Selasa, 29 November 2016

Diuji Nasehat Sendiri


"Menasehati bukan berarti kita sudah sepenuhnya benar atau dosa kita lebih sedikit dari yang kita nasehati. Menasehati adalah cermin sekaligus pengingat bagi kita, sudahkah kita melaksanakan nasehat tersebut." dari, Saya (yang tidak semanis di foto dan tidak sebijak di tulisan) *ngekkk*


Tidak aneh jika saya melihat antusiasme seekor kucing atau seorang anak manusia yang pertama kali diperkenalkan hal baru yang menarik perhatiannya. Adik saya pernah punya kucing yang antusias ketika diberikan bola pantul. Dan saya juga punya keponakan yang antusias dengan mainan kodok bersuara jika ia ditekan — sampai akhirnya mereka semua bosan memainkannya…

Betapa saya antusias ketika mulai dikenalkan pada lingkungan baru. Saya pernah berada dalam posisi itu, posisi dimana saya mengekpresikan pengetahuan yang saya dapat dalam semua media sosial yang saya punya. Saya ingat saya pernah sesemangat itu. Menjaga idealis sampai saya sendiri tidak percaya bisa seidealis itu. Saya pernah ada di fase sesemangat itu. Dan saya selalu suka itu —ingin kembali.

Realitas akhirnya jauh lebih menyebalkan dari apa yang dibayangkan. Kata-kata mutiara dan idealisme itu akhirnya harus berhadapan dengan kedigdayaan sebuah kenyataan. Apa yang pernah tertuliskan dalam dunia maya haruslah menemui ujian pembuktiannya di kehidupan nyata. Sayangnya, terkadang apa yang kita tulis dan nasehatkan tidak sejalan dengan apa yang kita lakukan. Ini seperti memakan lidah sendiri. Banyak yang jatuh karenanya.


Iya, idealisme dalam nasihat dan tulisan seringkali harus menemui pemberatnya. Akhirnya saya memutuskan berkontemplasi dan menemukan bagaimana ‘saya hari ini’. Saya merindukan semangat yang dulu ketika awal saya mengenal lingkungan ini. Semangat menggebu dalam mencari ilmu dan mencari kawan seperjalanan. Saya menemukan fakta bahwa semangat itu ternyata bisa melemah. Sama seperti kucing dan keponakan saya terhadap mainannya.

Melihat kawan yang baru mengenal lingkungan ini dengan -tentu saja- semangat menggebunya itu membuat saya tersenyum simpul. Ah, saya tahu betapa bahagianya perasaan itu. “Menemukan.” Ya, kata itulah yang mewakili keadaan ini. Mungkin sama seperti Thomas Alfa Edison saat menemukan lampu bohlam, perasaan menemukan tujuan hidup baru itu memang membahagiakan.

Hanya saja.. semangat mencari dan berbagi dalam nasihat dan tulisan itu bisa saja melemah frekuensinya. Sejalan dengan fakta bahwa diri kita bisa jadi tidak seindah tulisan kita. Atau akhir hidup kita tidak sebijak nasihat-nasihat kita. Itu alasan saya kurang menyukai buku biografi orang yang masih hidup, karena bisa jadi akhirnya ia menjadi orang yang bahkan tidak boleh dicontoh —meskipun pengalaman hidupnya harus kita jadikan inspirasi—. Kita tidak pernah tahu.

Saya pernah menghadapi kata-kata dengan realita. Merasa malu karena menasehati orang lain tapi ketika dihadapkan pada posisi yang sama, saya pun tidak bisa sebijak nasehat tersebut. Saya bertengkar dengan jiwa sendiri, antara idealisme dan realitas…
…dan akhirnya saya tahu, idealisme yang dipupuk dahulu adalah penjaga saya dalam menghadapi realitas. Sama seperti ilmu yang menjaga amal. Percis.

Saya selalu senang melihat orang dengan idealisme (positif) barunya. Gaya islamis yang mereka sebarkan, petuah yang mereka sampaikan, terkadang menjadi pecutan bahwa saya bukan apa-apa dan wajib terus semangat mencari ilmu. Saya benci keadaan ketika saya merasa puas dengan apa yang saya ketahui. Saya benci ketika saya terus-terusan melihat ke bawah bukan untuk bersyukur melainkan untuk bersombong diri, dan saya benci ketika saya sering melihat ke atas bukan untuk memotivasi diri melainkan untuk menambah rasa minder diri. Saya bukan malaikat, terus terang saya sering terjebak dalam kondisi demikian.

Belajar dari pengalaman, ternyata yang dibutuhkan oleh seseorang yang sedang menderita penyakit demikian bukanlah nasehat, “ya kamu harus bersihkan hati, ayo semangat lagi, kamu gak boleh kaya gitu, gak baik. Allah berfirman xxxxxx, Rasulullah bersabda yyyyyyy”. Bukan, bukan dengan itu, karena pada dasarnya -kebanyakan- orang sudah tau ilmunya. Yang dibutuhkan mereka adalah doa agar Allah tidak berlama lama membiarkan mereka menderita penyakit ini. Penyakit melemahnya semangat dalam kebaikan. Agar Allah segera memberi tamparan agar tersadar lewat jalanNya yang tiada terduga. Serta dengan menjadi contoh agar kami malu pada diri kami, bahwa seharusnya kami pun bisa seperti itu.

Wallahualam.
continue reading Diuji Nasehat Sendiri

Senin, 21 November 2016

Catcall dan Dilema Muslimah

Jadi, akhir pekan lalu saya menghadiri acara seorang teman di Semarang. Sepulang dari acara tersebut, saya mampir dulu ke rumah seorang teman yang lain sambil menunggu dijemput oleh seorang adik... yah maklum hidupnya numpang-numpang begini di Semarang hiks. Berhubung yang mengantar kami -saya dan teman saya yang rumahnya akan jadi persinggahan sementara hingga saya dijemput seorang adik- kesulitan untuk memutar balik kendaraan, jadilah kami turun di depan gang dan melanjutkan perjalanan ke rumah teman saya dengan berjalan kaki. Mmm tidak jauh sih... hanya sekitar 300 meter.

Teman saya mulai mempercepat langkahnya ketika melewati toko air galon. "Mas-mas pegawai toko ini lho Mon, nggak bejaji *ini bahasa Semarang(?)* aja sok-sok goda-godain." Ucap teman saya tiba-tiba dengan wajah bersungut-sungut.
Dan binggo!!! benar, disitu banyak masteng-masteng (read: mas mas tengil) yang mulai berisik, bahasa kerennya sih catcall. 
Saya memang terbiasa memakai masker kemanapun saya pergi, entah itu berjalan kaki, naik kendaraan pribadi, naik kendaraan umum... sebisa mungkin saya memakai maker. Kenapa? Biar nggak kotor wajahnya terus nggak jerawatan *Astagfirullah!!! digebukin malaikat habis ini*. Nggak sih, saya merasa lebih terjaga dengan tidak menampakkan wajah saya. Mungkin, ini cara bisa kalian pakai, girls *mulaiiii provokatif*. Yaaa gimana ya.. kaum kita ini harus pinter-pinter jaga diri. Yang ditutup rapat aja masih membuka celah masteng-masteng ya, apalagi yang engga :)


catcall
Pronunciation: /ˈkatkɔːl/

A loud whistle or a comment of a sexual nature made by a man to a passing woman. –oxforddictionaries.com

Ya catcall kalau ditranslasikan ke Bahasa Indonesia semacam ‘digodain abang-abang di jalan.” *maaf ngarang*. Nah salah satu hal yang ambigu dan menjadi bahan pikiran saya ialah saat ada mas-mas atau bapak-bapak yang saat ada perempuan seperti saya (baca: berkerudung) lewat, langsung bilang “Assalamualaikum Neng.” Nah loh, salam harusnya di jawab kan ya? Jawab salam dalam hati boleh kan ya? Duh bingung, phone a friend boleh? Atau 50:50 deh nggak apa-apa. #dikira who wants to be a millionaire.
Ya kalau catcall nya "Halo", "suit-suit", dsb sih tindakan kita sebagai seorang muslimah lebih gampang yak, tinggal lempar masteng nya pakai batu segede gaban *jangannn.. ini salah satu contoh kriminal*. Nah kalau yang dipakai catcall ini salam itu lhoh...

Sementara ada beberapa asumsi di pikiran saya mengenai mas-mas pelaku catcall “Assalamualaikum Neng” ini:
Satu: Iseng, ganjen, genit, nggak bisa lihat perempuan lewat dikit.
Dua: Perempuan yang lewat cantik, eh kebetulan pakai hijab, ya sapa dikitlah.
Tiga: Masya Allah, jilbabnya rapi. Jadi pingin bilang “Assalamualaikum Beijing” *lah?
Empat: Mas nya sebenarnya bukan catcall tapi lagi social experiment kekinian untuk mengucapkan salam.
Lima: Mas nya terlalu religius hingga menjalankan sunnah mengucapkan salam bahkan kepada orang tak dikenal, kebetulan wajahnya emang tengil.

Nah tuh, banyak kan asumsinya? Atau kamu ada asumsi lainnya? Share atuh di kolom komentar *pfftttt*. Ya sebenarnya bisa saja saya berprasangka baik aja gitu ya, saya anggap aja mas nya terlalu religius seperti poin terakhir. Tapi saya takutnya menjawab salam malah bikin mas-masnya menjadi-jadi. Menjadi rajin mengucapkan “Assalamualaikum Neng” pada ciwi-ciwi yang lewat selanjutnya. Lah, nggak apa-apa sih ya harusnya. Mengucapkan salam kan artinya indah-indah apa gitu.


Dikutip dari muslimah.or.id, berkata sebagian ulama bahwasanya salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah sehingga kalimat ‘Assalaamu ‘alaik’ berarti Allah bersamamu atau dengan kata lain engkau dalam penjagaan Allah. Sebagian lagi berpendapat bahwa makna salam adalah keselamatan sehingga maknanya ‘Keselamatan selalu menyertaimu’. Yang benar, keduanya adalah benar sehingga maknanya semoga Allah bersamamu sehingga keselamatan selalu menyertaimu.

Nah, sweet kan artinya? Setiap memberikan dan menjawab salam seperti menebarkan doa-doa kebaikan di sekeliling kita. *lap air mata #ceritanya terharu. Ada satu kejadian yang cukup membekas di benak saya. Waktu itu sore hari, saya cukup lelah dan sedang berjalan kaki ke arah rumah.

Saya: *jalan kaki, wajah lelah, udah bayangin kamar ber-kipas angin*

Bapak Tak Dikenal: Assalamualaikum! *sambil ngeliatin saya, wajahnya senyum, entah senyum maksudnya apa karena saya hanya lihat dari ekor mata*

Saya: *lempeng, jalan terus*

*beberapa detik berlalu, diiringi backsound desingan kendaraan area pinggir jalan*

Bapak Tak Dikenal: Waalaikumussalam…Neng. *suaranya agak teriak dan buru-buru, entah doi kaget karena saya nggak jawab atau kenapa.

Saya: *tetap lempeng*

Saat itu sebenarnya saya nggak tega nggak jawab salam Bapaknya. Saya jawab sih dalam hati gitu. Tapi sampai Bapak Tak Dikenal jawab sendiri kan kayaknya sesuatu gitu. Jangan-Jangan Bapaknya berniat baik lagi? Duh Gusti, jangan jadikan ini dosa saya. Aamiin.

Biasanya sih saya kalau ada yang catcall cuek. Kecuali jika saya yakin mas-mas atau bapak-bapak yang mengucapkan salam berwajah tulus (apa coba indikator wajah tulus? Ya kek wajahnya Tulus yang nyayi “mereka panggil aku gajah” itu #ngaco), biasanya saya jawab salamnya tanpa melihat ke arah mereka dengan keadaan wajah saya nggak tersenyum dan nggak cemberut, ya semacam wajah serius menghadapi hidup #apasih.

Nah kalau menurut kamu, kalau akika di “Assalamualaikum Neng”, akika harus apa?
continue reading Catcall dan Dilema Muslimah

Pujian

Adik saya pernah bercerita kalau hal yang paling disukai manusia itu bukanlah uang, melainkan pujian. 



Lho kok gitu?



Katanya, ini dia dapat dari seorang ustad. Beliau menjelaskan pernyataan ini dengan sebuah analogi yang lucu, menurut saya-yang kurang lebih seperti ini, "Manusia itu lebih suka pujian daripada uang. Buktinya kalau dikasih uang palsu mereka akan marah, sementara kalau dikasih pujian palsu mereka seneng-seneng aja. Coba aja istri yang udah keriput, pas dipuji sama suaminya dengan bilang makin cantik, dia pasti akan seneng banget. Padahal kan makin tua kecantikan juga makin menurun." Saya jadi ingat obrolan dengan teman soal manusia yang sepertinya kok tidak siap ya sama yang namanya pujian? Entah itu memuji atau dipuji. 


Coba deh, kalau dipikir-pikir lagi kita (atau saya aja ya) pasti sering enggan untuk memberikan pujian tulus ke orang lain saat orang tersebut ada di depan kita. Justru kita lebih mudah memujinya jika dia berada di belakang atau tidak di dekat kita. 



Begitu pun sebaliknya, kadang kita juga tidak siap menerima pujian orang lain. Seringnya saat ada orang lain yang melempar pujian untuk kita (mis: jilbab lo bagus juga, atau lo cantik banget hari ini), entah kenapa kita malah meresponnya dengan kata-kata, "ah bisa aja lo", "ckck, masak sih? ", " ckck pasti ada maunya deh", "cantikan lo kok" dll. Daripada mengucapkan "terima kasih", "alhamdulillah", "atau" syukurlah". Jadi bingung, sebenernya manusia itu beneran seneng sama pujian atau nggak ya? (nanya ke diri sendiri sebagai salah satu manusia yang dimaksud dalam tulisan ini).
continue reading Pujian

Jumat, 18 November 2016

Kamis, 17 November 2016

Wanita Istimewa

Ada macam wanita yang rawan untuk membuat kita kepayahan. Wanita yang membuat kita kepayahan bukan dari awal pertemuan mata kita pada wajah dan fisiknya, tapi kepayahan itu muncul pada diri kita setelah kita mulai mengenalnya jauh lebih dalam.
Dia tidak selalu berkulit putih, mulus, atau secantik gadis-gadis yang senyumnya manis seperti kenalan-kenalan kita. Tapi, ketika kita mendengarkannya bicara, menyimak isi kepalanya. Kita bisa terpana oleh caranya yang membumi dalam menyampaikan pemikirannya yang selangit, caranya menampilkan dirinya yang anggun tapi tegas, yang luar biasanya masih bisa menyesuaikan diri dengan orang dari berbagai golongan tanpa perlu kehilangan dirinya sendiri, serta caranya tersenyum; mengangguk-angguk; memandang lekat-lekat tiap kali ada orang yang tengah bercerita padanya tentang apaaa saja. Meski cerita tersebut dia butuhkan atau tidak, dia tetap menghargainya, dia menjadikan kita dan cerita kita seperti segalanya.
Yang tanpa kutipan-kutipan kata mutiara, tapi kita tahu. Selalu tahu. Dan akan selalu tahu...

Bahwa hatinya cantik. Bahwa isi kepalanya menawan.
Iya, yang begitu, yang membuat kepayahan. Istimewa...
continue reading Wanita Istimewa

Menangisnya Perempuan

Mungkin alay jika saya menulis postingan panjang seperti ini, tapi ya sudah, kalau sudah cinta, apapun akan saya lakukan.

Namanya Nuke, saya mengenalnya sejak nama kami tertulis di web penerimaan mahasiswa di suatu jurusan yang sama di kampus yang ada di Semarang. Menjadi lebih dekat setelah saya merantau meninggalkan kampung halaman untuk berkuliah. Lalu apa pentingnya si Nuke ini hingga saya menulis tentangnya? Artis bukan, politisi bukan, pesulap apalagi. Tak ada alasan lain kecuali karena Nuke adalah salah satu orang paling baik yang pernah saya kenal seumur hidup.

Sewaktu masih kuliah, Nuke sering berkunjung dan menunggu jam pelajaran selanjutnya di kosan saya. Kami saling curhat, saling menasehati, saling memuji, saling menertawakan. Nuke adalah orang yang sama, baik di depan maupun di belakang saya.
Kalau berkunjung, Nuke tidak pernah berkomentar sinis tentang kamar saya yang to much paper and book *ini bahasa lain dari: berantakan*, too good to be true, dia tidak sungkan-sungkan membereskannya. Tidak hanya sekali. Hampir setiap kali. Lalu saya akan memasang tampang ambigu antara senang dan menyesal kenapa Nuke tidak datang tiap hari. Nuke yang baik tidak menunjukkan ekspresi muak mendengar saya yang selalu beralasan bahwa kamar yang berantakan akan meningkatkan kecerdasan karena melatih otak mengingat pola-pola yang tak beraturan (?) Nuke biasanya hanya memasang tampang ngenes seolah bertanya "kau wanita macam apa sih?"

Nuke juga pernah datang jauh-jauh dari rumahnya di Semarang bawah ke Tembalang hanya karena saya sedang sakit perut, dia datang lengkap dengan minyak kayu putih dan makanan masakan ibunya, rendang padang... dia dan ibunya tahu saya sangat menyukai makanan itu. Mereka berharap saya tidak makan sembarangan lagi ketika ada makanan kesukaan saya :’) manis ya. Waktu itu kami masih tingkat 1, berhubung seangkatan saya hanya sebatang kara kuliah di kampus X, di Semarang saya tidak punya siapa-siapa yang bisa direpotkan. Maka saat saya sakit, Nuke datang seperti malaikat. Untungnya bukan malaikat maut.

Persahabatan kami tidak selalu berjalan mulus hehe. Kadang saling kesal, kadang saling jauh, kadang punya teman lain. Tapi ya, kami selalu kembali pada masing-masing dari kami...

Saya kesal karena Nuke yang baik hatinya mudah sekali kagum dengan siapapun dan apapun, yang hal itu berpotensi membuat hatinya patah. Saya hanya tidak ingin ada yang mematahkan hatinya yang begitu baik.
Nuke kesal dan menjauh dari saya karena dia pikir, saya mulai berubah menjadi teramat tidak peduli dan mendzolimi diri saya sendiri ketika pundak saya ditumpahi oleh banyak sekali beban.
Ketika semua orang bertanya kepada saya tentang hari lahir Nuke -karena mereka pikir saya adalah sahabat terdekatnya- saya sendiri malahan lupa. Lalu saya mendatanginya, tergopoh-gopoh, “Barakallah fii umrik” saya ucapkan yang entah sudah berapa lama telatnya, dan dia tersenyum lalu bilang “Makan yuk.. aku traktir. Kamu sih sibuk mulu, kan jadi kemarin nggak bisa ikut traktiran dari aku.” Ya ampun, Nuke *terharu*. “AYUK!!” *teteeppp makan mah hajarrr*.
Bahkan ketika saya didaulat untuk menjadi ‘bapak’, orang yang pertama kali saya pinang untuk menjadi ‘ibu’ adalah Nuke.

Saya belum menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkan seberapa positifnya Nuke, perhatian, pengertian, jujur, bersahaja, tidak banyak mengeluh, tidak banyak meminta, penyayang, serta tidak malas mandi kayak saya. Intinya, Nuke memenuhi semua kriteria yang apabila saya laki-laki, saya akan langsung menikahinya.

Inilah salah satu yang saya tidak suka dari waktu, dari perjalanan hidup. Ia kadang mengubah apa-apa yang sebenarnya tak perlu diubah. Perasaan kita pada seseorang misalnya. Saat saya masih diperjalan akan ke rumahnya, hp saya sudah berisik dengan chatt nya. “Nanti sampai jam berapa?”, “Dijemput siapa?”, “Disitu hujan?”. “Payungnya jangan lupa!”, “Pakai jaket kan?”, “Aku belum mandi, Mon.” *ini infro yang tidak seharusnya dipaparkan*, “Hati-hati lho ya” dan “Mon, besok.. aku mau nangis ajaaa.”. Dia berisik, ya. Huks. Tapi ya, saya cinta!
Di hari pernikahannya, saya datang, dia melihat mata saya merah berkaca-kaca. Bukan, saya bukan tipe yang suka cuci muka pakai beling, saya menangis untuknya. Lalu kami menangis bersama. Saya takut, jika sejak hari itu rasanya dia menjauh, saya kehilangan, kami selalu berkomunikasi dengan kikuk, saya sungkan menghubungi dia yang sudah berkeluarga. Iya saya takut ini itu.
Sambil berbaring menatap langit-langit kamarnya yang sudah dihiasi bunga-bunga, kami terdiam. Lalu saya mengawali pembicaraan...
“Time flies so fast, isn’t it? Kemarin kayaknya kita baru ketemu saat daftar ulang maba setelah sekian lama chatting doang. Eh, besok kamu udah jadi istri orang ajah.”
“Ahhh basi-basi!!!. Tidur buruan.” Kata Nuke, sambil berjalan ke arah pintu dan mematikan lampu kamar kami. Gelap.
Mungkin itu alibinya, dia hanya tidak ingin air matanya terlihat oleh saya *pede gilak!*.

Menangis adalah salah satu cara perempuan memberi penghargaan untuk orang yang ia sayangi. Saya menyayangi Nuke seperti Nuke menyayangi kebersihan dan kerapian. Saya bahagia menjadi teman Nuke, dan Nuke harus tau ini.
Semoga Nuke menjadi bagian orang-orang yang hatinya selalu berbahagia, sampai kapanpun, dimanapun.
Hari ini, dia akan pergi ke pulau seberang, mengikuti suaminya. Dan hati saya rasanya nggak karuan haha.
Ken, sekarang kamu sudah menjadi layang-layang, yang terbangnya sudah ada yang mengarahkan J



Yogyakarta, 18 November 2016
continue reading Menangisnya Perempuan

Senin, 14 November 2016

Beda Bentuk "Tunda"

Ada perbedaan besar dan mendasar dari dua bentuk menunda. 
Pertama, menunda sesuatu karena takut. 
Kedua, menunda sesuatu karena berencana.


Tunda jenis pertama menunjukkan kelemahan diri, ketidakpercayaan akan rencana-rencana baik Tuhan dan self insecurity. Penundaan jenis ini tidak menghasilkan apa-apa selain tidak berkembangnya diri sama sekali. Seperti ketika kita menunda untuk melanjutkan sekolah lagi hanya karena takut kehilangan pekerjaan yang saat ini sudah didapat, padahal kita sendiri yakin bahwa rejeki sudah ada yang mengatur. Iya, kita hanya takut saja. Takut yang tak beralasan. Jika kita berada dalam posisi ini, kita harus sesegera sadar dan menghadapi ketakutan diri sendiri. Temui banyak orang dan minta nasihat. Terkadang, zona nyaman itu membelenggu tanpa disadari. Banyak-banyaklah berdiskusi dan dengarkan kisah-kisah baik mereka. Dari sana, kita akan sadar betapa ketakutan kita tidak ada gunanya.

Tunda jenis kedua menunjukkan kekuatan diri. Kekuatan untuk mengukur kemampuan, percaya pada kelemahan sekaligus kelebihan diri sendiri, mampu menentukan apa yang dibutuhkan serta berapa banyak waktu yang hendak dihabiskan. Penundaan jenis ini mungkin akan sedikit memakan waktu, tapi yakinlah bahwa ia lebih baik daripada tidak melakukan sesuatu, daripada gegabah, daripada nekat, daripada tidak memandang jauh ke depan. Jika kita berada dalam posisi ini, kita harus sesegera sadar bahwa lamanya waktu dan panjangnya proses tentu membutuhkan porsi kesabaran yang besar. Temui Tuhan dan mintalah dikuatkan. Sebab tanpa melibatkanNya, kita tidak akan mungkin mengalahkan kelemahan-kelemahan diri kita yang muncul selama perjalanannya juga terbolak-baliknya hati karena banyak peristiwa.

Menunda itu tidak berdosa, meski konsekwensinya adalah terkesan tertinggal dari yang lain. Menunda itu tidak salah asalkan kita tidak serta merta menyerah. Menunda itu tidak apa-apa asalkan kita siap menerima segala risikonya.

Benar bahwa semua hal-hal baik sebaiknya disegerakan. Namun, jika toh harus menunda, semoga kita termasuk orang yang menunda karena berencana, sambil terus berdoa semoga dimampukan untuk meraih cita-cita, segera.



Masih di Yogyakarta, 6 Agustus 2016. -Khoiriya-
continue reading Beda Bentuk "Tunda"

Selasa, 08 November 2016

Menunggu tak Se-Membosankan Itu

“Patience is not the ability to wait. Waiting is a fact of life. Patience is the ability to keep a good attitude while waiting” (Joyce Meyers)
Sebelumnya, saya adalah orang yang kesal saat diminta menunggu, mengutuk-kutuk sekuat tenaga orang-orang yang membuat saya menunggu... hingga... akhirnya... saya disuruh Allah menunggu juga hehe. Kalau sama Allah, saya tidak berani. Dari fase ini saya belajar sesuatu.. tidak terlalu membenci atau menyukai sesuatu secara berlebihan, atau tinggal tunggu waktunya saja kamu akan didekatkan dengan hal yang justru kamu benci atau dijauhkan dari hal yang kamu suka. Seperti saya, didekatkan Allah dengan fase-fase menunggu seperti sekarang ini.
Hmm.. Setiap orang pasti pernah mengalami masa menunggu. Mulai dari menunggu yang simpel seperti menunggu antrian, menunggu bus atau kereta datang, hingga menunggu jodoh datang (cie cieee…). Ada begitu banyak catatan deretan tunggu yang kita lakukan dalam hidup.
Yang baru lulus kuliah, kita menunggu datangnya panggilan kerja.
Yang ingin melanjutkan sekolah ke universitas ternama, menunggu keputusan diterima, atau mungkin menunggu keputusan beasiswa, atau bahkan keduanya.
Yang masih single, menunggu ajakan ke KUA.
Yang sudah menikah, menunggu kedatangan buah hati pertama.
Dan seterusnya...
Begitupun saat kita menunggu terkabulnya setiap bait-bait doa dari lisan yang meminta. Entah kecukupan rezeki, sekolah di tempat yang kita inginkan, anak yang shalih dan shalihah, diberi kesembuhan penyakit, kelapangan berhaji menuju rumah-Nya yang mulia, membahagiakan orang tua, dan seterusnya, dan seterusnya…
Bukan, bukan masalah menunggunya... Karena ia adalah sesuatu yang pasti dan memang harus dijalani. Namun, yang harus digarisbawahi adalah attitude kita saat menunggu, apakah diiringi ragu dan gerutu, atau tetap bersabar meyakini rezeki dari-Nya tidak akan tertukar. Maka untukmu yang masih terjatuh dalam ragu, marilah kita mengingat kembali kisah keluarga Imran yang mulia. Dengan kesabarannya menunggu Allah mengabulkan doa akan seorang anak yang didamba. Marilah kita sama-sama berkaca kepada Nabi Zakaria. Yang di usia rentanya tak berputus asa terhadap Rabb-Nya yang Sempurna. Dan teringatlah kita dengan kukuhnya taqwa, saat beliau menegaskan dalam pinta, “Sungguh aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu duhai Rabb-ku”. Begitu tunduk khusyuk menyelami makna seorang hamba.
Sejauh manakah iman kita mampu menempa sabar, saat doa masih Allah tangguhkan dan belum jelas terlihat jawaban. Sejauh manakah kita mampu berbaik sangka akan kebesaran-Nya, tatkala usaha dan penantian kita belum membuahkan hasil yang nyata. Sejauh manakah kita mampu mempertahankan taqwa, saat derasnya cobaan dari-Nya terus mengalir mengisi masa. Maka ingatlah ini duhai diriku…
“Tak perlu lah ku ragu, karena skenario terindah-Nya yang selalu iringi jalan berliku. Seringkali dikabulkan dalam sekejap waktu, sesekali menunggu, sesekali digantikan dengan yang lebih bermutu. Terus begitu… Karena cinta-Nya tak pernah lekang tergilas waktu. Kian membersamai hati-hati syahdu yang begitu yakin akan kebesaran Sang Maha Pemilik Kalbu…”

Syahdu sekali postingan gueee yak hmm... lupakan-lupakan

Seseorang telah memahamkan saya bahwa...
Setiap orang pasti menunggu, tapi ada yang membedakan output dari menunggunya setiap orang. Ada yang menunggunya “menghasilkan” ada juga yang menunggunya “tidak membuahkan”. Bedanya apa? Perbedaannya terletak pada apa yang dikerjakan pada saat menunggu. Ada tipikal orang yang terus bergerak dalam masa penantian, ada pula yang terlarut dalam kesia-siaan.
Maka darinya saya selalu menanamkan bahwa, jadikanlah waktu luang sebagai musuh terbesar! Karena jika tidak kita manfaatkan dalam kebaikan, ia akan menyeret kita kepada kemaksiatan atau seminimal-minimalnya, kepada kesia-siaan. Masih teringat akan kesibukan saya saat di masa SMA dan kuliah. Rasanya tiada hari tanpa agenda. Justru merasa ada yang aneh jika bisa diam atau pulang ke rumah. Hingga ketika saya bekerja seperti sekarang ini pun saya tidak membiarkan diri ini duduk diam. Saya mengambil les bahasa selepas kerja, di akhir pekan menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah yang harus saya selesaikan, ke kajian kadangkala (demiiii ‘kadangkala’ cobaaa. Nggak patut ditiru), menyelesaikan target buku bacaan, mengikuti kegiatan komunitas. Apapun, yang penting jangan sampai diam, karena saya selalu merasa kesal sendiri jika menunggu. Dan binggo!!! Saya baru sadar sekarang, bahwa sebenarnya saya tetaplah sedang menunggu, hanya mengaburkannya saja dengan segala aktivitas yang ada.
Point nya? Marilah kita mengisi penantian kita dengan produktivitas. Yang menunggu panggilan kerja, yuk disambi bantu orang tua, atau sekedar berkontribusi untuk masyarakat sekitar. Yang menunggu kelulusan sarjana, yuk sembari mengukir prestasi dan kebermanfaatan dalam organisasi. Yang masih jadi jomblowan dan jomblowati, yuk terus perbaiki diri, hingga saat sang kekasih hadir menemani, pribadi shalih/ah lah yang kan hiasi diri. Yang menunggu anak-anak besar menjadi shalih/ah, yuk kita terus mengkaji kalam-Nya melalui kajian majelis taklim mingguan atau sekedar kajian online. Intinya mah, marilah kita menunggu, tapi menunggu yang bukan sembarang menunggu, menunggu dengan terus mengukir kebaikan dan melakukan perbaikan seiring waktu. Menunggu yang menjadikan kita semakin dekat dengan keridhoan Rabb yang dituju.


Tulisan ini sebenarnya cambuk bagi saya dari seseorang... bahwa selalu ada hikmah yang Allah beri dalam setiap jeda waktu tunggu, entah kesabaran, menguji keimanan, atau sekedar memberi ruang untuk mengukir amal. Bukankah sering kita rasakan begitu banyaknya kejutan dari Allah di tengah-tengah masa penantian? Maka merunduk syukurlah dalam tunggu dan harapmu. Merenda amal-lah dalam sabarmu. Semoga Allah senantiasa menjaga diri-diri kita dari kelalaian. Semoga hanya rentetan amalan baik yang menghiasi daftar tunggu kita dalam keseharian, ya.
Aaah… bisa dibilang, hidup ini pun sebenarnya menunggu. Menunggu ajal datang dan datangnya hari kebangkitan. Menunggu segala amal perbuatan ditimbang, berharap rahmat-Nya kan mengantar kaki lemah ini menuju surga yang diidamkan.

“Dengan menunggu, Allah hendak mengajarkan kita agar lebih bijaksana terhadap waktu. Maka pertanyaannya, bukan seberapa panjang waktu tunggu, tapi apa yang bisa kita lakukan di ruang tunggu.”

-Saya, yang masih di “ruang tunggu”-


continue reading Menunggu tak Se-Membosankan Itu

Senin, 07 November 2016

Seni Merawat Orang Tua

Maha Besar Allah, yang selalu menjadikan kita semua pembelajar di setiap inci langkah kehidupan. Pun saya amat mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan berupa kepekaan mengambil hikmah dalam setiap kejadian, entah itu momen (yang kelihatan) buruk atau baik.

Saya merasa, beberapa waktu terakhir Allah sedang menampakkan pengajaran kepada saya mengenai -sabar dan “pintar” nya sikap seorang anak yang harus dihadirkan ketika merawat orang tua-. Iya, Dia mengajarkan secara beruntun.... Bermula dari niat saya yang memang ingin belajar mengenai hal tersebut sejak hampir setahun lalu.

Tepatnya bulan Januari tahun ini, ayah saya mengalami serangan stroke. Menurut keterangan dokter, ayah saya mengalami stroke iskemik. Ketika serangan itu terjadi, kebetulan saya sedang recovery karena habis kecelakaan, sehingga full time di rumah dan tahu dari awalnya seperti apa, dan itu adalah kondisi yang saya rasa it most confusing moment. Melihat ayah saya lama-kelamaan mulai kehilangan kesadaran, tampak mengalami gangguan bicara, muntah-muntah, saya hanya bisa menangis, diam terpaku disamping ayah saya, elap-elap keringat ayah saya, apalah-apalah... serasa nggak bisa mikir lagi harus melakukan apa karena panik.

Namun, hal yang berbeda dari saya dilakukan oleh ibu. Saya rasa beliau jauh lebih panik daripada saya, tapi ibu menangani kondisi tersebut dengan sangat cekatan, tanpa menye-menye, nangis-nangis, bla bli bluh macem saya. Dan dokter bilang kecekatan tersebut sangat disyukuri karena dapat membantu ayah saya terhindar dari efek-efek stroke yang familiar seperti kita tahu. Alhamdulillah... Ah, ibu saya kenapa selalu bikin saya ngefans sama dia sih *tepok jidat*.

Lalu setelah kondisi sudah membaik, saya tanya ke ibu saya, “Mi, emangnya nggak panik sedih gitu pas bapak serangan? Kok nggak nangis?” *pertanyaan bodoh*.
“Ya sedih lah. Sedih banget. Takut bapak kenapa-kenapa. Tapi kalau waktunya dihabisin buat nangis dan bingung, keburu yang sakit makin parah. Harus tangguh dan tegar di kondisi-kondisi terhimpit.” Jawab ibu saya. Binggo!!! Saya tersindir telak lah pokoknya. Feeling management saya nilainya minus sepertinya *jedukin kepala ke tembok*

Saya mulai berkontemplasi setelah kejadian itu.
“Iya, gue kan udah gede yak. Kan nanti gue bakal ngerawat orang tua.”
“Orang tua gue kan udah semakin bertambah ya umurnya, gue harus siap sedia akan setiap kondisi ya (walaupun doanya sih tetep sehat wal’afiat aja). Lhah kalo gue nggak tau apa-apa macem begini gimana dong.”
“Ihhh, gue kan perempuan ya. Tugas gue ntar kan salah satunya bakal ngerawat orang tua sama mertua gue ya.”
daannn masih banyak lagi. Hingga saya sampai pada satu kesimpulan, “Allah, hamba pengen belajar ngerawat dan telaten dalam merawat orang tua. Kasih hamba pelajaran ya ya ya.”

Merawat orangtua sepertinya jarang dimention secara detail di kajian-kajian kayaknya ya(?) atau hanya saya mungkin yang tidak tahu. Saya mulai berpikir, dimana gue bisa belajar. Okelah, saya mulai pelajari buku-buku terkait penanganan awal serangan stroke. Ini dulu, karena ini yang diderita ayah saya, jadi saya pikir pertama kali yang perlu saya tahu adalah tentang penyakit ini.

Waktu terus berjalan, hingga saya lulus kuliah, dan sekarang di Jogja.
Dan masya Allah :’) rumah yang saya tinggali sekarang sebagai tempat kost, bukan lah tempat kost. Eh, begini maksudnya... (ceritanya panjang, maka saya ringkas saja, ya) saya berada di rumah sepasang suami istri yang anak pertamanya harus mengurusi usaha keluarga (walaupun masih di Jogja) tapi jarang di rumah dan anak keduanya berada di rantauan. Sang suami mengalami stroke sejak 2 tahun yang lalu, yang menyebabkan terganggunya sistem alat gerak serta kesulitan berbicara. Si ibu juga sakit, tapi bukan stroke, alhamdulillah nya si ibu bisa menjalankan aktivitas secara normal. Mereka merasa kesepian dan butuh ‘teman’, ketika melihat saya kebingungan mencari kost, mereka menawari saya untuk ‘menemani’ mereka hingga saya dapat tempat kost nantinya. Saya terbayang kedua orang tua saya kala itu, mungkin orang tua saya di rumah juga kesepian kali ya saat anak-anaknya merantau seperti ini. Ah, saya sih yakin aja... kalau kita memudahkan urusan orang lain, insya Allah urusan kita akan dipermudah oleh Allah. Mungkin saat saya menemani mereka disini, Allah juga akan mengirim orang untuk menemani orang tua saya di rumah. Saya terimalah tawaran tersebut.

Hingga, pada suatu akhir pekan ketika saya tidur siang, saya mendengar bapak kost saya teriak-teriak. Lalu saya menghampiri beliau, memastikan beliau baik-baik saja. Ternyata eh ternyata ibu kost saya sedang tidak di rumah (mungkin perginya saat saya tidur). Bapak kost saya terus saja berteriak sambil menunjuk arah pintu. Saya coba tutup pintunya, bapak kost saya tambah berteriak, saya buka lagi pintunya, ehhh teriaknya makin keras. Saya hopeless kala itu, apaaa ini maksudnya. Hingga mungkin bapak kost saya teramat kesal dan makin menjadi-jadi teriakannya. Makin diteriakin, saya makin bingung. Ahh saya melihat stop kontak lampu dekat pintu, maka saya coba saja hidupkan. Dannn bapak kost saya mulai berhenti berteriak. Hufttt syukurlah, ternyata lampu, ya. Ini yang saya sebutkan di awal tulisan ‘sabar’. Maka sekarang, saya sudah terbiasa dan agak mengerti jika bapak kost saya menginginkan sesuatu, by experience sih tahunya karena melihat ibu kost saya yang tiap hari merawat bapak. Jadi kalau ibu menitipkan bapak ke saya, saya sudah tidak hopeless lagi seperti dulu.

Cerita selanjutnya, (mohon izin eceu untuk menulis ini). Belum lama ini, saya mendapat kabar dari salah seorang sahabat saya. Mamanya didiagnosis suatu penyakit baru, setelah sebelumnya memang mamanya mengidap suatu penyakit lain sudah sejak beberapa tahun yang lalu. Saya pernah menginap di rumahnya beberapa lama, jadi lumayan mengenal orang tua dan keluarganya. Sahabat saya anak terakhir, dan belum berkeluarga, of course dia banyak menghabiskan waktu dengan orang tuanya. Merawat beliau. Hingga pada suatu ketika, karena kondisi ibunya yang semakin menurun, teman saya mengabarkan kondisi tersebut pada ibunya. Teman saya berpikir, ibunya harus tetap tahu kondisi tubuhnya. Namun hal itu malah menjadikan ibunya down. Setelah itu dia menyadari bahwa tidak semua kondisi bisa disampaikan secara gamblang kepada pasien.
Saya agak kurang bisa memberi istilah yang tepat untuk hal ini. Tapi dari cerita teman saya, kami mengasumsikan bahwa ibunya menjadi teramat ‘parno’ tiap kali beliau mengalami gangguan-gangguan dalam dirinya (yang kecil maupun besar). Luar biasanya teman saya ini, dia selalu mencari-cari cara untuk meyakinkan ibunya bahwa “Mama bakal baik-baik saja. Setelah ini semuanya akan membaik.” Cara-cara yang dia gunakan, butuh pergolakan batin yang sangat tinggi. Selain meyakinkan ibunya, dia harus meyakinkan dirinya pula. Belum lagi memilah-milah mana yang harus menggunakan bantuan tenaga medis, dan mana yang harus dia tangani sendiri untuk perannya sebagai keluarga pasien. Dia berpikir bahwa ibunya harus belajar mengendalikan tubuhnya sendiri dan tidak ketergantungan dengan dokter atau RS.
Maka ini seperti yang saya tulis di awal, bahwa kita pun dituntut untuk “pintar” dalam merawat orang tua.

Hehe, kalau rasanya kita sangat excited membaca buku-buku atau belajar atau ikut seminar ini itu tentang parenting, dengan alasan ingin menyiapkan yang terbaik untuk putra-putri kita di masa depan... saya pikir, kita pun harus memiliki ilmu dan mempersiapkan pula mengenai skill kita untuk merawat orang tua di masa depan.

Terlalu egois rasanya kalau kita terus-menerus memikirkan diri sendiri, hanya membekali diri kita dengan ilmu-ilmu yang nantinya back to our self doang. Orang tua kita beranjak menua, right? Saya yakin tidak ada anak yang menginginkan sesuatu hal yang buruk terjadi pada orang tuanya, pun tidak ada orang tua yang ingin merepotkan anaknya. Di usia matang (harusnya sejak usia yang dulu-dulu sih hehe, tidak harus menunggu matang) seperti ini, cobalah mulai memikirkan orang tua kita J


Semoga Allah selalu memberi keberkahan pada kehidupan orang tua kita, semoga Allah senantiasa menjaga mereka ketika mata dan tangan kita tak sampai untuk menjaga mereka. Semoga kita selalu memiliki sabar dan “pintar” nya sikap seorang anak yang harus dihadirkan ketika merawat orang tua...
continue reading Seni Merawat Orang Tua

Minggu, 06 November 2016

Ya ‘asyiqol Mushthofa

يَاعَاشِقَ الْمُصْطَفٰی 
 اَبْشِرْ بِنَيْلِ الْمُنٰی
قَدْرَاقَ گَأْسُ الصَّفَا 
 وَطَابَ وَفْدُ الْهَنَا
نُوْرُالْجَمَالِ بَدَا 
 مِنْ وَجْهِ شَمْسِ الْهُدٰی
مَنْ فَضْلُهُ عَمَّنَا
طٰهَ الَّذِی بِاللِّقَا 
 قَدْ فَازَ لَمَّا ارْتَقٰی
وَفِی ذُرَی الْإِرْتِقَا 
 مِنْ رَبِّهِ قَدْدَنَا
فَهُوَحَبِيْبُ الْاِرْلٰهْ 
 وَجَاهُهُ خَيْرَجَاهْ
بِقُرْبِهِ قَدْ حَبَاهُ 
 وَخَصَّهُ بِالثَّنَا 
دُوْنَ الْوَرٰی رَبُّنَا

https://www.youtube.com/watch?v=mReZilAYxRg&list=RDmReZilAYxRg&index=1
continue reading Ya ‘asyiqol Mushthofa

Jumat, 04 November 2016

4/11

Astagfirullahal ‘adzim... saya awali tulisan ini dengan memohon ampunan kepada Allah, atas segala dosa saya, atas segala kekurangan ilmu saya, dan kekurangan-kekurangan saya lainnya...


Kejadian hari ini membuat saya berpikir; kita benar-benar harus belajar tentang akhir zaman. Ujian-ujian apa yang ada di masa ini bagi umat. Masa yang dimana menjalankan agama secara kaffah seberat menggenggam bara api. Masa dimana menjadi lurus dianggap aneh sendiri. Masa dimana kita kembali menjadi terasing.


Saya teringat sebuah kisah..

Ketika Nabi Ibrahim AS dibakar oleh Raja Namrud, seekor semut membawa setetes air.
Lalu ada seekor burung melihatnya dan bertanya, "Wahai semut, untuk apa kamu bawa air itu?"
Lalu semut menjawab, "Ini untuk memadamkan api yang membakar kekasih Allah, Nabi Ibrahim AS"
Sang burung pun tertawa terbahak sambil mengatakan, "tak akan berguna air yang kamu bawa itu!"
dengan lantang kemudian semut menjawab lagi, "Aku tahu, tapi dengan ini aku mampu menegaskan di pihak manakah aku berada!"


Ya, di pihak manakah aku berada. Biarlah kecil curahan hati saya ini, tidak berarti, sebagaimana air yang dibawa semut untuk memadamkan api Nabi Ibrahim AS, tapi biarlah, biarlah semoga dengannya kelak menjadi pembela. 


Tidak bisa dipungkiri ada iri saat melihat barisan putih itu aksi di jalan, terlepas masalah fiqih demonstrasi (yang saya tidak ada ilmu tentang itu), saya dapat membayangkan rasanya ada dalam barisan itu; barisan yang saling bergandeng tangan dalam bingkai lillah. 


Bahasa ukhuwah, mungkin tidak mudah dimengerti, sulit didefinisikan dalam kata-kata dunia. Bagaimana mungkin manusia sebanyak itu bisa datang di satu waktu, meninggalkan urusan dunianya, datang dari aneka pelosok negeri, dari aneka kalangan mulai dari ulama, profesional, sampai kaum ibu? Harta semahal apa yang harus digunakan untuk menciptakan yang semacamnya? Semata hanya karena Allah, hanya karena Ia yang mengikat hati mereka.. Dan banyak dari teman saya yang saya kenal pasti diri dan keluarganya adalah orang baik dan peduli dengan perbaikan, turun ke jalan tanpa mengharap imbalan manusia. Di momen itu saya dapat merasakan keindahan ukhuwah, dalamnya rasa persaudaraan, mahalnya rasa bersatu dalam kehambaan.


"dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana." Qs. Al-anfal:63



Cobalah saja, bergabung dengan barisan manapun yang kau suka, asalkan menuju-Nya insya Allah semoga kita akan berjalan dalam iringan yang sama. Kelak ya Rabb, satukanlah kami menuju jannah-Mu..



Di akhir hari, rasa iri itu berganti dengan sedih dan diakhiri dengan renungan syukur.

Kesedihan saya terbesar adalah saat mendapat kabar para ulama terluka. Kesedihan saya terbesar hari ini adalah saat melihat kedatangan para ulama sempat diacuhkan oleh pemimpin.

Wallahu'alam... Saya yang masih minim ilmu dan pembelajaran ini, kadang bertanya dalam hati, “Begitukah seharusnya cara menerima aspirasi rakyat? Lebih jauh lagi, begitukah seharusnya cara menghormati ulama?


Bergetar hati ini saat membaca dan mendengarkan live report dari kawan-kawan yang ikut turun ke jalan. 

Astagfirullah... dan selemah-lemah iman adalah membenci dalam hati..


Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan uang dinar dan tidak juga dirham. Mereka itu hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil peruntungan yang sangat banyak”. (HR Abu Dawud, Shahih)

"Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan." (HR Bukhari)

"Bukan termasuk ummatku, siapa yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda dan mengetahui hak-hak orang alim." (Hr. Ahmad)

Tapi di lain sisi, serasa ada syukur di hati ini, bagaimana Ia membukakan satu per satu peran-peran manusia di dunia. Syukur akan indahnya persatuan dan ukhuwah yang tergambar hari ini. Syukur akan momen yang Ia berikan untuk lebih dalam memikirkan negeri. Syukur atas peringatan untuk menjaga diri di akhir zaman ini.

Ya Rabb lindungilah kami..
Jauhkanlah.. Hindarkanlah.. Bersihkanlah hati ini dari kemunafikan..

Anugerahkanlah kepada kami ya Rahman, pemimpin yang ia mencintai kami, kami mencintainya, dan yang terutama Engkau mencintainya..





continue reading 4/11

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact