Kemarin saya menghadiri seremonial wisuda. Duduk di ruangan tersebut dan mengikuti rangkaian acara membuat saya sangat haru *embak-embak lebhay*. Bagian paling mengharukan adalah ketika dibacakan Predikat Lulus dari masing-masing nama lulusan. Tidak sedikit yang mendapat IPK sempurna yaitu menyentuh angkat 4,00. Dari 60an peserta wisuda, tak sedikit pula lulusan yang lulus dengan Predikat Cumlaude.
Dia mengatakan bahwa yang susah itu bukan hanya ketika akan masuk jurusan tersebut, namun juga keluarnya tak kalah susah, menghabiskan waktu 6 tahun untuk berjibaku mengejar cita-cita mereka. Maka tak heran tepuk tangan selalu menggema di ruangan tempat saya duduk saat para lulusan itu satu per satu berdiri dengan diiringi pembacaan Predikat Lulusnya.
Mata saya mengitari wajah-wajah orang tua/wali yang hadir, saya mendapati ada ibu-ibu mengusapkan tissue ke ujung matanya yang berair tipis-tipis, atau bapak-bapak yang tepuk tangannya paling keras sekali dibanding hadirin yang lain, ada juga yang berusaha dengan keras untuk memanjangkan lehernya guna melongok ke bagian depan ruangan untuk memastikan bahwa ia tidak melewatkan sedikitpun prosesi dari rekaman matanya. Mungkin yang sedang dipanggil adalah anak, kerabat mereka.
Acara kemarin membawa saya pada ingatan hampir 1,5 tahun yang lalu, momen dimana nama yang dipanggil untuk mendapatkan ijazah adalah nama saya. Mendapat titel Cumlaude dari salah satu universitas negeri yang selalu menduduki rangking 10 besar kampus terbaik di negeri ini, mungkin adalah salah satu hal yang sangat membanggakan. Mungkin juga hal tersebut diperbincangkan siang malam oleh orangtua kita, diceritakan berulang-ulang, ke tetangga, ke sanak saudara.
Padahal, dibalik slempang kuning yang saya kenakan kala itu, ada suatu paradoks yang menjadi bahan kontemplasi saya berhari-hari. Saya bahagia, namun disisi lain ada perasaan yang berlawanan dengan rasa bahagia itu. Beban. Khawatir predikat tersebut tidak bisa saya buktikan ketika saya mulai keluar dari ruangan tersebut.
Saya juga berkontemplasi. Suatu hari kita juga akan menjalani -kurang lebih- seperti seremonial wisuda kita. Dipanggil satu-satu namanya, namun kali ini bukan dibagikan ijazah, tapi dibagikan catatan amal kita semasa di dunia.
Ada yang di berikan catatan tersebut dari depan dan diterima dengan tangan kanan, ada yang dengan tangan kiri bahkan ada pula yang dilempar dari arah belakang punggung mereka. Bagaimana perasaanmu waktu ijazahmu dilempar rektor dari belakang(?) Apa nggak pengen cepet-cepet lepas wedges terus lari showeran di kamar mandi sambil nangis masih pakai kebaya(?)
Saat itu, adalah saat-saat dimana kita mendapatkan sebuah keputusan mengenai masa depan kita yang kekal di akhirat. Dipersidangannya Allah. Semua berlutut menunggu dipanggil untuk menghadap Rabb semesta alam. Ketika seorang hamba tahu bahwa dirinyalah yang dicari dengan panggilan itu, maka seruan itu akan langsung menggetarkan hatinya. Tubuhnya gemetar dan ketakutan yang besar langsung menyelimutinya. Berubahlah rona wajahnya dan menjadi hampalah pikirannya. Kemudian kitab catatan amalnya dibentangkan dan dibuka di hadapannya.
Semua yang dilabelkan di diri ini akankah menghantarkan hamba pada sebuah pengukuhan terbaik di sisiMu, Allah? Ataukah malah hal-hal itu yang akan memperberat hisab hamba(?)
0 komentar:
Posting Komentar