Narsisme untuk sebagian orang bisa jadi sesempit frame yang membingkai foto-foto alay close up, kombinasi efek kulit putih-bibir monyong-mata belo plus kepala miring 45 derajat. Jika anda mungkin pernah tau mitologi yunani tentang Narcissus -orang (atau dewa?) yang paling bertanggung jawab untuk istilah “narsis”-, maka anda akan paham bahwa narsisme setidaknya lebih dramatis daripada itu.
Bagi saya pribadi, narsisme adalah seni menghargai dan menyayangi diri sendiri, sebutlah, saya merasa teramat “sesuatu” sehingga sepertinya hujan sengaja turun untuk saya, meteor tiba-tiba jatuh untuk saya, daun-daun berguguran mengikuti suasana hati saya, atau saya adalah inspirasi sebuah lagu *mukelujauh,mon*. Pun, untuk yang satu ini. Entah bagaimana rasionalitasnya, dengan semacam kepercayaan yang susah saya jelaskan, saya yakin betul kalau sebuah lagu ini sengaja ditulis untuk saya, judulnya seperti nama saya, oleh orang yang kenal sayapun tidak. Satu hal, narsisme pada kadar yang tepat adalah sebuah sugesti baik yang konstruktif. Jika kadarnya sudah tak terkendali, maka narsisme bersifat patologis, semacam penyakit kejiwaan. *Ya Allah, saya berlindung dari segala macam penyakit kejiwaan, aamiin*.
Nah, jika kita ngaku narsis (menyayangi diri sendiri) yang paling utama dan urgen harus kita lakukan yaitu, menjauhkan diri kita dari api neraka... sepakat ya? Ahhh iyalah sepakat aja, kitorang basodara laaa
0 komentar:
Posting Komentar