Sabtu, 23 Januari 2016

Ulat dan Daun Jambu

Aku sedang menatap matahari, saat sepasang sayap menghalangi pandanganku. Sayap itu berwarna biru, berkelebat cepat tepat di atasku. Sesaat, aku terpesona melihatnya hingga tak menyadari apa yang dilakukan si sayap biru tadi. Ia menjatuhkan telur lalu terbang lagi. Kembali membuatku melihat sinar sang mentari.
Teman di sebelahku menggesek tubuhnya. “Wah, gawat! Kau kejatuhan telur! Siap-siap saja untuk mati digerogoti,” katanya padaku. Aku hanya tersenyum padanya tanpa mengatakan apa-apa.
Tidak lama, para makhluk bersayap itu melewati pohon tempat kami tumbuh dan hidup. Beberapa diantaranya mendekati daun-daun dan mulai meletakkan telur-telur mereka. Meski berbeda ranting dan cabang, aku dapat mendengar para daun yang kejatuhan telur mulai berkeluh-kesah. 
“Kita harus cepat-cepat mengeluarkan racun untuk menghentikan para ulat itu. Sebelum ia jadi besar dan menggerogoti kita dengan rakus.”
“Ya, benar! Enak saja mereka memakan tubuhku! Aku kan harus hidup lebih lama untuk menyerap sinar mentari. Apalagi, sebentar lagi buah-buahan akan lahir. Kita harus bekerja ekstra keras!”
“Betul! Betul!” seru para daun yang lain setuju.
Pohon jambu tempat kami tumbuh dan hidup memang sedang berbunga. Calon-calon buah sudah mulai keluar dari tangkai, siap untuk membesar. Beberapa lebah seringkali datang untuk membantu penyerbukan.
Kebanyakan daun lebih mencintai lebah daripada kupu-kupu. Para lebah datang membantu penyerbukan kami tanpa meninggalkan hama yang akan merusak kelangsungan hidup para daun. Sementara itu, kupu-kupu hanya hinggap untuk meletakkan telur mereka. Membuat para daun layu, kering, dan akhirnya mati. 
Aku sendiri sebenarnya juga membenci kupu-kupu. Namun kupu-kupu yang tadi bertengger di tubuhku jelas kupu-kupu yang berbeda. Aku tak pernah melihat kupu-kupu sejenis itu sebelumnya. Seluruh sayapnya berwarna biru. Birunya bukan biru langit yang setiap hari kutatap. Birunya seperti biru saat sebuah minyak atau oli tergenang di aspal dan terkena sinar mentari. Biru metalik, temanku bilang.
Beberapa temanku langsung mengeluarkan racun dari tubuh mereka saat telur-telur kupu-kupu itu menetas. Aku tidak. Aku ingin melihat sayap biru itu lagi. Aku akan membiarkan ulat itu hidup, menggerogoti tubuhku. Menjadikan tubuhku tempatnya bernaung sebagai kepompong.
Hari demi hari berlalu, ulat yang tinggal di tubuhku semakin besar. Tubuhnya berbulu dan berwarna coklat. Jelas terlihat begitu menjijikan. Teman-teman daun yang satu ranting denganku mulai protes.
“Hei, kenapa kau tak segera mengeluarkan racunmu? Ulat itu berbahaya bagi kita!” seru temanku.
“Iya! Awas saja kalau ulat itu sampai hinggap di tubuhku!” seru temanku yang lain. Aku hanya diam, tidak menanggapi komentar mereka.
Bagaimana caranya kukatakan pada mereka kalau aku ingin si ulat terus hidup? Aku ingin si ulat tumbuh menjadi kupu-kupu cantik bersayap biru yang terbang rendah di dekatku.
Setiap hari, si ulat berjalan dari satu daun ke daun yang lain. Mengigiti tubuh mereka satu demi satu. Teman-temanku mulai mengeluarkan racun mereka. Namun ulat itu ternyata lebih kuat dari dugaan kami. Ia tak kunjung pergi.
Ketika malam tiba, ulat itu akan kembali ke tubuhku dan tidur di permukaannya. Kadang, aku sengaja mengayun-ayunkan tubuhku agar ulat itu merasa nyaman dan mudah terlelap. Kadang juga, aku menyanyikan lagu nina bobo untuknya dengan suara lirih. Aku tidak tahu apakah ulat itu dapat mendengar suaraku, tapi aku tetap menyanyi.
Ulat itu tidak menggerogoti tubuhku. Belum. Aku tahu suatu hari nanti ia akan memakanku juga. Sama seperti nasib kawan-kawanku yang menjadi sakit atau mati karena ulahnya. 
Seringkali aku berharap, ulat itu sadar aku tak pernah mengeluarkan racun untuk mengusirnya. Seringkali aku berharap, ulat itu tahu akulah yang membiarkannya hidup. Seringkali aku berharap, suatu hari nanti, ketika ia telah menjadi kupu-kupu cantik, ia akan mengingatku.

Suatu pagi, si ulat mulai mengigiti ujung tubuhku. Aku berpikir, inilah saatnya. Gerakan tubuh si ulat semakin lamban. Tubuhnya semakin gemuk, tiga kali lebih gemuk daripada saat pertama kali ia tumbuh menjadi ulat. Ia mengigiti tubuhku perlahan-lahan. Aku berjuang keras untuk tidak mengeluarkan racun dari tubuhku secara refleks. Terdengar suara kunyahan si ulat yang membuatku meringis menahan sakit, namun aku tetap diam. Membiarkan si ulat makan dengan tenang.
Ulat itu menyisakan separuh permukaan tubuhku. Kini sisa tubuhku telah koyak dan tepinya mulai berwarna kehitaman. Karena aku tidak mengeluarkan racun, kemungkinan tubuhku bertahan hidup tipis sekali. Mungkin hanya bilangan hari, lalu aku mati. Tidak apa-apa, pikirku. Aku rela mati demi kehidupannya.

Ulat itu sepertinya sudah memasuki masa puasa. Tubuhku adalah daun terakhir yang dia makan. Selanjutnya, dia mulai mengeluarkan benang-benang halus berwarna putih yang mengelilingi tubuhnya. Sebentar lagi ia akan mengurung diri. 

Kepompong si ulat bergantung tepat di ranting dekat ujung tangkai daunku. Di hari-hari terakhirku, aku berdoa agar kepompong si ulat tetap hangat dan selamat. Sehingga pada suatu hari nanti, ia akan keluar dan melihat dunia dengan sayap biru berkilaunya.
Hari ketiga sejak si ulat menggigit tubuhku, aku merasa hidupku tak akan lama lagi. Aku sudah tidak sanggup menyerap sinar mentari untuk makan, apalagi memberi sisa energiku kepada bunga dan para calon buah. Aku hanya bisa memejamkan mata. Berharap si ulat akan mengingatku ketika ia keluar dari kepompongnya nanti.
Sore hari, angin bertiup sangat kencang. Aku berharap kepompong si ulat cukup kuat bergantung di ranting. Namun ternyata, malah tangkaiku yang terlalu lemah menyangga tubuhku lagi.
Aku jatuh, melayang tertiup angin.
Aku pernah mendengar manusia berkata, daun yang jatuh tak pernah membenci angin. 
Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Aku membenci angin karena menjauhkanku dari si ulat. Namun aku tak pernah membenci si ulat karena telah menggerogoti tubuhku.
Suatu hari nanti, si ulat akan keluar dari kepompongnya. Ia akan terbang dengan sayap birunya yang kemilau tertimpa sinar mentari. Kau akan terpesona padanya saat ia terbang rendah di dekatmu. Jika saat itu tiba, tanyakan pada si kupu-kupu apakah ia mengingatku. Sehelai daun yang membiarkan tubuhnya digerogoti saat ia masih menjadi seekor ulat. Kuharap dia ingat.

***
Hai dunia! Dengan susah payah akhirnya aku keluar dari kepompongku. Sebenarnya aku tak terlalu suka terkurung di dalam ruang sempit kepompong. Tapi setiap ulat harus berada dalam kepompong sebelum memiliki sayap yang indah seperti yang kumiliki sekarang. 
Sayap biruku ini katanya sayap kupu – kupu paling cantik di dunia, meski aku tak tahu itu benar atau tidak, yang jelas sayapku memang cantik sekali. Aku tak terlalu ingat dengan kehidupanku sebelum keluar dari kepompong. Aku hanya ingat pagi ini aku membuka mata dan berada di salah satu ranting pohon jambu. 
Aku melihat sekeliling dan ada beberapa daun yang bentuknya sudah tak sempurna lagi, robek sana sini. Pastilah sebelum jadi kepompong aku begitu rakus memakan para daun jambu itu. Sudah jadi kewajaran jika hendak jadi kepompong kaumku akan punya nafsu makan yang luar biasa besar, karena kan aku harus berpuasa cukup lama ketika berada dalam kepompong. 
Aku tidak sabar ingin mencoba sayap biruku yang cantik ini. Aku ingin tahu rasanya terbang. Aku mengepakkan sayapku dan seketika tubuhku terangkat ke udara. Aku bisa merasakan aliran udara menyentuh – nyentuh geli wajahku. Aku suka terbang! Aku suka jadi kupu – kupu. Sepertinya daun yang kumakan sebelum ini penuh nutrisi yang baik, karena aku merasa begitu sehat dan bahagia. 
Omong–omong, sejak tadi aku tak menemukan teman – teman sejenisku. Sudah berjam–jam aku mengelilingi kebun jambu ini, dan tak ada satu pun kupu – kupu yang sama sepertiku, kupu–kupu bersayap biru. Lelah mencari, aku kembali ke pohon jambu tempat kulit kepompongku masih bergantung. 
Aku duduk di ranting sambil menatap matahari yang hendak terbenam. Sepi sekali ya di sini. Para daun jambu sesekali bergoyang–goyang tertiup angin. Kadang gesekannya terdengar seperti sebuah nyanyian, nyanyian yang begitu halus dan menina bobokan. Tiba–tiba aku ingat sesuatu. Aku ingat sebuah nyanyian, meski samar. Entah nyanyian siapa, yang jelas aku begitu ingat setiap ketukannya. Suaranya terdengar persis seperti nyanyian para daun jambu, hanya terdengar lebih indah. 
Sepertinya aku akan istirahat dulu saja malam ini. Biar besok saja aku mencari teman–teman sejenisku lagi, mungkin aku bukan berasal dari daerah ini. Mungkin inangku tak sengaja menjatuhkanku di sini. Aku meletakkan kepalaku di ranting pohon jambu yang wanginya begitu kusukai, wangi bunga–bunga jambu yang hanya serangga saja yang bisa menciumnya. 
Sebelum memejamkan mata, mataku melihat daun-daun jambu kering di bawah sana berserakan tertiup angin. Daun–daun yang mati, entah alasan apa yang membuat mereka mati. Mungkin karena mengantuk aku mulai berilusi, salah satu daun jambu kering di bawah sana itu seperti bernyanyi padaku. Suaranya seperti begitu ku kenal. Suara yang selalu mengantarkanku tidur. 
Aku tenggelam dalam mimpi yang panjang, mimpi saat aku menjadi ulat dan mengayun-ayun bahagia pada sebuah daun jambu. Tiba–tiba aku merasa rindu, tapi tak tahu pada siapa.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact