Minggu, 03 Desember 2017

Orang-Orang Naif

Terhitung sejak hari ini, saya sadar bahwa saya memang orang aneh. Seringkali saya merasa hidup dalam dimensi berbeda dengan lebih dari 7,5 milyar penduduk bumi lainnya. Saya sering merasa zonk saat terjebak dalam obrolan orang dewasa yang melulu serius, seakan-akan dunia mesti dikejar, yang tiap kata menyiratkan beban-beban, yang dengan mendengarnya saja saya terheran-heran. Ya, siapapun boleh curiga, mungkin otak saya yang telat berkembang(?) hingga berbeda dengan pikiran kebanyakan orang.


Hari ini saya sadar, bahwa saya terlalu naif menjalani hidup ini. Hanya karena saya memiliki niat baik, saya menyimpulkan semua orang juga memiliki niat baik pula. Hanya karena saya mudah tersentuh dengan penderitaan orang lain, saya menyimpulkan semua orang juga memiliki perasaan yang sama seperti saya. Wanita yang naif sekali. Saya hanya memandang kehidupan dari kacamata dan pemahaman sederhana saya bahwa, Ada Yang Maha kok, tenang aja. Padahal tidak semua orang meyakini dengan sepenuh hati apa yang saya yakini. Bahwa bagi saya rezeki bukan hanya uang dan harta, tapi juga kehidupan; kesehatan; kebahagiaan; selamat dunia akhirat; nikmat beramal sholeh. Iya... saya naif.
Bagi orang lain, mindset hidup tidak sesederhana mindset hidup yang saya pahami, karena mungkin ganjalan yang mereka hadapi lebih boom daripada ganjalan hidup saya. Saya yang membiasakan diri jika dihantam ujian maka bersabarlah, jika belum sampai di puncak jangan panik, dan hal-hal lain yang orang anggap suatu hal yang naif.


Hari ini saya membaca cerita dengan penuh derai air mata. Ada seseorang berhati mulia; banyak membantu meringankan beban orang lain. Sayangnya, dia juga termasuk dalam kelompok orang naif. Dia baik dan ingin menolong banyak orang, namun dia tidak punya uang. Hingga pada suatu waktu saat sesuatu menghantamnya, ia sadar bahwa ia harus kaya, bahwa ia perlu mengejar dunia, bahwa niat baik dan usaha saja untuk menolong orang lain tidaklah cukup. Tidak semua orang lain memiliki niat baik sepertinya. Maka jika ia ingin menolong orang lain, ia harus menolong dari tangannya sendiri, bukan dari tangan bantuan orang lain. Karena sekali lagi... tidak semua orang punya niat baik sepertinya. Bertemu dengan orang yang seirama dengannya untuk berjalan beriringan mewujudkan segala niat baiknya pun bak mencari jarum dalam jerami. Bukannya tidak mungkin, tapi butuh izin dan kuasa dari Tuhan.


Beberapa waktu lalu juga saya bertemu dengan salah satu anak dari kelompok orang-orang naif juga. Dia salah satu peserta di suatu acara, ketika saya turun dari podium, dia agak berlari kecil mengikuti saya dan dua panitia ke arah pintu. Dia menyapa saya, anak kurus dengan kacamata berlensa tebal dan tulang pipi yang tegas. Kak... Saya membalikkan badan mendengar sapaannya, saya lihat rangsel yang ia kenakan sepertinya berisi banyak barang bawaan. Saya tersenyum, isyarat jawaban dari sapaannya.


Maaf kak, saya ingin ngobrol dengan kakak tapi waktunya sudah habis.

It’s okay... kamu bisa ngobrol sekarang atau feel free to contact me. Tadi mencatat nomer saya kan?

Sekarang saja kak. Kakak... saya ingin jadi dokter. Ayah saya tukang kayu dan saya mempunyai 5 adik.

*Saya hanya terdiam menatapnya kala itu, saya belum paham arah pembicaraan anak ini. Tapi coba saya tanggapi saja sambil selalu menyunggingkan senyum untuknya* Barakallah... Semoga malaikat disekeliling kita sekarang membawa doa kamu ke Allah, ya.

Saya ingin jadi dokter yang bisa membantu banyak tetangga saya di kampung nanti, Kak. Saya akan kembali ke kampung. Saat ini saya mendaftar beasiswa Bidik Misi.


Hebatnya, disaat anak-anak lain yang mendapat beasiswa merasa rendah diri dengan kondisi keluarganya, berurai air mata menceritakan kondisi keluarganya... sementara anak ini dengan ceria bercerita bahwa dengan uang 2 juta gaji ayahnya dengan 6 anak, dia merasa keluarganya mampu, ia hidup bahagia. Lalu mengapa ia mendaftar Bidik Misi? Dia bilang beasiswa adalah capaian prestasi, beasiswa ini akan membantu ayahnya. Dan dia bercita-cita profesinya yang ia usahakan dengan keras seperti itu untuk membantu tetangga-tetangganya di kampung nanti.


Saya tersenyum mendengar anak ini. Binggo, saya bertemu satu lagi orang naif di dunia ini. Anak yang lugu. Dia mungkin tidak tahu berapa bayaran kost sebulan, tapi ia mengajarkan kepada saya tentang qana’ah dan iffah.


Biarlah... biarlah ada kelompok orang-orang yang aneh seperti saya dan beberapa orang lainnya itu. Biarlah mereka tetap menjadi manusia-manusia naif. Manusia-manusia yang menempa hatinya untuk menyederhanakan kehidupan dengan keyakinannya atas tetesan-tetesan rahmat Tuhan.


Semoga orang-orang naif di dunia ini bisa survive dengan dinamika kehidupan. Semoga hatinya tetap bening dan akhlaknya tetap mulia, hingga membuat hatinya terus optimis kalau masa depan Indonesia kedepan akan cemerlang.


0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact