Rabu, 29 Maret 2017

Tuntaskan


Namanya Nurina...


Seseorang yang saya kenal dengan cara yang indah, kau tahu bagaimana rasanya memiliki setelah mengagumi? Ya seperti itulah... Maka, jika ada yang bertanya, “Kok bisa kenal ‘begini’?”, sepakat saja dijawab “Allah yang mempertemukan dan mengenalkan kami :) *sambil senyum cantiknya nggak boleh ketinggalan pokoknya yah gaes waktu ngejawab gitu*”.

Hari ini, pertempuran akan diakhiri, perjuangan akan dimulai..

MARI TUNTASKAN!!! dengan elegan dan penuh kehati-hatian, bukan dengan buka-bukaan untuk cari perhatian.

Allah yuftah alaykum.





Yogyakarta rasa Semarang, 30 Maret 2017
continue reading Tuntaskan

Masalah Terberat

Post ini untuk menjawab salah satu pertanyaan yang masuk ke email saya hehe. Pertanyaan ini datang katanya setelah membaca salah satu postingan saya di blog ini. Dan saya memang tidak punya akun-akun sosmed yang bisa berdialog tanya jawab haha *sok penting bat lu!*. Jadi mohon maaffff... jawabannya ini di share disini juga untuk reminder saya sendiri.




Wa'alaikumsalam warahmatullah...
Masalah terberat yang pernah saya alami yak(?) Emmm...
Agaknya ini akan menjadi hal yang panjang haha. Karena saya pengen curhat huhuhu. Prolog dulu boleh??
Begini, saya selalu memandang bahwa apa yang terjadi pada diri saya adalah hubungan implikatif antara pilihan yang saya buat sendiri dengan konsekuensi yang ditimbulkannya. Semisal, saat saya membuat suatu pilihan hidup, pilihan itu akan memunculkan konsekuensi yang harus saya ambil terlepas itu menyenangkan atau tidak bagi saya. Dari konsekuensi yang telah saya ambil, cepat atau lambat akan memunculkan pilihan lain yang kemudian harus saya tentukan kembali. Artinya, pilihan dan konsekuensi saling berhubungan dan mempengaruhi. Saya sudah diajarkan oleh orangtua saya mengenai ini sejak dini, untuk tidak jadi 'cupu' dengan berbuat tapi tidak mau menanggung jawab *belibet amat bahasanya*. Tidak langsung serta merta excellent jiahaha. Semakin lama pemikiran saya semakin berkembang terkait ini.
Di sisi lain, saya memandang bahwa konsekuensi adalah salah satu faktor eksternal yang terkadang kadar dan kehadirannya tak mampu dikontrol oleh kita sebagai manusia. Ia bisa berupa hal yang bisa diusahakan, karena ia masih dalam jangkauan usaha manusia. Namun ia juga bisa berupa hal yang hanya bisa diakhiri dengan kepasrahan. Kepasrahan dalam arti menyerahkan sepenuhnya padaNya, setelah mengupayakan apa yang bisa diupayakan semaksimal mungkin. Karena tak semua konsekuensi mampu diselesaikan secara tuntas oleh tangan sendiri. Sebagai seorang Muslim, tentu konsep kepasrahan atau tawakal ini adalah bentuk kesadaran bahwa sudah merupakan sebuah kepastian bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang lemah tanpa pertolonganNya. Konsep ini juga mengajarkan bahwa Ia Maha Tahu Segalanya. Tak semua konsekuensi yang dijalani sejalan dengan apa yang terbaik menurutNya. 
Artinya, saya selalu berusaha memandang bahwa apa yang mungkin biasa kita sebut masalah yang datang sebagai konsekuensi atas pilihan yang telah diambil adalah hal yang tak perlu saya pusingkan. Karena ia bisa jadi sebuah pembelajaran atau sebuah ujian yang saya yakini bisa membuat saya lebih baik. Sebagai contoh, saya pernah berada dalam kondisi tak menyenangkan. Saya berusaha untuk tidak tenggelam dalam lamunan memikirkan bagaimana saya bisa keluar dari situasi buruk tersebut, karena saya selalu meyakini, bersama kesulitan insyaAllah akan selalu ada kemudahan. Dan Ia takkan pernah membebani saya atas apa yang saya tak mampu. Terlebih juga, Ia lebih mengetahui apa yang terbaik buat saya. Saya hanya bisa mengupayakan apa yang saya mampu lakukan dan sisanya saya serahkan padaNya. Dan sekarang, ternyata saya bisa keluar dari situasi itu atas izinNya. Saya selalu berusaha untuk tidak memusingkan konsekuensi yang harus saya jalani. Karena saya yakin, Ia selalu ada bersama saya selagi saya tetap berupaya mendekatiNya.
Justru yang selalu saya pusingkan adalah bagaimana saya berada dalam kondisi terbaik, baik secara spiritual, emosional, dan intelektual, saat saya membuat keputusan hidup. Dan ini yang selalu menjadi masalah terbesar buat saya. Karena yang nanti akan saya pertanggungjawabkan di hadapanNya adalah pilihan hidup yang saya ambil.
Berada dalam kondisi terbaik secara spiritual artinya saya melibatkanNya ketika mempertimbangkan pilihan hidup yang harus saya ambil. Kondisi terbaik secara emosional artinya saya berada dalam kondisi hati yang jernih. Tidak mengambil keputusan di atas rasa dengki, amarah, atau arogansi. Kondisi terbaik secara intelektual artinya saya sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan konsekuensi yang muncul berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, baik dari aspek duniawi maupun ukhrawi. Selalu berada dalam kondisi terbaik itu sangat sangatlah sulit. Bahkan hingga sekarang ini.
Ya intinya, masalah terberat buat saya adalah bagaimana saya bisa terus berdamai dengan diri sendiri, mengupayakan mampu berada dalam kondisi terbaik saat saya membuat pilihan hidup, baik skala kecil maupun besar. Dan ini masih terus saya pelajari. Mungkin hingga akhir hayat nanti.
Semoga menjawab. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum... *pasang emot cium*
continue reading Masalah Terberat

Mengapresiasi Diri

Sesekali kita perlu mengapresiasi diri sendiri. Atas segala usaha yang telah kita perjuangkan selama ini.
Terkadang, kita lebih condong untuk berkonklusi dari hasil. Padahal, setiap usaha yang telah kita keluarkan, sesedikit apapun itu, adalah buah dari ragam konflik internal dalam diri kita sendiri. Dan melewati itu semua tak mudah bukan?
Tidak adil jika seluruh keringat yang telah tercucur kemudian disandingkan dengan hasil orang lain, yg mungkin dalam benak kita, lebih baik.
Cobalah tengok ke belakang. Betapa banyak halang rintang yang telah kita lewati. Di awal mungkin kita banyak bertanya-tanya. Namun di akhir, ternyata kita mampu bersenyum ria.
Lihat kembali setiap usaha yang telah kita lakukan. Apakah itu tak layak untuk diapresiasi?




Selamat sore...
Salam, dari saya yang sedang makan es krim..
Yhaa... ini salah satu cara saya mengapresiasi diri hehe, tidak harus dengan hal yang besar, cukup dengan makan makanan kesukaan saya saja itu sudah membuat diri sangat bahagia kkkkk~ Atau dengan dengan beli buku baru yang sudah sejak lama diimpikan, atauuuu dengan tidur sehariaann hahaha *wanita macam apa inih!!*
continue reading Mengapresiasi Diri

Minggu, 26 Maret 2017

Menemukan yang tak Dicari

Justru pada saat kau menemukan apa yang tak pernah dengan sengaja kau cari; melepaskan akan menjadi hal yang sulit untuk dilakukan.
Yaitu menemukan banyak anak-anak ini, buanyaaakk sekali dan berbeda-beda setiap waktunya hehe, yang membuat dan bahkan memaksa saya untuk banyak belajar. Kepolosan mereka, serasa hiburan tersendiri untuk saya.

Melalui mereka, saya belajar.
Belajar mendengar dan lebih sabar untuk mengerti, bahwa perbedaan adalah hal wajar. Sedikit perdebatan, tak menjadi masalah. Belajar untuk tidak menjadi diri sendiri, karena kita selalu mampu untuk menjadi versi yang lebih baik dari hari ini; hanya jika mau menurunkan sedikit ego dan kesombongan diri.
Dan belajar untuk menemukan dan menerima diri kita, seutuhnya.


Gilss!!! liat anak cowok yang paling depan, yang duduknya eksotis. Ketampanannya sudah terlihat sejak dia kecil euy. Mungkin saat dewasa nanti, dia yang bakal ngegantiin Lee Min Ho *mukelujauhmon*
Main boleh, tapi baca buku nggak boleh kurang, Hehehe
Saya ketemu mereka, dari sini!!! Hari ini beberapa volunteer akan berangkat ke Agandugume, Semangat kakak-kakak, semoga lantjar djaya sampai tempat tujuan dan kembali kesini lagi. Semoga visi misinya tersampaikan. Hip hip horray!! ^^

Saya tidak pernah menyadari sebelumnya, bahwa bermain air itu, bisa seseruuuu ini haha. Yang saya pikir seru ketika masa kecil itu ya cepet-cepetan nyelesein shalawat saat ngaji supaya bisa lari duluan ke abang-abang es tung-tung (kapan-kapan saya akan ceritain deh tentang es tung-tung) supaya nggak antri mihihihi.








continue reading Menemukan yang tak Dicari

Jumat, 24 Maret 2017

Belajar dari Fase "Salah Langkah"

Saya baru menyadari ada satu komentar nangkring di blog saya. Kurang lebih, katanya dia merindukan tulisan saya yang berbau-bau mahasiswa haha. Duehh saya masih cocok emang jadi mahasiswa, minimalnya nulis yang berbau-bau mahasiswa gitu(?) *tepuk-tepuk pipi depan cermin* Iyaa ihh masih cocok kokk rasa-rasanyaa *tampar*.


Iya, sejak hampir setahun ini saya hidupnya sedang jauh dari dunia mahasiswa hehe. Saya biasa menulis apa yang terekam oleh mata dan kepekaan saya, banyakan tulisannya berdasarkan hal yang dialami dan ditangkap tiap harinya, namanya juga diary *diary? cuih*. Terlalu banyak kenangan indah saat jadi mahasiswa, hingga bingung mau mengingat yang mana kalau untuk dituliskan sekarang haha. Beri saya waktu, saya akan berusaha memilih cerita mana yang mau diceritakan, ya *ikat kepala pakai tali rafia*.


Kali ini, saya mau cerita sesuatu, apa yang saya lakukan setahun ini haha. Yang zonk banget mungkin bagi diri saya pribadi(?) karena seperti bukan saya(?) seperti power rangers kuning padahal saya ini sebenarnya adalah power rangers pink(?). Dramatis sekali. Harusnya ini jadi salah satu scene di sinetron Cinta Fitri.


Saya... sedang mencoba untuk ‘fokus’ setahun ini. Fokus yang saya maksud disini adalah ‘memikirkan diri saya’. Ada scene cerita hidup yang tidak saya prediksi sebelumnya sehingga akhirnya menjadikan saya menetapkan deadline waktu tertentu kepada diri saya sendiri tentang mimpi-mimpi yang ingin saya capai. Padahal juga nggak ada yang nyuruh haha, sayanya aja yang ingin sosoan keren sendiri sih.


Kegiatan saya setahun terakhir... ya ‘fokus’ itu, mengarahkan semua hal hanya untuk apa yang saya sebut mimpi tadi. Sibuk up grade diri. Tapi up grade dirinya tuh terkesan self center gitu. “Nyaman?” Waktu itu saya nggak bisa jawab pertanyaan yang saya ajukan ke diri saya sendiri sih. Saya nyaman seperti ini atau tidak, pikiran saya masih kabur, samar-samar, membayang, dan egois dengan dalih “Ahelah gapapa... kan bentar doang kayak gininya, kan lu udah ngasih waktu sampai kapan lu bakal mikirin diri sendiri. Nanti juga balik lagi iya kan? Gapapa gapapa.” Gituuu.. saya baru sadar belakangan ini bahwa mungkin itu suara setan yang terkutuk huhuhu. Maka kala itu saya teruss saja memacu diri saya layaknya kerbau yang dicucuk hidungnya, lari pakai kacamata kuda. Berorientasi pada diri sendiri.


Berjalan beberapa bulan *untuuunggg nggak lebih lama lagi ya. Etapi.. yang bentar gini aja Allah ngingetinnya rasanya "erghh" banget di hati, gimana kalau lebih lama lagi saya ngelakuin ini... naudzubillah nggak mau bayanginn deh. Hiks* sejak saya memutuskan untuk fokus itu tadi... saya mulai benar-benar nggak betah. Saya nggak bisa membohongi hati kecil saya lebih lama lagi. Karena menjadi self center begini mengkhianati visi misi hidup yang sudah saya terapkan sejak dahulu kala. Khairunnas anfa'uhum linnas. Ini bukan saya.. hidup dengan memikirkan diri sendiri saja itu bukanlah saya. Saya nggak bahagia rasanya, walaupun sedang dalam perjalanan menuju impian yang teramat saya inginkan. Akhirnya saya keluar dari ‘persembunyian’. Saya mulai sibuk dengan ‘orang lain’ kembali, mengambil peran di beberapa komunitas dan project tertentu, mulai bersedia untuk berbagi kembali (walau masih membatasi diri hanya untuk kampus-kampus di dalam kota saja).
Saya rasa, sampai disini saya masih dalam fase salah langkah haha. Saya melakukan semua itu untuk berdamai dengan hati kecil saya yang tiap malam selalu berontak dan menjelma seperti nenek sihirnya Nirmala di depan mata saya.


Tidak terasa hampir setahun berlalu, sampailah saya pada batas akhir waktu mimpi (yang saya kejar mati-matian beberapa waktu ini) dipertaruhkan, qadarullah!!! Allah mengubah semuanya dengan begitu mudah, seperti membalikkan telapak tangan saja! Apa yang saya rencanakan yang nampaknya dari segala perhitungan (manusia) bisa untuk dicapai tahun ini, ternyata tidak dapat saya gapai padahal tinggal selangkah lagi hehe.


Terasa nyeri di dada, khas seseorang yang sedang kehilangan. Seakan ada sesuatu yang pernah mengisi disana, kemudian hilang seketika, entah kemana. Waktu dimana saya harus menerima kenyataan bahwa apa yang saya kejar selama ini (dengan mengorbankan ‘kebahagiaan’ versi saya -sibuk dengan ‘orang lain’-), disaat yang sama pula masalah lain juga datang, saya merasa kecewa pada seseorang. Makin menumpuk-numpuk lah rasa sesaknya. Sekuat tenaga saya coba tersenyum tiap harinya kala itu mencoba berlaku seperti semuanya baik-baik saja, menyimpan semua sakit dengan rapi hanya di hati saya (walaupun fisik juga akhirnya mengikuti sakit haha), tidak menceritakannya pada makhluk, hanya bisa memperpanjang waktu di tiap sujud-sujud saya untuk meminta ampun pada Allah atas setiap kesalahan. “Orang lain sudah punya masalah masing-masing, hidup saya jangan sampai menambah masalah orang yang saya temui dengan sedih-sedihan, wajah murung, dan sebagainya.” begitu pikir saya. Toh semua ini buah dari kesalahan saya sendiri.
Hingga suatu malam, saat saya menelpon ibu saya, ada perkataannya yang akhirnya membuat pertahanan saya beberapa waktu ini roboh, pertahanan untuk menyimpan semuanya sendirian. Saya menangis sejadi-jadinya di ujung telpon, hingga rasanya saya tidak bisa bernafas saat itu. Berkali-kali Ibu saya menuntun saya untuk ber-istigfar dari tempatnya berada saking horornya saya *engga engga.. saya tidak begitu. Saya masih sadar fungsi pisau itu untuk motong buah, bukan motong yang lain* *lhoh!*. Tangisan saya kala itu, campur aduk rasanya. Sedih, kecewa, tapi yang paling banyak presentasinya adalah rasa penyesalan saya yang salah langkah, perasaan menyesal karena sempat berjalan hanya untuk diri saya sendiri, perasaan menyesal karena sempat mengabaikan hati kecil saya, perasaan menyesal karena mencoba mencari ‘bahagia’ dengan cara lain padahal saya tau pasti bahwa kebahagiaan saya ada ketika menyertakan orang lain didalamnya, sosoan jadi jahat padahal aslinya baik *wakakaka nggak dengg yang ini ngaco* ... Ampuni hamba ya Allah *netes-netes*
Begitulah.. sakit adalah reaksi wajar yang pasti terjadi jika ada yang hilang dari suatu bagian tubuh. Seperti waktu kecil dulu, saat satu per satu gigi terlepas, rasanya pasti sakit. Juga mungkin pernah tak sengaja kuku kaki terlepas akibat menendang sesuatu yang keras. Rasanya juga pasti sakit sekali.
Maka nyeri di dada itu beralasan. Ada sesuatu yang pernah jadi bagian disana, kemudian hilang seketika entah kemana. Hilang baik karena sengaja ataupun terpaksa, sakitnya tak ada beda.
Sesuatu itu pastilah ketertautan hatimu dengan hati sesuatu. Dan kau biasa menyebutnya: cinta. Sayangnya.. sesuatu itu adalah cinta yang melalaikan, cinta tanpa dasar karena-Nya, cinta kepada selain-Nya. Seperti saya mungkin kemarin itu... yang mencintai mimpi saya dan seseorang #mulaingarangg *mukelujauhmon* hingga akhirnya dengan mudahnya Allah menyadarkan saya dengan kejadian yang mengharukan haha. Saya sering mendengar di kajian, bahwa Allah mencemburui cinta yang menguasai hati. Cinta yang tidak saya sadari, menempati posisi tertinggi hati, hingga bahkan menggeser sang Maha yang cintanya sejati.
Sungguh.. sebetulnya bukan Dia yang membutuhkan cinta saya, tapi saya yang membutuhkan cinta-Nya. Dia berlaku demikian bukan karena keegoisan, melainkan karena Ar Rahman dan Ar Rahim-Nya. Dia tak ingin seorang hamba yang tercipta sedari awal untuk menghamba pada-Nya, lalai karena terbuai. Maka nyeri di dada saya, adalah bukti kasih sayang-Nya.
Setelah kejadian itu, saya yang sekarang, rasanya lebih tenang hatinya, karena meletakkan semuanya di tangan Allah saja. Saya akan tetap berusaha meraih apa yang saya inginkan dengan ikhtiar dan doa, tapi saya akan selalu mengingatkan pada diri saya sendiri untuk tidak bergantung pada sebab.
Here I am!!! Akhirnya saya jadi power rangers pink lagi!! Saya akan menjadi diri saya yang sebenar-benarnya saya kembali, seperti saya sebelum setahun ini. Hehe. Setelah fase salah langkah itu, saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tidak akan sok menjadi ‘egois’ padahal sebenarnya tidak bisa ‘egois’. Saya sadar betul, kebahagian saya, terletak pada kebahagiaan orang lain :) Apapun yang terjadi nantinya, apapun yang saya inginkan di hidup saya, saya tidak akan menggadaikan visi misi hidup saya yang satu ini. Semoga Allah mengampuni saya atas setiap khilaf...
Dari kejadian ini saya belajar bahwa banyaaakk sekali definisi ‘memberi’ itu..
Ketika kita berpikir apa yang akan saya dapatkan, maka yang diperoleh malahan kegelisahan. Sebaliknya, ketika kita berpikir apa yang bisa saya berikan, maka yang akan kita peroleh adalah kedamaian, rasa hormat, dan cinta. Ketika kamu memberi, kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak daripada kamu mengambil. Perbanyaklah berbagi, bukan membagi.
Dari kejadian dikecewakan seseorang... saya pun belajar arti ‘memberi’ yang lain. Memaafkan seseorang disaat mampu membalas adalah suatu pemberian. Berusaha berbaik sangka dan menghilangkan prasangka buruk darinya adalah suatu pemberian. Mendoakannya diam-diam juga pemberian. Menahan diri dari membicarakan aib-aib saudaramu itu juga pemberian.

Emang salah ya mikirin diri sendiri? Toh udah sering mikirin orang lain(?) Hehe.. engga kok. Nggak ada yang salah dengan memikirkan diri sendiri. Selalu saya bilang, tidak serta merta suatu pilihan lebih baik dibanding pilihan lainnya. Termasuk pilihan kamu, dan pilihan saya. Saya percaya, kita punya alasan masing-masing untuk setiap pilihan. Tapi untuk saya pribadi, saya sudah tidak akan mencoba-coba (test to the water) lagi untuk pakai metode ini hehe. Saya kapok. Sepertinya ini metode yang tidak cocok untuk saya.

Khairunnas anfa'uhum linnas
Khairunnas anfa'uhum linnas
Khairunnas anfa'uhum linnas
Selamat bekerja keras untuk menjadi sebaik-baiknya “pemberi” :) Semoga, tidak salah langkah lagi kkkkkk~
continue reading Belajar dari Fase "Salah Langkah"

Selasa, 21 Maret 2017

Pada masanya, kita akan menemukan jawaban dari semua tanya yang pernah ada, tentang apa yang sebenarnya kita ingin, tentang apa yang seharusnya kita tuju, dan tentang semua kepastian yang pernah kita ragukan...
Dan pada masanya, kita akan mengerti tak ada yang sia-sia dari sebuah proses, walau selama dan selelah apapun itu...

Yogyakarta, 22 Maret 2017
Teruntuk siapa saja, selamat memperjuangkan cita-cita!!! :)
continue reading

Senin, 20 Maret 2017

Laki-Laki yang Menjadi Ayah

Dulu, sedang nge-trend di kalangan anak SD seusia saya untuk berlangganan majalah Bobo. Punya majalah Bobo beredisi-edisi plus stiker saat edisi spesialnya itu akan terlihat amat sangat keren satu sekolahan haha. Lalu saya, anak yang juga ingin jadi keren, pengen dong berlanggangan majalah Bobo juga. Saat mengajukan permintaan ke orang tua saya, ehh malah dikasih penawaran "Kalau mau punya bacaan, kita beli Al-Qur'an terjemahan aja. Itu dibaca sampai mbak besar juga nggak akan habis. Nggak perlu langganan majalah yang beredisi-edisi." kata ibu saya. "Lhoh tapi aku maunya yang cerita-cerita gitu. Di Al-Qur'an mana ada cerita-cerita teknologi yang canggih-canggih. Di Bobo ada. Aku kan pengen pengetahuannya luas." sanggah saya kurang lebih seperti itu (lupa euy pastinya gimana). Saya tetaplah saya yang selalu kalah tiap berargumen, hiks. Maka akhirnya, saya nggak dapat majalah Bobo, saya dapat Al-Qur'an terjemahan pertama saya, yang masyaAllah gedenya sedada sampe perut saya kalau dibawa kala itu.

Dulu, di zaman SMP, teman-teman saya sudah dikasih motor masing-masing sama orangtuanya. Sementara saya, masih mengayuh sepeda. Kalau kita janjian mau main, mereka sudah sampai duluan di tempat main karena pada naik motor, sementara saya tertinggal di belakang karena naik sepeda. Belum lagi kalau adik saya nangis minta ikut, duehhh tambah harus lebih kuat mengayuhnya, karena dia bonceng. Yang ada sampai tempat main bukannya saya main, tapi duduk aja karena kelelahan.


Kala itu saya nggak paham, kenapaaa kok orang tua saya terkesan pelit syekalih. Minta ini itu nggak gampang dikasih. Padahal kalau melihat orang tua teman-teman saya yang lain, yang pekerjaannya sama dengan orang tua saya, bisa tuh langganan majalah Bobo, bisa tuh ngasih motor sejak SMP. Tapi kenapa saya enggak dikasih. Oiya sedikit selingan, sistem pengajuan permohonan di keluarga saya itu selalu melalui ibu terlebih dahulu. Dituruti tidaknya ada di tangan Ibu. Kalau acc, maka akan berlanjut ke bapak, kalau ibu udah membelalakkan matanya, udah deh kelar... itu tanda nggak acc. Siap-siap aja gigit jari. Nggak akan nyampe permohonannya ke bapak sampai akhir dunia yang fana iniiii pun.

Semakin besar, saya dan adik saya semakin terbiasa dengan 'hal itu'. Kami tumbuh jadi anak-anak yang tidak mengukur kebahagiaan dari kacamata orang lain tapi dari apa yang kita miliki dan kami mensyukurinya, kami belajar tidak pernah meminta kepada orang tua jika tidak diberi dengan kesadaran mereka sendiri, kami belajar memilah mana keinginan mana kebutuhan, daannn lain-lain.


Sampai pada suatu masa, ketika terjadi obrolan antar wanita (antara saya dan ibu saya), ibu membuka tabir *gilakk bahasa gue, berasa Patroli di Indosiar* mengenai sikapnya selama ini. Ibu bilang, "Kita itu jangan jadi beban buat Bapak, sebisa mungkin harus bantuin Bapak. Nggak usah minta ini itu. Yang dikasih Bapak, ya dicukup-cukupin, gimana caranya kita yang ngatur. Tau nggak? Bapak itu tanggung jawabnya udah besar, masa' mau kita tambahin sama desakan-desakan kita. Kalau dari desakan kita terus Bapak salah langkah, emang mbak sama adek mau? Engga kan? Mending kita seperti ini asal sehat, bisa bareng-bareng terus. Iya kan?" Kata ibu saya. Huhuhu

"Kalau Ummi ya mbak.. Kebahagiaan terbesar seorang istri itu bukan ketika suami ngasih duit buanyaaak. Tapi kebahagiaan istri itu ketika melihat suaminya hidup tenang, sehat. Ya walaupun kalau dikasih duit banyak senengnya jadi nambah-nambah sih hahaha *lhah buseet daah!!! Mohon maap pemirsah, ibu saya hanyalah wanita akhir zaman biasa. Mohon maklum yes -_- *. Jadi istri itu, jangan sampai mendampingi suami menuju neraka. Dampingi dia menata satu-persatu batu-bata buat hunian di surga. Jadi anak juga gitu.. bantu bapaknya jalan ke surga.” Tambah ibu saya.
Okeeelahhh siap jendral!!!



Ehhh terus, tadi pagi saya dapat cerita. Teraduk-aduk rasanya hati saya pas dengar cerita ini.


Ada seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. Terdengar samar-samar, "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya.
Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah,
"Ayah..., besok aku harus bayar uang praktek".
"Iya..." jawab sang Ayah.


Getir terdengar di telinga saya, apalagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.
Di kantor, seorang teman menerima SMS, "jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Saya pun berpikir, tambah satu gundah lagi yang bersemayam di Ayahnya Nadia itu. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Dua kejadian kecil yang saya tangkap... tapi cukup membuat berkontemplasi.


Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut namun yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.



Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam.

Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Ayah ini meyakini bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba kecuali sebatas hamba tersebut mampu memikulnya, dan Ia selalu berprasangka baik kepada Allah dengan meyakini bahwa tiada cobaan yang tidak berakhir dan Jalan keluar selalu akan datang kepada hamba-hamba yang hanya bersandar pada pertolongan dan kasih sayangNya semata.



Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.


Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya.

Semoga. :)
Semangatttt para Ayah!!! Tetaplah tamvaaan dan menawan!!! *lhoh!*
continue reading Laki-Laki yang Menjadi Ayah

Rabu, 15 Maret 2017

soal penasaran

Harusnya tidak perlu penasaran dan kepengin tahu. Apalagi kamu belum siap untuk menerima jawabannya. Mungkin sebenarnya kamu sudah tahu jawabannya, namun belum puas saja jika belum mendapat pengakuan dari objeknya secara langsung. Yang akhirnya, menyakiti hatimu. Kamu sangat tahu itu.


Mungkin benar yang ditulis Ayu Utami dibukunya kalau penasaran adalah sikap yang lancang. Karena penasaran akan suatu hal, kita jadi merasa punya wewenang untuk bertanya se-enaknya. Tanpa perlu tahu apa yang dirasakan dia yang kamu tanyakan. Contoh kecilnya saja: "Kapan lulus?", “Kapan kerja?”, “Kapan lalalala lililili”. Padahal siapa tahu dia yang kamu tanya sedang dalam masa pengobatan diri karena ‘patah hati’ (entah dengan apapun), dia yang kamu tanya sedang berjuang untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Ada baiknya jika kamu mulai meminimalisir rasa ke-ingin-tahuan dan penasaran. Bukan berarti tidak peduli, tapi rasa-rasanya jika tidak terlalu penting tidak usah melontarkan sebuah pertanyaan. Apalagi yang bisa menyakiti diri sendiri.


"Kesamar-samaran itu unik, dan dia akan menjadi tidak unik lagi, dan berhenti sebagai puisi - kalau ia digamblangkan." (Sapardi Djoko Damono)

Hmmm...
Setelah membaca kalimat tadi saya jadi berpikir ada benarnya juga. Beberapa hal layak untuk dibiarkan samar-samar, selain bikin penasaran, (kadang) ketika sudah menjadi jelas, tiba-tiba hal tersebut jadi biasa saja dan tidak menarik lagi. 

Atau...

Kita bisa saja membiarkan sesuatu tetap samar-samar karena takut tidak bisa menerima hal tersebut menjadi jelas. Jika iya, kita sedang melindungi diri sendiri. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun terkadang, sebagai manusia yang memang sudah dibekali rasa ingin tahu. Kita sering lupa batas antara sekedar tahu dan mengerti. 

Contoh paling gampang: Kamu tahu kalau orang yang kamu harapkan itu dekat dengan orang lain. Tapiii engga cukup buat kamu untuk sekedar tahu. Kamu berusaha menggali lebih dalam lagi. Tapi setelah itu apa yang kamu dapatkan? Perasaan sedih karena harus menerima kenyataan yang pahit. Begitulah manusia...

Jika sejak awal kamu sudah tahu bahwa suatu hal itu akan menyakiti kamu, ada baiknya kamu hanya berhenti pada tahap 'tahu'. Tidak usah diteruskan atau malah memaksakan untuk mengerti. Karena kamu belum tentu sanggup untuk menerima apa yang kamu tanyakan. Percayalah.




RS. dr Yap Yogyakarta, 14 Maret 2017.
Sesaat setelah dapat hikmah perihal dunia per-kepoan di tempat ini
continue reading soal penasaran

Rabu, 08 Maret 2017

Gratitude


"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air.’’ (QS Adz Dzaariyaat:15).


Beberapa waktu lalu, seorang sahabat mengatakan kepada saya di tengah-tengah obrolan kami yang cukup serius membahas mengenai dunia ini *lagak gue selangit yee pake mikirin dunia segala, sendirinya aja belum bener wakakak*. "Cari guru yang bisa dijadikan guru ya, Ceu. Belajar Al-Qur'an nggak bisa sendiri. Harus ada yang 'membacakan', Ceu."


Hiks... sontak saya yang cengceremen ini langsung terdiam membeku. Selama ini saya rasa, saya belum sampai pada tahap mentadabburi Al-Qur'an. Saya hanya membacanya, berikut artinya, tentang pengamalan di kehidupan... duehh tauk deh kemana-mana kayaknya. Padahal, seharusnya jika kita ingin mendapat keberkahan dari Al-Qur'an itu sendiri kita harus belajar, mempelajari, dan mengambil pelajaran dari Al Qur’an. Sehingga untuk mendapatkan sari pati kandungan Al Qur’an harus dilakukan tadabbur yang mendalam.


Maka sekarang, sepertinya saya sudah harus merubah pola belajar Al-Qur'an. Targetnya bukan lagi berapa bulan sekali harus khatam beserta artinya, tapi jadi berapa bulan sekali harus khatam serta mentadabburinya (kita memikirkan makna ayat-ayat Al-Qu’ran, apa yang ditunjukkannya, rahasia serta berita yang terdapat dari ayat-ayat tersebut, sehingga kita dapat mendapatkan manfaat berupa hidayah, rasa takut kepada Allah, dan ibadah kepada Nya, dan kita tahu apa yang harus kita lakukan dan apa yang kita tinggalkan dari perbuatan, perkataan, interaksi sosial, dan yang lainnya)


Tadi malam, saya sampai pada ayat yang saya tulis di awal tulisan ini. Setelah saya 'mencari tahu'. Ternyata deskripsi surga yang seperti taman yang dipenuhi berbagai tanaman ini di masa kekhilafahan Islam banyak mempengaruhi tata kotanya lho...


Sejak abad pertama hijriyah (gambarannya 1 Hijriyah sama dengan 622 masehi), masyarakat Islam sudah mulai menghadirkan taman dan kebun di lingkungannya. Dimana di Eropa sanitasi saja belum beres kala itu (berdasarkan dari baca sejarahnya.. masyarakat Eropa dulu nggak perhatian sama sanitasi.. mereka kalau mau buang air besar itu ya cuma bikin lubang dari lantai atas rumahnya... terus ya udah buang aja gitu. jadi kalau ada yang pas lewat dibawahnya.. yaa.. wassalam! Hihi).


Okey.. lanjott lagi
AM Watson dalam tulisannya "Agricultural Innovation in the Early Islamic World" mengungkapkan betapa banyaknya taman dan kebun yang dibangun di kota-kota Islam pada masa keemasannya. Masya Allah nggak tanggung-tanggung yaa. Satu kota saja bisa puluhan ribu taman dibangun.. (duh Bandung dengan taman-taman tematik segitu aja kita udah suka banget kannn... *kita? lo aja keleus!* *terdengar suara menggema di udara* apalagi di kekhilafahan Islam 😍). Pantes yaa... duta besar Kerajaan Bizantium yang tiba di Baghdad awal abad ke-10 dibuat terpesona dengan indahnya taman dan kebun. 


Jadi ya.. kalau sekarang umat Islam itu digambarkan hidup dipemukiman kumuh dsb itu karena Islamnya belum dibuat real di kehidupan... jadi belum nampak rahmatanlil'alamin -nya
Allah kan yang bilang Islam itu pedoman hidup.. sistem kehidupan..


Di masa kekhilafahan Islam taman yang jumlahnya sampai puluhan ribu dalam satu kota itu nggak hanya dibuat agar photoable.. atau Instgramable yak istilah kekiniannya hehe.. Tapi justru berfungsi sebagai tempat bertafakur dengan alam. Itu kenapa taman-taman biasanya dilengkapi dengan banyak tempat duduk. Seniman dan para penyair juga banyak terinspirasi dari gemercik air dan bunga-bunga yang indah ada di taman-taman *sotoy lagi*. Masya Allah.. indah banget ya ngebayanginnya...


Jadi, sebenernya kalau ada muslim yang rada-rada paranoid kalau diterapin Islam Kaffah.. itu cuma karena mungkin kurang banyak bacaannya (kayak saya ini. hiks)... dan tanda-tanda memang perlu banget nambah ngajinya (kayak saya ini lagi. hiks).
Islam itu nggak sekedar tentang ibadah tapi justru ideologi hidup.. sistem hidup..
continue reading Gratitude

Senin, 06 Maret 2017

Minggu, 05 Maret 2017

Belajar dalam Kereta Perenungan

Suatu hari, ada seorang perempuan muda yang hendak pergi ke kota sebelah menggunakan kereta antar kota. Setelah mencari-cari tempat duduk yang menurutnya nyaman di dalam kereta, akhirnya dia memilih duduk dengan seorang ibu paruh baya. Sebelum duduk, dia mengangguk dan tersenyum sebagai salam izin untuk duduk.

Sedari tadi ibu itu tersenyum sambil memperhatikan dan memandang lekat-lekat si perempuan yang sedang sibuk menata-nata barangnya. Beberapa waktu setelahnya si perempuan baru tersadar bahwa sedang diperhatikan. Lalu dia menoleh ke arah ibu tersebut seraya berkata, “Hehe aduh maaf ibu. Saya berisik sekali.” sambil tersenyum dan salah tingkah. “Engga kok haha. Engga papa, saya seneng aja lihat mbak, makanya saya lihatin.” jawab si ibu.

“Ibu tujuannya kemana?” tanyanya

“Mau nengok anak saya di XXXXXXX (menyebut salah satu sekolah).” jawab ibu

“Wah? Itu dekat dengan kampus adik saya Bu. Saya juga mau nengok adik saya kesitu hehe.” Balas si perempuan

“Nanti kita bisa bareng saja ya mbak, saya dijemput orang dari sekolah nanti.. Saya dari Palembang mbak ini tadi. Pesawatnya tadi pagi nyampe, terus dilanjut naik kereta ini deh. Kemarin ustadnya ngabari kalau anaknya nangis haha. Cowo lho padahal anak saya. Mungkin kangen. Makanya saya langsung kesini. Ayahnya lagi nggak bisa ikut, jadi saya sendirian.” Cerita si ibu.

“Jauh sekali bu sekolahnya.. dari Palembang sampai kesini. Anaknya sendiri yang minta sekolah disini?” tanya si perempuan dengan wajah heran.

Lalu ibu tersebut bercerita...

Sebelum memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang saat ini, ibu tersebut sempat bingung kemana anaknya akan ia sekolahkan. Banyak sekolah-sekolah bagus. Yang menjanjikan pengajaran agama dengan sebaik-baik metode juga sudah ada dimana-mana. Namun selalu saja beliau dapati kabar berupa sisi tak baik dari sekolah-sekolah tersebut. Jadilah si ibu bertambah tambah kekhawatirannya. Beliau tak mau buah hatinya terpengaruh dengan kehidupan bebas para pemuda zaman sekarang.

Sampai suatu ketika si Ibu ini mantap untuk menyekolahkan anak pertamanya di salah satu sekolah berasrama terbaik di kota yang akan kami kunjungi ini. Saat pendaftaran, beliau berjumpa dengan seorang bapak yang juga sedang mendaftarkan anaknya. Untuk mengisi obrolan, ibu itu bertanya kepada sang bapak, “Boleh tahu alasan Bapak menyekolahkan anak Bapak disini?”. Si Bapak menjawab, “Pada dasarnya semua sekolah itu baik, yang penting segala sesuatu yang masuk untuk keluarga adalah halal dan baik. Baik rezeki secara materi maupun dalam bentuk makanan. Lalu berdoa dengan doa Nabi Ibrahim, agar tetap kokoh jiwa ini dan buah hati dengan sholat sebagai kekuatan andalan hariannya. Kalau rezeki halal, Allah menerima doa hambaNya, kalau shalat baik, segala perkara juga akan baik.

Obrolan itu terasa tidak lama, tapi ternyata sudah menghabiskan satu perjalan kota saja hehe. Sang perempuan sudah sampai ditujuannya, sementara ibu paruh baya harus melanjutkan perjalanan sedikit lagi ke sekolah anaknya. “Terimakasih Bu.. Salam untuk anak Ibu. Semoga Allah memberi keselamatan pada ibu sampai pulang nanti ke rumah.” Katanya sambil tersenyum.

Sambil melongokkan kepalanya dari jendela mobil, ibu terserbut membalas “Iya mbak.. terimakasih juga. Senang bisa ngobrol sama mbak. Insya Allah nanti saya sampaikan ke anak saya kalau mamanya habis kenalan seorang kakak di kereta biar dia penasaran haha.” Ibu tersebut terkekeh. “Assalamu’alaikum..” lanjutnya.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah...” jawab perempuan dengan lirihnya sambil memandang mobil yang mulai berjalan. Lama dia termenung melihat mobil tersebut hingga hilang di tikungan. Cerita ibu tadi membuatnya termenung dan instropeksi diri.


“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” [QS. IBRAHIM 14:40]
continue reading Belajar dalam Kereta Perenungan

Garis Waktu

Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju,
akan ada saatnya kau ingin melompat mundur pada titik-titik kenangan tertentu.
Namun tiada guna, garis waktu takkan memperlambat gerakannya barang sedetik pun.
Ia hanya mampu maju.
Dan mau tak mau, kita harus ikut terseret dalam alurnya.


Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju,
akan ada saatnya kau terluka dan kehilangan pegangan.
Yang paling menggiurkan setelahnya adalah berbaring, menikmati kepedihan dan membiarkan garis waktu menyeretmu yang niat-tak niat menjalani hidup.
Lantas, mau sampai kapan?
Sampai segalanya terlambat untuk dibenahi?
Sampai cahayamu benar-benar padam?
Sadarkah bahwa Tuhan mengujimu karena Dia percaya dirimu lebih kuat dari yang kau duga?


Bangkit. Hidup takkan menunggu.

Berlarilah. Karena waktu tidak akan menunggumu untuk berlari.
continue reading Garis Waktu

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact