Minggu, 26 Februari 2017

Kita perlu punya prinsip, tapi jangan memaksa oranglain untuk mengikuti prinsip kita. Carilah sahabat yang satu prinsip, atau pahami prinsip-prinsip mereka. Dan disana, kita akan menemukan semua orang adalah sahabat kita :)
continue reading

Kamis, 23 Februari 2017

Dijamin, Menjamin, Terjamin

Saya selalu suka kisah ini, tentang dijamin; menjamin; jaminan




Suatu hari, Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu.
Tiba-tiba datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka.

Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata :
“Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!”

“Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini !”.

Umar segera bangkit dan berkata :
“Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?”

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata :
“Benar, wahai Amirul Mukminin.”

“Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.”, tukas Umar.

Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya :

“Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, ku ikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera ku cabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini.”

“Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.”, sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.

“Tegakkanlah had Allah atasnya!” timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.

“Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat”, ujarnya.

“Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayahmu”, lanjut Umar.

“Maaf Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala,

“Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa”.

Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata :
“Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah”, ujarnya dengan tegas.

“Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash”.

“Mana bisa begitu?”, ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.

“Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?”, tanya Umar.

“Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin”.
“Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban kaumku bersamaku?”, pemuda lusuh balik bertanya kepada Umar.

“Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji.” kata Umar.

“Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah-lah penjaminku wahai orang-orang beriman”, rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang :
“Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin”.

Ternyata Salman al-Farisi yang berkata.

“Salman?” hardik Umar marah.
“Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini”.

“Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, yaa, Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya”, jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati, Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman, salah satu sahabat Rasulullah S.A.W. yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatan
gan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.

Akhirnya tiba waktunya penqishashan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.

”Itu dia!” teriak Umar.
“Dia datang menepati janjinya!”.

Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.

”Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin..” ujarnya dengan susah payah,
“Tak kukira… urusan kaumku… menyita… banyak… waktu…”.
”Kupacu… tungganganku… tanpa henti, hingga… ia sekarat di gurun… Terpaksa… kutinggalkan… lalu aku berlari dari sana..”

”Demi Allah”, ujar Umar menenanginya dan memberinya minum,

“Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” tanya Umar.

”Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan… di kalangan Muslimin… tak ada lagi ksatria… menepati janji…” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya :
“Lalu kau, Salman, mengapa mau- maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?“

Kemudian Salman menjawab :
” Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”.

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.

”Allahu Akbar!”, Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak.

“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu”.

Semua orang tersentak kaget.

“Kalian…” ujar Umar.
“Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru.

Kemudian dua pemuda menjawab dengan membahana :
”Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya”.

”Allahu Akbar!” teriak hadirin.

Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.



Masya Allah… saya bangga menjadi muslim bersama kita ksatria-ksatria muslim yang memuliakan islam dengan berbagi pesan nasehatnya untuk berada dijalan-Nya :')
continue reading Dijamin, Menjamin, Terjamin

Selasa, 21 Februari 2017

Zona Waktu

Papua 2 jam lebih awal dari Jakarta.Ini tak berarti Jakarta lambat, atau Papua cepat. Keduanya berada pada Zona Waktu-nya masing-masing.


Seseorang menikah dan menunggu 10 tahun untuk memiliki momongan. Ada juga yang memiliki momongan dalam setahun usia pernikahannya.


Seseorang lulus kuliah di usia 22th, tapi menunggu 5 tahun untuk mendapatkan pekerjaan tetap; yang lainnya lulus di usia 27th dan langsung bekerja.


Seseorang menjadi CEO di usia 25th dan meninggal di usia 50th, disaat yang lain menjadi CEO di usia 50th dan hidup hingga usia 90th.


Setiap orang bekerja sesuai "Zona Waktu"-nya masing-masing.


Seseorang bisa mencapai banyak hal dengan kecepatannya masing-masing. Bekerjalah sesuai dengan "Zona Waktu"mu.


Kolegamu, teman-temanmu, adik kelasmu, mungkin "tampak" lebih maju. Mungkin yang lainnya "tampak" berada di belakangmu.


Setiap orang di dunia ini berlari di jalurnya sendiri, dalam waktunya masing-masing. Allah punya rencana berbeda untuk masing-masing orang dan waktu yang berbeda untuk setiap orang.


Obama pensiun dari presiden di usia 55th, dan Donald Trump maju untuk menjadi presiden, di usianya yang ke 70th.


Jangan iri kepada mereka atau mengejeknya... Itu "Zona Waktu" mereka. Kamu pun berada di "Zona Waktu"mu sendiri
Kamu tak terlambat.
Kamu tak lebih cepat.
Kamu sangat tepat waktu. Insya Allah.
Tetaplah kejar keberkahan Allah…, sampai pada muara kebahagiaan di surga-Nya



Seorang teman pernah bilang kepada saya bahwa, "Rezeki kita itu sudah diatur oleh Allah, sudah ditetapkan. Maka kerja usaha kita merupakan bentuk amal kita." Ahhh iya.. tersebab karena rezeki kita sudah ditetapkan dan dijamin oleh Allah, maka makna kerja usaha kita adalah sepenuhnya bentuk ibadah kita kepada Allah. Karena kita tahu bahwa kerja usaha bukan menentukan rezeki kita, maka seharusnya kerja usaha kita dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Allah. Maka hendaknya harus dilakukan sebaik-baiknya. Bismillah :)) semua akan bermain sesuai zona waktunya masing-masing. Jika misalnya Allah sudah menetapkan rezeki kita untuk hari ini adalah 50, tapi entah bagaimana kita mendapatkannya 75, maka entah kapan Allah juga akan mengambil yang 25 lebihnya. Dan sebaliknya... Jika hari ini kita memdapatkan kurang dari yang sudah ditetapkan oleh Allah, entah kapan Allah pasti akan memberikan sisa kekurangannya.

إِنَّ اللَّهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki” (Al-Hajj: 58).
وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki” (Al-Jumu’ah: 11).
continue reading Zona Waktu

Jumat, 17 Februari 2017

Anakmu Mau Dimasukkan ke Pesantren?

Saya banyak menemui teman-teman 'produk' pesantren ketika saya ada pada usia quarter life crisis, Alhamdulillah. Saya yang dasarnya bukan produk pesantren, jadi banyak belajar mengenai pola asuh pesantren berdasarkan dari 'si duta-duta' pesantren itu. Saya banyak manggut-manggutnya ketika melihat teman-teman produk pesantren ini yang semacam 'high quality people' gituh menurut saya -dibandingkan saya yang hanya cengceremen ini. hiks-. Ya walaupun memang ada segelintir yang tidak seperti anggapan saya sebelumnya sih -walaupun presentasenya minim-.

Waktu di kampus, saya pernah menjadi perwakilan mahasiswa untuk menerima salah satu pondok pesantren yang cukup ternama yang sedang melakukan 'ekspedisi'. Mereka sampai ke Undip (dan ke kampus-kampus negeri lainnya) untuk mempresentasikan buah pemikiran mereka serta review dari setiap kampus untuk nantinya akan dibawa ke Australia. Saat itu tema mereka mengenai islam dan hubungan bilateral negara. Sungguh, saat mereka presentasi saya hanya bisa mengatupkan mulut yang sedari tadi menganga dan mata melotot, karena ya masya Allah... mereka presentasi menggunakan bahasa inggris dan bahasa arab. Yang nggak usah ditanya lagi fasihnya macem mana yak. Itu tema yang cukup berat menurut saya yang kala itu duduk di semester 6 (yang berarti udah itungan bangkotan lah ya), sementara mereka merigidkannya dengan sangat baik selaku problem solver yang bahkan saya nggak pernah kepikiran tentang apa yang mereka kemukakan. Anak tahun kedua di sekolah tersebut harus mempunyai project yang nantinya harus dibawa ke luar negeri. Berhubung kala itu yang perempuan dari kampus hanya saya, jadilah saya punya banyak kesempatan untuk ngobrol dengan murid-murid akhwat dan para ustadzah pendampingnya. Ustadzahnya cerita ke saya, kalau angkatan berikutnya akan ke Jepang. Mereka juga memberi saya jilbab dan goodie bag buatan para muridnya. Jadi selain belajar agama, belajar formal, mereka juga dikembangkan jiwa wirausahanya mulai dari membuat produk hingga pemasarannya. Intinya biar kalau mereka keluar dari pesantren, mereka ini jadi 'paket komplit' yang bisa diandalkan oleh masyarakat. Mengenai kesehatan fisiknya juga sangat diperhatikan, dengam adanya olahraga-olahraga yang okeyy (berdasarkan foto-foto yang mereka perlihatkan hehe). Tenaga pengajarnya juga lulusan-lulusan dari universitas di timur tengah dan eropa. Intinya, kalau dulu saya pikir anak pesantren itu "cupu", habis menemui kenyataan di lapangan, semua pemikiran itu hilang. Mereka keren.. bahkan keren bingitsss unch unch unch deh kalo buat saya.

Maka sejak bergaul dengan mereka bertahun-tahun silam, saya jadi berpikir "Seru kali ya kalau generasi-generasi berikutnya di-pondok-in aja". Tapi sebenarnya masih agak ada kebingungan dari saya sih kenapa kok tidak semua anak pesantren yang saya temui itu 'luar biasa' seperti anggapan saya sebelumnya, ada yang.... ya gitu lah.



Qadarullah, pagi ini saya belajar hehe... Ini saya dapatkan dari Auladi Parenting School & Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari Manajement. Yang akhirnya banyak membuka mata saya.. banyak faktor dalam pembentukan anak -eventhough doi anak pesantren ya-. Produk baik harus dihasilkan dari semua yang baik pula sih. Nggak bisa sekonyong-konyong kita kasih anak ke pesantren yang bagus terus kita mau anak kita juga jadi bagus, tapi kitanya sebagai orangtua malah mlempem, ya ngimpi aja. Belibet? iya hiks. 


Ingin punya anak shalih? Yuk jadi orangtua shalih juga hehe. Mendidik generasi, insya Allah meraih ridhlo ilahi kok. Proyek hidup muslimah itu ya kalau bagi saya ada 3: Mar'atus shalihah, Zaujatu muthi'ah, dan Ummul madrasah. Walaupun saya masih merangkak-rangkak untuk mencapai proyek hidup tersebut sih *nangis lagi* *cengeng!!*, makanya saya harus banyak belajar. Mohon doanyahh.

Yaudah langsung dibaca aja isinya, muqadimah di atas, diabaikan saja *nangis di bawah shower kamar mandi*.







Mau masukkan anak ke Boarding School atau Pondok Pesantren?
Yakin kita sebagai orang tua sudah siap? Yakin anak-anak kita sudah siap? 



Boarding school atau pondok, baik berbentuk pesantren maupun sekolah berasrama sangat berbeda dengan umumnya sekolah. Karena itu jika tidak dilakukan persiapan matang, alih-alih malah bermanfaat untuk anak, yang terjadi malah bisa berdampak negatif untuk anak.

Kejadian anak kabur dari pesantren misalnya mungkin pernah Anda dengar seperti cerita berikut ini: "Abah Ihsan, ada temen (domisili jakarta) yang anaknya dimasukkan ke pesantren di bogor (kelas 1smp). Menurut beliau sudah dengan persetujuan anaknya untuk masuk pesantren. Baru 1 hari disana, anaknya tiba-tiba muncul di rumah tanpa pemberitahuan. Ternyata anak tersebut JALAN KAKI. Katanya nggak betah. Si ibu sangat berkehendak anaknya di pesantren setahun saja dulu (sampe mohon-mohon ke anaknya) sementara si anak nggak bergeming. Tetep nggak mau. Si ibu bersikeras mau anaknya di pesantren karena lingkungan rumahnya tidak sehat. Banyak yang MBA (married by accident). Bebas. Si ibu ini untuk masukin anaknya ke pesantren sampai harus berhemat-hemat karena bukan golongan mampu. Mohon pencerahannya abah."


***

Sebenarnya adalah normal jika ada anak mengalami semacam "culture shock" ketika masuk pesantren atau boarding. Hanya saja, ketika disalurkan secara berlebihan, apalagi tidak ditangani dengan baik, dapat membuat repot semuanya.


Betapa tidak, di pesantren anak merasakan ritme kehidupan yang bisa jadi sangat jauh berbeda dibandingkan di rumahnya. Apalagi jika kemudian pengasuhan yang diberikan orangtua di rumah buruk. Anak yang saya sebut generasi "tuan" yang serba dilayani, serba di "service", serba ada, maka terbayang betapa "menderitanya" anak ini. Meski mungkin, pada awalnya karena keinginan anak sendiri pesantren, tetapi ketika anak yang tidak terbiasa mandiri sejak dari rumah lalu masuk pesantren, seiring berjalannya waktu mereka kemudian merasakan ketidaknyamanan ini.

Misalnya, di rumah serba dilayani, di pesantren harus melakukan banyak hal sendiri. Di rumah, terbiasa bangun setelah shubuh, di pesantren harus bangun sebelum shubuh, bahkan lebih awal lagi. Di rumah ambil makanan, ke toilet, langsung "tancap gas", di pesantren harus antri. Di rumah terbiasa sholat, belajar, sendiri, di pesantren harus berjamaah. Dan seterusnya.

Celakanya, "ulah" orangtua ini kemudian malah dibebankan pada pihak lain untuk membetulkannya. “Saya ingin anak saya masuk pesantren di sini biar kelakuannya berubah, biar anak saya jadi lebih mandiri dan bertanggungjawab.”, pernah dengar omongan semacam ini? Jika niat pesantren seperti ini, dengan demikian pesantren berarti tak ubahnya menjadi semacam “bengkel akhlak” untuk memperbaiki anak-anak yang rusak! Orangtua yang berulah, orang lain yang bertanggung jawab. Aneh kan?


Jika niatnya sudah begini, siap saja orangtua menelan kekecewaan. Berapa banyak anak-anak yang “rusak” ini kemudian menjadi betul kembali setelah pesantren? Ada jaminan di pesantren ini anak tak “bertingkah” atau mungkin kabur dari pesantren seperti contoh di awal tulisan ini?


Jika pun anak ini setelah pesantren perilakunya berubah, lalu dia kembali “full” di rumah setelah selesai pendidikan, karena sumber utama perilaku awal anak belum dibetulkan: orangtua, maka bisa saja anak ini kembali ke perilaku buruk semula sebelum anak ini masuk pesantren bukan? Sebab memang yang harus dibenahi paling awal memang pola asuh orangtua yang membuat perilaku negatif anak ini terjadi.


Jangankan “full” di rumah setelah selesai pendidikan pesantren, fenemona yang sering terjadi yang sering dilaporkan kepada saya dari banyak pengelola pesantren adalah, saat anak liburan pun yang hanya beberapa hari, perilaku anak yang sudah positif saat di pesantren termasuk pembiasaan-pembiasaan baik di pesantren hanya beberapa hari malah menjadi “kacau” oleh liburan di rumah yang beberapa hari.


Karena itu, sebelum memutuskan mengirimkan anak ke pondok pesantren, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan orangtua agar tujuan awal mengirimkan anak ke pondok pesantren tidak malah menambah masalah. Beberapa hal yang saya tulis ini saya kemukakan dari hasil pengalaman saya memberikan kelas-kelas pengasuhan di beberapa pesantren, berdialog dengan mudhir (pimpinan) pesantren, me-coaching, beberapa panti asuhan yang berasrama dan tentu saja pengalaman saya ketika dulu waktu remaja mengenyam pendidkan pesantren.




PERTAMA, niat awal harus dibetulkan. Jangan pernah sekali-kali mengirimkan anak ke pondok pesantren karena ingin niat “cuci tangan”. Karena jika niat seperti umumnya tidak akan pernah mencapai tujuan. Jika pun ada yang mencapai tujuan, bagi saya adalah justru sebuah kerugian ketika justru perilaku diri anak berubah lebih baik, tapi kemudian malah tidak memiliki kedekatan hati dengan orangtuanya akibat anak sendiri merasa “dibuang” tadi. Usulan saya, jika anak bermasalah dengan perilakunya, orangtua yang harus merubah perilakunya terlebih dahulu pada anak, sebelum meminta perilaku anaknya berubah.


Jadi niat atau motif seperti apa yang betul? Beberapa contoh ini dapat menjadi referensi untuk “meluruskan” niat kita yang hendak mengirimkan anak ke pesantren. Mungkin bukan motif terbaik, tapi setidaknya motif yang akan disebutkan bagi saya lebih baik setidaknya dibandingkan dengan niat “cuci tangan. Setidaknya Anda bisa saja menambahkan lagi.


“Saya ingin anak saya mendalami ilmu agama lebih banyak lagi dari orang yang lebih kompeten dari saya; Saya juga tetap sebagai orangtua harus belajar, tapi jika ada yang lebih ahli, saya ikhlas anak saya belajar ke yang lebih ahli, meski saya harus berkorban, menahan rindu pada anak”.


“Di pesantren anak saya dapat merasakan suasana budaya pesantren yang tidak akan mereka dapatkan di lingkungan rumah, makan bersama dengan teman-teman, jika dikirim makanan berbagi dengan teman-teman. Budaya hidup sederhana, budaya hidup berbagi dan menerima kekurangan orang lain ketika bersosialisasi.”


“Saya ingin melatih anak saya jauh dari saya, sebab suatu saat mereka akan berpisah dengan saya. Mereka harus merasakan bagaimana rasanya berpisah dengan orangtua, betapa berharganya mereka jika nanti ada di dekat orangtua lagi. Anak-anak saya, saya berikan pilihan untuk berlatih jauh dari orangtua sebelum dewasa: mau SMP atau SMA? Jika anak saya memilih SMP maka SMA tidak usah pesantren, jika dia memilih pesantren SMA maka SMP tidak usah pesantren. Saya tidak ingin anak saya “hidup” 12 tahun saja dengan saya dan lalu setelah itu dilepas pada orang lain sehingga akhirnya anak saya tidak mengenal saya lagi. Tidak boleh ada ketergantungan anak saya kepada orangtuanya berlebihan”.


“Saya single parent, di rumah jika saya bekerja tidak ada yang mengawasi dan menemani. Maka daripada anak saya “tak terawasi” siapapun, lebih baik anak saya belajar di pondok pesantren yang akvitas kesehariannya dapat lebih mudah terawasi dibandingkan saat di rumah tidak ada yang mengawasi.”


“Anak saya ingin jadi ulama, anak saya ingin belajar quran, hadits, bahasa arab, lebih intesif lagi. Anak saya ingin kuliah di timur tengah mengambil jurusan ilmu agama Saya hanya ingin mendukung mereka, maka saya pilihkan pesantren yang memiliki link atau akses ke perguruan tinggi atau universitas di timur tengah atau yang dapat memudahkan jalan ke sana.”


“Lingkungan pergaulan di sekitar rumah saya benar-benar sudah rusak. Saya bisa saja memilih hijrah pindah rumah ke tempat yang lebih aman tapi kondisi ekonomi saya tidak memungkinkan. Di tempat baru pun belum tentu saya dapat memilih tempat yang lebih baik jika kondisi ekonomi saya masih begini”.


“Adalah normal jika anak saya yang remaja butuh lebih banyak aktivitas di luar rumah, melakukan kegiatan-kegiatan yang positif yang akan menyibukkan untuk menyalurkan hasrat/jiwa remajanya. Nah kalaupun misalnya anak saya tinggal di rumah saya tidak pesantren, mereka bakal lebih bayak di luar rumah saat usia remaja. Maka bagi saya lebih positif jika kegiatan di luar rumah itu adalah kegiatan di pesantren yang terawasi. Dibandingkan di mall, di kafe atau di tempat lain yang tidak terawasi. Karena itu saya memilih pesantren, itu pun pesantren yang tidak hanya belajar agama tapi juga memberikan ruang besar bagi anak saya menyalurkan kegiatan positif yang menyenangkan.”




**




KEDUA, pilih di usia yang tepat. Jika Anda bertanya pada saya, maka jawabanya salah patokannya cuma 1: akil baligh! Bukan hanya baligh lho ya yang ditandai ihtilam (mimpi basah) untuk anak laki-laki atau haidh untuk anak perempuan, tapi juga akil. Akil berkaitan dengan kematangan emosi anak yang akan mempengaruhi kemampuan abstraksi berpikir anak dalam mengambil keputusan.


Idealnya sih jika dilihat dari kematangan emosi, anak perempuan sudah bisa dipesantrenkan SMP, sedangkan anak laki-laki SMA. Hanya saja, rata-rata anak laki-laki balighnya SMP kelas 7-8. Kan gak mungkin masukin boarding di “tengah jalan”. Lalu hasil wawancara dengan sebagian guru-guru yang mengajarkan anak SMA-SMA, jika mau lebih mudah dibentuk dengan pembiasaan-pembiasaan pesantren, anak-anak SMP jauh lebih mudah dibandingkan jika masuk pesantrennya saat SMA. Apalagi, jika kita lihat fenomena pembinaan agama pada anak, yang banyak hilang justru adalah usia-usia remaja SMP. Jika anak-anak SD masih banyak yang mengaji ke masjid atau ikut TPA, jika anak-anak SMA sudah banyak sarana rohis atau berbagai aktivitas da’wah, maka kita jarang sekali menemukan ini pada anak SMP. Pembinaan agama pada anak SMP seolah menjadi hilang begitu saja, kecuali hanya mengandalkan dari asupan pelajaran di sekolah.


Mau SMP atau SMA masing-masing punya pilihan, tapi yang jelas saya tidak setuju, jika anak-anak SD dipesantren jauh dari orangtua. Anak-anak usia segini masih membutuhkan sentuhan fisik dari orangtua, masih membutuhkan kedekatan emosi dengan orangtua. Ingat, kebutuhan emosi anak hanya dapat dipenuhi oleh perlakukan emosional pula. Jika anak-anak SD atau TK sudah pesantren dan lalu dijauhkan dari orangtua, memang ilmu agamanya hebat, keterampilan agamanya hebat, tapi bagaimana dengan perkembangan emosi anak? Apakah ustadz-ustadzah mau memuluk anak ini tiap hari di saat anak ini masih butuh pelukan? Apakah ustadz-ustadzahnya di pesantren mau mendengarkan cerita dan curhatan tiap hari sebaik orangtuanya? Rasulullah yatim piatu sejak kecil, tapi tetap saja ada yang mengasuh beliau secara “privat”. Adalah Halimah, lalu digantikan kakeknya. Kakek meninggal, ada pamannya.





KETIGA, meneruskan yang di rumah, bukan “melemparkan”. Gara-gara anak tidak mandiri, lalu anak dikirim jauh dari orangtua supaya mandiri. Bagi saya, tini tidak tepat. Anak bisa saja ketika di pesantren akhirnya “menderita”. Jika dia tak kuat, bisa saja si anak “kabur” dari pesantren. Agar anak tak “kaget”, beberapa pembiasaan sederhana di rumah harus dilakukan oleh anak sejak dari rumah jauh sebelum anak dikirimkan ke pesantren. Pembiasaan ini dapat dilakukan oleh anak dan dilatih orangtua bahkan sejak anak usia 7 tahun dan harus sudah menetap ketika usia 10 tahun:



1. Membereskan tempat tidur sendiri

2. Memisahkan tempat tidur dengan (pisah kamar dengan saudara lawan jenis dan pisah ranjang dengan saudara yang satu jenis kelamin)

3. Menutup aurat sudah dibiasakan

4. Sholat sudah harus menetap

5. Mencuci peralatan makan sendiri

6. Mengerjakan setidaknya 1 pekerjaan rumah tangga

7. Menyimpan barang yang sudah dipakai pada tempatnya.

8. Mengajarkan anak otonomi mengelola uang

9. Saat usia 10 tahun, sudah diajarkan soal bagaimana menghadapi haidh (perempuan) dan mimpi basah (anak laki-laki).



Jika ada beberapa dari poin di atas belum dapat dilaksanakan di rumah, sebaiknya Anda tidak mengirimkan anak ke pesantren. Jika pengasuhan Anda tepat di rumah, sebenarnya tidak sulit melaksanakan 9 poin di atas. Jika masih kesulitan, sebaiknya Anda memperbaiki diri dulu dengan belajar mencari ilmu pengasuhan.




KEEMPAT, survei! Jauh sebelum pesantren ajak anak-anak merasakan suasana pesantren. Tidak usah nawarin-nawarin segala “nanti kamu di sini ya dek”. Biarkan anak merasakan atmosfernya. Biarkan anak merasakan suasananya. Bawa anak untuk wawancara anak-anak yang lagi mondok disitu. Tentu anak-anak yang betah, jangan yang tidak betah diwawancara. (hehe). Jika perlu menginaplah di pesantren. Jika ada anak tetangga yang pesantren dan lalu kebetulan dia betah di pesantren, saat tetangga nengok, ikutlah ke pesantren.


Setelah itu barulah kita berdiskusi dengan anak tentang apa itu pesantren? Apa yang membedakan pendidikan pesantren dengan yang lainnya. Apa tujuan pesantren dan lain-lain. Jika anak sudah mulai sedikit tertarik, barulah survey pilihan pesantren.




KELIMA, bersiap saat transit di rumah. Maksud saya, saat liburan adalah saat-anak kritis anak pesantren. Banyak orangtua yang tidak siap menghadapi ini yang berakibat pada beberapa fenomena berikut ini:


“Anak saya kalau libur dari pesantren, kerjaannya nonton tv seharian… main game seharian.. nongkrong di mall mulu, ketemuan teman-temannya!” Gawat kan?

“Anak saya kalau di rumah, saya lanjutkan apa yang ada di pesantren!”


Lah ini gimana, anak harus mengulang apa yang sudah terjadi di pesantren. Coba rasakan jadi anak? Lagi liburan kok malah mendapatkan suasana yang sama! Garing bin boring tentunya!

Lah bersenang-senang liburan gak boleh, terus belajar a la pesantren di rumah juga gak boleh. Apa dong yang boleh? Jangan sewot! Saya tidak mengatakan bahwa bersenang-senang liburan tak boleh atau semua yang dilakukan di pesantren itu jgua tidak boleh, yang ingin saya ungkap adalah buat suasana liburan anak dari pesantren ketika di rumah berkesan. Rancang kegiatan atau program dimana anak tetap tak hilang kebiasaan di pesantrennya tapi juga tidak menghilangkan kesan liburannya. Usul saya:



1. Susun “mutabaah yaumiyan” (evaluasi kegiatan ibadah harian) ringan yang minimum, sehingga kebiasaan yang sudah dipupuk di pesantren tidak hilang begitu saja. Jangan memberikan target terlalu tinggi atau sama dengan yang dilakukan pesantren. Ibadah yaumiyan (ibadah harian) seperti: sholat dhuha, sholat malam, murojaah atau tilawah quran tetap dapat dilakukan. Tetapi, kegiatan seperti harus belajar baca kitab, baca buku, yang terstruktur seperti pesantren dapat dihilangkan.

Kegiatan-kegiatan ibadah yaumiyan ringan itu sebagian besar sebaiknya dilakukan pada saat pagi dari subuh sampai sarapan dan dari magrib sampai hendak tidur. Sisanya, biarkan anak melakukan kegiatan yang berbeda dengan yang dia lakukan di pesantren.


2. Susun program liburan dengan kegiatan yang dapat menambah keterampilan hidup anak: Kursus membuat kue, donat, bakso, mie ayam. Kursus berenang, berkuda, memanah, desain grafis, membuat website, atau apapun yang menjadi minat anak. Bahkan mungkin saja kursus table manner. Boleh dengan orangtuanya, boleh juga “outsourcing” ke pihak lain.

Sebaik-baiknya orangtua ikut mendampingi saat melakukan kegiatan ini, jika pilihannya adalah “outsourcing”. Bukan dilepas begitu saja. Mengapa didampingi? Selain manfaat menambah skill hidup anak, kegiatan yang didampingi orangtua juga menambah kebersamaan yang hilang antara orangtua-anak ketika anak di pesantren.


3. Terakhir tentu saja dibuat kegiatan rekreasinya. Tidak hanya liburan berkunjung ke tempat wisata atau nginep di hotel seperti liburan konvesional lainnya, tapi kegiatan lain seperti camping di gunung, mendaki, menjelajah, berjalan kaki, bersepeda, dan lain-lain kegiatan positif lainnya. Tentu lagi-lagi bersama orangtua, bukan disuruh begitu saja.

Saya dapat cerita positif dari beberapa teman yang kerja di perusahaan tambang, yang kerja berbulan-bulan di daerah tambang dan lalu baru diberikan liburan beberapa bulan, mereka efektifkan waktu liburan mereka dengan melakukan kegiatan-kegiatan tadi. Ini juga dapat menjadi referensi positif untuk orangtua yang berpisah dengan anaknya lama karena pesantren.





KEENAM, bersiap dengan kondisi tak terduga. Jika misalnya di tengah jalan anak tidak betah, lihat kondisinya, cerna situasinya, selami perasaan anak. Jika memang harus berhenti, ya berhenti! Meski di tengah jalan. Tak usah malu dengan siapapun.

Prioritas adalah kebutuhan anak bukan perkataan orang lain, bukan pula “sayang” dengan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan. Bahkan saya berkata pada anak-anak saya jika mereka ingin pesantren “jika kamu 1 tahun merasa cukup di pesantren, ya cukup. Sekadar mengalami suasana pesantren 1 tahun, sudah bagus”. Ini jika kondisinya memang misalnya sudah tidak “kuat”, badan kurus kering, stress dan lain-lain.

Tapi saya yakin tiap anak kondisinya beda-beda. Jangan sembarangan memutuskan berhenti hanya karena ketidaknyamanan anak sesaat. Maka saya bilang tadi, teliti lebih mendalam. Ketika masalah sudah terjadi, fokuslah “apa yang harus dilakukan?” bukan terus-terusan mencari jawaban “mengapa terjadi?”. Mengetahui apa yang salah tentu saja penting, tapi berjalan ke belakang harus jauh lebih sedikit dibandingkan berjalan ke depannya. Sebab jalan mundur terlalu banyak itu membuat hidup celaka!





KETUJUH, pilih pesantren yang peduli pengasuhan. Insya Allah sepertinya sebagian besar pesantren memiliki konsep bagus dari segi pengajaran agama. Tapi jarang sekali pesantren yang memiliki konsep yang baik dari segi pengasuhan. Misalnya, tingkah laku anak kan lebih banyak ditentukan ketika anak di luar jam belajar di luar kelas, ketika mereka di kantin, di asrama dll. Tak sedikit yang dijadikan pengasuh asrama adalah justru orang-orang “sisa” di pesantren. Kakak-kakak kelas yang barus lulus SMA atau kuliah, yang bahkan tidak memiliki pengalaman apapun dengan pengasuhan.

Pesantren yang ramah pengasuhan adalah pesantren yang tidak hanya memerhatikan sisi-sisi keterampilan beragama santri juga memerhatikan perkembangan dan kenyamanan emosi dan spiritual anak. Saya sangat salut dan akan memilih pesantren jika mereka memilih pengasuh di asrama yang memiliki skil pengasuhan, memberikan kesempatan santri bertemu orangtua secara periodik, membuat kegiatan terstruktur antara orangtua-anak bersama-sama di pesantren beberapa saat untuk mengakrabkan orangtua-anak, bahkan saya sangat mendukung jika pesantren membolehkan anak “dibawa pulang” orangtua 2 bulan sekali, 1 bulan sekali, atau bahkan 2 pekan sekali. Berikhtiar agar anak “tidak lupa” dengan orangtuanya. 
continue reading Anakmu Mau Dimasukkan ke Pesantren?

Belajar dari Perang Uhud

Apa yang pertama kali terlintas dipikiran ketika mendengar Perang Uhud? 
Kekalahan kaum Muslimin? Syahidnya Hamzah bin Abdul Muthalib, sang singa Allah, yang hatinya dimakan oleh Hindun? Atau yang lainnya?

Sungguh kekalahan disebabkan banyaknya konflik internal kaum muslimin sendiri. Abdullah bin Ubay bin Salul, sosok munafik yang menarik mundur sepertiga pasukan muslim saat musuh sudah di depan mata. Tersebarnya kabar dusta akan syahidnya Rasulullah menyebabkan merosotnya ghirah semangat muslimin saat perang tengah berkecamuk. Puncaknya adalah ketika pasukan pemanah turun ingin memperebutkan ghanimah sehingga melupakan strategi perang yang telah Rasul tetapkan bahwa pasukan pemanah, apapun yang terjadi, tidak boleh berpindah tempat sedikitpun dari atas bukit
.
Ada banyak hikmah dari perang Uhud, tapi yang coba dikorelasikan dengan kondisi umat Muslim di Indonesia saat ini ada dua; mengerjakan apa yang dilarang oleh Allah-Rasulnya dan orang munafik yang lebih berbahaya dari musuh sekalipun
Miris melihatnya, yang lebih membuat miris adalah bahkan negeri ini tak menyadari bahwa kondisinya sedang “tidak baik-baik saja”. Kita sedang berada pada zaman dimana jari lebih cepat daripada otak, berita yang terupdate setiap harinya bahkan dalam hitungan detik, membuat telinga dan nurani ini kebal, “ah sudah biasa”
.
Apakah para pemimpin itu tidak menyadari bahwa bila ada satu saja rakyatnya di negeri ini yang merasa terdzalimi maka kelak di akhirat akan dimintai pertanggung jawaban? Apakah rakyat negeri ini tidak memahami bahwa jika ingin mendapatkan pemimpin yang adil maka perbaiki dulu diri mereka sendiri, sebab pemimpin adalah cerminan rakyatnya? Apakah kesemrawutan yang ada tidak cukup untuk menjadi alasan kita semua kembali pada hukum serta perintah Allah dan RasulNya? Apakah negeri sudah terbiasa dengan sifat-sifat munafik (dusta-tidak menepati janji-tidak amanah)? Na'udzubillah tsumma na'udzubillah....

Semoga Allah senantiasa membersihkan hati-hati kita, membuat kita meyadari bahwa "jangan selalu merasa pihak kita paling benar dan pihak seberang pasti salah. Kebenaran hanya menjadi benar setelah dibuktikan."

Supaya dengan begitu, kita menjadi orang-orang yang memperbaiki diri terlebih dahulu sebelum meminta yang lain memperbaiki dirinya, menjadi yang 'meraba' diri sendiri terlebih dulu sebelum mengarahkan telunjuk pada yang lainnya.
continue reading Belajar dari Perang Uhud

Minggu, 12 Februari 2017

Menjadi Penawar

Beberapa waktu lalu saya terlibat obrolan dengan seseorang, mengenai 2 hal berlawanan yang selalu datangnya bersamaan. Mengkhawatirkan bagaimana jika pekerjaan kita itu sebenarnya hasil dari penderitaan orang lain. Misalnya tukang tambal ban yak... Lhah kalau kita jadi tukang tambal ban, berarti harus ada orang yang kesusahan dulu dengan bannya yang bocor baru kita bisa dapat rezeki.



Terus pada suatu saat saya pernah diundang untuk sharing, waktu itu ada salah seorang yang nanya “Mbak, kenapa penyakit malas selalu ada?” tanyanya.

Lalu saya jawab, “Untuk menciptakan lapangan pekerjaan buat orang-orang yang rajin. Ada motivator, ada delivery service, ada laundry, ada jasa pembuatan ijazah palsu, dll.” *Astagfirullah!!! Jagalah perempuan satu ini dari lisannya ya Allah. Hiks* *yakali gue tau siapa yang pertama kali mencetuskan penyakit malas. Hiks*


Lhoh, iya nggak sih? Jawaban saya bener kann, iya kan? *siap-siap pisau untuk yang berani jawab engga*. Yang saya pahami bahwa, sesungguhnya segala sesuatu Allah jadikan berpasang-pasangan, meliputi dua hal yang berbeda namun berhubungan dan dua hal yang berbeda namun berlawanan. Bingung ya? Sama hehe. Maka dari itu ada yang berlawanan seperti awal dan akhir, hidup dan mati, dunia dan akhirat, nyata dan ghaib, laki-laki dan perempuan, ruh dan jasad, otak dan hati, tangan kaki telinga mata kanan dan kiri. Lalu ada yang berhubungan seperti ilmu dan pengetahuan, iman dan taqwa, akhlaq dan sifat.

Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. QS. Al-A’raaf : 026.


Allah pasti mendatangkan ‘sakit’ dan ‘penawarnya’. Jadi semoga kita menjadi salah satu penawar itu, ya. Semoga ketika menjadi tukang tambal ban pun, bukan menjadi tukang tambal ban yang doanya “Ya Allah hamba mohon rezeki, semoga banyak yang datang kesini karena bannya bocor.” Hehe jangan... Kita ubah doa kita bermula dari niat kita ya.. mungkin bisa “Ya Allah, semoga pekerjaan dan ilmu hamba dapat menolong orang lain yang membutuhkan, meringankan kesusahannya, menghapus kesedihannya.” Begitu?



Jadi sini, ban siapa yang mau ditambal? *senyum bidadari sambil kedip-kedip*
continue reading Menjadi Penawar

Kamis, 09 Februari 2017

rauufun bil'ibaad

Kadang tanpa kita sadari, dewasa ini, bahwa berhala itu ada 2 macam. Yaitu berhala “hardware” dan berhala “software”. Wihhh apaan tuh? *pakai gaya Komeng mengedipkan sebelah matanya*.


Berhala hardware misalnya uang, sementara berhala software misalnya ikhtiar kita sendiri. Tanpa sadar kita sering menggantungkan harapan dan kesuksesan duniawi pada kedua hal tersebut: uang dan ikhtiar.


Allah menyuruh kita berikhtiar semaksimal mungkin demi takdir yang ingin kita jemput. Tapi Allah tak menyuruh kita untuk menuhankan ikhtiar. Seakan-akan kesuksesan kita hanya ditentukan oleh ikhtiar dan jumlah uang yang kita miliki. Mungkin itu semua sudah membuat kita silau, tapi apakah Allah perlu mematikan semua cahaya tersebut agar kita sadar bahwa hanya cahayaNya yang abadi? Kan naudzubillah yak, jangan sampe.


Ingat, kita dulu pun hanya ruh yang membutuhkan jasad. Berubah menjadi zigot yang membutuhkan rahim. Juga bayi yang membutuhkan kasih cinta ibunya. Kita mendapatkan itu semua karena apa? Karena saat itu... harapan kita satu-satunya hanyalah pada Allah SWT.





Tapi, bukan berarti karena hal tersebut jadi sekonyong-konyong alakadarnya doang ikhtiarnya kita. Engga. Kan “SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENGUBAH NASIB SUATU KAUM KECUALI KAUM ITU SENDIRI YANG MENGUBAH APA APA YANG PADA DIRI MEREKA ” QS 13:11. Kan juga "PAHALAMU SESUAI KADAR LELAHMU". Cuma kita harus ingat, doa itu penting. Yang mendominasi lebih dari 50% keberhasilan kita itu ya atas ridhoNya Allah makanya keberhasilan itu bisa sampai di tangan kita. 


Kun fayakun!!! Dan hal yang awalnya seperti tak mungkin bagi kita, mudah di tangan Allah. Kita harus berhati-hati betul, jangan sampai menuhankan ikhtiar kita, bahwa sekalinya ada ganjalan pada jalan ikhtiar kita, kita langsung limbung tak tentu arah, jadi lupa janji-janji Allah. Sambil gerak (ikhtiar), doa aja terus... semoga dilapangkan hati kita untuk menerima setiap ketentuan (terbaik) menurut Allah.





Untuk semua yang sedang memperjuangkan (apapun),
Selamat berdoa dan berusaha, ya!! ^^ Ingat Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.
continue reading rauufun bil'ibaad

Selasa, 07 Februari 2017

Passion

Di dunia ini ada orang-orang yang masih mencari passionnya apa.
Ada yang sudah tahu tapi harus mengambil jalan memutar dulu sebelum dia bisa kembali jadi dirinya sendiri.
Ada yang nggak peduli passionnya apa selama dia bisa hidup mapan.
Bahkan orang yang sudah hidup sesuai passionnya pun kadang masih harus berurusan dengan hal-hal yang "nggak dia bangettt".
It's ok. Dan memang begitulah hidup *elus-elus kumis sambil angguk-angguk*.
Meskipun kita sedang menjalani hidup yang tidak sesuai passion, hidup kita tetap bisa berarti, produktif, bermanfaat buat orang lain, atau bahkan menorehkn pencapaian. Sunnatullahnya insya Allah sama. Man jadda wa jada.
Meskipun begitu, hidup sesuai passion tetap pantas diperjuangkan sih *based on my opinion, yha*. Karena emang (kayaknya) asik sih menekuni passion itu. Energinya berasa nggak habis-habis. Tapi sementara kita menjalani proses menuju ke passion kita, yang nggak kalah penting adalah menjaga supaya hidup ini tetap berarti, produktif, beramal soleh, serta berguna bagi nusa, bangsa & agama (sesuai doa yang dipanjatkan orang-orang waktu ada bayi baru lahir hehe). Karena di hari penghisaban hal-hal itulah yang akan menjadi bekal kita di akhirat nanti. Kan tujuan hidup di dunia itu, betul? 😉



Ini obrolan sama seseorang tadi malem, gara-gara dia abis cerita tentang salah seorang kenalannya dan passion.
continue reading Passion

Minggu, 05 Februari 2017

5th Anniversary

­tulisan ini untuk kalian, saudara bukan sedarah; keluarga bukan serumah. Akan banyak kata manis dan romantis, jadi hati-hati.




Sebagian orang menghabiskan waktunya untuk menciptakan kenangan, sebagian yang lain sibuk mencari jalan untuk lepas dari bayang-bayang kenangan.

Sebagian orang memilih untuk melupakan, dimana sebagian yang lain memilih untuk dilupakan.

Sebagian orang menjalani hidup bersama masa lalu, dan sebagian yang lain memilih untuk hidup hanya demi masa depan.

Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan kita?

Tidak ada pilhan yang paling benar dan paling salah, karena belakangan yang saya temukan, bahwa hidup bukan tentang memilih pilihan yang paling benar, tapi bagaimana bertanggung jawab atas pilihan tersebut terlepas dari benar atau salah. Itu pula yang saya dan mungkin sebagian teman lainnya alami di awal perjalanan kami di kampus rakyat ini. Tidak peduli fakultas warna apa yang sempat menjadi mimpi masing-masing dari kami sekitar lima tahun lalu, kenyataannya, disengaja atau tidak, fakultas biru (telur asin) inilah yang sudah kami pilih, dan kami harus bertanggungjawab untuk menjalaninya dengan baik, sampai akhir.

Beberapa memilih untuk menyerah dan berhenti, tapi kami tidak, bukan karena kami jauh lebih baik dari mereka, bukan… lagi-lagi setiap orang bebas memilih ingin bertanggung jawab pada pilihan mana, dan kami memilih untuk berada disini.

Tahun pertama berlalu dan kami bukan lagi mahasiswa-mahasiswa yang cukup lucu untuk berkata, “maaf pak, saya masih perlu remed” atau “maaf bu, deadline-nya boleh diperpanjang?”, atau yang paling klasik, “maaf semua, saya kesiangan”, belum lagi ‘hajaran’ dari para senior untuk bonding kami. Waktu mulai banyak mengintervensi pilihan-pilihan kami. Jika sebelumnya suara hati memonopoli pertimbangan pengambilan keputusan, kini semua lebih rumit dengan kehadiran waktu. Kami berlomba, meski kami tahu waktu selalu menang dan sampai lebih awal. Mungkin itulah yang akhirnya membuat sebagian orang mencoba berbuat curang, memanipulasi, atau bahkan menciptakan konspirasi (bukan yahudi).

Tapi disinilah kami belajar, bukan lagi soal bertanggung jawab, karena ternyata sekedar mengerjakan dan menyelesaikan itu mudah, bagian tersulit adalah menghasilkan yang terbaik di saat waktu terasa tidak akan pernah cukup.

Mimpi-mimpi kami mulai berubah, ada yang lebih optimis, namun tak jarang pula yang justru pesimis dan memilih untuk menyerah pada nasib. Di tahun ketigalah semuanya mulai menjadi genderang yang ditabuh kencang. Alarm bagi kami yang masih berleha-leha, masih senang mencicipi aktivitas nomaden dari satu tempat nongkrong ke tempat nongkrong lain, atau bagi kami yang masih menjadikan pembelaan rakyat sebagai pembenaran untuk nilai IP yang melesat turun. 

Tapi begitulah kami. Hari ini kami belajar di kelas, diskusi, berdebat, karena kami tahu otak kami sebelumnya kosong. Besoknya, kami berkumpul di warung kopi, bercengkrama (beruntung tidak diracun) lalu bersentuhan dengan dunia malam (buah dari asistensi laporan), karena kami tahu pengalaman kami sebelumnya nol. Lantas esok harinya lagi kami berdemo, turun ke jalan, diciduk polisi atau sekedar tawaf di bundaran kampus (ada yang lebih kerennya lagi, bundaran HI), karena kami tahu hati nurani kami tidak boleh pernah hilang.

Sekali lagi kami belajar, kali ini bukan tentang tanggung jawab dan menjadi yang terbaik, tapi tentang bagaimana menjadi kami yang bermanfaat. Semua celah kesempatan kami jalani, segala bentuk aktivitas kami coba, dan berbagai tawaran singgah kami terima. Bukan karena kami tidak punya tujuan, tapi kami harus menemukan jalan termudah untuk mencapainya.

Kami mungkin tersesat dan hilang, oleh karenanya kami menyimpan nama baik almamater ini untuk menjaga jalan kami tetap pada koridor-koridor yang baik, karena kami tidak ingin mengecewakan siapa pun, apalagi bapak dan ibu yang telah mendidik kami disini, di rumah kami, kampus yang kami cintai ini.


Di tahun terakhir tentu hidup kami semakin kompleks, kami berhadapan dengan masa depan di pintu yang sangat terbuka lebar. Arus globalisasi, kemudahan hidup akibat kemajuan teknologi, gelombang modernisasi, dan dunia yang semakin tercampur baur karena jarak bukan lagi hambatan, memaksa kami untuk segera bersiap. Masyarakat ekonomi ASEAN membuka mata kami kalau persaingan bebas bukan lagi mitos. Kini, kompetitor kami bukan lagi teman sekelas, satu angkatan, atau teman dari kampus sebelah. Kini kami bersaing dengan negara-negara tetangga, atau bahkan mungkin, tidak lama lagi kami akan bertarung pada pertempuran yang lebih sulit. Ketika dunia melipat, dan orang dari belahan dunia manapun akan terlihat sama.

Apakah kami takut? Ya, mungkin…kalau tidak ingin dikatakan pasti. Namun satu hal yang kami ambil dari masa kuliah ini, bahwa persaingan manapun tidak hanya meninggalkan yang menang dan yang kalah, tapi sejarah atas kemenangan itu sendiri. Semua orang boleh lupa tentang kapan dan dimana kita menang, tapi tidak ada yang boleh lupa bagaimana cara kita menang. Dan inilah yang terakhir kami pelajari di bangku kuliah ini, bahwa proses akan selalu lebih penting, dan ia tidak pernah menghianati hasil. Dan bahwa suatu kemenangan sudah atau akan kami capai suatu saat nanti, kami bersyukur dan berbangga karena kami menjalani prosesnya disini, di kampus yang kita banggakan. Dan sungguh itu anugerah yang tidak diturunkan pada setiap orang.
Untuk kalian, saudara bukan sedarah; keluarga bukan serumah, tentang hari ini ketika kita tersenyum di persimpangan jalan, dimana kita akan terpisah di masing-masing arahnya. Terima kasih untuk serangkaian kenangan yang kita simpan dalam setiap buku, pesta, dan cinta… karena pada akhirnya saya ingin menjawab pertanyaan saya sendiri di awal tadi, saya tidak memilih untuk menghapus kenangan karena saya yang akan menciptakannya, saya tidak memilih untuk dilupakan karena saya juga tidak hendak melupakan, dan saya tidak menaruh kalian di masa lalu, karena saya melihatnya di masa depan. Selamat untuk hari jadi kita dan sampai bertemu untuk keberhasilan yang lebih besar pada saatnya nanti.


Betewe betewe tulisan ini telat launching wakakak... Fluorescence anniversary tanggal 21 Januari *bussettt lama banget telatnya*, yah maafkan akika ya. Jari akika mules, perut akika pegal kemarin-kemarin. Walau begitu, cinta akika sampai ke kalian insya Allah nggak telat. Muach!!!

foto semester 1 akhir nih. Sebelum 'lahir'nya Fluorescence

continue reading 5th Anniversary

Sabtu, 04 Februari 2017

Kamis, 02 Februari 2017

Allah begitu Dekat

Kali ini saya mau berbagi cerita yang sedikit serius *jadi selama ini??*.Ehem uhuk, begini.. *benerin jilbab*. Saya sering mendengar dan membaca cerita tentang keajaiban Al-Qur’an. Baca dari artikel, dengar langsung dari teman, bahkan tak jarang mengalaminya sendiri. Saya percaya, tidak perlu jadi orang sholeh dulu untuk merasakan keajaiban ini, yang diperlukan hanyalah hati yang terbuka menerima kebenaran. *tsah! Saya juga yakin, anda semuanyah, suatu saat pernah kan, sedang mengalami sesuatu, kemudian membuka Al-Qur’an secara random, membaca terjemahannya. Dan jleb! Persis seperti yang sedang anda rasakan. Tuhan, Dia Yang Maha Tahu itu menjawab langsung untuk Anda melalui kalam-Nya.

Salah satu yang paling saya ingat, ketika saya akan mengikuti UAS jaman dahulu kala tanpa persiapan yang matang. Sebelum ujian saya minta didoakan pada siapa saja yang saya temui di jalan dan saya kenal agar UAS saya dapat nilai yang bagus *freak*. Dan beberapa saat setelah itu, saya membuka Al-Qur’an, dengan random, tepat pada terjemahan Q.S An Najm:39, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,”. Maka tepat saat itu, saat Tuhan rasanya betul-betul dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher, siapa yang tidak akan menitikkan air mata? Hiks Kebetulankah?Yang jelas, saya sungguh-sungguh percaya, sehelai daun yang gugur pun tidak akan pernah gugur kecuali telah ditetapkan demikian untuknya.

Nah, dari beberapa hari yang lalu saya sedang hobi menggalau kepikiran negeri ini *sok iye*. Bagi saya, Indonesia seperti kapal yang siap karam, yang nahkodanya pusing tujuh keliling, terdapat disorientasi perjuangan yaitu perjuangan saling 'habis-menghabisi rezim'. Banyak penumpang dengan sadar atau tak sadar pelan-pelan melobangi kapal, ada penumpang yang melarang, namun lebih banyak yang tidak peduli,  dan yang tidak habis pikir, ada yang melarang penumpang yang melarang penumpang lain melobangi kapal. Walau saya masih optimis beberapa penumpang masih berusaha menambal lubang. *Saya yang mana ya? Huaaaa*

Intinya, Indonesia memiliki segala macam alasan untuk Allah menurunkan azab. Saya yakin, anda lebih lancar merepeat soal masalah Indonesia daripada sekedar mengingat teks Pancasila. Karena itu semua, saya jadi teringat kisah kaum-kaum terdahulu yang Allah murka pada mereka, Allah datangkan azab dan Allah lenyapkan mereka dari muka bumi. Saya jadi begitu takut, apalagi sebatas ingatan saya, agaknya Indonesia sedang hobi-hobinya dilanda bencana (dalam artian denotasi pun konotasi).

Allah mendatangkan air bah mahadahsyat pada kaum Nuh. Menyapu seluruh manusia ingkar yang tak mau menerima kebenaran, dan hanya menyisakan beberapa orang yang beriman dalam bahtera Nuh. Allah membinasakan kaum nabi Hud (Aad) dan kaum nabi Shaleh (Tsamud) pula karena kesombonganya, perabadan mereka yang tinggi, bangunan-bangunan mereka yang megah sama sekali tak mampu menyelamatkan mereka dari murka Allah. Allah juga meratakan dengan tanah penduduk Madyan, kaum nabi Syu’aib, karena ulah culas mereka merubah-rubah takaran dan mengikuti pemimpin mereka yang zalim.  Allah menjungkirbalikkan kaum Luth  (Sodom) yang menyalahi fitrah dan menenggelamkan fir’aun yang lalim beserta bala tentaranya dalam Bahr Al Ahmar.

Saking kepikiran tentang kaum-kaum ini,  saya sempat googling untuk merefresh ingatan lama dengan beberapa keyword seperti , “Mada’in Shaleh” dan “Petra” untuk mengecek peninggalan kaum Aad dan Tsamud, mencari tahu hubungan Kaum Luth dengan Laut Mati, juga tentang “Pompeii” dan “Vesuvius”nya,  membaca artikel yang mengklaim penemuan sisa-sisa bahtera Nuh, kereta Fir’aun, dan lain-lainnya.

Dan, coba tebak? Tepat kemarin, mengikuti jadwal harian, saya tilawah juz 12. Berbeda dari biasanya, tak ada angin tak ada hujan, saya saat itu tergoda luar biasa untuk membaca terjemahan juz 12. Jujur saja, sebelumnya saya hampir tidak pernah langsung baca terjemahan jika sedang tidak ada keperluan. Hiks. Dan taukah? jika dulu pernah Allah menjawab kegalauan saya dalam 1 ayat. Kali ini Allah bercerita pada saya hampir 1 juz penuh! Juz 12 T-E-P-A-T bercerita tentang kaum-kaum terdahulu yang Allah binasakan. Persis. Runtun. Aaaaah, Allaah, rasanya Allah begitu dekat, lebih dekat daripada urat leher huks
continue reading Allah begitu Dekat

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact