Jumat, 17 Februari 2017

Anakmu Mau Dimasukkan ke Pesantren?

Saya banyak menemui teman-teman 'produk' pesantren ketika saya ada pada usia quarter life crisis, Alhamdulillah. Saya yang dasarnya bukan produk pesantren, jadi banyak belajar mengenai pola asuh pesantren berdasarkan dari 'si duta-duta' pesantren itu. Saya banyak manggut-manggutnya ketika melihat teman-teman produk pesantren ini yang semacam 'high quality people' gituh menurut saya -dibandingkan saya yang hanya cengceremen ini. hiks-. Ya walaupun memang ada segelintir yang tidak seperti anggapan saya sebelumnya sih -walaupun presentasenya minim-.

Waktu di kampus, saya pernah menjadi perwakilan mahasiswa untuk menerima salah satu pondok pesantren yang cukup ternama yang sedang melakukan 'ekspedisi'. Mereka sampai ke Undip (dan ke kampus-kampus negeri lainnya) untuk mempresentasikan buah pemikiran mereka serta review dari setiap kampus untuk nantinya akan dibawa ke Australia. Saat itu tema mereka mengenai islam dan hubungan bilateral negara. Sungguh, saat mereka presentasi saya hanya bisa mengatupkan mulut yang sedari tadi menganga dan mata melotot, karena ya masya Allah... mereka presentasi menggunakan bahasa inggris dan bahasa arab. Yang nggak usah ditanya lagi fasihnya macem mana yak. Itu tema yang cukup berat menurut saya yang kala itu duduk di semester 6 (yang berarti udah itungan bangkotan lah ya), sementara mereka merigidkannya dengan sangat baik selaku problem solver yang bahkan saya nggak pernah kepikiran tentang apa yang mereka kemukakan. Anak tahun kedua di sekolah tersebut harus mempunyai project yang nantinya harus dibawa ke luar negeri. Berhubung kala itu yang perempuan dari kampus hanya saya, jadilah saya punya banyak kesempatan untuk ngobrol dengan murid-murid akhwat dan para ustadzah pendampingnya. Ustadzahnya cerita ke saya, kalau angkatan berikutnya akan ke Jepang. Mereka juga memberi saya jilbab dan goodie bag buatan para muridnya. Jadi selain belajar agama, belajar formal, mereka juga dikembangkan jiwa wirausahanya mulai dari membuat produk hingga pemasarannya. Intinya biar kalau mereka keluar dari pesantren, mereka ini jadi 'paket komplit' yang bisa diandalkan oleh masyarakat. Mengenai kesehatan fisiknya juga sangat diperhatikan, dengam adanya olahraga-olahraga yang okeyy (berdasarkan foto-foto yang mereka perlihatkan hehe). Tenaga pengajarnya juga lulusan-lulusan dari universitas di timur tengah dan eropa. Intinya, kalau dulu saya pikir anak pesantren itu "cupu", habis menemui kenyataan di lapangan, semua pemikiran itu hilang. Mereka keren.. bahkan keren bingitsss unch unch unch deh kalo buat saya.

Maka sejak bergaul dengan mereka bertahun-tahun silam, saya jadi berpikir "Seru kali ya kalau generasi-generasi berikutnya di-pondok-in aja". Tapi sebenarnya masih agak ada kebingungan dari saya sih kenapa kok tidak semua anak pesantren yang saya temui itu 'luar biasa' seperti anggapan saya sebelumnya, ada yang.... ya gitu lah.



Qadarullah, pagi ini saya belajar hehe... Ini saya dapatkan dari Auladi Parenting School & Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari Manajement. Yang akhirnya banyak membuka mata saya.. banyak faktor dalam pembentukan anak -eventhough doi anak pesantren ya-. Produk baik harus dihasilkan dari semua yang baik pula sih. Nggak bisa sekonyong-konyong kita kasih anak ke pesantren yang bagus terus kita mau anak kita juga jadi bagus, tapi kitanya sebagai orangtua malah mlempem, ya ngimpi aja. Belibet? iya hiks. 


Ingin punya anak shalih? Yuk jadi orangtua shalih juga hehe. Mendidik generasi, insya Allah meraih ridhlo ilahi kok. Proyek hidup muslimah itu ya kalau bagi saya ada 3: Mar'atus shalihah, Zaujatu muthi'ah, dan Ummul madrasah. Walaupun saya masih merangkak-rangkak untuk mencapai proyek hidup tersebut sih *nangis lagi* *cengeng!!*, makanya saya harus banyak belajar. Mohon doanyahh.

Yaudah langsung dibaca aja isinya, muqadimah di atas, diabaikan saja *nangis di bawah shower kamar mandi*.







Mau masukkan anak ke Boarding School atau Pondok Pesantren?
Yakin kita sebagai orang tua sudah siap? Yakin anak-anak kita sudah siap? 



Boarding school atau pondok, baik berbentuk pesantren maupun sekolah berasrama sangat berbeda dengan umumnya sekolah. Karena itu jika tidak dilakukan persiapan matang, alih-alih malah bermanfaat untuk anak, yang terjadi malah bisa berdampak negatif untuk anak.

Kejadian anak kabur dari pesantren misalnya mungkin pernah Anda dengar seperti cerita berikut ini: "Abah Ihsan, ada temen (domisili jakarta) yang anaknya dimasukkan ke pesantren di bogor (kelas 1smp). Menurut beliau sudah dengan persetujuan anaknya untuk masuk pesantren. Baru 1 hari disana, anaknya tiba-tiba muncul di rumah tanpa pemberitahuan. Ternyata anak tersebut JALAN KAKI. Katanya nggak betah. Si ibu sangat berkehendak anaknya di pesantren setahun saja dulu (sampe mohon-mohon ke anaknya) sementara si anak nggak bergeming. Tetep nggak mau. Si ibu bersikeras mau anaknya di pesantren karena lingkungan rumahnya tidak sehat. Banyak yang MBA (married by accident). Bebas. Si ibu ini untuk masukin anaknya ke pesantren sampai harus berhemat-hemat karena bukan golongan mampu. Mohon pencerahannya abah."


***

Sebenarnya adalah normal jika ada anak mengalami semacam "culture shock" ketika masuk pesantren atau boarding. Hanya saja, ketika disalurkan secara berlebihan, apalagi tidak ditangani dengan baik, dapat membuat repot semuanya.


Betapa tidak, di pesantren anak merasakan ritme kehidupan yang bisa jadi sangat jauh berbeda dibandingkan di rumahnya. Apalagi jika kemudian pengasuhan yang diberikan orangtua di rumah buruk. Anak yang saya sebut generasi "tuan" yang serba dilayani, serba di "service", serba ada, maka terbayang betapa "menderitanya" anak ini. Meski mungkin, pada awalnya karena keinginan anak sendiri pesantren, tetapi ketika anak yang tidak terbiasa mandiri sejak dari rumah lalu masuk pesantren, seiring berjalannya waktu mereka kemudian merasakan ketidaknyamanan ini.

Misalnya, di rumah serba dilayani, di pesantren harus melakukan banyak hal sendiri. Di rumah, terbiasa bangun setelah shubuh, di pesantren harus bangun sebelum shubuh, bahkan lebih awal lagi. Di rumah ambil makanan, ke toilet, langsung "tancap gas", di pesantren harus antri. Di rumah terbiasa sholat, belajar, sendiri, di pesantren harus berjamaah. Dan seterusnya.

Celakanya, "ulah" orangtua ini kemudian malah dibebankan pada pihak lain untuk membetulkannya. “Saya ingin anak saya masuk pesantren di sini biar kelakuannya berubah, biar anak saya jadi lebih mandiri dan bertanggungjawab.”, pernah dengar omongan semacam ini? Jika niat pesantren seperti ini, dengan demikian pesantren berarti tak ubahnya menjadi semacam “bengkel akhlak” untuk memperbaiki anak-anak yang rusak! Orangtua yang berulah, orang lain yang bertanggung jawab. Aneh kan?


Jika niatnya sudah begini, siap saja orangtua menelan kekecewaan. Berapa banyak anak-anak yang “rusak” ini kemudian menjadi betul kembali setelah pesantren? Ada jaminan di pesantren ini anak tak “bertingkah” atau mungkin kabur dari pesantren seperti contoh di awal tulisan ini?


Jika pun anak ini setelah pesantren perilakunya berubah, lalu dia kembali “full” di rumah setelah selesai pendidikan, karena sumber utama perilaku awal anak belum dibetulkan: orangtua, maka bisa saja anak ini kembali ke perilaku buruk semula sebelum anak ini masuk pesantren bukan? Sebab memang yang harus dibenahi paling awal memang pola asuh orangtua yang membuat perilaku negatif anak ini terjadi.


Jangankan “full” di rumah setelah selesai pendidikan pesantren, fenemona yang sering terjadi yang sering dilaporkan kepada saya dari banyak pengelola pesantren adalah, saat anak liburan pun yang hanya beberapa hari, perilaku anak yang sudah positif saat di pesantren termasuk pembiasaan-pembiasaan baik di pesantren hanya beberapa hari malah menjadi “kacau” oleh liburan di rumah yang beberapa hari.


Karena itu, sebelum memutuskan mengirimkan anak ke pondok pesantren, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan orangtua agar tujuan awal mengirimkan anak ke pondok pesantren tidak malah menambah masalah. Beberapa hal yang saya tulis ini saya kemukakan dari hasil pengalaman saya memberikan kelas-kelas pengasuhan di beberapa pesantren, berdialog dengan mudhir (pimpinan) pesantren, me-coaching, beberapa panti asuhan yang berasrama dan tentu saja pengalaman saya ketika dulu waktu remaja mengenyam pendidkan pesantren.




PERTAMA, niat awal harus dibetulkan. Jangan pernah sekali-kali mengirimkan anak ke pondok pesantren karena ingin niat “cuci tangan”. Karena jika niat seperti umumnya tidak akan pernah mencapai tujuan. Jika pun ada yang mencapai tujuan, bagi saya adalah justru sebuah kerugian ketika justru perilaku diri anak berubah lebih baik, tapi kemudian malah tidak memiliki kedekatan hati dengan orangtuanya akibat anak sendiri merasa “dibuang” tadi. Usulan saya, jika anak bermasalah dengan perilakunya, orangtua yang harus merubah perilakunya terlebih dahulu pada anak, sebelum meminta perilaku anaknya berubah.


Jadi niat atau motif seperti apa yang betul? Beberapa contoh ini dapat menjadi referensi untuk “meluruskan” niat kita yang hendak mengirimkan anak ke pesantren. Mungkin bukan motif terbaik, tapi setidaknya motif yang akan disebutkan bagi saya lebih baik setidaknya dibandingkan dengan niat “cuci tangan. Setidaknya Anda bisa saja menambahkan lagi.


“Saya ingin anak saya mendalami ilmu agama lebih banyak lagi dari orang yang lebih kompeten dari saya; Saya juga tetap sebagai orangtua harus belajar, tapi jika ada yang lebih ahli, saya ikhlas anak saya belajar ke yang lebih ahli, meski saya harus berkorban, menahan rindu pada anak”.


“Di pesantren anak saya dapat merasakan suasana budaya pesantren yang tidak akan mereka dapatkan di lingkungan rumah, makan bersama dengan teman-teman, jika dikirim makanan berbagi dengan teman-teman. Budaya hidup sederhana, budaya hidup berbagi dan menerima kekurangan orang lain ketika bersosialisasi.”


“Saya ingin melatih anak saya jauh dari saya, sebab suatu saat mereka akan berpisah dengan saya. Mereka harus merasakan bagaimana rasanya berpisah dengan orangtua, betapa berharganya mereka jika nanti ada di dekat orangtua lagi. Anak-anak saya, saya berikan pilihan untuk berlatih jauh dari orangtua sebelum dewasa: mau SMP atau SMA? Jika anak saya memilih SMP maka SMA tidak usah pesantren, jika dia memilih pesantren SMA maka SMP tidak usah pesantren. Saya tidak ingin anak saya “hidup” 12 tahun saja dengan saya dan lalu setelah itu dilepas pada orang lain sehingga akhirnya anak saya tidak mengenal saya lagi. Tidak boleh ada ketergantungan anak saya kepada orangtuanya berlebihan”.


“Saya single parent, di rumah jika saya bekerja tidak ada yang mengawasi dan menemani. Maka daripada anak saya “tak terawasi” siapapun, lebih baik anak saya belajar di pondok pesantren yang akvitas kesehariannya dapat lebih mudah terawasi dibandingkan saat di rumah tidak ada yang mengawasi.”


“Anak saya ingin jadi ulama, anak saya ingin belajar quran, hadits, bahasa arab, lebih intesif lagi. Anak saya ingin kuliah di timur tengah mengambil jurusan ilmu agama Saya hanya ingin mendukung mereka, maka saya pilihkan pesantren yang memiliki link atau akses ke perguruan tinggi atau universitas di timur tengah atau yang dapat memudahkan jalan ke sana.”


“Lingkungan pergaulan di sekitar rumah saya benar-benar sudah rusak. Saya bisa saja memilih hijrah pindah rumah ke tempat yang lebih aman tapi kondisi ekonomi saya tidak memungkinkan. Di tempat baru pun belum tentu saya dapat memilih tempat yang lebih baik jika kondisi ekonomi saya masih begini”.


“Adalah normal jika anak saya yang remaja butuh lebih banyak aktivitas di luar rumah, melakukan kegiatan-kegiatan yang positif yang akan menyibukkan untuk menyalurkan hasrat/jiwa remajanya. Nah kalaupun misalnya anak saya tinggal di rumah saya tidak pesantren, mereka bakal lebih bayak di luar rumah saat usia remaja. Maka bagi saya lebih positif jika kegiatan di luar rumah itu adalah kegiatan di pesantren yang terawasi. Dibandingkan di mall, di kafe atau di tempat lain yang tidak terawasi. Karena itu saya memilih pesantren, itu pun pesantren yang tidak hanya belajar agama tapi juga memberikan ruang besar bagi anak saya menyalurkan kegiatan positif yang menyenangkan.”




**




KEDUA, pilih di usia yang tepat. Jika Anda bertanya pada saya, maka jawabanya salah patokannya cuma 1: akil baligh! Bukan hanya baligh lho ya yang ditandai ihtilam (mimpi basah) untuk anak laki-laki atau haidh untuk anak perempuan, tapi juga akil. Akil berkaitan dengan kematangan emosi anak yang akan mempengaruhi kemampuan abstraksi berpikir anak dalam mengambil keputusan.


Idealnya sih jika dilihat dari kematangan emosi, anak perempuan sudah bisa dipesantrenkan SMP, sedangkan anak laki-laki SMA. Hanya saja, rata-rata anak laki-laki balighnya SMP kelas 7-8. Kan gak mungkin masukin boarding di “tengah jalan”. Lalu hasil wawancara dengan sebagian guru-guru yang mengajarkan anak SMA-SMA, jika mau lebih mudah dibentuk dengan pembiasaan-pembiasaan pesantren, anak-anak SMP jauh lebih mudah dibandingkan jika masuk pesantrennya saat SMA. Apalagi, jika kita lihat fenomena pembinaan agama pada anak, yang banyak hilang justru adalah usia-usia remaja SMP. Jika anak-anak SD masih banyak yang mengaji ke masjid atau ikut TPA, jika anak-anak SMA sudah banyak sarana rohis atau berbagai aktivitas da’wah, maka kita jarang sekali menemukan ini pada anak SMP. Pembinaan agama pada anak SMP seolah menjadi hilang begitu saja, kecuali hanya mengandalkan dari asupan pelajaran di sekolah.


Mau SMP atau SMA masing-masing punya pilihan, tapi yang jelas saya tidak setuju, jika anak-anak SD dipesantren jauh dari orangtua. Anak-anak usia segini masih membutuhkan sentuhan fisik dari orangtua, masih membutuhkan kedekatan emosi dengan orangtua. Ingat, kebutuhan emosi anak hanya dapat dipenuhi oleh perlakukan emosional pula. Jika anak-anak SD atau TK sudah pesantren dan lalu dijauhkan dari orangtua, memang ilmu agamanya hebat, keterampilan agamanya hebat, tapi bagaimana dengan perkembangan emosi anak? Apakah ustadz-ustadzah mau memuluk anak ini tiap hari di saat anak ini masih butuh pelukan? Apakah ustadz-ustadzahnya di pesantren mau mendengarkan cerita dan curhatan tiap hari sebaik orangtuanya? Rasulullah yatim piatu sejak kecil, tapi tetap saja ada yang mengasuh beliau secara “privat”. Adalah Halimah, lalu digantikan kakeknya. Kakek meninggal, ada pamannya.





KETIGA, meneruskan yang di rumah, bukan “melemparkan”. Gara-gara anak tidak mandiri, lalu anak dikirim jauh dari orangtua supaya mandiri. Bagi saya, tini tidak tepat. Anak bisa saja ketika di pesantren akhirnya “menderita”. Jika dia tak kuat, bisa saja si anak “kabur” dari pesantren. Agar anak tak “kaget”, beberapa pembiasaan sederhana di rumah harus dilakukan oleh anak sejak dari rumah jauh sebelum anak dikirimkan ke pesantren. Pembiasaan ini dapat dilakukan oleh anak dan dilatih orangtua bahkan sejak anak usia 7 tahun dan harus sudah menetap ketika usia 10 tahun:



1. Membereskan tempat tidur sendiri

2. Memisahkan tempat tidur dengan (pisah kamar dengan saudara lawan jenis dan pisah ranjang dengan saudara yang satu jenis kelamin)

3. Menutup aurat sudah dibiasakan

4. Sholat sudah harus menetap

5. Mencuci peralatan makan sendiri

6. Mengerjakan setidaknya 1 pekerjaan rumah tangga

7. Menyimpan barang yang sudah dipakai pada tempatnya.

8. Mengajarkan anak otonomi mengelola uang

9. Saat usia 10 tahun, sudah diajarkan soal bagaimana menghadapi haidh (perempuan) dan mimpi basah (anak laki-laki).



Jika ada beberapa dari poin di atas belum dapat dilaksanakan di rumah, sebaiknya Anda tidak mengirimkan anak ke pesantren. Jika pengasuhan Anda tepat di rumah, sebenarnya tidak sulit melaksanakan 9 poin di atas. Jika masih kesulitan, sebaiknya Anda memperbaiki diri dulu dengan belajar mencari ilmu pengasuhan.




KEEMPAT, survei! Jauh sebelum pesantren ajak anak-anak merasakan suasana pesantren. Tidak usah nawarin-nawarin segala “nanti kamu di sini ya dek”. Biarkan anak merasakan atmosfernya. Biarkan anak merasakan suasananya. Bawa anak untuk wawancara anak-anak yang lagi mondok disitu. Tentu anak-anak yang betah, jangan yang tidak betah diwawancara. (hehe). Jika perlu menginaplah di pesantren. Jika ada anak tetangga yang pesantren dan lalu kebetulan dia betah di pesantren, saat tetangga nengok, ikutlah ke pesantren.


Setelah itu barulah kita berdiskusi dengan anak tentang apa itu pesantren? Apa yang membedakan pendidikan pesantren dengan yang lainnya. Apa tujuan pesantren dan lain-lain. Jika anak sudah mulai sedikit tertarik, barulah survey pilihan pesantren.




KELIMA, bersiap saat transit di rumah. Maksud saya, saat liburan adalah saat-anak kritis anak pesantren. Banyak orangtua yang tidak siap menghadapi ini yang berakibat pada beberapa fenomena berikut ini:


“Anak saya kalau libur dari pesantren, kerjaannya nonton tv seharian… main game seharian.. nongkrong di mall mulu, ketemuan teman-temannya!” Gawat kan?

“Anak saya kalau di rumah, saya lanjutkan apa yang ada di pesantren!”


Lah ini gimana, anak harus mengulang apa yang sudah terjadi di pesantren. Coba rasakan jadi anak? Lagi liburan kok malah mendapatkan suasana yang sama! Garing bin boring tentunya!

Lah bersenang-senang liburan gak boleh, terus belajar a la pesantren di rumah juga gak boleh. Apa dong yang boleh? Jangan sewot! Saya tidak mengatakan bahwa bersenang-senang liburan tak boleh atau semua yang dilakukan di pesantren itu jgua tidak boleh, yang ingin saya ungkap adalah buat suasana liburan anak dari pesantren ketika di rumah berkesan. Rancang kegiatan atau program dimana anak tetap tak hilang kebiasaan di pesantrennya tapi juga tidak menghilangkan kesan liburannya. Usul saya:



1. Susun “mutabaah yaumiyan” (evaluasi kegiatan ibadah harian) ringan yang minimum, sehingga kebiasaan yang sudah dipupuk di pesantren tidak hilang begitu saja. Jangan memberikan target terlalu tinggi atau sama dengan yang dilakukan pesantren. Ibadah yaumiyan (ibadah harian) seperti: sholat dhuha, sholat malam, murojaah atau tilawah quran tetap dapat dilakukan. Tetapi, kegiatan seperti harus belajar baca kitab, baca buku, yang terstruktur seperti pesantren dapat dihilangkan.

Kegiatan-kegiatan ibadah yaumiyan ringan itu sebagian besar sebaiknya dilakukan pada saat pagi dari subuh sampai sarapan dan dari magrib sampai hendak tidur. Sisanya, biarkan anak melakukan kegiatan yang berbeda dengan yang dia lakukan di pesantren.


2. Susun program liburan dengan kegiatan yang dapat menambah keterampilan hidup anak: Kursus membuat kue, donat, bakso, mie ayam. Kursus berenang, berkuda, memanah, desain grafis, membuat website, atau apapun yang menjadi minat anak. Bahkan mungkin saja kursus table manner. Boleh dengan orangtuanya, boleh juga “outsourcing” ke pihak lain.

Sebaik-baiknya orangtua ikut mendampingi saat melakukan kegiatan ini, jika pilihannya adalah “outsourcing”. Bukan dilepas begitu saja. Mengapa didampingi? Selain manfaat menambah skill hidup anak, kegiatan yang didampingi orangtua juga menambah kebersamaan yang hilang antara orangtua-anak ketika anak di pesantren.


3. Terakhir tentu saja dibuat kegiatan rekreasinya. Tidak hanya liburan berkunjung ke tempat wisata atau nginep di hotel seperti liburan konvesional lainnya, tapi kegiatan lain seperti camping di gunung, mendaki, menjelajah, berjalan kaki, bersepeda, dan lain-lain kegiatan positif lainnya. Tentu lagi-lagi bersama orangtua, bukan disuruh begitu saja.

Saya dapat cerita positif dari beberapa teman yang kerja di perusahaan tambang, yang kerja berbulan-bulan di daerah tambang dan lalu baru diberikan liburan beberapa bulan, mereka efektifkan waktu liburan mereka dengan melakukan kegiatan-kegiatan tadi. Ini juga dapat menjadi referensi positif untuk orangtua yang berpisah dengan anaknya lama karena pesantren.





KEENAM, bersiap dengan kondisi tak terduga. Jika misalnya di tengah jalan anak tidak betah, lihat kondisinya, cerna situasinya, selami perasaan anak. Jika memang harus berhenti, ya berhenti! Meski di tengah jalan. Tak usah malu dengan siapapun.

Prioritas adalah kebutuhan anak bukan perkataan orang lain, bukan pula “sayang” dengan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan. Bahkan saya berkata pada anak-anak saya jika mereka ingin pesantren “jika kamu 1 tahun merasa cukup di pesantren, ya cukup. Sekadar mengalami suasana pesantren 1 tahun, sudah bagus”. Ini jika kondisinya memang misalnya sudah tidak “kuat”, badan kurus kering, stress dan lain-lain.

Tapi saya yakin tiap anak kondisinya beda-beda. Jangan sembarangan memutuskan berhenti hanya karena ketidaknyamanan anak sesaat. Maka saya bilang tadi, teliti lebih mendalam. Ketika masalah sudah terjadi, fokuslah “apa yang harus dilakukan?” bukan terus-terusan mencari jawaban “mengapa terjadi?”. Mengetahui apa yang salah tentu saja penting, tapi berjalan ke belakang harus jauh lebih sedikit dibandingkan berjalan ke depannya. Sebab jalan mundur terlalu banyak itu membuat hidup celaka!





KETUJUH, pilih pesantren yang peduli pengasuhan. Insya Allah sepertinya sebagian besar pesantren memiliki konsep bagus dari segi pengajaran agama. Tapi jarang sekali pesantren yang memiliki konsep yang baik dari segi pengasuhan. Misalnya, tingkah laku anak kan lebih banyak ditentukan ketika anak di luar jam belajar di luar kelas, ketika mereka di kantin, di asrama dll. Tak sedikit yang dijadikan pengasuh asrama adalah justru orang-orang “sisa” di pesantren. Kakak-kakak kelas yang barus lulus SMA atau kuliah, yang bahkan tidak memiliki pengalaman apapun dengan pengasuhan.

Pesantren yang ramah pengasuhan adalah pesantren yang tidak hanya memerhatikan sisi-sisi keterampilan beragama santri juga memerhatikan perkembangan dan kenyamanan emosi dan spiritual anak. Saya sangat salut dan akan memilih pesantren jika mereka memilih pengasuh di asrama yang memiliki skil pengasuhan, memberikan kesempatan santri bertemu orangtua secara periodik, membuat kegiatan terstruktur antara orangtua-anak bersama-sama di pesantren beberapa saat untuk mengakrabkan orangtua-anak, bahkan saya sangat mendukung jika pesantren membolehkan anak “dibawa pulang” orangtua 2 bulan sekali, 1 bulan sekali, atau bahkan 2 pekan sekali. Berikhtiar agar anak “tidak lupa” dengan orangtuanya. 

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact