Kamis, 20 April 2017

Kontemplasi Dialog (2)

Ayah : Nangis aja kalau mau nangis..



Anak perempuan : Engga..


Ayah : Kenapa?


Anak perempuan : Malu.. terlihat lemah...


Ayah : Tapi dadanya sesak?


Anak perempuan : Iya...


Ayah : Hahahaha


Anak perempuan : Jangan ketawa. Aku sedih. Kenapa Ayah malah ketawa(?)!


Ayah : Mau Ayah peluk?


Anak perempuan : Engga... Malu.. kayak perempuan manja aja.


Ayah : Hahaha. Putriku, dengarkan Ayah. Anggaplah Ayah berbicara kepadamu sekarang sebagai seorang laki-laki, bukan sebagai Ayahmu.
Tidak menjadi masalah menjelma menjadi perempuan yang 'terlalu'. Terlalu cantik, terlalu hebat, terlalu pintar, terlalu bersinar, terlalu tangguh. Tak mengapa... Tapi, Sayang, ketahuilah... Lelaki hidup di atas harga dirinya. Dengan segala hal yang 'terlalu' itu tadi, Ayah khawatir lelaki begitu enggan mendekat, bukan karena tidak ingin. Mereka kadang merasa rendah dari apa yang ada dalam dirimu. Ayah tadi bilang, tidak masalah menjadi perempuan hebat. Namun, yang tak boleh kamu lupa, Sayang... bahwa akan ada peran lelaki yang akan mengajakmu berjalan. Akan ada lelaki yang akan mengoreksi apa yang harus kamu perbaiki. Sesekali copot mahkota yang ada diatas ke'terlalu'anmu itu, agar apa yang ingin kau perlihatkan “sangat” menjadi mampu membuat lelaki melihatmu sederhana. 
Ada kalanya, kami para lelaki butuh perempuan menjadi manja, menjadi lemah, menjadi gelisah. Bagi kami, itu suatu hal yang manis haha.
Jika kamu lemah, biarkan kelemahan itu menjadi sesuatu yang bisa menjadi “sangat” untuk lelaki, menemanimu yang lemah, yang lelah, yang gundah, yang merasa tak tahu banyak hal, yang ingin dimengerti. Berjanjilah pada Ayah. Ya, Nak?



***



Road to Kartini's Day.. Yeyeyey Hoplaaa!!! ^_^
Saya mau ceritaaaa sesuatu hehe. Boleh? Ahh dijawab "nggak boleh" juga saya akan tetep cerita haha.







Suatu hari, seorang teman bertanya pada saya, "Jadi apa rencanamu setelah ini?" saya jawab, "lulus (obrolan ini terjadi ketika belum lulus kuliah, masa-masa purna amanah di kampus) setelah itu kemungkinan akan bekerja atau sekolah lagi sambil menunggu jodoh. Habis itu kalau Alhamdulillah nya udah ditemuin sama jodohnya (dulu sebelum maut), bakal nikah, lalu menyesuaikan rencana suami."


Dia tampak belum puas, "What? Menyesuaikan rencana suami? bukan, bukan, maksudku bukan tentang suamimu, tapi apa rencanamu? Kamu terhitung perempuan 'eksis' selama ini. Pasti punya lah ya apaaa gitu keinginan.". Saya bengong. Saya paham, mungkin menurut teman saya tersebut, wanita yang 'mengekor' sama suami itu kurang bisa diterima logika.


Saya senyum, ah andai kamu tahu, bagi saya, setelah menikah, saya dan ia telah menjadi kita (Idiiihh alay banget nggak sih bahasa gueee?? Emang!!!). Kesuksesannya juga adalah kesuksesan saya. Tentu, tentu saya juga punya mimpi untuk umat ini, dan untuk itu, ia bagaikan sayap yang membantu saya terbang menggapainya. Begitu pun saya baginya. Maka, 'me time' menurut saya adalah sampai sebelum menikah saja, jika ingin menyelesaikan apa-apa yang 'kamu banget' yaudah sampai sebelum menikah saja. Setelah akad, wushhh (red: suara angin) nggak boleh ada yang namanya 'me time' hehe (pendapat saya dan bagi saya ya ini, bukan bagi orang lain hehe. No debates, lets discusses.). Yang ada adalah 'our time' itu tadi. Saya mikirnya, ketika memutuskan untuk menikah, sudah tidak ada cita-cita saya, cita-cita kamu lagi, adanya cita-cita kita. Kalo mau mencapai cita-cita sendiri-sendiri mah, ya jalan sendiri-sendiri aja ya? hehe. Untuk mencapai cita-cita ini makanya pasangan harus berbagi peran. Ini tergantung kesepakatan bersama, kondisi tiap pasangan mutually exclusive, tidak serta merta pilihan seseorang lebih baik dari yang lain.


Dan, bagi saya, kesuksesan tertinggi adalah saat bisa mendampinginya kemanapun ia pergi. Pencapaian tertinggi adalah saat ia bisa ridha dengan perbuatan saya. Kepuasan tertinggi saat bisa menghantarkannya sukses dengan tetap saling membantu menggenggam takwa. Dan percayalah, perihal melayani, perihal taat, itu tidak sederhana, sama sekali tidak mudah (berdasarkan wejangan ibu saya), sehingga tak heran ganjarannya pun besar...


Saya memilih jalan hidup seperti itu sejak dahulu kala, tentu saja bukan karena terpaksa, juga bukan karena tak ada pilihan. Saya memilih seperti itu, semata karena saya tahu inilah jalan yang terbaik, urutan prioritas yang terbaik menurut saya, yang dipilihkan Ia yang menciptakan saya sebagai seorang perempuan, Ia yang paling tahu apa yang terbaik untuk saya 😊 sehingga yang ada hanyalah bahagia, bangga dan kelapangan hati saat bisa melayani keperluannya, sekecil menyendokan nasi (pakai sekop pasir *lhoh!) dan lauk, atau menuangkan teh hangat setiap pagi. Namun pun jika nanti pasangan saya menghendaki (setelah proses diskusi bersama) saya berkiprah di luar rumah karena suatu hal yang memang dirasa urgent untuk keluarga kami, why not? Yang terpenting adalah itu tadi, niat berkiprah bukan serta merta unjuk gigi sebagai seorang individu, tapi terdapat alasan-alasan urgent untuk kepentingan bersama. Dan syaratnya bagi saya masih tetap sama, prioritas utama saya adalah keluarga. Jadi kalaupun saya berkiprah di luar rumah, motto saya tetap "Full time mother, part time worker". Karena semoga kita para perempuan bisa mewariskan generasi tangguh ruhani; jasmani serta kecerdasannya, untuk meneruskan perjuangan ummat.


"Saya teh suka bingung gitu sama orang kayak kamu yang sekolah tinggi tapi mau aja bercita-cita sebagai ibu." lanjut teman saya.


"Hehehehe.. saya sekolah niat utamanya untuk cari ilmu kok. Ya kalau kebetulan bisa kerja lantaran sekolah dan ilmu yang didapat, Alhamdulillah ya berarti dapat bonus dari Allah. Tapi tetep kok, kalau untuk memanfaatkan ilmu yang telah didapat, insyaAllah saya akan berusaha memegang itu, memanfaatkannya, apalagi ilmu saya ilmu alam ya. Saya dulu sebelum ambil jurusan mikirnya puanjangg banget, saya sinkronkan dengan kodrat saya ini, perempuan. Berharapnya dulu itu waktu ngambil jurusan ini karena supaya bisa diaplikasikan di real life gitu, jadi ilmunya nggak keputus, sok weh dipake terus tiap harinya. Ini aja kehidupan sehari-hari saya pakai prinsip yang saya pelajari di kelas dulu itu lho hehe. Ruang lingkup memanfaatkan ilmu itu tidak sempit hanya dengan 'keluar rumah' to? hehe. Saya anaknya santai kok... tak hirau dengan aneka teori manusia terkini, riuh persepsi dan argumentasi. karena apa guna pendapat manusia, bila penilaian pencipta lah yang lebih berharga? semoga niat terjaga selalu, ya..." balik menyantap es oyen.



Yapsss.. jadi begitulah kurang lebihnya saya memaknai perempuan dan laki-laki.
Hmmm... kelak putra-putrimu dididik bukan dengan kecantikan ibunya ataupun ketampanan ayahnya, melainkan mereka akan dididik dengan seluruh ilmu pengetahuan dan cinta :) 

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact