegera mungkin mencari obatnya. Hmmm umm emmm apakah obat terbaik yang paling manjur untuk mengobati luka jiwa?


“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” QS. Al Israa: 9

Ya, Al Qur’an lah obatnya. Al Qur’an merupakan obat terbaik yang tidak hanya meredakan nyeri tapi juga mampu menyembuhkan jiwa yang terluka. Sebab Al Qur’an merupakan pedoman hidup manusia. Segala resep yang dibutuhkan demi memperkokoh langkah manusia di bumi ini, semua tertulis di dalam Al Qur’an. Jelas dan berulang-ulang. Sehingga sebetulnya, saat jiwa dilanda kegelisahan, keresahan, bahkan luka yang cukup dalam, bisa terobati, hanya dengan membaca Al Qur’an.


Tidak percaya? Hehehe. Izinkan saya bercerita.based on my own experience..


Bulan desember 2015 yang lalu, saya beruntun menerima kabar yang secara kacamata manusia, hal tersebut merupakan kabar buruk, sangat buruk mungkin. Saya jatuh (dalam artian sebenarnya ini -,- ) dan harus istirahat total selama 3 minggu karena kesulitan untuk berjalan, padahal saat-saat itu jadwal sidang skripsi tinggal selangkah lagi hehe, alhasil wisuda januari hanya tinggal menjadi target yang menguap untuk saya. Di waktu yang bersamaan pula, bidang yang saya ampu di lembaga akan menggelar acara dan masih banyak yang harus dipersiapkan ditengah minimnya tenaga dan pendanaan, ya Allah sejenak yang saya tangisi setelah jatuh itu bukan karena perihnya luka-luka saya, tapi adik-adik saya di lembaga bagaimana... seriuosly, hati saya lebih perih kala itu ketimbang lecet-lecetnya deh. Seminggu setelah saya sudah agak bisa berjalan (lukanya belum kering), kabar buruk mengenai orang rumah pun kembali saya dapatkan. Dan secara manusiawi, psikologis saya sempat down mendengar kabar tersebut, sebab kabarnya sangat mendadak dan mengejutkan. Saya sempat dilanda sedih hati. Dan seketika itu pula yang terlintas di pikiran saya hanya ingin segera menemui Allah Subhanahu wata’alla. Bukan ‘berpulang’ tentunya, saya tidak se-hopeless itu kalik, hehehe. Saya hanya ingin segera berwudhu, menggelar sajadah, dan berbincang dengan-Nya, memohon akan ketenangan dan kedamaian hati, serta keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah atas izin-Nya, dan yang telah Allah izinkan, pasti membaikkan. Maka setelah mendengar kabar tersebut saya bergegas mencari mushalla, berwudhu, sambil menahan tangis yang sengaja ingin saya tumpahkan di atas sajadah saja, hanya di hadapan-Nya. Ternyata, lidah saya kelu untuk menyampaikan ulang kisah saya meski di hadapan Allah sekalipun. Hingga saya hanya bisa tertunduk sambil tersedu, sungguh Allah Maha Tahu. Akhirnya, dengan energi yang tersisa, saya mengambil Al Qur’an dari dalam tas saya, membuka lembaran halamannya dengan asal saja, dan God’s Sign, ayat yang saya baca adalah..


"Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS. Al Hadid 22-23) 

Sudah sering membaca Al Qur’an tapi tidak pernah berhasil membaikkan suasana hati yang kurang baik dan jiwa yang terluka? Yuk kita cek.. barangkali kita membaca Al Qur’an sekedar membaca saja. Kalau begitu ya wajar saja hati dan jiwa masih dalam keadaan luka, sebab yang menenangkan bukan hanya membaca Al Qur’an, tetapi berinteraksi dengan Al Qur’an.Berinteraksi dengan Al Qur’an diantaranya meliputi:
  • tilawah (membaca)
  • taddabur (memahami)
  • hafizh (menghafalkan)
  • tanfiidzh (mengamalkan)
  • ta’liim (mengajarkan)
  • tahkiim (menjadikannya sebagai pedoman)
Tentu tidak mudah berinteraksi dengan Al Qur’an seperti di atas. Perlu proses. Dan saya pun masih belajar untuk benar-benar bisa berinteraksi maksimal dengan pedoman hidup dari Allah tersebut. Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin bukan? InsyaAllah, bila ada tekad, pasti bisa. Hingga bila tiba saat dimana jiwa kembali dilanda perih, Al Qur’an lah penyembuh utama yang dicari.


Saya baca berulang-ulang tafsir QS. Al Hadid: 22-23, lalu saya kaji maknanya, dan sungguh.. ada sebuah perasaan damai menelusup halus ke relung jiwa saya yang terluka tersebut, untuk kemudian menghembuskan nafas sejuk yang menenangkan dan mencerahkan. Bila masih tak percaya, mungkin kamu belum mencoba. Sebab bila sudah mencoba baca, saya yakin kamu akan jatuh cinta, pada ayat-ayat-Nya yang penuh makna. Sungguh Allah luar biasa, Ia turunkan ayat-ayatnya yang sangat indah. Entah bagaimana rasanya bila tidak ada Al Qur’an sebagai perantara kabar gembira dari-Nya. 

"Terimakasih ya Rabb. Aku tanpa-Mu.. butiran debu deh... " :')

“Jangan terlampau lama meratapi luka, sebab tak sulit bagi-Nya untuk mengubah isak tangis, menjadi senyuman manis.” 
continue reading Obat untuk Jiwa yang Terluka

Sabtu, 16 Januari 2016

Mahalnya Hati yang Bersih

            Kali ini saya mau berbagi cerita yang agak sedikit rada serius. Ehem uhuk, jadi begini… *benerin jilbab*. Ini adalah cerita zaman dimana saya lebih alay dari yang sekarang ini. Dulu kala, saya punya kebiasaan yang menakutkan. Saya akan membenci sepenuh hati teman laki-laki yang menunjukkan ketertarikan pada saya, atau yang saya pikir tertarik pada saya baik terang-terangan ataupun lewat pesan-pesan tersembunyi. Maka jika terpaksa harus berinteraksi dengan kelompok laki-laki seperti ini, saya akan menunjukkan gejala-gejala PMS (marah-marah dan umm… kasar).

 XY: Mona lagi mau makan ya?
 M: Iyalah!! namanya di kantin. Masa mau sepedaan.
 XY: Mona mau makan apa?
 M: Ih berisik. GAUSAH NANYA-NANYA.
 XY: (????) Mau sekalian aku pesenin aja apa?
 M: UDAH DIBILANG JANGAN TANYA-TANYA. PERGI SANA JAUH-JAUH!!
 XY: (shock) (pura-pura mati)

Ya Allah, saya sangat tidak rasional. Saya merasa dangkal -,-

(balik ke zaman sekarang). Saya ini termasuk orang yang jarang sekali membalas komen-komen yang ada di akun sosial media saya. Ini semacam trik positioning untuk menciptakan kesan bahwa saya adalah orang yang misterius. Dianggap misterius itu sangat terdengar keren dan berkelas menurut saya haha *jalan pikiran anak ini emang udah geser sejak lama hiks*. Tapi akhir-akhir ini saya mulai berpikir ulang. Positioning saya mungkin gagal, alih-alih merasa bahwa saya misterius mungkin sebagian orang malah menganggap saya tidak ramah.

Sangat wajar seseorang menerima penilaian yang sangat beragam. Orang bisa mencintai kita, menyukai kita, tergila-gila pada kita, biasa-biasa saja, tidak suka, tidak suka banget, bahkan bisa tidak suka banget padahal kenal kita saja tidak. Kata saya, orang-orang begitu mudah memberi penilaian tanpa pertimbangan matang (seperti penilaian saya ke teman-teman laki-laki yang tertarik pada saya tadi *hiks). Apalagi untuk penilaian negatif.

Kita bisa saja dibenci karna kita suka tertawa misalnya, tidak peka, pernah dikhianati, pernah diberi harapan palsu, berpotensi lebih kece dari orang yang membenci, suka buang ingus sembarangan, mengidap suatu penyakit gatal yang menular, dan berbagai alasan absurd lainnya.

Ada kisah di zaman Rasulullah. Ketika seorang ahli surga datang, maka sudah biasa, para sahabat akan kepo mencari tahu amalan apa yang ia kerjakan sehingga derajatnya begitu tinggi di mata Allah. Tidak ada yang istimewa dari ibadah si calon penghuni surga tersebut. Saya membayangkan para sahabat kaget secara hiperbolik mengetahui kenyataan ini, bagaimana mungkin orang dengan ibadah yang biasa-biasa saja bisa dicap ahli surga? Ditanyalah si ahli surga apa gerangan yang spesial dari dirinya. Lalu apa jawabannya? Superb. Adalah hati yang bersih, yang tidak pernah sekalipun berburuk sangka pada orang lain, yang tidak pernah sekalipun memendam iri dan dengki, apalagi dendam. Betapa mahalnya hati yang seperti itu hingga Allah menukarnya dengan surga. Aih so sweet.
Memang sangat mudah untuk berpikiran buruk, menemukan kesalahan, mengingat-ngingatnya dan membenci orang lain, padahal bisa jadi orang itu tidak penting-penting amat untuk dibenci. Kita lalai pada hak-hak fundamental saudara kita: berbaik sangka padanya dan memperlakukannya dengan baik. Jadi kenapa sih kita suka melakukan hal-hal tidak penting? Kenapa memelihara hati dari ampas-ampas perasaan itu susah sekali?
Ya karena surga memang mahal, Nak.
Hmmm

continue reading Mahalnya Hati yang Bersih

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact