Minggu, 16 April 2017

GRADUATION AND THE STORY BEHIND (Jilid 3)

Ingat kah? (Berabad-abad) Dulu saya pernah bikin sekuel tulisan tentang 'Graduation and the Story Behind' ? Hahaha ya Allah inilah buruknya saya.. selalu telat memenuhi janji, tapi saya takut punya hutang. Jadi walau telat, tetep dipenuhin yak kalau bisa hehe. Punten akang teteh..
(Ini musim wisuda. Makanya ingat kembali). Yang sudah lupa, bisa buka di JILID 1 dan JILID 2

Kali ini saya bakal cerita tentang kekhawatiran-kekhawatiran menjelang pakai toga. Oh manusiaaa... masuk kuliah khawatir, mau keluar khawatir, udah keluar.. yakin deh saya.. pasti juga punya kekhawatiran haha.

Oiya, sebelumnya coba saya ungkit sedikit mengenai skripsi ya. Untuk urusan perjuangan skripsi hehe, yaa intinya kalau menurut saya sih, sebelum menentukan tema skripsi, harus ada perenungan mendalam terlebih dulu. Kelak saat pasca kampus, tema skripsi ini bakal ngasih andil yang lumayan besar lho -pengalaman individu sih, nggak tau kebanyakan gimana- wabil khusus untuk jurusan-jurusan non-keprofesian ya maksud saya. Karena dari tema skripsi kita, bisa jadi menjadi pit point kita untuk menentukan langkah pasca kampus berikutnya. Misalnya mau nyari beasiswa atau mau lanjut S2, berdasarkan pengalaman dari teman-teman dan kakak-kakak kelas saya yang sudah mengalami, biasanya profesor (kalau seleksi yang pakai sistem rekomendasi promotor -i mean-) punya kecenderungan sama anak-anak yang emang udah ada pengalaman di bidang itu. Kan kalau kita bilang S1 itu udah spesifik, di S2 pastiii lebih spesifik lagi, jadi dicarilah oraang yang memang sudah mengecap bidang tersebut. Emang nggak semuanya kayak gitu sih... tapi harapannya dengan milih anak-anak yang setidaknya udah pernah nyicipin bidang tersebut, si profesor atau sistem mengajarnya nggak perlu dari nol. Terus selanjutnya, berdasarkan pengalaman yang sudah mengalami juga, tema skripsi ini pun jadi penting saat kita seleksi beasiswa. Syukurnya kalau kita mau pilih jurusan S2 yang sama dengan bidang skripsi kita sih kemungkinan kita nggak akan terlalu dikejar-kejar oleh pertanyaan-pertanyaan, nah paitnya itu kalau apa yang mau kita pilih engga selinier sama tema skrispi bahkan jurusan, maka siapkan argumen terbaikmu hehe. It's okay, where there is a will there is a way. Kalau yang mau S2 untuk ngejar biar bisa jadi dosen, dosen pembimbing saya pernah rekomen untuk lihat jurusan pilihan kita di peraturan Dikti tahun 2014 tentang Linearitas Ilmu (mohon maaf saya belum bisa menyediakan linknya, kapan-kapan kalau saya ada waktu akan saya tambahkan ke post ini), supaya nggak amsyong pas udah milih jurusan hehe. Yang dimaksud linier itu tidak harus sama antara jurusan S1 dengan S2 dan S3 nya, asal masih masuk rumpun keilmuan yang sama, cincay laa. Nah apa aja rumpun ilmunya, ada di peraturan itu hehe.
Next... Kalau pada dunia kerja (apalagi orang yang idealis bahwa pekerjaannya harus sesuai dengan latar belakang ilmunya) ini sudah pasti jadi hal yang penting ya. Kerangka berpikirnya sama sih seperti di atas itu, si pencari kerja mungkin akan lebih mempertmbangkan yang setidaknya sudah pernah nyicipin bidang tersebut, eventhough itu hanya sesingkat pengerjaan skripsi. Skripsi itu ibarat kata semacam kesempatan terakhir kita untuk belajar. Saya dulu mikir, "Iyakah yang seperti ini (apa-apa yang sudah di dapat di kampus) sudah memenuhi kriteria orang yang dicari di luar sana (karena memang tujuan pertama saya setelah lulus adalah kerja dulu)?" Jadi saya putar otak, ini gerbang 'pintu' terakhir sebelum dilepas oleh kampus dan nantinya dilanjutkan dengan harus mengaplikasikan ilmu yang didapat. Saya waktu itu ketakutan, maka kesempatan 'pintu' terakhir ini saya manfaatkan betul-betul untuk menengok dunia luar kampus. Maka saya memutuskan untuk melakukan skripsi di instansi non-pendidikan dan sekiranya bisa memberikan saya pengalaman serta kompetensi real life sektor pekerjaan yang hendak jadi tujuan saya. Walaupun, saya harus siap dengan segala konsekuensi, salah satunya adalah rentang waktu penelitian yang cukup lama karena kita bekerjasama dengan pihak lain, bukan kita sendiri yang bisa menentukan berhasil tidaknya selesai tidaknya penelitian kita. Nggak apa-apa sih kalau saya hehe, saya nggak merasa rugu. Karena disitu saya bisa pegang alat yang sebenernya dibutuhkan orang-orang di bidang saya tapi mungkin kampus belum bisa menyediakan, dan keuntungan-keuntungan lainnya.
Sudah yaww untuk skripsi hehe... selain tema, yang terpenting dalam pengerjaan skripsi adalah niat , doa dan semangat serta dukungan. Eh satu lagi, DIKERJAKAN haha. Karena semua itu tanpa 'dikerjakan' hanya akan jadi onggokan perenungan yang makin lara ketika ngeliat temen-temen lain udah pada wisuda. Mungkin kita akan mengalami banyak drama disini. Jangan sedih terpuruk dan ingin makan sianida sekalinya dapat hambatan skripsi, percayalah... di luar sana ada yang nasibnya lebih buruk dari kita tentang kisahnya dan skripsi. Okey! Chips ahoy!




Kita lanjut ke curhatan mau pakai toga.

Ada banyak alasan di dunia ini untuk kita merasa khawatir. Masa depan adalah salah satunya. Tidak berbeda dengan kebanyakan kita, saya sering membayangkan diri saya lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Satu waktu saya tersenyum, membayangkan apa-apa saja dan berharap bisa terwujud, dengan optimisme membumbung tinggi ke angkasa. Lain waktu saya mengernyitkan dahi, melempar pandangan kosong pada dunia, kala permasalahan merundung menutupi bayang-bayang masa depan yang saya inginkan. Sesekali, manakala saya merasa hidup tengah tidak bersahabat, penuh masalah dan tidak sesuai harapan, masa depan terasa sangat jauh lagi gelap. Optimisme pun surut berganti kegelisahan tanpa jawaban. Meninggalkan keraguan atas berbagai pertanyaan tentang masa depan.
Saya percaya bahwa kekhawatiran semacam itu sebetulnya adalah wajah lain dari ketakutan: takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain. Tepat di momen-momen menjelang saya memakai jubah hitam dan topi segi-lima, perasaan ini datang menghantui. Berkuliah di universitas yang 'dilirik' kebanyakan orang, (bagi sebagian yang nasibnya bagus mungkin bisa) di jurusan yang mematahkan hati banyak calon mahasiswa, dan beberapa prestasi di dalam maupun di luar kelas, mungkin kita akan merasa ada beban di pundak kita. Ekspektasi dari orang-orang di sekeliling secara tidak sadar tumbuh bersama apa yang diraih. Serupa rumah, tetangga melihat halaman dan luaran, si empunya melihat isi rumah. Ketika orang-orang melihat saya dari apa-apa saja yang pernah diraih, saya sendiri lebih banyak melihat apa-apa saja yang saya rasa belum saya kuasai selama delapan semester ambil kuliah. Tidak heran, ujung cerita ini adalah saya takut belum siap meninggalkan kampus, sedangkan orang-orang nampaknya tidak sabar menunggu torehan-torehan baru saya setelah menyandang gelar sarjana.
Sekali waktu, ingin rasanya bebas dari ekspektasi orang lain. Tidak melulu dikurung standar tertentu. Bebas bilang kalau saya tidak tahu atau tidak mampu. Bebas bermalas-malasan hanya agar tidak menjadi apa yang orang bayangkan. Boleh pula gagal dalam menjalani suatu hal untuk coba-coba.
Sadar atau tidak, kita sebagai makhluk sosial banyak menghabiskan hidup kita untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tak apa. Itu disebut konformitas: mengubah sikap atau tingkah laku kita sesuai dengan norma sosial yang ada. Ada saja hal-hal seperti membawa buah-buahan untuk teman yang tengah sakit, memberi amplop berisi duit di kawinan, atau membagikan oleh-oleh sehabis bepergian jauh kita lakukan karena norma sosial mengekspektasikan kita berbuat demikian. Nah, kalau dipikir ulang, mungkin ada hal-hal lebih besar juga kita lakukan hanya karena kita melihat itu sebagai kebiasaan (norma) yang berlaku sehingga melakukannya agar sesuai ekspektasi orang-orang.
Ambil contoh sekolah. Setelah lulus setiap tingkat pendidikan, terutama saat masih anak-anak, kita lanjut sekolah cenderung karena teman-teman kita juga lanjut sekolah (dan kita beruntung punya orang tua yang mampu menyekolahkan). Memilih SMA daripada SMK, memilih program sarjana daripada diploma, memilih lanjut sekolah atau langsung bekerja, memilih kerja di korporat daripada startup, memilih menikah di usia kepala dua daripada kepala tiga, apakah kita mengambil pilihan tersebut karena betul-betul paham setiap pilihan(?), ataukah menuruti ekspektasi teman-teman, guru, orang tua, atau pihak eksternal lainnya? Tentu saja kita berharap karena mengerti konsekuensi pilihan kita. Meskipun pada kenyataannya mungkin tidak selalu begitu.
Saya tidak berusaha mengatakan bahwa mengikuti ekspektasi lingkungan itu suatu kesalahan. Tidak juga mengatakan bahwa konformitas itu salah. Toh sejak lahir kita juga sudah menanggung ekspektasi orang tua yang tersemat pada nama kita kan(?). Ekspektasi, sebaliknya, sering kali membantu kita untuk tetap berada di jalur yang tepat. Mendorong kita berkembang menjadi versi lebih baik. Memaksa kita menembus batas-batas buatan kita sendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika kuliah. Ekspektasi lingkungan yang penuh prestasi serta penuh orang-orang ambi(sius) membuat saya menjadi saya sekarang. Tanpa ada ekspektasi demikian, bisa jadi saya tidak punya dorongan (lebih) untuk banyak-banyak 'ambil bagian'.
Saya cuma khawatir saya bakal memilih melakukan sesuatu yang menjadi ekspektasi orang lain daripada memilih melakukan apa-apa yang benar-benar saya inginkan. Selepas menamatkan kuliah, banyak sekali keputusan mesti diambil. Terkadang, ada dilema antara memenuhi ekspektasi orang lain dan menjalani hidup yang kita inginkan. Hidup ini memang sering kali bukan hanya tentang kita. Ada orang tua, keluarga, pasangan, sahabat, yang seakan-akan juga punya hak untuk dipertimbangkan ketika mengambil keputusan. Setelah banyak-banyak memikirkan ini, saya paham satu hal. Saya tidak takut gagal memenuhi ekspektasi mereka pada saya. Lebih dari itu, saya takut berhasil memenuhi ekspektasi mereka, kemudian sadar bahwa bukan itu yang saya inginkan.
Hidup kita, kita yang jalani. Orang boleh bilang kita harus hidup begini atau begitu. Orang boleh bilang hidup kita bahagia atau nelangsa. Tapi, pastikan saat kita tengok diri, ia menjadi apa yang kita kehendaki. Itu.


Jadi ya, kalau sampai ada yang stress gara-gara mikir pasca kampusnya mau gimana karena ban\yangannya masih dalam bentuk puzzle berserakan, stress gara-gara takut diomongin orang "Ih kok masih nganggur" "Lhoh kamu bukannya sering dapet IP cumlaude ya(?) anak pak X udah kerja, anak bu Y udah sekolah lagi, kok kamu masih di rumah aja." Yassalammm... Takut dicerewetin gitu? udah lah, lulus itu udah banyak pikiran, masa iya mau nambah pikiran kita sama omongan-omongan orang (kecuali omongan itu tidak melemahkan ya, kudu kita dengarkan malahan). Cobalah tenang, susun rencana pelan-pelan, bikin pergerakan nyata dari setiap rencana. Baiknya sih memang perencanaan ini sudah dilakukan sejak awal, supaya habis pakai toga langsung tahu mau kemana. But, it's okay.. lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan :)
Please, jangan galau hehe.. Sungguh hidup ini terlalu menyedihkan kalau dibuat galau, di depan masih banyak hal yang harus kita hadapi dengan ketangguhan *ngomong depan kaca*



-to be continued-

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact