Senin, 07 November 2016

Seni Merawat Orang Tua

Maha Besar Allah, yang selalu menjadikan kita semua pembelajar di setiap inci langkah kehidupan. Pun saya amat mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan berupa kepekaan mengambil hikmah dalam setiap kejadian, entah itu momen (yang kelihatan) buruk atau baik.

Saya merasa, beberapa waktu terakhir Allah sedang menampakkan pengajaran kepada saya mengenai -sabar dan “pintar” nya sikap seorang anak yang harus dihadirkan ketika merawat orang tua-. Iya, Dia mengajarkan secara beruntun.... Bermula dari niat saya yang memang ingin belajar mengenai hal tersebut sejak hampir setahun lalu.

Tepatnya bulan Januari tahun ini, ayah saya mengalami serangan stroke. Menurut keterangan dokter, ayah saya mengalami stroke iskemik. Ketika serangan itu terjadi, kebetulan saya sedang recovery karena habis kecelakaan, sehingga full time di rumah dan tahu dari awalnya seperti apa, dan itu adalah kondisi yang saya rasa it most confusing moment. Melihat ayah saya lama-kelamaan mulai kehilangan kesadaran, tampak mengalami gangguan bicara, muntah-muntah, saya hanya bisa menangis, diam terpaku disamping ayah saya, elap-elap keringat ayah saya, apalah-apalah... serasa nggak bisa mikir lagi harus melakukan apa karena panik.

Namun, hal yang berbeda dari saya dilakukan oleh ibu. Saya rasa beliau jauh lebih panik daripada saya, tapi ibu menangani kondisi tersebut dengan sangat cekatan, tanpa menye-menye, nangis-nangis, bla bli bluh macem saya. Dan dokter bilang kecekatan tersebut sangat disyukuri karena dapat membantu ayah saya terhindar dari efek-efek stroke yang familiar seperti kita tahu. Alhamdulillah... Ah, ibu saya kenapa selalu bikin saya ngefans sama dia sih *tepok jidat*.

Lalu setelah kondisi sudah membaik, saya tanya ke ibu saya, “Mi, emangnya nggak panik sedih gitu pas bapak serangan? Kok nggak nangis?” *pertanyaan bodoh*.
“Ya sedih lah. Sedih banget. Takut bapak kenapa-kenapa. Tapi kalau waktunya dihabisin buat nangis dan bingung, keburu yang sakit makin parah. Harus tangguh dan tegar di kondisi-kondisi terhimpit.” Jawab ibu saya. Binggo!!! Saya tersindir telak lah pokoknya. Feeling management saya nilainya minus sepertinya *jedukin kepala ke tembok*

Saya mulai berkontemplasi setelah kejadian itu.
“Iya, gue kan udah gede yak. Kan nanti gue bakal ngerawat orang tua.”
“Orang tua gue kan udah semakin bertambah ya umurnya, gue harus siap sedia akan setiap kondisi ya (walaupun doanya sih tetep sehat wal’afiat aja). Lhah kalo gue nggak tau apa-apa macem begini gimana dong.”
“Ihhh, gue kan perempuan ya. Tugas gue ntar kan salah satunya bakal ngerawat orang tua sama mertua gue ya.”
daannn masih banyak lagi. Hingga saya sampai pada satu kesimpulan, “Allah, hamba pengen belajar ngerawat dan telaten dalam merawat orang tua. Kasih hamba pelajaran ya ya ya.”

Merawat orangtua sepertinya jarang dimention secara detail di kajian-kajian kayaknya ya(?) atau hanya saya mungkin yang tidak tahu. Saya mulai berpikir, dimana gue bisa belajar. Okelah, saya mulai pelajari buku-buku terkait penanganan awal serangan stroke. Ini dulu, karena ini yang diderita ayah saya, jadi saya pikir pertama kali yang perlu saya tahu adalah tentang penyakit ini.

Waktu terus berjalan, hingga saya lulus kuliah, dan sekarang di Jogja.
Dan masya Allah :’) rumah yang saya tinggali sekarang sebagai tempat kost, bukan lah tempat kost. Eh, begini maksudnya... (ceritanya panjang, maka saya ringkas saja, ya) saya berada di rumah sepasang suami istri yang anak pertamanya harus mengurusi usaha keluarga (walaupun masih di Jogja) tapi jarang di rumah dan anak keduanya berada di rantauan. Sang suami mengalami stroke sejak 2 tahun yang lalu, yang menyebabkan terganggunya sistem alat gerak serta kesulitan berbicara. Si ibu juga sakit, tapi bukan stroke, alhamdulillah nya si ibu bisa menjalankan aktivitas secara normal. Mereka merasa kesepian dan butuh ‘teman’, ketika melihat saya kebingungan mencari kost, mereka menawari saya untuk ‘menemani’ mereka hingga saya dapat tempat kost nantinya. Saya terbayang kedua orang tua saya kala itu, mungkin orang tua saya di rumah juga kesepian kali ya saat anak-anaknya merantau seperti ini. Ah, saya sih yakin aja... kalau kita memudahkan urusan orang lain, insya Allah urusan kita akan dipermudah oleh Allah. Mungkin saat saya menemani mereka disini, Allah juga akan mengirim orang untuk menemani orang tua saya di rumah. Saya terimalah tawaran tersebut.

Hingga, pada suatu akhir pekan ketika saya tidur siang, saya mendengar bapak kost saya teriak-teriak. Lalu saya menghampiri beliau, memastikan beliau baik-baik saja. Ternyata eh ternyata ibu kost saya sedang tidak di rumah (mungkin perginya saat saya tidur). Bapak kost saya terus saja berteriak sambil menunjuk arah pintu. Saya coba tutup pintunya, bapak kost saya tambah berteriak, saya buka lagi pintunya, ehhh teriaknya makin keras. Saya hopeless kala itu, apaaa ini maksudnya. Hingga mungkin bapak kost saya teramat kesal dan makin menjadi-jadi teriakannya. Makin diteriakin, saya makin bingung. Ahh saya melihat stop kontak lampu dekat pintu, maka saya coba saja hidupkan. Dannn bapak kost saya mulai berhenti berteriak. Hufttt syukurlah, ternyata lampu, ya. Ini yang saya sebutkan di awal tulisan ‘sabar’. Maka sekarang, saya sudah terbiasa dan agak mengerti jika bapak kost saya menginginkan sesuatu, by experience sih tahunya karena melihat ibu kost saya yang tiap hari merawat bapak. Jadi kalau ibu menitipkan bapak ke saya, saya sudah tidak hopeless lagi seperti dulu.

Cerita selanjutnya, (mohon izin eceu untuk menulis ini). Belum lama ini, saya mendapat kabar dari salah seorang sahabat saya. Mamanya didiagnosis suatu penyakit baru, setelah sebelumnya memang mamanya mengidap suatu penyakit lain sudah sejak beberapa tahun yang lalu. Saya pernah menginap di rumahnya beberapa lama, jadi lumayan mengenal orang tua dan keluarganya. Sahabat saya anak terakhir, dan belum berkeluarga, of course dia banyak menghabiskan waktu dengan orang tuanya. Merawat beliau. Hingga pada suatu ketika, karena kondisi ibunya yang semakin menurun, teman saya mengabarkan kondisi tersebut pada ibunya. Teman saya berpikir, ibunya harus tetap tahu kondisi tubuhnya. Namun hal itu malah menjadikan ibunya down. Setelah itu dia menyadari bahwa tidak semua kondisi bisa disampaikan secara gamblang kepada pasien.
Saya agak kurang bisa memberi istilah yang tepat untuk hal ini. Tapi dari cerita teman saya, kami mengasumsikan bahwa ibunya menjadi teramat ‘parno’ tiap kali beliau mengalami gangguan-gangguan dalam dirinya (yang kecil maupun besar). Luar biasanya teman saya ini, dia selalu mencari-cari cara untuk meyakinkan ibunya bahwa “Mama bakal baik-baik saja. Setelah ini semuanya akan membaik.” Cara-cara yang dia gunakan, butuh pergolakan batin yang sangat tinggi. Selain meyakinkan ibunya, dia harus meyakinkan dirinya pula. Belum lagi memilah-milah mana yang harus menggunakan bantuan tenaga medis, dan mana yang harus dia tangani sendiri untuk perannya sebagai keluarga pasien. Dia berpikir bahwa ibunya harus belajar mengendalikan tubuhnya sendiri dan tidak ketergantungan dengan dokter atau RS.
Maka ini seperti yang saya tulis di awal, bahwa kita pun dituntut untuk “pintar” dalam merawat orang tua.

Hehe, kalau rasanya kita sangat excited membaca buku-buku atau belajar atau ikut seminar ini itu tentang parenting, dengan alasan ingin menyiapkan yang terbaik untuk putra-putri kita di masa depan... saya pikir, kita pun harus memiliki ilmu dan mempersiapkan pula mengenai skill kita untuk merawat orang tua di masa depan.

Terlalu egois rasanya kalau kita terus-menerus memikirkan diri sendiri, hanya membekali diri kita dengan ilmu-ilmu yang nantinya back to our self doang. Orang tua kita beranjak menua, right? Saya yakin tidak ada anak yang menginginkan sesuatu hal yang buruk terjadi pada orang tuanya, pun tidak ada orang tua yang ingin merepotkan anaknya. Di usia matang (harusnya sejak usia yang dulu-dulu sih hehe, tidak harus menunggu matang) seperti ini, cobalah mulai memikirkan orang tua kita J


Semoga Allah selalu memberi keberkahan pada kehidupan orang tua kita, semoga Allah senantiasa menjaga mereka ketika mata dan tangan kita tak sampai untuk menjaga mereka. Semoga kita selalu memiliki sabar dan “pintar” nya sikap seorang anak yang harus dihadirkan ketika merawat orang tua...

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact