Rabu, 15 Maret 2017

soal penasaran

Harusnya tidak perlu penasaran dan kepengin tahu. Apalagi kamu belum siap untuk menerima jawabannya. Mungkin sebenarnya kamu sudah tahu jawabannya, namun belum puas saja jika belum mendapat pengakuan dari objeknya secara langsung. Yang akhirnya, menyakiti hatimu. Kamu sangat tahu itu.


Mungkin benar yang ditulis Ayu Utami dibukunya kalau penasaran adalah sikap yang lancang. Karena penasaran akan suatu hal, kita jadi merasa punya wewenang untuk bertanya se-enaknya. Tanpa perlu tahu apa yang dirasakan dia yang kamu tanyakan. Contoh kecilnya saja: "Kapan lulus?", “Kapan kerja?”, “Kapan lalalala lililili”. Padahal siapa tahu dia yang kamu tanya sedang dalam masa pengobatan diri karena ‘patah hati’ (entah dengan apapun), dia yang kamu tanya sedang berjuang untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Ada baiknya jika kamu mulai meminimalisir rasa ke-ingin-tahuan dan penasaran. Bukan berarti tidak peduli, tapi rasa-rasanya jika tidak terlalu penting tidak usah melontarkan sebuah pertanyaan. Apalagi yang bisa menyakiti diri sendiri.


"Kesamar-samaran itu unik, dan dia akan menjadi tidak unik lagi, dan berhenti sebagai puisi - kalau ia digamblangkan." (Sapardi Djoko Damono)

Hmmm...
Setelah membaca kalimat tadi saya jadi berpikir ada benarnya juga. Beberapa hal layak untuk dibiarkan samar-samar, selain bikin penasaran, (kadang) ketika sudah menjadi jelas, tiba-tiba hal tersebut jadi biasa saja dan tidak menarik lagi. 

Atau...

Kita bisa saja membiarkan sesuatu tetap samar-samar karena takut tidak bisa menerima hal tersebut menjadi jelas. Jika iya, kita sedang melindungi diri sendiri. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun terkadang, sebagai manusia yang memang sudah dibekali rasa ingin tahu. Kita sering lupa batas antara sekedar tahu dan mengerti. 

Contoh paling gampang: Kamu tahu kalau orang yang kamu harapkan itu dekat dengan orang lain. Tapiii engga cukup buat kamu untuk sekedar tahu. Kamu berusaha menggali lebih dalam lagi. Tapi setelah itu apa yang kamu dapatkan? Perasaan sedih karena harus menerima kenyataan yang pahit. Begitulah manusia...

Jika sejak awal kamu sudah tahu bahwa suatu hal itu akan menyakiti kamu, ada baiknya kamu hanya berhenti pada tahap 'tahu'. Tidak usah diteruskan atau malah memaksakan untuk mengerti. Karena kamu belum tentu sanggup untuk menerima apa yang kamu tanyakan. Percayalah.




RS. dr Yap Yogyakarta, 14 Maret 2017.
Sesaat setelah dapat hikmah perihal dunia per-kepoan di tempat ini

3 komentar:

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact