Terhitung sejak hari
ini, saya sadar bahwa saya memang orang aneh. Seringkali saya merasa hidup
dalam dimensi berbeda dengan lebih dari 7,5 milyar penduduk bumi lainnya. Saya
sering merasa zonk saat terjebak dalam obrolan orang dewasa yang melulu serius,
seakan-akan dunia mesti dikejar, yang tiap kata menyiratkan beban-beban, yang
dengan mendengarnya saja saya terheran-heran. Ya, siapapun boleh curiga, mungkin
otak saya yang telat berkembang(?) hingga berbeda dengan pikiran kebanyakan
orang.
Hari ini saya sadar, bahwa saya terlalu naif menjalani hidup ini. Hanya
karena saya memiliki niat baik, saya menyimpulkan semua orang juga memiliki
niat baik pula. Hanya karena saya mudah tersentuh dengan penderitaan orang
lain, saya menyimpulkan semua orang juga memiliki perasaan yang sama seperti
saya. Wanita yang naif sekali. Saya hanya memandang kehidupan dari kacamata dan
pemahaman sederhana saya bahwa, Ada Yang
Maha kok, tenang aja. Padahal tidak semua orang meyakini dengan sepenuh
hati apa yang saya yakini. Bahwa bagi saya rezeki bukan hanya uang dan harta,
tapi juga kehidupan; kesehatan; kebahagiaan; selamat dunia akhirat; nikmat
beramal sholeh. Iya... saya naif.
Bagi orang lain, mindset
hidup tidak sesederhana mindset hidup yang saya pahami, karena mungkin ganjalan
yang mereka hadapi lebih boom
daripada ganjalan hidup saya. Saya yang membiasakan diri jika dihantam ujian maka
bersabarlah, jika belum sampai di puncak
jangan panik, dan hal-hal lain yang orang anggap suatu hal yang naif.
Hari ini saya
membaca cerita dengan penuh derai air mata. Ada seseorang berhati mulia; banyak membantu meringankan beban orang lain. Sayangnya, dia juga termasuk
dalam kelompok orang naif. Dia baik dan ingin menolong banyak orang, namun dia
tidak punya uang. Hingga pada suatu waktu saat sesuatu menghantamnya, ia sadar bahwa
ia harus kaya, bahwa ia perlu mengejar dunia, bahwa niat baik dan usaha saja
untuk menolong orang lain tidaklah cukup. Tidak semua orang lain memiliki niat
baik sepertinya. Maka jika ia ingin menolong orang lain, ia harus menolong dari
tangannya sendiri, bukan dari tangan bantuan orang lain. Karena sekali lagi...
tidak semua orang punya niat baik sepertinya. Bertemu dengan orang yang seirama
dengannya untuk berjalan beriringan mewujudkan segala niat baiknya pun bak
mencari jarum dalam jerami. Bukannya tidak mungkin, tapi butuh izin dan kuasa
dari Tuhan.
Beberapa waktu lalu juga
saya bertemu dengan salah satu anak dari kelompok orang-orang naif juga. Dia
salah satu peserta di suatu acara, ketika saya turun dari podium, dia agak
berlari kecil mengikuti saya dan dua panitia ke arah pintu. Dia menyapa saya,
anak kurus dengan kacamata berlensa tebal dan tulang pipi yang tegas. Kak... Saya membalikkan badan mendengar
sapaannya, saya lihat rangsel yang ia kenakan sepertinya berisi banyak barang
bawaan. Saya tersenyum, isyarat jawaban dari sapaannya.
Maaf kak, saya ingin ngobrol dengan kakak tapi waktunya sudah
habis.
It’s okay... kamu bisa ngobrol sekarang atau feel free to
contact me. Tadi mencatat nomer saya kan?
Sekarang saja kak. Kakak... saya ingin jadi dokter. Ayah saya
tukang kayu dan saya mempunyai 5 adik.
*Saya hanya terdiam
menatapnya kala itu, saya belum paham arah pembicaraan anak ini. Tapi coba saya
tanggapi saja sambil selalu menyunggingkan senyum untuknya* Barakallah... Semoga malaikat disekeliling kita sekarang membawa
doa kamu ke Allah, ya.
Saya ingin jadi dokter yang bisa membantu banyak tetangga
saya di kampung nanti, Kak. Saya akan kembali ke kampung. Saat ini saya mendaftar
beasiswa Bidik Misi.
Hebatnya, disaat
anak-anak lain yang mendapat beasiswa merasa rendah diri dengan kondisi
keluarganya, berurai air mata menceritakan kondisi keluarganya... sementara anak
ini dengan ceria bercerita bahwa dengan uang 2 juta gaji ayahnya dengan 6
anak, dia merasa keluarganya mampu, ia hidup bahagia. Lalu mengapa ia mendaftar
Bidik Misi? Dia bilang beasiswa adalah capaian prestasi, beasiswa ini akan
membantu ayahnya. Dan dia bercita-cita profesinya yang ia usahakan dengan keras
seperti itu untuk membantu tetangga-tetangganya di kampung nanti.
Saya tersenyum mendengar anak ini. Binggo, saya bertemu satu lagi orang
naif di dunia ini. Anak yang lugu. Dia mungkin tidak tahu berapa bayaran kost
sebulan, tapi ia mengajarkan kepada saya tentang qana’ah dan iffah.
Biarlah... biarlah ada
kelompok orang-orang yang aneh seperti saya dan beberapa orang lainnya itu.
Biarlah mereka tetap menjadi manusia-manusia naif. Manusia-manusia yang menempa hatinya untuk menyederhanakan
kehidupan dengan keyakinannya atas tetesan-tetesan rahmat Tuhan.
Semoga orang-orang naif di dunia ini bisa survive dengan dinamika kehidupan. Semoga hatinya tetap bening
dan akhlaknya tetap mulia, hingga membuat hatinya terus optimis kalau masa
depan Indonesia kedepan akan cemerlang.
0 komentar:
Posting Komentar