Jumat, 24 Maret 2017

Belajar dari Fase "Salah Langkah"

Saya baru menyadari ada satu komentar nangkring di blog saya. Kurang lebih, katanya dia merindukan tulisan saya yang berbau-bau mahasiswa haha. Duehh saya masih cocok emang jadi mahasiswa, minimalnya nulis yang berbau-bau mahasiswa gitu(?) *tepuk-tepuk pipi depan cermin* Iyaa ihh masih cocok kokk rasa-rasanyaa *tampar*.


Iya, sejak hampir setahun ini saya hidupnya sedang jauh dari dunia mahasiswa hehe. Saya biasa menulis apa yang terekam oleh mata dan kepekaan saya, banyakan tulisannya berdasarkan hal yang dialami dan ditangkap tiap harinya, namanya juga diary *diary? cuih*. Terlalu banyak kenangan indah saat jadi mahasiswa, hingga bingung mau mengingat yang mana kalau untuk dituliskan sekarang haha. Beri saya waktu, saya akan berusaha memilih cerita mana yang mau diceritakan, ya *ikat kepala pakai tali rafia*.


Kali ini, saya mau cerita sesuatu, apa yang saya lakukan setahun ini haha. Yang zonk banget mungkin bagi diri saya pribadi(?) karena seperti bukan saya(?) seperti power rangers kuning padahal saya ini sebenarnya adalah power rangers pink(?). Dramatis sekali. Harusnya ini jadi salah satu scene di sinetron Cinta Fitri.


Saya... sedang mencoba untuk ‘fokus’ setahun ini. Fokus yang saya maksud disini adalah ‘memikirkan diri saya’. Ada scene cerita hidup yang tidak saya prediksi sebelumnya sehingga akhirnya menjadikan saya menetapkan deadline waktu tertentu kepada diri saya sendiri tentang mimpi-mimpi yang ingin saya capai. Padahal juga nggak ada yang nyuruh haha, sayanya aja yang ingin sosoan keren sendiri sih.


Kegiatan saya setahun terakhir... ya ‘fokus’ itu, mengarahkan semua hal hanya untuk apa yang saya sebut mimpi tadi. Sibuk up grade diri. Tapi up grade dirinya tuh terkesan self center gitu. “Nyaman?” Waktu itu saya nggak bisa jawab pertanyaan yang saya ajukan ke diri saya sendiri sih. Saya nyaman seperti ini atau tidak, pikiran saya masih kabur, samar-samar, membayang, dan egois dengan dalih “Ahelah gapapa... kan bentar doang kayak gininya, kan lu udah ngasih waktu sampai kapan lu bakal mikirin diri sendiri. Nanti juga balik lagi iya kan? Gapapa gapapa.” Gituuu.. saya baru sadar belakangan ini bahwa mungkin itu suara setan yang terkutuk huhuhu. Maka kala itu saya teruss saja memacu diri saya layaknya kerbau yang dicucuk hidungnya, lari pakai kacamata kuda. Berorientasi pada diri sendiri.


Berjalan beberapa bulan *untuuunggg nggak lebih lama lagi ya. Etapi.. yang bentar gini aja Allah ngingetinnya rasanya "erghh" banget di hati, gimana kalau lebih lama lagi saya ngelakuin ini... naudzubillah nggak mau bayanginn deh. Hiks* sejak saya memutuskan untuk fokus itu tadi... saya mulai benar-benar nggak betah. Saya nggak bisa membohongi hati kecil saya lebih lama lagi. Karena menjadi self center begini mengkhianati visi misi hidup yang sudah saya terapkan sejak dahulu kala. Khairunnas anfa'uhum linnas. Ini bukan saya.. hidup dengan memikirkan diri sendiri saja itu bukanlah saya. Saya nggak bahagia rasanya, walaupun sedang dalam perjalanan menuju impian yang teramat saya inginkan. Akhirnya saya keluar dari ‘persembunyian’. Saya mulai sibuk dengan ‘orang lain’ kembali, mengambil peran di beberapa komunitas dan project tertentu, mulai bersedia untuk berbagi kembali (walau masih membatasi diri hanya untuk kampus-kampus di dalam kota saja).
Saya rasa, sampai disini saya masih dalam fase salah langkah haha. Saya melakukan semua itu untuk berdamai dengan hati kecil saya yang tiap malam selalu berontak dan menjelma seperti nenek sihirnya Nirmala di depan mata saya.


