Senin, 20 Maret 2017

Laki-Laki yang Menjadi Ayah

Dulu, sedang nge-trend di kalangan anak SD seusia saya untuk berlangganan majalah Bobo. Punya majalah Bobo beredisi-edisi plus stiker saat edisi spesialnya itu akan terlihat amat sangat keren satu sekolahan haha. Lalu saya, anak yang juga ingin jadi keren, pengen dong berlanggangan majalah Bobo juga. Saat mengajukan permintaan ke orang tua saya, ehh malah dikasih penawaran "Kalau mau punya bacaan, kita beli Al-Qur'an terjemahan aja. Itu dibaca sampai mbak besar juga nggak akan habis. Nggak perlu langganan majalah yang beredisi-edisi." kata ibu saya. "Lhoh tapi aku maunya yang cerita-cerita gitu. Di Al-Qur'an mana ada cerita-cerita teknologi yang canggih-canggih. Di Bobo ada. Aku kan pengen pengetahuannya luas." sanggah saya kurang lebih seperti itu (lupa euy pastinya gimana). Saya tetaplah saya yang selalu kalah tiap berargumen, hiks. Maka akhirnya, saya nggak dapat majalah Bobo, saya dapat Al-Qur'an terjemahan pertama saya, yang masyaAllah gedenya sedada sampe perut saya kalau dibawa kala itu.

Dulu, di zaman SMP, teman-teman saya sudah dikasih motor masing-masing sama orangtuanya. Sementara saya, masih mengayuh sepeda. Kalau kita janjian mau main, mereka sudah sampai duluan di tempat main karena pada naik motor, sementara saya tertinggal di belakang karena naik sepeda. Belum lagi kalau adik saya nangis minta ikut, duehhh tambah harus lebih kuat mengayuhnya, karena dia bonceng. Yang ada sampai tempat main bukannya saya main, tapi duduk aja karena kelelahan.


Kala itu saya nggak paham, kenapaaa kok orang tua saya terkesan pelit syekalih. Minta ini itu nggak gampang dikasih. Padahal kalau melihat orang tua teman-teman saya yang lain, yang pekerjaannya sama dengan orang tua saya, bisa tuh langganan majalah Bobo, bisa tuh ngasih motor sejak SMP. Tapi kenapa saya enggak dikasih. Oiya sedikit selingan, sistem pengajuan permohonan di keluarga saya itu selalu melalui ibu terlebih dahulu. Dituruti tidaknya ada di tangan Ibu. Kalau acc, maka akan berlanjut ke bapak, kalau ibu udah membelalakkan matanya, udah deh kelar... itu tanda nggak acc. Siap-siap aja gigit jari. Nggak akan nyampe permohonannya ke bapak sampai akhir dunia yang fana iniiii pun.

Semakin besar, saya dan adik saya semakin terbiasa dengan 'hal itu'. Kami tumbuh jadi anak-anak yang tidak mengukur kebahagiaan dari kacamata orang lain tapi dari apa yang kita miliki dan kami mensyukurinya, kami belajar tidak pernah meminta kepada orang tua jika tidak diberi dengan kesadaran mereka sendiri, kami belajar memilah mana keinginan mana kebutuhan, daannn lain-lain.


Sampai pada suatu masa, ketika terjadi obrolan antar wanita (antara saya dan ibu saya), ibu membuka tabir *gilakk bahasa gue, berasa Patroli di Indosiar* mengenai sikapnya selama ini. Ibu bilang, "Kita itu jangan jadi beban buat Bapak, sebisa mungkin harus bantuin Bapak. Nggak usah minta ini itu. Yang dikasih Bapak, ya dicukup-cukupin, gimana caranya kita yang ngatur. Tau nggak? Bapak itu tanggung jawabnya udah besar, masa' mau kita tambahin sama desakan-desakan kita. Kalau dari desakan kita terus Bapak salah langkah, emang mbak sama adek mau? Engga kan? Mending kita seperti ini asal sehat, bisa bareng-bareng terus. Iya kan?" Kata ibu saya. Huhuhu

"Kalau Ummi ya mbak.. Kebahagiaan terbesar seorang istri itu bukan ketika suami ngasih duit buanyaaak. Tapi kebahagiaan istri itu ketika melihat suaminya hidup tenang, sehat. Ya walaupun kalau dikasih duit banyak senengnya jadi nambah-nambah sih hahaha *lhah buseet daah!!! Mohon maap pemirsah, ibu saya hanyalah wanita akhir zaman biasa. Mohon maklum yes -_- *. Jadi istri itu, jangan sampai mendampingi suami menuju neraka. Dampingi dia menata satu-persatu batu-bata buat hunian di surga. Jadi anak juga gitu.. bantu bapaknya jalan ke surga.” Tambah ibu saya.
Okeeelahhh siap jendral!!!



Ehhh terus, tadi pagi saya dapat cerita. Teraduk-aduk rasanya hati saya pas dengar cerita ini.


Ada seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. Terdengar samar-samar, "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya.
Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah,
"Ayah..., besok aku harus bayar uang praktek".
"Iya..." jawab sang Ayah.


Getir terdengar di telinga saya, apalagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.
Di kantor, seorang teman menerima SMS, "jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Saya pun berpikir, tambah satu gundah lagi yang bersemayam di Ayahnya Nadia itu. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Dua kejadian kecil yang saya tangkap... tapi cukup membuat berkontemplasi.


Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut namun yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.



Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam.

Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Ayah ini meyakini bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba kecuali sebatas hamba tersebut mampu memikulnya, dan Ia selalu berprasangka baik kepada Allah dengan meyakini bahwa tiada cobaan yang tidak berakhir dan Jalan keluar selalu akan datang kepada hamba-hamba yang hanya bersandar pada pertolongan dan kasih sayangNya semata.



Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.


Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya.

Semoga. :)
Semangatttt para Ayah!!! Tetaplah tamvaaan dan menawan!!! *lhoh!*

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact