Kamis, 17 November 2016

Menangisnya Perempuan

Mungkin alay jika saya menulis postingan panjang seperti ini, tapi ya sudah, kalau sudah cinta, apapun akan saya lakukan.

Namanya Nuke, saya mengenalnya sejak nama kami tertulis di web penerimaan mahasiswa di suatu jurusan yang sama di kampus yang ada di Semarang. Menjadi lebih dekat setelah saya merantau meninggalkan kampung halaman untuk berkuliah. Lalu apa pentingnya si Nuke ini hingga saya menulis tentangnya? Artis bukan, politisi bukan, pesulap apalagi. Tak ada alasan lain kecuali karena Nuke adalah salah satu orang paling baik yang pernah saya kenal seumur hidup.

Sewaktu masih kuliah, Nuke sering berkunjung dan menunggu jam pelajaran selanjutnya di kosan saya. Kami saling curhat, saling menasehati, saling memuji, saling menertawakan. Nuke adalah orang yang sama, baik di depan maupun di belakang saya.
Kalau berkunjung, Nuke tidak pernah berkomentar sinis tentang kamar saya yang to much paper and book *ini bahasa lain dari: berantakan*, too good to be true, dia tidak sungkan-sungkan membereskannya. Tidak hanya sekali. Hampir setiap kali. Lalu saya akan memasang tampang ambigu antara senang dan menyesal kenapa Nuke tidak datang tiap hari. Nuke yang baik tidak menunjukkan ekspresi muak mendengar saya yang selalu beralasan bahwa kamar yang berantakan akan meningkatkan kecerdasan karena melatih otak mengingat pola-pola yang tak beraturan (?) Nuke biasanya hanya memasang tampang ngenes seolah bertanya "kau wanita macam apa sih?"

Nuke juga pernah datang jauh-jauh dari rumahnya di Semarang bawah ke Tembalang hanya karena saya sedang sakit perut, dia datang lengkap dengan minyak kayu putih dan makanan masakan ibunya, rendang padang... dia dan ibunya tahu saya sangat menyukai makanan itu. Mereka berharap saya tidak makan sembarangan lagi ketika ada makanan kesukaan saya :’) manis ya. Waktu itu kami masih tingkat 1, berhubung seangkatan saya hanya sebatang kara kuliah di kampus X, di Semarang saya tidak punya siapa-siapa yang bisa direpotkan. Maka saat saya sakit, Nuke datang seperti malaikat. Untungnya bukan malaikat maut.

Persahabatan kami tidak selalu berjalan mulus hehe. Kadang saling kesal, kadang saling jauh, kadang punya teman lain. Tapi ya, kami selalu kembali pada masing-masing dari kami...

Saya kesal karena Nuke yang baik hatinya mudah sekali kagum dengan siapapun dan apapun, yang hal itu berpotensi membuat hatinya patah. Saya hanya tidak ingin ada yang mematahkan hatinya yang begitu baik.
Nuke kesal dan menjauh dari saya karena dia pikir, saya mulai berubah menjadi teramat tidak peduli dan mendzolimi diri saya sendiri ketika pundak saya ditumpahi oleh banyak sekali beban.
Ketika semua orang bertanya kepada saya tentang hari lahir Nuke -karena mereka pikir saya adalah sahabat terdekatnya- saya sendiri malahan lupa. Lalu saya mendatanginya, tergopoh-gopoh, “Barakallah fii umrik” saya ucapkan yang entah sudah berapa lama telatnya, dan dia tersenyum lalu bilang “Makan yuk.. aku traktir. Kamu sih sibuk mulu, kan jadi kemarin nggak bisa ikut traktiran dari aku.” Ya ampun, Nuke *terharu*. “AYUK!!” *teteeppp makan mah hajarrr*.
Bahkan ketika saya didaulat untuk menjadi ‘bapak’, orang yang pertama kali saya pinang untuk menjadi ‘ibu’ adalah Nuke.

Saya belum menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkan seberapa positifnya Nuke, perhatian, pengertian, jujur, bersahaja, tidak banyak mengeluh, tidak banyak meminta, penyayang, serta tidak malas mandi kayak saya. Intinya, Nuke memenuhi semua kriteria yang apabila saya laki-laki, saya akan langsung menikahinya.

Inilah salah satu yang saya tidak suka dari waktu, dari perjalanan hidup. Ia kadang mengubah apa-apa yang sebenarnya tak perlu diubah. Perasaan kita pada seseorang misalnya. Saat saya masih diperjalan akan ke rumahnya, hp saya sudah berisik dengan chatt nya. “Nanti sampai jam berapa?”, “Dijemput siapa?”, “Disitu hujan?”. “Payungnya jangan lupa!”, “Pakai jaket kan?”, “Aku belum mandi, Mon.” *ini infro yang tidak seharusnya dipaparkan*, “Hati-hati lho ya” dan “Mon, besok.. aku mau nangis ajaaa.”. Dia berisik, ya. Huks. Tapi ya, saya cinta!
Di hari pernikahannya, saya datang, dia melihat mata saya merah berkaca-kaca. Bukan, saya bukan tipe yang suka cuci muka pakai beling, saya menangis untuknya. Lalu kami menangis bersama. Saya takut, jika sejak hari itu rasanya dia menjauh, saya kehilangan, kami selalu berkomunikasi dengan kikuk, saya sungkan menghubungi dia yang sudah berkeluarga. Iya saya takut ini itu.
Sambil berbaring menatap langit-langit kamarnya yang sudah dihiasi bunga-bunga, kami terdiam. Lalu saya mengawali pembicaraan...
“Time flies so fast, isn’t it? Kemarin kayaknya kita baru ketemu saat daftar ulang maba setelah sekian lama chatting doang. Eh, besok kamu udah jadi istri orang ajah.”
“Ahhh basi-basi!!!. Tidur buruan.” Kata Nuke, sambil berjalan ke arah pintu dan mematikan lampu kamar kami. Gelap.
Mungkin itu alibinya, dia hanya tidak ingin air matanya terlihat oleh saya *pede gilak!*.

Menangis adalah salah satu cara perempuan memberi penghargaan untuk orang yang ia sayangi. Saya menyayangi Nuke seperti Nuke menyayangi kebersihan dan kerapian. Saya bahagia menjadi teman Nuke, dan Nuke harus tau ini.
Semoga Nuke menjadi bagian orang-orang yang hatinya selalu berbahagia, sampai kapanpun, dimanapun.
Hari ini, dia akan pergi ke pulau seberang, mengikuti suaminya. Dan hati saya rasanya nggak karuan haha.
Ken, sekarang kamu sudah menjadi layang-layang, yang terbangnya sudah ada yang mengarahkan J



Yogyakarta, 18 November 2016

2 komentar:

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact