Pagi ini, saya melempar pandangan ke segala arah. Mengamati stasiun kereta yang ricuh. Ada obrolan di sana sini. Suara-suara obrolan ditambah suara langkah kaki orang-orang lalu lalang secara konstruktif menciptakan bunyi seperti dengung lebah di telinga saya. Orang-orang merumpi dari A sampai Z. Saya hanya mendengar kelebatan saja. Tentang pendidikan anak, harga bahan pokok yang terus merangkak, mengeluhkan presiden, korupsi, atau tentang sistem transportasi di negeri ini yang kacau. Entah mereka memang benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan atau hanya sekedar ingin mengumpat-ngumpat saja di pagi hari. Pengganti sarapan.
Pedagang-pedagang asongan mendominasi peron. Mereka menawarkan dagangannya pada orang-orang yang pura-pura tidak mendengar apa yang mereka tawarkan atau seolah-olah tidak melihat mereka dan tidak menyadari kehadiran mereka. Orang-orang tetap pada aktivitasnya walaupun si pedagang sudah promosi dagangannya sampai mulut berbusa. Menyedihkan. Rasa simpati menyeruak begitu saja. Tapi saya tidak sebaik hati itu sampai bisa memborong semua dagangan seluruh pedagang asongan di stasiun. Terlebih lagi, tentu saja saya tidak punya cukup uang. Mungkin suatu saat nanti bisa saya lakukan itu. Aamiin.
Saya melirik pada papan jadwal kusam yang menggantung secara tidak niat di sebelah loket informasi. Kemudian beralih memperhatikan harum jam di tangan kanan saya. Dalam beberapa menit lagi kereta saya akan berangkat. Saya sudah lupa kapan terakhir kali naik kereta api. Tapi setidaknya saya masih bisa membayangkan suasana di atas gerbong. Orang-orang yang tidak saling mengenal dan tidak saling peduli, hanya kebetulan punya tujuan yang sama bisa berkumpul di sarana transportasi umum seperti ini. Tentu saja tiap orang berangkat dengan niat yang berbeda. Di kereta, saya selalu berlama-lama memperhatikan ekspresi penumpang-penumpang lain. Atau mengamati pemandangan dari balik jendela kereta, pohon-pohon yang seolah meloncat menjauh, rumah-rumah penduduk, ilalang-ilalang di lapangan kosong, petak sawah, atau sesekali anak-anak yang bermain riang bersama sebaya. Semuanya meloncat ke belakang, ke masa lalu. Namun tetap ada yang mereka titipkan bersama saya di gerbong kereta: kesan. Mereka lukis di hati saya dalam sejenak saja.
Pagi selalu punya cara membuat lukisan itu lebih indah, membuatnya jadi lebih nyata. Pada pagi, di pojoknya, sambil menunggu kereta, saya membilang lukisan-lukisan kesan yang sempat ada. Hawa pagi yang lembut memenuhi peron. Udara yang jernih dengan ramah menyapu puncak hidung. Cahaya matahari masih lemah, tapi meradiasikan energi baru sedemikian rupa. Saya berdiri, melangkah menuju kereta. Kali ini dengan kereta yang sedikit berbeda. Ia menempel pada rel yang adalah ekliptika tempat tiap mimpi saya mengitar. Di sepanjang rel itulah berjejal asa dan impian. Makanya tiap pagi, saya selalu bergegas menuju stasiun ini. Iya, pada pagi. Karena pagi selalu menyuguhkan aroma yang khas, pekat sekali: bau masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar