Senin, 23 Oktober 2017

Kami Bersama Kalian #savegerakanmahasiswa

Sejak masa awal tingkat hingga akhir tingkat di kampus, alhamdulillah saya selalu diamanahi untuk menjadi jundi di wajihah sosial politik khususnya bidang kaderisasi, mulai dari himpunan mahasiswa, BEM fakultas, hingga terakhir karir organisasi saya di BEM universitas.

Sejujurnya, walau di wajihah sospol, saya bukanlah individu yang sering ikut aksi atau demo. Tiap kali hendak penurunan massa aksi, saya selalu bertugas untuk 'jaga rumah' ketika bapak bapak organisasinya pergi untuk turun aksi. 

Walau saya hanya selalu jaga rumah, saya mengacungi jempol pada mereka-mereka yang berani ikut ambil bagian, berani menggugat langsung, tidak hanya koar-koar bersembunyi di balik sosmed dengan akun fake.

Tahukah? Banyak hal yang harus dipertaruhkan dan menjadi tanggung jawabnya ketika hendak memilih untuk turun ke jalan. Akademiknya, nama kampusnya, kehormatan orang tuanya. Banyak hal yang mereka bawa dan harus jaga. Maka saya pikir, perjuangan mahasiswa yang berani turun ke jalan itu bukan suatu hal yang receh, apalagi hanya sekedar untuk panjat sosyel. Absolutely NO. Demi kemaslahatan orang banyak, mereka rela harus bayar dengan hal-hal yang sifatnya pribadi.

Seorang kakak yang kala itu menjabat sebagai menteri sospol BEM UI, dalam obrolan sore kami pernah bilang kepada saya, "Gerakan mahasiswa itu gerakan berbasis moralitas dan intelektualitas". Dan saya setuju dengan itu. Apa untungnya kita mengenyam bangku kuliah jikalau langkah kita masih saja srudak-sruduk tidak jelas. Lalu, apakah mereka yang turun aksi jelas? Apakah mereka yang turun aksi itu pakai sisi intelektualitasnya dan bukan sekedar 'teriakan mulut' saja? YA! Iya... puluhan kali bahkan hingga tak terhitung jumlahnya, sebelum aksi wajib diadakan kajian-kajian yang panjang dan mendatangkan pakar. Bahkan data-data yang dibawa pun kadang bukanlah data periode jabatan itu saja, tapi pun sebelum-sebelumnya. Aksi adalah langkah lanjutan ketika langkah-langkah strategis sebelumnya yang dilakukan mahasiswa tidak diindahkan. Bukan ujug-ujug demo. Engga... kalau ada yang bilang "bisa lah pakai cara halus aja buat mengawal pemerintah", ketahuilah... tidak ada demo tanpa surat terbuka terlebih dahulu, tidak ada demo tanpa usaha untuk duduk bersama sebelumnya.
Saat hendak demo pun, ada sikap kooperatif yang harus dijalankan mahasiswa sebagai suatu sistem, yaitu izin keamanan kepolisian, bahkan hingga menunjukkan spot mana-mana saja yang akan digunakan untuk aksi tersebut.
Jika kita baca ulang, tuntutan yang diajukan oleh BEM SI pada aksi tempo hari tidak ada yang keliru.

Saya paham betul, dewasa ini gerakan mahasiswa akan penuh tantangan dan tanggung jawab lebih kedepannya. Idealisme mahasiswa yang dibangun dengan dasar intelektualitas, integritas, dan kepedulian terhadap masyarakat menuntut mahasiswa untuk bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat.

Ada realitas yang menunjukkan tidak semua mahasiswa memiliki ketersadaran dan keterlibatan dengan gerakan mahasiswa. Hal ini disebabkan mahasiswa Indonesia terhinggapi virus pragmatisme dan apatisme. Sistem pendidikan yang berlaku cenderung mendukung tersebarnya virus pragmatisme dan apatisme karena sepertinya hanya membentuk mahasiswa yang pintar dan terampil serta berorientasi kerja untuk memenuhi permintaan pasar. Mahasiswa saat ini bisa dikatakan unggul dalam hal intelektualitas dan akademik akan tetapi perlu reformasi pemahaman lebih terkait moral dan politik. Karena bagaimanapun sebagai sebagai seorang first class citizen , permasalahan moral dan politik seharusnya sudah menjadi santapan sehari-hari yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. 

Jadi saya tuh suka sedihnya kebangetan. Kalau mereka yang turun ke jalan malah 'dipojokkan', tidak didukung dan malah disalahkan. Well... mereka nggak seburuk itu :( banyak yang mereka pertaruhkan juga. Mereka aksi bukan buat sangar-sangaran doang. Bukan. #embak-embakmulaibaper.
Kalau lah kita tidak bisa membantu tenaga, pikiran dan material, cukuplah jangan menyalahkan dan bantu dengan doa perjuangan mereka.



***



SERUAN ALUMNI BEM UNDIP
Bebaskan aktivis mahasiswa!

"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” (Ps. 28 UUD 45)

Di negeri yang mengaku telah pergi meninggalkan otoritarianisme, ternyata menyampaikan kritik dan pendapat tetap dilawan dengan pentungan dan bogem mentah.

Sehubungan dengan penangkapan beberapa mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia, 20 Oktober 2017, maka Keluarga Alumni BEM Universitas Diponegoro (KA BEM UNDIP), dengan tegas menyatakan:

1. Bahwa, Konstitusi Republik Indonesia telah menjamin kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat di muka umum. Sehingga, aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI pada 20 Oktober 2017 merupakan aksi yang dilindungi oleh Undang-Undang dan bukan merupakan demonstrasi yang secara substansi dan tata caranya dilarang oleh peraturan perudang-undangan. Maka, siapapun tidak berwenang melakukan tindakan represif.

2. KA BEM UNDIP mendukung penuh demonstrasi yang dilakukan oleh seluruh elemen mahasiswa sebagai bentuk kontrol kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

3. Mengecam tindakan represif aparat dalam menyikapi kebebasan berpendapat yang diijamin oleh UUD 45, dan bertindak dengan menggunakan kekerasan dalam mengamankan demonstrasi yang dilaksanakan oleh BEM SI.

4. Mendesak POLRI, dalam hal ini POLDA METROJAYA untuk membebaskan mahasiswa yang ditersangkakan dan/atau ditahan sejak 20 Oktober 2017, supaya mendapat perlakukan yang sama dimata hukum (equality before the law), dan tidak diperlakukan sebagai pembuat kerusuhan.

5. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan pernyataan, klarifikasi dan/atau tanggapan sehubungan aksi demontrasi serta keberpihakan kepada adik-adik BEM SI yang dilakukan oleh aparat kepolisian, atas dasar hak asasi manusia.

6. Mengajak seluruh elemen masyarakat, aktivis mahasiswa, alumni BEM dan aktivis pergerakan kampus untuk bersama mengawal BEM SI secara pro-aktif menyikapi penangkapan tersebut, dan sebagai bentuk keprihatinan matinya demokrasi di Indonesia secara perlahan-lahan, dan lebih kritis dalam menyikapi fenomena demokrasi di Indonesia.

Jakarta, 23 Oktober 2017

Ttd,
Alumni BEM Undip

Alumni BEM Undip:
1999: Edi Santoso
2000: Fris Dwi Yulianto
2001/2002: Hadi Santoso
2003: Handoyo Prihantanto
2004: Aris Fajar Rohani
2005: Eko Susanto
2006: Muhammad Taufan
2007: Budi Setyawan
2008: Aryanto Nugroho
2009: Yudha Prakasa
2010: Adiyatma Nugraha
2011: Indra Permana
2012: Reza Auliarahman
2013: Mohd Najibullah B
2014: Taufik Aulia Rahmat
2015: Risky Haerul Imam
2016: Fawaz Syaefullah






0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact