Bismillahhirrahmannirrahim..
Ini bukan yang pertama kali, tapi saya harap yang terakhir. Ya, kemarin Allah mengingatkan saya dengan caraNya yang lembut. Menyadarkan akan kekekalan yang sejatinya hanya milik Allah semata.
Ikat unta mu dengan kuat, lalu melengganglah meninggalkannya. Jangan engkau sebut ‘nanti dulu’, ‘nanti saja’, atau ‘ah tidak apa-apa’ sebelum segala daya engkau tunaikan untuk mengikatkan kuat unta mu. Karena kita baru merasa, setelah tiada. Merasa setelah tiada.
“Orang kecil itu selalu membuat masalah kecil jadi besar, sedangkan orang besar itu biasa menghadapi masalah-masalah besar”, kata seorang Bapak kepada anak-anaknya. Saya ingat terus itu saat rintang menghadang. Tenang.
Saya jadi ingat, saat masih di bangku SMA, saya adalah si anak berkalung note kecil. Sadar betul akan penyakit lupa. Saya beli buku kecil. Saya beri nama “Commitment Book”. Isinya berbagai janji, tugas, dan berbagai have-to-do-list tiap harinya ataupun dalam waktu jangka panjang. Terbukti efektif memang. Tanda centang di sisi kanan menjadi sebuah kelegaan karena itu berarti saya telah menyelesaikannya. Mungkin juga, ini cara yang tepat untuk melatih ingatan kita. Padahal kalo diingat, betapa anehnya berkalung buku kecil kemana-mana. Tapi dasarnya saat itu saya cuek, jadi santai saja berjalan nyengir kemana-mana dengan kalung notes bak penyanyi hiphop. *yoii mamennn*
Ah itu dulu.
Akhir-akhir ini, saat sudah tak lagi di bangku SMA. Bahkan sudah melewati masa kuliah, berbagai deadline project memang menggurita. Saya masih memiliki ”commitment book” itu. Tapi belakangan saya abaikan. Tak saya tengok sedikitpun. Sempat saya tulis beberapa komitmen. Tapi itu pun terlewatkan begitu saja tanpa centang di sisi kanan. Kekuatannya jadi memudar. Saya tak lagi komit dengan si buku komitmen. Terlupakan.
Tapi tunggu, ini bukan tentang lupa. Jangan salahkan lupa jika kita tak berusaha mengingat. Jangan salahkan lupa jika kita saja tak benar-benar menginginkannya. Jangan salahkan lupa. Lupa adalah perpanjangan tangan dari ketidak pedulian dan ketidak berpihakan.
Sampai kemudian, “Kayak gini kok berkali-kali, kalau ngurusin hal remeh temeh aja kamu seperti ini, gimana mau ngurusin hal-hal besar, ha?”, kata Bapak kepada saya lewat telfon.
Setelah itu saya diam beberapa detik.
Benar kata Bapak. Kata-katanya menyadarkan saya akan pentingnya mementingkan hal remeh temeh untuk kemudian mempertahankan kepentingan-kepentingan besar untuk orang banyak. Terimakasih Bapak untuk nasihatnya. *usap-usap ingus*
Sudah. Sedih, sudah. Sebel, sudah. Marah, sudah. Sekarang waktunya bebenah. Merapikan puzzle yang sempat berantakan. Menata kembali janji-janji. Seperti ketapel. Dibutuhkan tarikan ke belakang untuk bisa meluncurkan peluru dengan kencang. Tepat sasaran. *emot senyum nyengir*
Ah, maaf jika saya terlalu banyak nyampah di waktumu. Terimakasih sudah membaca catatan kecil ini. Hey lihat, Allah masih menyiapkan udara segar untuk kita, mencukupkan makanan untuk hari hari kita, memberikan pandangan yang sempurna, raga yang sehat, dan berbagai nikmat tak terhingga. Bergegas! :) *emot senyum*
Yogyakarta, Ramadhan kelima di 1437H.
0 komentar:
Posting Komentar