Tidak terasa hampir setahun berlalu, sampailah saya pada batas akhir waktu mimpi (yang saya kejar mati-matian beberapa waktu ini) dipertaruhkan, qadarullah!!! Allah mengubah semuanya dengan begitu mudah, seperti membalikkan telapak tangan saja! Apa yang saya rencanakan yang nampaknya dari segala perhitungan (manusia) bisa untuk dicapai tahun ini, ternyata tidak dapat saya gapai padahal tinggal selangkah lagi hehe.


Terasa nyeri di dada, khas seseorang yang sedang kehilangan. Seakan ada sesuatu yang pernah mengisi disana, kemudian hilang seketika, entah kemana. Waktu dimana saya harus menerima kenyataan bahwa apa yang saya kejar selama ini (dengan mengorbankan ‘kebahagiaan’ versi saya -sibuk dengan ‘orang lain’-), disaat yang sama pula masalah lain juga datang, saya merasa kecewa pada seseorang. Makin menumpuk-numpuk lah rasa sesaknya. Sekuat tenaga saya coba tersenyum tiap harinya kala itu mencoba berlaku seperti semuanya baik-baik saja, menyimpan semua sakit dengan rapi hanya di hati saya (walaupun fisik juga akhirnya mengikuti sakit haha), tidak menceritakannya pada makhluk, hanya bisa memperpanjang waktu di tiap sujud-sujud saya untuk meminta ampun pada Allah atas setiap kesalahan. “Orang lain sudah punya masalah masing-masing, hidup saya jangan sampai menambah masalah orang yang saya temui dengan sedih-sedihan, wajah murung, dan sebagainya.” begitu pikir saya. Toh semua ini buah dari kesalahan saya sendiri.
Hingga suatu malam, saat saya menelpon ibu saya, ada perkataannya yang akhirnya membuat pertahanan saya beberapa waktu ini roboh, pertahanan untuk menyimpan semuanya sendirian. Saya menangis sejadi-jadinya di ujung telpon, hingga rasanya saya tidak bisa bernafas saat itu. Berkali-kali Ibu saya menuntun saya untuk ber-istigfar dari tempatnya berada saking horornya saya *engga engga.. saya tidak begitu. Saya masih sadar fungsi pisau itu untuk motong buah, bukan motong yang lain* *lhoh!*. Tangisan saya kala itu, campur aduk rasanya. Sedih, kecewa, tapi yang paling banyak presentasinya adalah rasa penyesalan saya yang salah langkah, perasaan menyesal karena sempat berjalan hanya untuk diri saya sendiri, perasaan menyesal karena sempat mengabaikan hati kecil saya, perasaan menyesal karena mencoba mencari ‘bahagia’ dengan cara lain padahal saya tau pasti bahwa kebahagiaan saya ada ketika menyertakan orang lain didalamnya, sosoan jadi jahat padahal aslinya baik *wakakaka nggak dengg yang ini ngaco* ... Ampuni hamba ya Allah *netes-netes*
Begitulah.. sakit adalah reaksi wajar yang pasti terjadi jika ada yang hilang dari suatu bagian tubuh. Seperti waktu kecil dulu, saat satu per satu gigi terlepas, rasanya pasti sakit. Juga mungkin pernah tak sengaja kuku kaki terlepas akibat menendang sesuatu yang keras. Rasanya juga pasti sakit sekali.
Maka nyeri di dada itu beralasan. Ada sesuatu yang pernah jadi bagian disana, kemudian hilang seketika entah kemana. Hilang baik karena sengaja ataupun terpaksa, sakitnya tak ada beda.
Sesuatu itu pastilah ketertautan hatimu dengan hati sesuatu. Dan kau biasa menyebutnya: cinta. Sayangnya.. sesuatu itu adalah cinta yang melalaikan, cinta tanpa dasar karena-Nya, cinta kepada selain-Nya. Seperti saya mungkin kemarin itu... yang mencintai mimpi saya dan seseorang #mulaingarangg *mukelujauhmon* hingga akhirnya dengan mudahnya Allah menyadarkan saya dengan kejadian yang mengharukan haha. Saya sering mendengar di kajian, bahwa Allah mencemburui cinta yang menguasai hati. Cinta yang tidak saya sadari, menempati posisi tertinggi hati, hingga bahkan menggeser sang Maha yang cintanya sejati.
Sungguh.. sebetulnya bukan Dia yang membutuhkan cinta saya, tapi saya yang membutuhkan cinta-Nya. Dia berlaku demikian bukan karena keegoisan, melainkan karena Ar Rahman dan Ar Rahim-Nya. Dia tak ingin seorang hamba yang tercipta sedari awal untuk menghamba pada-Nya, lalai karena terbuai. Maka nyeri di dada saya, adalah bukti kasih sayang-Nya.
Setelah kejadian itu, saya yang sekarang, rasanya lebih tenang hatinya, karena meletakkan semuanya di tangan Allah saja. Saya akan tetap berusaha meraih apa yang saya inginkan dengan ikhtiar dan doa, tapi saya akan selalu mengingatkan pada diri saya sendiri untuk tidak bergantung pada sebab.
Here I am!!! Akhirnya saya jadi power rangers pink lagi!! Saya akan menjadi diri saya yang sebenar-benarnya saya kembali, seperti saya sebelum setahun ini. Hehe. Setelah fase salah langkah itu, saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tidak akan sok menjadi ‘egois’ padahal sebenarnya tidak bisa ‘egois’. Saya sadar betul, kebahagian saya, terletak pada kebahagiaan orang lain :) Apapun yang terjadi nantinya, apapun yang saya inginkan di hidup saya, saya tidak akan menggadaikan visi misi hidup saya yang satu ini. Semoga Allah mengampuni saya atas setiap khilaf...
Dari kejadian ini saya belajar bahwa banyaaakk sekali definisi ‘memberi’ itu..
Ketika kita berpikir apa yang akan saya dapatkan, maka yang diperoleh malahan kegelisahan. Sebaliknya, ketika kita berpikir apa yang bisa saya berikan, maka yang akan kita peroleh adalah kedamaian, rasa hormat, dan cinta. Ketika kamu memberi, kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak daripada kamu mengambil. Perbanyaklah berbagi, bukan membagi.
Dari kejadian dikecewakan seseorang... saya pun belajar arti ‘memberi’ yang lain. Memaafkan seseorang disaat mampu membalas adalah suatu pemberian. Berusaha berbaik sangka dan menghilangkan prasangka buruk darinya adalah suatu pemberian. Mendoakannya diam-diam juga pemberian. Menahan diri dari membicarakan aib-aib saudaramu itu juga pemberian.

Emang salah ya mikirin diri sendiri? Toh udah sering mikirin orang lain(?) Hehe.. engga kok. Nggak ada yang salah dengan memikirkan diri sendiri. Selalu saya bilang, tidak serta merta suatu pilihan lebih baik dibanding pilihan lainnya. Termasuk pilihan kamu, dan pilihan saya. Saya percaya, kita punya alasan masing-masing untuk setiap pilihan. Tapi untuk saya pribadi, saya sudah tidak akan mencoba-coba (test to the water) lagi untuk pakai metode ini hehe. Saya kapok. Sepertinya ini metode yang tidak cocok untuk saya.

Khairunnas anfa'uhum linnas
Khairunnas anfa'uhum linnas
Khairunnas anfa'uhum linnas
Selamat bekerja keras untuk menjadi sebaik-baiknya “pemberi” :) Semoga, tidak salah langkah lagi kkkkkk~

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact