Kamis, 20 April 2017

Kontemplasi Dialog (2)

Ayah : Nangis aja kalau mau nangis..



Anak perempuan : Engga..


Ayah : Kenapa?


Anak perempuan : Malu.. terlihat lemah...


Ayah : Tapi dadanya sesak?


Anak perempuan : Iya...


Ayah : Hahahaha


Anak perempuan : Jangan ketawa. Aku sedih. Kenapa Ayah malah ketawa(?)!


Ayah : Mau Ayah peluk?


Anak perempuan : Engga... Malu.. kayak perempuan manja aja.


Ayah : Hahaha. Putriku, dengarkan Ayah. Anggaplah Ayah berbicara kepadamu sekarang sebagai seorang laki-laki, bukan sebagai Ayahmu.
Tidak menjadi masalah menjelma menjadi perempuan yang 'terlalu'. Terlalu cantik, terlalu hebat, terlalu pintar, terlalu bersinar, terlalu tangguh. Tak mengapa... Tapi, Sayang, ketahuilah... Lelaki hidup di atas harga dirinya. Dengan segala hal yang 'terlalu' itu tadi, Ayah khawatir lelaki begitu enggan mendekat, bukan karena tidak ingin. Mereka kadang merasa rendah dari apa yang ada dalam dirimu. Ayah tadi bilang, tidak masalah menjadi perempuan hebat. Namun, yang tak boleh kamu lupa, Sayang... bahwa akan ada peran lelaki yang akan mengajakmu berjalan. Akan ada lelaki yang akan mengoreksi apa yang harus kamu perbaiki. Sesekali copot mahkota yang ada diatas ke'terlalu'anmu itu, agar apa yang ingin kau perlihatkan “sangat” menjadi mampu membuat lelaki melihatmu sederhana. 
Ada kalanya, kami para lelaki butuh perempuan menjadi manja, menjadi lemah, menjadi gelisah. Bagi kami, itu suatu hal yang manis haha.
Jika kamu lemah, biarkan kelemahan itu menjadi sesuatu yang bisa menjadi “sangat” untuk lelaki, menemanimu yang lemah, yang lelah, yang gundah, yang merasa tak tahu banyak hal, yang ingin dimengerti. Berjanjilah pada Ayah. Ya, Nak?



***



Road to Kartini's Day.. Yeyeyey Hoplaaa!!! ^_^
Saya mau ceritaaaa sesuatu hehe. Boleh? Ahh dijawab "nggak boleh" juga saya akan tetep cerita haha.







Suatu hari, seorang teman bertanya pada saya, "Jadi apa rencanamu setelah ini?" saya jawab, "lulus (obrolan ini terjadi ketika belum lulus kuliah, masa-masa purna amanah di kampus) setelah itu kemungkinan akan bekerja atau sekolah lagi sambil menunggu jodoh. Habis itu kalau Alhamdulillah nya udah ditemuin sama jodohnya (dulu sebelum maut), bakal nikah, lalu menyesuaikan rencana suami."


Dia tampak belum puas, "What? Menyesuaikan rencana suami? bukan, bukan, maksudku bukan tentang suamimu, tapi apa rencanamu? Kamu terhitung perempuan 'eksis' selama ini. Pasti punya lah ya apaaa gitu keinginan.". Saya bengong. Saya paham, mungkin menurut teman saya tersebut, wanita yang 'mengekor' sama suami itu kurang bisa diterima logika.


Saya senyum, ah andai kamu tahu, bagi saya, setelah menikah, saya dan ia telah menjadi kita (Idiiihh alay banget nggak sih bahasa gueee?? Emang!!!). Kesuksesannya juga adalah kesuksesan saya. Tentu, tentu saya juga punya mimpi untuk umat ini, dan untuk itu, ia bagaikan sayap yang membantu saya terbang menggapainya. Begitu pun saya baginya. Maka, 'me time' menurut saya adalah sampai sebelum menikah saja, jika ingin menyelesaikan apa-apa yang 'kamu banget' yaudah sampai sebelum menikah saja. Setelah akad, wushhh (red: suara angin) nggak boleh ada yang namanya 'me time' hehe (pendapat saya dan bagi saya ya ini, bukan bagi orang lain hehe. No debates, lets discusses.). Yang ada adalah 'our time' itu tadi. Saya mikirnya, ketika memutuskan untuk menikah, sudah tidak ada cita-cita saya, cita-cita kamu lagi, adanya cita-cita kita. Kalo mau mencapai cita-cita sendiri-sendiri mah, ya jalan sendiri-sendiri aja ya? hehe. Untuk mencapai cita-cita ini makanya pasangan harus berbagi peran. Ini tergantung kesepakatan bersama, kondisi tiap pasangan mutually exclusive, tidak serta merta pilihan seseorang lebih baik dari yang lain.


Dan, bagi saya, kesuksesan tertinggi adalah saat bisa mendampinginya kemanapun ia pergi. Pencapaian tertinggi adalah saat ia bisa ridha dengan perbuatan saya. Kepuasan tertinggi saat bisa menghantarkannya sukses dengan tetap saling membantu menggenggam takwa. Dan percayalah, perihal melayani, perihal taat, itu tidak sederhana, sama sekali tidak mudah (berdasarkan wejangan ibu saya), sehingga tak heran ganjarannya pun besar...


Saya memilih jalan hidup seperti itu sejak dahulu kala, tentu saja bukan karena terpaksa, juga bukan karena tak ada pilihan. Saya memilih seperti itu, semata karena saya tahu inilah jalan yang terbaik, urutan prioritas yang terbaik menurut saya, yang dipilihkan Ia yang menciptakan saya sebagai seorang perempuan, Ia yang paling tahu apa yang terbaik untuk saya 😊 sehingga yang ada hanyalah bahagia, bangga dan kelapangan hati saat bisa melayani keperluannya, sekecil menyendokan nasi (pakai sekop pasir *lhoh!) dan lauk, atau menuangkan teh hangat setiap pagi. Namun pun jika nanti pasangan saya menghendaki (setelah proses diskusi bersama) saya berkiprah di luar rumah karena suatu hal yang memang dirasa urgent untuk keluarga kami, why not? Yang terpenting adalah itu tadi, niat berkiprah bukan serta merta unjuk gigi sebagai seorang individu, tapi terdapat alasan-alasan urgent untuk kepentingan bersama. Dan syaratnya bagi saya masih tetap sama, prioritas utama saya adalah keluarga. Jadi kalaupun saya berkiprah di luar rumah, motto saya tetap "Full time mother, part time worker". Karena semoga kita para perempuan bisa mewariskan generasi tangguh ruhani; jasmani serta kecerdasannya, untuk meneruskan perjuangan ummat.


"Saya teh suka bingung gitu sama orang kayak kamu yang sekolah tinggi tapi mau aja bercita-cita sebagai ibu." lanjut teman saya.


"Hehehehe.. saya sekolah niat utamanya untuk cari ilmu kok. Ya kalau kebetulan bisa kerja lantaran sekolah dan ilmu yang didapat, Alhamdulillah ya berarti dapat bonus dari Allah. Tapi tetep kok, kalau untuk memanfaatkan ilmu yang telah didapat, insyaAllah saya akan berusaha memegang itu, memanfaatkannya, apalagi ilmu saya ilmu alam ya. Saya dulu sebelum ambil jurusan mikirnya puanjangg banget, saya sinkronkan dengan kodrat saya ini, perempuan. Berharapnya dulu itu waktu ngambil jurusan ini karena supaya bisa diaplikasikan di real life gitu, jadi ilmunya nggak keputus, sok weh dipake terus tiap harinya. Ini aja kehidupan sehari-hari saya pakai prinsip yang saya pelajari di kelas dulu itu lho hehe. Ruang lingkup memanfaatkan ilmu itu tidak sempit hanya dengan 'keluar rumah' to? hehe. Saya anaknya santai kok... tak hirau dengan aneka teori manusia terkini, riuh persepsi dan argumentasi. karena apa guna pendapat manusia, bila penilaian pencipta lah yang lebih berharga? semoga niat terjaga selalu, ya..." balik menyantap es oyen.



Yapsss.. jadi begitulah kurang lebihnya saya memaknai perempuan dan laki-laki.
Hmmm... kelak putra-putrimu dididik bukan dengan kecantikan ibunya ataupun ketampanan ayahnya, melainkan mereka akan dididik dengan seluruh ilmu pengetahuan dan cinta :) 
continue reading Kontemplasi Dialog (2)

Rabu, 19 April 2017

Kontemplasi Dialog (1)

Kinyong : Assalamu'alaikum... Nyong... Tolongin sayaaa



Kinyung : Wa'alaikumsalam... Apaaa?


Kinyong : Saya mau sortir foto yang terlalu memampang wajah terlebih nggak ada momen penting juga. Liatin tolong mana aja yang masuk kriteria itu menurut kamu


Kinyung : Bukannya kamu udah dikit juga ya yang menampakkan wajah(?)


Kinyong : riskan


Kinyung : riskan gimana?


Kinyong : hati saya sensitif sama pujian orang-orang, padahal mah editan, hehe


Kinyung : hoooo, terus?


Kinyong : ya terus ngeri aja gitu kalau lama-lama di puji orang kayak begitu saya suka senyum-senyum nggak jelas, takut jadi penyakit hati, kalau udah menggerogoti hati nih, lama baliknya. Belum lagi dipandangin orang-orang, malu wajah saya di timang-timang. Lagian saya nggak pernah bisa jamin, takut Allah nggak ridha. Kan sedih :"


Kinyung : Oh.. okeee sebentar dilihat dulu.


Kinyong: Iyaa makasih yaa.. yang cepet ya ngabarinnya. Keburu nanti setan masuk ke saya lagi terus sayang buat ngehapus karena inget likenya banyak hiks.


Kinyung : .... %$(()$#?>":+_*&^!@%


***


"Jadi kenapa masih diam sementara yang lain terus menjadi lebih baik?"

continue reading Kontemplasi Dialog (1)

Minggu, 16 April 2017

GRADUATION AND THE STORY BEHIND (Jilid 3)

Ingat kah? (Berabad-abad) Dulu saya pernah bikin sekuel tulisan tentang 'Graduation and the Story Behind' ? Hahaha ya Allah inilah buruknya saya.. selalu telat memenuhi janji, tapi saya takut punya hutang. Jadi walau telat, tetep dipenuhin yak kalau bisa hehe. Punten akang teteh..
(Ini musim wisuda. Makanya ingat kembali). Yang sudah lupa, bisa buka di JILID 1 dan JILID 2

Kali ini saya bakal cerita tentang kekhawatiran-kekhawatiran menjelang pakai toga. Oh manusiaaa... masuk kuliah khawatir, mau keluar khawatir, udah keluar.. yakin deh saya.. pasti juga punya kekhawatiran haha.

Oiya, sebelumnya coba saya ungkit sedikit mengenai skripsi ya. Untuk urusan perjuangan skripsi hehe, yaa intinya kalau menurut saya sih, sebelum menentukan tema skripsi, harus ada perenungan mendalam terlebih dulu. Kelak saat pasca kampus, tema skripsi ini bakal ngasih andil yang lumayan besar lho -pengalaman individu sih, nggak tau kebanyakan gimana- wabil khusus untuk jurusan-jurusan non-keprofesian ya maksud saya. Karena dari tema skripsi kita, bisa jadi menjadi pit point kita untuk menentukan langkah pasca kampus berikutnya. Misalnya mau nyari beasiswa atau mau lanjut S2, berdasarkan pengalaman dari teman-teman dan kakak-kakak kelas saya yang sudah mengalami, biasanya profesor (kalau seleksi yang pakai sistem rekomendasi promotor -i mean-) punya kecenderungan sama anak-anak yang emang udah ada pengalaman di bidang itu. Kan kalau kita bilang S1 itu udah spesifik, di S2 pastiii lebih spesifik lagi, jadi dicarilah oraang yang memang sudah mengecap bidang tersebut. Emang nggak semuanya kayak gitu sih... tapi harapannya dengan milih anak-anak yang setidaknya udah pernah nyicipin bidang tersebut, si profesor atau sistem mengajarnya nggak perlu dari nol. Terus selanjutnya, berdasarkan pengalaman yang sudah mengalami juga, tema skripsi ini pun jadi penting saat kita seleksi beasiswa. Syukurnya kalau kita mau pilih jurusan S2 yang sama dengan bidang skripsi kita sih kemungkinan kita nggak akan terlalu dikejar-kejar oleh pertanyaan-pertanyaan, nah paitnya itu kalau apa yang mau kita pilih engga selinier sama tema skrispi bahkan jurusan, maka siapkan argumen terbaikmu hehe. It's okay, where there is a will there is a way. Kalau yang mau S2 untuk ngejar biar bisa jadi dosen, dosen pembimbing saya pernah rekomen untuk lihat jurusan pilihan kita di peraturan Dikti tahun 2014 tentang Linearitas Ilmu (mohon maaf saya belum bisa menyediakan linknya, kapan-kapan kalau saya ada waktu akan saya tambahkan ke post ini), supaya nggak amsyong pas udah milih jurusan hehe. Yang dimaksud linier itu tidak harus sama antara jurusan S1 dengan S2 dan S3 nya, asal masih masuk rumpun keilmuan yang sama, cincay laa. Nah apa aja rumpun ilmunya, ada di peraturan itu hehe.
Next... Kalau pada dunia kerja (apalagi orang yang idealis bahwa pekerjaannya harus sesuai dengan latar belakang ilmunya) ini sudah pasti jadi hal yang penting ya. Kerangka berpikirnya sama sih seperti di atas itu, si pencari kerja mungkin akan lebih mempertmbangkan yang setidaknya sudah pernah nyicipin bidang tersebut, eventhough itu hanya sesingkat pengerjaan skripsi. Skripsi itu ibarat kata semacam kesempatan terakhir kita untuk belajar. Saya dulu mikir, "Iyakah yang seperti ini (apa-apa yang sudah di dapat di kampus) sudah memenuhi kriteria orang yang dicari di luar sana (karena memang tujuan pertama saya setelah lulus adalah kerja dulu)?" Jadi saya putar otak, ini gerbang 'pintu' terakhir sebelum dilepas oleh kampus dan nantinya dilanjutkan dengan harus mengaplikasikan ilmu yang didapat. Saya waktu itu ketakutan, maka kesempatan 'pintu' terakhir ini saya manfaatkan betul-betul untuk menengok dunia luar kampus. Maka saya memutuskan untuk melakukan skripsi di instansi non-pendidikan dan sekiranya bisa memberikan saya pengalaman serta kompetensi real life sektor pekerjaan yang hendak jadi tujuan saya. Walaupun, saya harus siap dengan segala konsekuensi, salah satunya adalah rentang waktu penelitian yang cukup lama karena kita bekerjasama dengan pihak lain, bukan kita sendiri yang bisa menentukan berhasil tidaknya selesai tidaknya penelitian kita. Nggak apa-apa sih kalau saya hehe, saya nggak merasa rugu. Karena disitu saya bisa pegang alat yang sebenernya dibutuhkan orang-orang di bidang saya tapi mungkin kampus belum bisa menyediakan, dan keuntungan-keuntungan lainnya.
Sudah yaww untuk skripsi hehe... selain tema, yang terpenting dalam pengerjaan skripsi adalah niat , doa dan semangat serta dukungan. Eh satu lagi, DIKERJAKAN haha. Karena semua itu tanpa 'dikerjakan' hanya akan jadi onggokan perenungan yang makin lara ketika ngeliat temen-temen lain udah pada wisuda. Mungkin kita akan mengalami banyak drama disini. Jangan sedih terpuruk dan ingin makan sianida sekalinya dapat hambatan skripsi, percayalah... di luar sana ada yang nasibnya lebih buruk dari kita tentang kisahnya dan skripsi. Okey! Chips ahoy!




Kita lanjut ke curhatan mau pakai toga.

Ada banyak alasan di dunia ini untuk kita merasa khawatir. Masa depan adalah salah satunya. Tidak berbeda dengan kebanyakan kita, saya sering membayangkan diri saya lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Satu waktu saya tersenyum, membayangkan apa-apa saja dan berharap bisa terwujud, dengan optimisme membumbung tinggi ke angkasa. Lain waktu saya mengernyitkan dahi, melempar pandangan kosong pada dunia, kala permasalahan merundung menutupi bayang-bayang masa depan yang saya inginkan. Sesekali, manakala saya merasa hidup tengah tidak bersahabat, penuh masalah dan tidak sesuai harapan, masa depan terasa sangat jauh lagi gelap. Optimisme pun surut berganti kegelisahan tanpa jawaban. Meninggalkan keraguan atas berbagai pertanyaan tentang masa depan.
Saya percaya bahwa kekhawatiran semacam itu sebetulnya adalah wajah lain dari ketakutan: takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain. Tepat di momen-momen menjelang saya memakai jubah hitam dan topi segi-lima, perasaan ini datang menghantui. Berkuliah di universitas yang 'dilirik' kebanyakan orang, (bagi sebagian yang nasibnya bagus mungkin bisa) di jurusan yang mematahkan hati banyak calon mahasiswa, dan beberapa prestasi di dalam maupun di luar kelas, mungkin kita akan merasa ada beban di pundak kita. Ekspektasi dari orang-orang di sekeliling secara tidak sadar tumbuh bersama apa yang diraih. Serupa rumah, tetangga melihat halaman dan luaran, si empunya melihat isi rumah. Ketika orang-orang melihat saya dari apa-apa saja yang pernah diraih, saya sendiri lebih banyak melihat apa-apa saja yang saya rasa belum saya kuasai selama delapan semester ambil kuliah. Tidak heran, ujung cerita ini adalah saya takut belum siap meninggalkan kampus, sedangkan orang-orang nampaknya tidak sabar menunggu torehan-torehan baru saya setelah menyandang gelar sarjana.
Sekali waktu, ingin rasanya bebas dari ekspektasi orang lain. Tidak melulu dikurung standar tertentu. Bebas bilang kalau saya tidak tahu atau tidak mampu. Bebas bermalas-malasan hanya agar tidak menjadi apa yang orang bayangkan. Boleh pula gagal dalam menjalani suatu hal untuk coba-coba.
Sadar atau tidak, kita sebagai makhluk sosial banyak menghabiskan hidup kita untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tak apa. Itu disebut konformitas: mengubah sikap atau tingkah laku kita sesuai dengan norma sosial yang ada. Ada saja hal-hal seperti membawa buah-buahan untuk teman yang tengah sakit, memberi amplop berisi duit di kawinan, atau membagikan oleh-oleh sehabis bepergian jauh kita lakukan karena norma sosial mengekspektasikan kita berbuat demikian. Nah, kalau dipikir ulang, mungkin ada hal-hal lebih besar juga kita lakukan hanya karena kita melihat itu sebagai kebiasaan (norma) yang berlaku sehingga melakukannya agar sesuai ekspektasi orang-orang.
Ambil contoh sekolah. Setelah lulus setiap tingkat pendidikan, terutama saat masih anak-anak, kita lanjut sekolah cenderung karena teman-teman kita juga lanjut sekolah (dan kita beruntung punya orang tua yang mampu menyekolahkan). Memilih SMA daripada SMK, memilih program sarjana daripada diploma, memilih lanjut sekolah atau langsung bekerja, memilih kerja di korporat daripada startup, memilih menikah di usia kepala dua daripada kepala tiga, apakah kita mengambil pilihan tersebut karena betul-betul paham setiap pilihan(?), ataukah menuruti ekspektasi teman-teman, guru, orang tua, atau pihak eksternal lainnya? Tentu saja kita berharap karena mengerti konsekuensi pilihan kita. Meskipun pada kenyataannya mungkin tidak selalu begitu.
Saya tidak berusaha mengatakan bahwa mengikuti ekspektasi lingkungan itu suatu kesalahan. Tidak juga mengatakan bahwa konformitas itu salah. Toh sejak lahir kita juga sudah menanggung ekspektasi orang tua yang tersemat pada nama kita kan(?). Ekspektasi, sebaliknya, sering kali membantu kita untuk tetap berada di jalur yang tepat. Mendorong kita berkembang menjadi versi lebih baik. Memaksa kita menembus batas-batas buatan kita sendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika kuliah. Ekspektasi lingkungan yang penuh prestasi serta penuh orang-orang ambi(sius) membuat saya menjadi saya sekarang. Tanpa ada ekspektasi demikian, bisa jadi saya tidak punya dorongan (lebih) untuk banyak-banyak 'ambil bagian'.
Saya cuma khawatir saya bakal memilih melakukan sesuatu yang menjadi ekspektasi orang lain daripada memilih melakukan apa-apa yang benar-benar saya inginkan. Selepas menamatkan kuliah, banyak sekali keputusan mesti diambil. Terkadang, ada dilema antara memenuhi ekspektasi orang lain dan menjalani hidup yang kita inginkan. Hidup ini memang sering kali bukan hanya tentang kita. Ada orang tua, keluarga, pasangan, sahabat, yang seakan-akan juga punya hak untuk dipertimbangkan ketika mengambil keputusan. Setelah banyak-banyak memikirkan ini, saya paham satu hal. Saya tidak takut gagal memenuhi ekspektasi mereka pada saya. Lebih dari itu, saya takut berhasil memenuhi ekspektasi mereka, kemudian sadar bahwa bukan itu yang saya inginkan.
Hidup kita, kita yang jalani. Orang boleh bilang kita harus hidup begini atau begitu. Orang boleh bilang hidup kita bahagia atau nelangsa. Tapi, pastikan saat kita tengok diri, ia menjadi apa yang kita kehendaki. Itu.


Jadi ya, kalau sampai ada yang stress gara-gara mikir pasca kampusnya mau gimana karena ban\yangannya masih dalam bentuk puzzle berserakan, stress gara-gara takut diomongin orang "Ih kok masih nganggur" "Lhoh kamu bukannya sering dapet IP cumlaude ya(?) anak pak X udah kerja, anak bu Y udah sekolah lagi, kok kamu masih di rumah aja." Yassalammm... Takut dicerewetin gitu? udah lah, lulus itu udah banyak pikiran, masa iya mau nambah pikiran kita sama omongan-omongan orang (kecuali omongan itu tidak melemahkan ya, kudu kita dengarkan malahan). Cobalah tenang, susun rencana pelan-pelan, bikin pergerakan nyata dari setiap rencana. Baiknya sih memang perencanaan ini sudah dilakukan sejak awal, supaya habis pakai toga langsung tahu mau kemana. But, it's okay.. lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan :)
Please, jangan galau hehe.. Sungguh hidup ini terlalu menyedihkan kalau dibuat galau, di depan masih banyak hal yang harus kita hadapi dengan ketangguhan *ngomong depan kaca*



-to be continued-
continue reading GRADUATION AND THE STORY BEHIND (Jilid 3)

Selasa, 11 April 2017

Hayyin, Layyin, Qorib, Sahl

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ، ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ،ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﻻَ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻛُﻢْ ﺑِﻤَﻦْ ﺗُﺤَﺮَّﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﺑَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻫَﻴِّﻦٍ، ﻟَﻴِّﻦٍ، ﻗَﺮِﻳﺐٍ، ﺳَﻬْﻞٍ

"Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram (tersentuh api) neraka?.

Para sahabat berkata, "Iya, wahai Rasulallah!".

Beliau menjawab: "(Haram tersentuh api neraka) orang yang Hayyin, Layyin, Qorib, Sahl"
(H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Hiban).

1. Hayyin
Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir maupun batin.
Tidak labil dan gampang marah, penuh pertimbangan. Tidak mudah memaki, melaknat serta teduh jiwanya..


2.  Layyin
Orang yang lembut dan santun, baik dalam bertutur-kata atau berbuat. Tidak kasar, tidak semaunya sendiri.
Tidak galak yang suka memarahi orang yang berbeda pendapat dengannya. Tidak suka melakukan pemaksaan pendapat.
Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk sesama manusia.


3. Qorib
Akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan orang bagi yang mengajak bicara. Biasanya murah senyum jika bertemu.


4. Sahl
Orang tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan  membuat orang lain lari dan menghindar.




Ayooo ayooo lariii lariii lebih cepat lagiii... masih jauh dari tabiat akhlaq mulia tersebut. Segera dapatkan!!! *pasang kuda-kuda*
continue reading Hayyin, Layyin, Qorib, Sahl

Senin, 10 April 2017

Usia dan Keputusan

"Jangan mematahkan niat baik dengan keraguan. Sudah terlalu banyak kebaikan menguap karena ragu." (Kurniawan Gunadi)


Semakin bertambah usia, disadari atau tidak, waktu yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan suatu urusan, rasanya jadi lebih panjang ketimbang sebelumnya.

Semakin usia bertambah, kita merasa harus lebih bertanggung jawab terhadap keputusan yang hendak kita ambil. Memastikan bahwa kita tidak gegabah dalam urusan-urusan kita. Memastikan bahwa kita siap menghadapi ekor yang dibawa dari keputusan tersebut, entah itu menyedihkan atau teramat menyedihkan. Adalah suatu keharusan untuk melibatkanNya. Hati pun kita buat jadi lebih peka setiap harinya untuk menangkap petunjuk melalui satu per satu kejadian, disebelah mana Tuhan memberi petunjuk dan jawaban dari doa kita. Setiap hari merapal doa, agar jalan semakin terang, memantapkan langkah kemana harus menuju. Apakah harus melanjutkan langkah berikutnya atau harus menghentikan langkah dan memulai perjalanan baru.


Kalau seperti di atas itu, menurutmu, itu sedang berpikir mempertimbangkan atau sedang ketakutan?


Kadang kita tidak sadar.. bahwa sebenarnya kita sedang sama-sama dihujani prasangka yang sama. Ragu akan sesuatu yang harusnya tidak perlu ditakuti keberadaannya. :)

continue reading Usia dan Keputusan

Jumat, 07 April 2017

Suka dan disukai ice cream(?)

-Pada suatu siang hampir ke sore, terjadilah obrolan antar wanita lajang berumur 23 tahun lebih(nya banyak) dengan seorang lelaki berusia 3 tahun-




+ kok Jayden suka banget sama es krim?
- Iya, soalnya es krim juga suka banget sama Jayden
+ ohh... (baguslah kalau suka sama suka, kalau bertepuk sebelah tangan nyesek, Nak...)
continue reading Suka dan disukai ice cream(?)

Kamis, 06 April 2017

What is life?

What is life anyway?
Anyone?



Bu Hermin idola saya (anggap saja Anda kenal) pernah menyampaikan pemahaman tentang kehidupan. Kata beliau, kehidupan tidak pernah memberi opsi untuk menyerah. Hampir seluruh makhluk hidup di Bumi selalu berusaha dengan berbagai cara mempertahankan eksistensinya. Hewan-hewan tidak mengenal bunuh diri. Mereka selalu punya cara menemukan makanannya, selalu melawan dan bertahan dari serangan pemangsa. Jika alam berubah mereka beradaptasi sedemikian rupa sampai merubah informasi genetik, mewariskannya kepada keturunan-keturunan mereka.

That's life on earth. Kehidupan selalu melawan ketidakberdayaan,
Kehidupan selalu gigih,
Lantas kenapa, bentuk kehidupan paling kompleks di alam semesta: manusia, bisa gampang sekali menyerah pada ketidakberdayaan? Kenapa ya?
*note to Monaliza, si embak embak malas*





Begitulah hidup ini... 4 tahun kuliah, yang ada di buku catatan saya adalah quote-quote indah dari gurunda-gurunda. Saya selalu merasa dosen-dosen saya itu so cool... di tengah pembelajaran mata kuliah, saya selalu mendapati quote-quote bagus *eh.. apa saya saja yang fokusnya ke quote ya(?)*. Maka, kala itu setiap kali malas menyerang saya untuk masuk kelas, yang menjadi motivasi saya adalah untuk menambah catatan quote di buku saya, saya harus tetap masuk kelas. Karena catatan quote tidak pernah bisa nyontek atau nyalin dari teman. Mereka terlalu baik dan menyanyangi orang tua mereka sehingga kalau kuliah yang dicatat adalah materi kuliah. Doakan saya, semoga segera kembali ke jalan yang benar dan menghentikan hidup yang seperti ini :3




Tertanda,
Mata Kuliah Evolusi.
continue reading What is life?

Rabu, 05 April 2017

Angsa

Kala kuliah di Biologi, selain menangkap ular dengan segala kecanggihan liak-liuk jari dan tanganmu membekap mulut untuk mencegah bisanya si ular, selain mencari burung hantu malam-malam di hutan dekat perpustakaan pusat, selain menangkap serangga lalu menandai sayapnya dan melepasnya lagi lalu menangkapnya lagi dan melepasnya lagi *yassalammm* dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya, ada juga kegiatan yang harus dilakukan yang namanya bird watching. Iniii seruuuu hehehe... kita harus memakai baju serba hitam, tiarap-tiarap di lantai hutan dengan rumput yang setinggi dada kita, bawa-bawa teropong (keker) binocular yang menggantung bebas di lehermu sehingga ketika kamu berjalan tiarap kamu akan merasa keren karena seperti prajurit di medan perang *WAKAKAKAKAKAK* (setidaknya itu imajinasi saya sendiri -_-). Dalam bird watching ini kita tidak boleh berisik, atau kepalamu akan dilempari bola rumput kering sekepalan tangan oleh asisten praktikummu (hehe karena saya pernah kepalanya penuh rumput gara-gara cekikikan sendiri melihat cacing berjalan saat saya tiarap. Andai saja mereka tahu goyangan tubuh cacing berjalan itu sangat mengocok perutmu. Sayangnya asisten saya tidak mau mendengarkan penjelasan saya.. dia bilang, sudah tidak ada lagi yang perlu dijelaskan diantara kami hiks *lhoh!!* dan penuhlah jilbab saya dengan rumput kering karena gempuran mereka). Kadang kalau beruntung, kita bisa melihat elang terbang di langit, sayapnya yang lebaarr itu terlihat amat keren.



Hari ini kita akan banyak bercerita tentang burung perburungan ya..


Seorang teman perempuan saya yang sedang sekolah di negara 4 musim sana cerita bahwa pada suatu musim gugur, dia melihat rombongan angsa terbang ke arah selatan. Sepertinya mereka sedang migrasi untuk menghindari musim dingin. Angsa-angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf "V". Lalu saya yang nggak mau kalah, juga berseloroh bahwa dulu saat kecil saya juga sering melihat burung terbang berbondong-bondong membentuk huruf V ketika saya bermain layang-layang di sawah dekat rumah. Apa kerennya yang dia lihat, pikir saya *orang yang iri*.



Tapi teman saya ini memang so cool, dia membungkam mulut saya dengan mengirim sebuah artikel ilmiah tentang formasi V rombongan angsa.



Bahwa, saat setiap burung mengepakkan sayapnya, hal itu memberikan "daya dukung" bagi burung yang terbang tepat dibelakangnya. Ini terjadi karena burung yang terbang di belakang tidak perlu bersusah-payah untuk menembus 'dinding udara' di depannya. Dengan terbang dalam formasi "V", seluruh kawanan dapat menempuh jarak terbang 71% lebih jauh daripada kalau setiap burung terbang sendirian.

Pelajarannya:
Orang-orang yang bergerak dalam arah dan tujuan yang sama serta saling membagi dalam kelompok mereka dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih cepat dan lebih mudah. Ini terjadi karena mereka menjalaninya dengan saling mendorong dan mendukung satu dengan yang lain.



Bahwa, kalau seekor angsa terbang keluar dari formasi rombongan, ia akan merasa berat dan sulit untuk terbang sendirian. Dengan cepat ia akan kembali ke dalam formasi untuk mengambil keuntungan dari daya dukung yang diberikan burung di depannya.

Pelajarannya:
Kalau kita memiliki cukup logika umum seperti seekor angsa, kita akan tinggal dalam formasi dengan mereka yang berjalan didepan. Kita akan mau menerima bantuan dan memberikan bantuan kepada yang lainnya. Lebih sulit untuk melakukan sesuatu seorang diri daripada melakukannya bersama-sama.



Bahwa, ketika angsa pemimpin yang terbang di depan menjadi lelah, ia terbang memutar ke belakang formasi, dan angsa lain akan terbang menggantikan posisinya.

Pelajarannya:
Adalah masuk akal untuk melakukan tugas-tugas yang sulit dan penuh tuntutan secara bergantian dan memimpin secara bersama. Seperti halnya angsa, manusia saling bergantung satu dengan lainnya dalam hal kemampuan, kapasitas, dan memiliki keunikan dalam karunia, talenta atau sumber daya lainnya.



Bahwa, angsa-angsa yang terbang dalam formasi ini mengeluarkan suara riuh-rendah dari belakang untuk memberikan semangat kepada angsa yang terbang di depan sehingga kecepatan terbang dapat dijaga.

Pelajarannya:
Kita harus memastikan bahwa suara kita akan memberikan kekuatan. Dalam kelompok yang saling menguatkan, hasil yang dicapai menjadi lebih besar. Kekuatan yang mendukung (berdiri dalam satu hati atau nilai-nilai utama dan saling menguatkan) adalah kualitas suara yang kita cari. Kita harus memastikan bahwa suara kita akan menguatkan dan bukan melemahkan.



Bahwa, ketika seekor angsa menjadi sakit, terluka, atau ditembak jatuh, dua angsa lain akan ikut keluar dari formasi bersama angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka tinggal dengan angsa yang jatuh itu sampai ia mati atau dapat terbang lagi. Setelah itu mereka akan terbang dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi lain untuk mengejar rombongan mereka.

Pelajarannya:
Kalau kita punya perasaan, setidaknya seperti seekor angsa, kita akan tinggal bersama sahabat dan sesama kita dalam saat-saat sulit mereka, sama seperti ketika segalanya baik!


---

“Gimana Mon? Keren kan?”
*siul-siul* *pura-pura tidur*
Mungkin, ini yang disebut gerak 'berjamaah' Mon
continue reading Angsa

Senin, 03 April 2017

Sibuk (Main)

“Kamu kan sibuk” ucap seorang teman pagi ini ketika kami sedang mengobrol mengenai saya yang nggak gaul ini haha.

Beberapa waktu lalu, ada teman lama yang datang ke Jogja untuk liburan. Dia menghubungi saya. Menghubungi bukan untuk dimintai tolong jadi tour guide-nya, bukan. Haha. Teman saya ini cukup bijak untuk tidak melakukan kesalahan sebesar itu. Dia paham betul saya seperti apa. Saya? Tour guide? Yang ada liburannya bakal diisi dengan kesasar kesana sini, ke tempat-tempat yang nggak okay buat liburan. Ya begitulah kalau nekat menjadikan saya tour guide.

“Ayok temenin gue mon. Gue liburan di Jogja”
(belum selesai saya mengetik untuk membalas chattnya, sudah datang lagi chatt dia berikutnya)
“TEMENIN DOANG. Lo nggak perlu khawatir gue bakal minta suggestion atau recommendation dari lo. Gue paham”
(Saya hapus chatt yang sudah saya ketik tadi tapi belum sempat terkirim lalu saya ganti dengan ini) “Wakakakakaka fiuhh syukurlahhh. Aku bisa tenang kalau begini.”
“Lo masih aja kayak begini mon.. mon.. hahaha. Nggak dulu, nggak sekarang. Gue heran. Udah main kemana aja lo di Jogja?”
“Pake nanya.. -,- ya belum kemana-mana lah cuy. Lo kira niat gue ke Jogja buat maeenn. Engga lah”
“Ya kali mon.. Diri lo juga butuh hiburan kalik. Jangan ngelakuin hal yang serius mulu napa. Maen kek.”
((Daann selanjutnya yaa chaat kami))


Lalu pagi ini, setelah ada teman lain yang kurang lebih semakin memperkuat data bahwa saya ini nggak gaul dan nggak keren, mulai lah saya jadi flash back ke belakang.

Iya sih.. kalau dipikir-pikir, saya ini itungannya parah banget. 4 tahun-an di Semarang, saya nggak tau banyak mengenai tempat-tempat main ataupun yang ala-ala instagram-able gitu, boro-boro di Semarang, di Kudus aja juga perbendaharaan tempat main saya sedikit. Dan parahnya, itu berlanjut di Jogja haha. Yassalammm.. Padahal Jogja itu surganya tempat-tempat main kata orang-orang.

Kalau ditanya kenapa? Emm... Saya selalu berpikir bahwa jika saya punya waktu, saya ingin waktu tersebut saya isi dengan ‘sesuatu’. Kalau ditanya suka main atau engga? Saya suka.. suka banget malahan. Siapa sih anak muda *emang lo muda mon?* yang nggak suka main? Tapi ya ngeliat dulu mainnya kayak gimana. Cuma ya itu tadi, saya merasa menyesal jika hanya main yang diisi sama haha hihi, rumpi-rumpi cantik, foto-foto unyu, ngomongin merk bedak dan lipstik. *ini pembelaan aja sih, berhubung emang nggak unyu dan cantik. Cobaaa saya unyu dan cantik.. beuhh pasti foto-foto mulu deuh. Lhoh!!!* *malaikat datang bawa pentung*

Iya tapi beneran.. saya nggak pernah kasih berhenti diri saya. Rasanya adaaa aja yang harus lebih dahulu dikerjakan ketimbang bersantai-santai. Kalaupun ada waktu luang untuk nyantai kayak di pantai, pastiii aja nyari-nyari yang bisa dikerjain (ini yang menyebabkan rasa-rasanya waktu main saya dikit huhuhu. Salah sendiri!!). Kalian pernah ngerasain pegel-pegel waktu nggak ada kerjaan atau kegiatan? Kalau iya, berarti kita mungkin jodoh, karena kita sama. Hiks.

Tapi ya tetep sih saya ngasih hak teman-teman saya untuk ‘memiliki’ saya #hazegg. Mereka selalu sujud syukur #lebhay kalau saya konfirmasi ‘yes’ saat diajak hangout. Mereka bilang saat-saat saya bersedia untuk main adalah moment yang memorable banget. Jadi apapun mereka turuti untuk saya. Wadoohh padahal mah saya orangnya nggak tau diri yak, kesempatan dibaikin gini mah *senyum jahat*, jangan sampai lolos, harus dimanfaatin poll hahaha. Mereka sampai sebegitunya saking saya terlalu menghabis-habiskan waktu saya untuk kegiatan lain. Teman-teman saya (bahkan orang tua kandung saya sendiri juga *hiks*) bilang bahwa, ngeliat saya aja capek, ngeliat doang lho ngeliat, engga ikut ngelakuin. Padahal ya saya sudah mencoba mengurangi mengonsumsi gula supaya tidak hiperaktif *dikira balita -_- *. Moment ‘main’ yang akhirnya saya accaptable pun kebanyakan bukan yang mainin hati orang *lhohh!!* nggak deng.. bukan yang main beneran maksudnya *apasih.. masih nggak maksud*. Mereka tahu betul, main yang seperti itu tidak akan cukup berhasil membuat saya meninggalkan kegiatan-kegiatan saya untuk ikut mereka.

Emmm sebetulnya... saya hanya ingin melatih diri saya untuk tidak hidup sia-sia. Tidak sia-sia itu bukan berarti tidak mendapat hiburan. Hanya saja saya berusaha memastikan hiburan tersebut bagian dari ibadah kepada Allah seperti misalnya silaturrahim, menambah wawasan atau meningkatkan kesehatan jasmani.

Sangat sibuk itu bukan berarti tidak menikmati hidup. Ini hanya masalah pilihan tema untuk membuat diri kita bahagia. Menikmati hidup itu tak melulu soal waktu santai untuk melepas lelah dan penat. Ini masalah cara kita memaknai peran kita hari ini. Terlalu sayang bila kita tidak mencintai dan menikmati kegiatan kita hari ini sementara kegiatan itu terus berulang dan berulang. Kita hanya perlu berupaya dan berdoa agar kesempatan hidup yang dikasih Allah ke kita dan kegiatan yang kita lakukan ini menjadi tambahan pahala setiap detiknya.

Eh tapi ya ada juga tipe orang yang hiburannya itu butuh hal yang refresh bener-bener misalnya bersantai ria, tidur (ini kusuka kusuka hehe), baca buku, belanja, ada. Itu pasti nggak kalah serrruuu ^_^ yippieee. Yha.. selamat mencari hiburanmu masing-masing!! Muach
continue reading Sibuk (Main)

Mempercayai Seseorang

Kadang sulit diantara kita untuk percaya kepada seseorang. 

Mungkin karena dia pernah berbohong.



Ada dua keadaan.


Pertama, 
Saat seseorang berbohong lalu kita bilang bahwa kita tidak percaya, maka hal lain yang dia katakan, kita selalu menganggap dia berbohong (pendusta).
Sekalipun hal lain tersebut adalah kejujuran.
Dan dari sana, 
seseorang yang selalu tidak kita percayai akan dengan gampang berbohong lagi dan lagi. Karena dia berpikir bahwa meski jujur pun tidak akan ada yang percaya kepadanya.



Kedua,
Saat seseorang mengatakan hal dusta,. 
Mungkin kita tahu bahwa dia berbohong, tapi kita (coba beri kesempatan) bilang bahwa kita percaya, kita antusias dengan ceritanya.
Maka hal kedua ketiga dan seterusnya dia akan mencoba untuk berkata jujur (semoga).
Karena seseorang yang merasa dipercaya oranglain, akan merasa bahagia, 
Merasa dunia ini menerimanya. 
Apapun keadaannya. Dan dia akan dengan mudah mengatakan bahwa dia pernah berbohong, lalu minta maaf :) (semoga)
Namun, kita tidak boleh lupa terhadap hak saudara sesama muslim... salah satunya yaitu saling nasehat menasehati. Semoga kita dapat memberikan hak kepada saudara kita, ya. Mengingatkannya ketika ia berbuat salah, begitu pun sebaliknya.




****
Tidak usah jauh-jauh berpikir bagaimana membuat orang senang dan bahagia.
Kita bisa lakukan hal-hal kecil namun berdampak besar dan baik :) walaupun jika menilik status kita yang hanya 'manusia biasa' ini, yang kadang juga punya rasa sakit hati dan kecewa, tentu hal diatas sangat susah untuk dilakukan. Tapi bisalah ya, jangan mengotori hati sendiri, dengan tidak menyimpan hal-hal yang tidak berguna dalam hati :)

continue reading Mempercayai Seseorang

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact