Selasa, 29 November 2016

Diuji Nasehat Sendiri


"Menasehati bukan berarti kita sudah sepenuhnya benar atau dosa kita lebih sedikit dari yang kita nasehati. Menasehati adalah cermin sekaligus pengingat bagi kita, sudahkah kita melaksanakan nasehat tersebut." dari, Saya (yang tidak semanis di foto dan tidak sebijak di tulisan) *ngekkk*


Tidak aneh jika saya melihat antusiasme seekor kucing atau seorang anak manusia yang pertama kali diperkenalkan hal baru yang menarik perhatiannya. Adik saya pernah punya kucing yang antusias ketika diberikan bola pantul. Dan saya juga punya keponakan yang antusias dengan mainan kodok bersuara jika ia ditekan — sampai akhirnya mereka semua bosan memainkannya…

Betapa saya antusias ketika mulai dikenalkan pada lingkungan baru. Saya pernah berada dalam posisi itu, posisi dimana saya mengekpresikan pengetahuan yang saya dapat dalam semua media sosial yang saya punya. Saya ingat saya pernah sesemangat itu. Menjaga idealis sampai saya sendiri tidak percaya bisa seidealis itu. Saya pernah ada di fase sesemangat itu. Dan saya selalu suka itu —ingin kembali.

Realitas akhirnya jauh lebih menyebalkan dari apa yang dibayangkan. Kata-kata mutiara dan idealisme itu akhirnya harus berhadapan dengan kedigdayaan sebuah kenyataan. Apa yang pernah tertuliskan dalam dunia maya haruslah menemui ujian pembuktiannya di kehidupan nyata. Sayangnya, terkadang apa yang kita tulis dan nasehatkan tidak sejalan dengan apa yang kita lakukan. Ini seperti memakan lidah sendiri. Banyak yang jatuh karenanya.


Iya, idealisme dalam nasihat dan tulisan seringkali harus menemui pemberatnya. Akhirnya saya memutuskan berkontemplasi dan menemukan bagaimana ‘saya hari ini’. Saya merindukan semangat yang dulu ketika awal saya mengenal lingkungan ini. Semangat menggebu dalam mencari ilmu dan mencari kawan seperjalanan. Saya menemukan fakta bahwa semangat itu ternyata bisa melemah. Sama seperti kucing dan keponakan saya terhadap mainannya.

Melihat kawan yang baru mengenal lingkungan ini dengan -tentu saja- semangat menggebunya itu membuat saya tersenyum simpul. Ah, saya tahu betapa bahagianya perasaan itu. “Menemukan.” Ya, kata itulah yang mewakili keadaan ini. Mungkin sama seperti Thomas Alfa Edison saat menemukan lampu bohlam, perasaan menemukan tujuan hidup baru itu memang membahagiakan.

Hanya saja.. semangat mencari dan berbagi dalam nasihat dan tulisan itu bisa saja melemah frekuensinya. Sejalan dengan fakta bahwa diri kita bisa jadi tidak seindah tulisan kita. Atau akhir hidup kita tidak sebijak nasihat-nasihat kita. Itu alasan saya kurang menyukai buku biografi orang yang masih hidup, karena bisa jadi akhirnya ia menjadi orang yang bahkan tidak boleh dicontoh —meskipun pengalaman hidupnya harus kita jadikan inspirasi—. Kita tidak pernah tahu.

Saya pernah menghadapi kata-kata dengan realita. Merasa malu karena menasehati orang lain tapi ketika dihadapkan pada posisi yang sama, saya pun tidak bisa sebijak nasehat tersebut. Saya bertengkar dengan jiwa sendiri, antara idealisme dan realitas…
…dan akhirnya saya tahu, idealisme yang dipupuk dahulu adalah penjaga saya dalam menghadapi realitas. Sama seperti ilmu yang menjaga amal. Percis.

Saya selalu senang melihat orang dengan idealisme (positif) barunya. Gaya islamis yang mereka sebarkan, petuah yang mereka sampaikan, terkadang menjadi pecutan bahwa saya bukan apa-apa dan wajib terus semangat mencari ilmu. Saya benci keadaan ketika saya merasa puas dengan apa yang saya ketahui. Saya benci ketika saya terus-terusan melihat ke bawah bukan untuk bersyukur melainkan untuk bersombong diri, dan saya benci ketika saya sering melihat ke atas bukan untuk memotivasi diri melainkan untuk menambah rasa minder diri. Saya bukan malaikat, terus terang saya sering terjebak dalam kondisi demikian.

Belajar dari pengalaman, ternyata yang dibutuhkan oleh seseorang yang sedang menderita penyakit demikian bukanlah nasehat, “ya kamu harus bersihkan hati, ayo semangat lagi, kamu gak boleh kaya gitu, gak baik. Allah berfirman xxxxxx, Rasulullah bersabda yyyyyyy”. Bukan, bukan dengan itu, karena pada dasarnya -kebanyakan- orang sudah tau ilmunya. Yang dibutuhkan mereka adalah doa agar Allah tidak berlama lama membiarkan mereka menderita penyakit ini. Penyakit melemahnya semangat dalam kebaikan. Agar Allah segera memberi tamparan agar tersadar lewat jalanNya yang tiada terduga. Serta dengan menjadi contoh agar kami malu pada diri kami, bahwa seharusnya kami pun bisa seperti itu.

Wallahualam.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact