Kali ini saya mau berbagi cerita
yang agak sedikit rada serius. Ehem uhuk, jadi begini… *benerin jilbab*.
Ini adalah cerita zaman dimana saya lebih alay dari yang sekarang ini. Dulu
kala, saya punya kebiasaan yang menakutkan. Saya akan membenci sepenuh hati
teman laki-laki yang menunjukkan ketertarikan pada saya, atau yang saya pikir
tertarik pada saya baik terang-terangan
ataupun lewat pesan-pesan tersembunyi. Maka jika terpaksa harus berinteraksi
dengan kelompok laki-laki seperti ini, saya akan menunjukkan gejala-gejala PMS
(marah-marah dan umm… kasar).
XY: Mona lagi mau makan ya?
M: Iyalah!! namanya di kantin. Masa mau
sepedaan.
XY: Mona mau makan apa?
M: Ih berisik. GAUSAH NANYA-NANYA.
XY: (????) Mau sekalian aku pesenin aja apa?
M: UDAH DIBILANG JANGAN TANYA-TANYA. PERGI
SANA JAUH-JAUH!!
XY: (shock) (pura-pura mati)
Ya Allah, saya sangat tidak rasional. Saya merasa dangkal -,-
(balik ke zaman
sekarang). Saya ini termasuk orang yang jarang sekali membalas komen-komen yang
ada di akun sosial media saya. Ini semacam trik
positioning untuk menciptakan kesan bahwa saya adalah orang yang misterius.
Dianggap misterius itu sangat terdengar keren dan berkelas menurut saya haha *jalan pikiran anak ini emang udah geser sejak lama hiks*. Tapi akhir-akhir ini
saya mulai berpikir ulang. Positioning saya mungkin gagal, alih-alih merasa
bahwa saya misterius mungkin sebagian orang malah menganggap saya tidak ramah.
Sangat wajar seseorang menerima
penilaian yang sangat beragam. Orang bisa mencintai kita, menyukai kita,
tergila-gila pada kita, biasa-biasa saja, tidak suka, tidak suka banget, bahkan
bisa tidak suka banget padahal kenal kita saja tidak. Kata saya, orang-orang
begitu mudah memberi penilaian tanpa pertimbangan matang (seperti penilaian
saya ke teman-teman laki-laki yang tertarik pada saya tadi *hiks). Apalagi
untuk penilaian negatif.
Kita bisa saja dibenci
karna kita suka tertawa misalnya, tidak peka, pernah dikhianati, pernah diberi
harapan palsu, berpotensi lebih kece dari orang yang membenci, suka buang ingus
sembarangan, mengidap suatu penyakit gatal yang menular, dan berbagai alasan
absurd lainnya.
Ada
kisah di zaman Rasulullah. Ketika seorang ahli surga datang, maka sudah biasa,
para sahabat akan kepo mencari tahu amalan apa yang ia kerjakan sehingga
derajatnya begitu tinggi di mata Allah. Tidak ada yang istimewa dari ibadah si
calon penghuni surga tersebut. Saya membayangkan para sahabat kaget secara
hiperbolik mengetahui kenyataan ini, bagaimana mungkin orang dengan ibadah yang
biasa-biasa saja bisa dicap ahli surga? Ditanyalah si ahli surga apa gerangan
yang spesial dari dirinya. Lalu apa jawabannya? Superb. Adalah hati yang
bersih, yang tidak pernah sekalipun berburuk sangka pada orang lain, yang tidak
pernah sekalipun memendam iri dan dengki, apalagi dendam. Betapa mahalnya hati
yang seperti itu hingga Allah menukarnya dengan surga. Aih so sweet.
Memang
sangat mudah untuk berpikiran buruk, menemukan kesalahan, mengingat-ngingatnya
dan membenci orang lain, padahal bisa jadi orang itu tidak penting-penting amat
untuk dibenci. Kita lalai pada hak-hak fundamental saudara kita: berbaik sangka
padanya dan memperlakukannya dengan baik. Jadi kenapa sih kita suka melakukan
hal-hal tidak penting? Kenapa memelihara hati dari ampas-ampas perasaan itu susah
sekali?
Ya karena surga memang mahal, Nak.
Hmmm
0 komentar:
Posting Komentar