Mungkin alay jika saya menulis postingan panjang
seperti ini, tapi ya sudah, kalau sudah cinta, apapun akan saya lakukan.
Namanya
Nuke, saya mengenalnya sejak nama kami tertulis di web penerimaan mahasiswa di
suatu jurusan yang sama di kampus yang ada di Semarang. Menjadi lebih dekat
setelah saya merantau meninggalkan kampung halaman untuk berkuliah. Lalu apa
pentingnya si Nuke ini hingga saya menulis tentangnya? Artis bukan, politisi
bukan, pesulap apalagi. Tak ada alasan lain kecuali karena Nuke adalah salah
satu orang paling baik yang pernah saya kenal seumur hidup.
Sewaktu
masih kuliah, Nuke sering berkunjung dan menunggu jam pelajaran selanjutnya di
kosan saya. Kami saling curhat, saling menasehati, saling memuji, saling
menertawakan. Nuke adalah orang yang sama, baik di depan maupun di belakang
saya.
Kalau
berkunjung, Nuke tidak pernah berkomentar sinis tentang kamar saya yang to much
paper and book *ini bahasa lain dari: berantakan*, too good to be true, dia
tidak sungkan-sungkan membereskannya. Tidak hanya sekali. Hampir setiap kali.
Lalu saya akan memasang tampang ambigu antara senang dan menyesal kenapa Nuke tidak
datang tiap hari. Nuke yang baik tidak menunjukkan ekspresi muak mendengar saya
yang selalu beralasan bahwa kamar yang berantakan akan meningkatkan kecerdasan
karena melatih otak mengingat pola-pola yang tak beraturan (?) Nuke biasanya
hanya memasang tampang ngenes seolah bertanya "kau wanita macam apa
sih?"
Nuke
juga pernah datang jauh-jauh dari rumahnya di Semarang bawah ke Tembalang hanya
karena saya sedang sakit perut, dia datang lengkap dengan minyak kayu putih dan
makanan masakan ibunya, rendang padang... dia dan ibunya tahu saya sangat
menyukai makanan itu. Mereka berharap saya tidak makan sembarangan lagi ketika ada makanan kesukaan saya :’) manis ya. Waktu itu kami masih tingkat 1, berhubung
seangkatan saya hanya sebatang kara kuliah di kampus X, di Semarang saya tidak
punya siapa-siapa yang bisa direpotkan. Maka saat saya sakit, Nuke datang
seperti malaikat. Untungnya bukan malaikat maut.
Persahabatan
kami tidak selalu berjalan mulus hehe. Kadang saling kesal, kadang saling jauh,
kadang punya teman lain. Tapi ya, kami selalu kembali pada masing-masing dari
kami...
Saya
kesal karena Nuke yang baik hatinya mudah sekali kagum dengan siapapun dan
apapun, yang hal itu berpotensi membuat hatinya patah. Saya hanya tidak ingin
ada yang mematahkan hatinya yang begitu baik.
Nuke
kesal dan menjauh dari saya karena dia pikir, saya mulai berubah menjadi
teramat tidak peduli dan mendzolimi diri saya sendiri ketika pundak saya
ditumpahi oleh banyak sekali beban.
Ketika
semua orang bertanya kepada saya tentang hari lahir Nuke -karena mereka pikir saya
adalah sahabat terdekatnya- saya sendiri malahan lupa. Lalu saya mendatanginya,
tergopoh-gopoh, “Barakallah fii umrik” saya ucapkan yang entah sudah berapa
lama telatnya, dan dia tersenyum lalu bilang “Makan yuk.. aku traktir. Kamu sih
sibuk mulu, kan jadi kemarin nggak bisa ikut traktiran dari aku.” Ya ampun,
Nuke *terharu*. “AYUK!!” *teteeppp makan mah hajarrr*.
Bahkan
ketika saya didaulat untuk menjadi ‘bapak’, orang yang pertama kali saya pinang
untuk menjadi ‘ibu’ adalah Nuke.
Saya
belum menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkan seberapa positifnya
Nuke, perhatian, pengertian, jujur, bersahaja, tidak banyak mengeluh, tidak
banyak meminta, penyayang, serta tidak malas mandi kayak saya. Intinya, Nuke
memenuhi semua kriteria yang apabila saya laki-laki, saya akan langsung
menikahinya.
Inilah
salah satu yang saya tidak suka dari waktu, dari perjalanan hidup. Ia kadang
mengubah apa-apa yang sebenarnya tak perlu diubah. Perasaan kita pada seseorang
misalnya. Saat saya masih diperjalan akan ke rumahnya, hp saya sudah berisik
dengan chatt nya. “Nanti sampai jam berapa?”, “Dijemput siapa?”, “Disitu hujan?”.
“Payungnya jangan lupa!”, “Pakai jaket kan?”, “Aku belum mandi, Mon.” *ini
infro yang tidak seharusnya dipaparkan*, “Hati-hati lho ya” dan “Mon, besok..
aku mau nangis ajaaa.”. Dia berisik, ya. Huks. Tapi ya, saya cinta!
Di
hari pernikahannya, saya datang, dia melihat mata saya merah berkaca-kaca.
Bukan, saya bukan tipe yang suka cuci muka pakai beling, saya menangis untuknya.
Lalu kami menangis bersama. Saya takut, jika sejak hari itu rasanya dia
menjauh, saya kehilangan, kami selalu berkomunikasi dengan kikuk, saya sungkan
menghubungi dia yang sudah berkeluarga. Iya saya takut ini itu.
Sambil
berbaring menatap langit-langit kamarnya yang sudah dihiasi bunga-bunga, kami
terdiam. Lalu saya mengawali pembicaraan...
“Time
flies so fast, isn’t it? Kemarin kayaknya kita baru ketemu saat daftar ulang
maba setelah sekian lama chatting doang. Eh, besok kamu udah jadi istri orang
ajah.”
“Ahhh
basi-basi!!!. Tidur buruan.” Kata Nuke, sambil berjalan ke arah pintu dan
mematikan lampu kamar kami. Gelap.
Mungkin
itu alibinya, dia hanya tidak ingin air matanya terlihat oleh saya *pede
gilak!*.
Menangis
adalah salah satu cara perempuan memberi penghargaan untuk orang yang ia
sayangi. Saya menyayangi Nuke seperti Nuke menyayangi kebersihan dan kerapian.
Saya bahagia menjadi teman Nuke, dan Nuke harus tau ini.
Semoga
Nuke menjadi bagian orang-orang yang hatinya selalu berbahagia, sampai
kapanpun, dimanapun.
Hari
ini, dia akan pergi ke pulau seberang, mengikuti suaminya. Dan hati saya
rasanya nggak karuan haha.
Ken, sekarang kamu sudah menjadi layang-layang, yang
terbangnya sudah ada yang mengarahkan J
Yogyakarta,
18 November 2016
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusso touching :")
BalasHapus