Jumat, 17 Februari 2017

Belajar dari Perang Uhud

Apa yang pertama kali terlintas dipikiran ketika mendengar Perang Uhud? 
Kekalahan kaum Muslimin? Syahidnya Hamzah bin Abdul Muthalib, sang singa Allah, yang hatinya dimakan oleh Hindun? Atau yang lainnya?

Sungguh kekalahan disebabkan banyaknya konflik internal kaum muslimin sendiri. Abdullah bin Ubay bin Salul, sosok munafik yang menarik mundur sepertiga pasukan muslim saat musuh sudah di depan mata. Tersebarnya kabar dusta akan syahidnya Rasulullah menyebabkan merosotnya ghirah semangat muslimin saat perang tengah berkecamuk. Puncaknya adalah ketika pasukan pemanah turun ingin memperebutkan ghanimah sehingga melupakan strategi perang yang telah Rasul tetapkan bahwa pasukan pemanah, apapun yang terjadi, tidak boleh berpindah tempat sedikitpun dari atas bukit
.
Ada banyak hikmah dari perang Uhud, tapi yang coba dikorelasikan dengan kondisi umat Muslim di Indonesia saat ini ada dua; mengerjakan apa yang dilarang oleh Allah-Rasulnya dan orang munafik yang lebih berbahaya dari musuh sekalipun
Miris melihatnya, yang lebih membuat miris adalah bahkan negeri ini tak menyadari bahwa kondisinya sedang “tidak baik-baik saja”. Kita sedang berada pada zaman dimana jari lebih cepat daripada otak, berita yang terupdate setiap harinya bahkan dalam hitungan detik, membuat telinga dan nurani ini kebal, “ah sudah biasa”
.
Apakah para pemimpin itu tidak menyadari bahwa bila ada satu saja rakyatnya di negeri ini yang merasa terdzalimi maka kelak di akhirat akan dimintai pertanggung jawaban? Apakah rakyat negeri ini tidak memahami bahwa jika ingin mendapatkan pemimpin yang adil maka perbaiki dulu diri mereka sendiri, sebab pemimpin adalah cerminan rakyatnya? Apakah kesemrawutan yang ada tidak cukup untuk menjadi alasan kita semua kembali pada hukum serta perintah Allah dan RasulNya? Apakah negeri sudah terbiasa dengan sifat-sifat munafik (dusta-tidak menepati janji-tidak amanah)? Na'udzubillah tsumma na'udzubillah....

Semoga Allah senantiasa membersihkan hati-hati kita, membuat kita meyadari bahwa "jangan selalu merasa pihak kita paling benar dan pihak seberang pasti salah. Kebenaran hanya menjadi benar setelah dibuktikan."

Supaya dengan begitu, kita menjadi orang-orang yang memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum meminta yang lain memperbaiki dirinya, menjadi yang 'meraba' diri sendiri terlebih dulu sebelum mengarahkan telunjuk pada yang lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact