Minggu, 15 Oktober 2017

Kalian, Bentuk Terindah dari Baiknya Tuhan Padaku

Orangtua seyogyanya adalah harapan bagi anak :) Di saat anak jatuh; kecewa; gagal; dianggap rendah; dianggap tidak sukses, orangtua lah tangan pertama yang mengulurkan bantuan, hati merekalah yang pertama kali percaya bahwa anaknya mampu menemukan peran terbaiknya.
MasyaAllah :”) itu yang selalu orangtua saya lakukan kepada saya, tidak peduli se-buruk apapun kemampuan saya dibanding teman-teman sebaya, mereka selalu hadir untuk menenangkan; pemompa semangat terhandal ketika saya teramat takut untuk bersaing, ketika saya menggenggam terlalu banyak kekhawatiran, bahkan sampai usia yang terbilang tidak muda lagi ini pun saya masih selalu menelpon ibu ketika tengah malam saya terbangun ketakutan karena mimpi buruk #receh! :”) saya juga tidak pernah masuk ruang ujian apapun kecuali dengan menghentikan sejenak langkah terakhir saya di depan pintu ruangan tersebut untuk mengambil handphone dan texting minta doa ke orangtua saya walaupun sebelumnya saya sudah meminta doa mereka, tapi ya entah kenapa saya merasa tenang aja kalau doa mereka ikut membersamai saya bahkan hingga detik-detik terakhir perjuangan saya.

Saya masih ingat betul, saya dan adik saya begitu mudah meminta izin dari orangtua kami untuk tidak masuk sekolah ketika kami merasa penat belajar dan datang ke sekolah. Penat sekolah saya rasa suatu hal yang wajar bagi setiap anak manusia #pembelaandirinih haha. Bagaimana tidak(?) untuk ukuran anak kampung seperti saya, masuk ke SMP di kota dengan beban pelajaran dan kegiatan dari jam 6 pagi hingga jam 5 sore, berasa nightmare, bersaing dengan anak-anak kota yang mungkin dikasih makannya bergizi-bergizi terus kali yak jadi hasilnya pinter-pinter gitu. Berlanjut ke SMA dan masuk ke kelas yang bahasa pengantarnya menggunakan dwi bahasa yang tiap harinya tas saya tidak pernah tidak diisi dengan buku-buku plus kamus bahasa inggris (ini penting bangett jadi pas baca handbook nggak mudeng, buka kamus. Pas mr/mrs nya ngomong tapi aku masih aja nggak mudeng, buka kamus. Demiii. Hidup gue semenyedihkan itu hiks) yang tebalnya mirip dengan cucian baju selama 2 minggu di kosan kalau ditumpuk (pantas saja saya tidak tinggi hiks. Ini akibat membawa beban berat di tas kali ya. Eh sama ini, bawa beban hidup #lemparsandal). Seperti yang saya bilang, saya bukanlah anak yang shine bright like a diamond. Tapi, orangtua saya yang selalu membesarkan hati saya, bersabar menerima kekurangan saya, mereka yang selalu percaya pada ide-ide gila saya tiap kali orang lain tidak yakin kepada kemampuan saya. Mereka tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk belajar keras (itu sebabnya anak-anaknya selalu mudah acc kalau mau bolos sekolah :”) syarat bolosnya cuma satu, jujur. Baik itu jujur ke orangtua ataupun jujur ke pihak sekolah. Jujur ke orangtua adalah kalau kita bolos ya bolos dari rumah, jangan dari rumah keliatan berangkat tapi tidak sampai di sekolah. Jujur ke pihak sekolah, orangtua saya pun tidak membuatkan izin ke sekolah seperti surat sakit atau sebagainya, karena kami memang tidak sakit. Kami kan bolos :”) jadi nggak berhak dapat izin sakit. Kalaupun besok pas masuk sekolah diomelin guru gara-gara bolos, yaudah konsekuensi kami, harus dihadapi. Apa yang kami lakukan selama bolos di rumah? Makan, tidur, nonton tv, main game. Yaaa hal-hal yang awkward gitu lah. Dan orangtua kami menghargai itu, tidak memojokkan kami atas keputusan bolos sekolah yang kami ambil hanya untuk kegiatan nggak penting kami di rumah semacam itu. Tapi saya rasa ini cara mendidik yang ekstrim kkkkk~ jangan diterapkan sebelum mengetahui karakter si anak dengan benar, alih-alih nanti jadi salah asuh), tanpa kami merasa didikte orangtua kami seakan-akan menjelaskan kepada kami untuk apa pentingnya belajar itu. Jadi kami belajar keras karena pemahaman kami sendiri, dan kami tahu untuk apa kami harus belajar, bukan dari paksaan atau tekanan.

Sungguh percayalah :”) Saya ini dibanding temen-temen yang lain seringnya saya ngerasa rendah diri karena sebenernya saya nggak punya kemampuan yang lebih baik dari yang lain, malah terhitung di bawah wakakaka. Cuma, peran orangtua saya yang menjadikan saya merasa “sebego-begonya lu, lu tetep berharga kok buat bapak sama ibu. Segagal-gagalnya lu, lu tetep kok bakal selalu punya tempat buat pulang. Etc.”. Serius deh :”) dari situ saya jadi punya semangat untuk berusaha lebih keras, berusaha lebih tekun lagi, berani malu, nggak terlalu mikirin apa kata orang (dalam kondisi tertentu yak tapi). Jika ada yang tahu, disaat yang lain sudah enak-enakan bisa main-main, saya masih harus belajar berulang-ulang hingga pagi untuk dongkrak nilai. Disaat yang lain skor toeflnya sudah bisa buat lamar beasiswa dan sudah bisa casciscus ngomong sama bikin caption pakai bahasa inggris, saya masih harus les sepulang kerja dan ngadepin handout untuk belajar toefl. Disaat yang lain sudah ikut konferensi kemana-mana, saya masih harus utak-utik di laboratorium. Disaat yang lain sudah bisa tidur nyenyak, saya masih harus begadang buat ngerancang konsep organisasi gara-gara otaknya keseringan mampet hahaha. Da aku mah apa atuh... Cuma serbuk micin yang dihempas manja di khatulistiwa. Allah Maha Baik karena menutupi aib-aib saya, doa orangtua saya begitu manjur sehingga banyak membuka jalan-jalan di hidup saya. Begitulah sodarah sodarah.

Jadi, saya membuktikan bahwa penerimaan orangtua terhadap kondisi anaknya bisa berimbas seluar biasa itu, bisa mengubah si anak. Kemarin saya ikut kajian, ada jama'ah yang nanya “Umik, kan ngurus anak itu capek ya... belum lagi kalau ngeliat anak seusianya udah bisa ini itu dan anak kita belum, rasanya tuh sedihhh banget Umik, ini anak aku kenapa(?). Terus kadang saking capek sama semuanya, kadang jadi keluar omongan kasar atau bentak.” Lalu ustadzahnya jawab “Orangtua kuat akan menghasilkan anak yang kuat. Jangan terburu-buru ingin anak kita sholih atau baik, karena mengajarkan dengan cara menekan bukan pondasi yang kuat untuk anak. Pahamkanlah si anak saat kita hendak mengajarkan sesuatu. Perbanyak doa, peluk mereka, tatap matanya untuk transfer kasih sayang kita ke mereka. Tiap anak punya cara berbeda dan jenjang waktu berbeda untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Pahamilah, para orang tua.”

Hmmm... saya jadi ingat biografi seseorang. Thomas kecil dengan sang Ibu, Thomas yang dianggap aneh, hingga tak ada guru yang mau mengajarnya. Ibunyalah yang pertama kali menyambut Thomas ke dalam pelukannya; kepercayaannya; pemberian harapan, membawanya kembali kepada sekolah sang ibu, sekolah di rumah. Jadilah ia.. Seorang Thomas A. Edison. Yang melalui penemuannya, kita sekarang mampu merasakan setiap pendar cahaya :)
Mungkin ya waktu itu orangtua saya juga sedih kok anaknya macem saya begini wakakakak. Tapi, mereka memilih sikap untuk tidak pupus harapan dari setiap ucapan orang yang menurunkan semangat mereka. Mereka menjadikan saya istimewa apa adanya... Melalui pupuk cinta, perhatian, dan pendidikan dari orang-orang yang percaya pada saya.

Jangan lelah untuk belajar, start kita sama kok sebenernya, hanya proses yang akan membuat kita beda ending :”)

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact