Jumat, 01 Desember 2017

Evolusi

Kamu tahu apa yang paling saya takutkan dari spesies manusia selain kemampuannya saling menumpahkan darah? Ialah kemampuannya merekayasa evolusi biosfer, bahkan tanpa ia sadari.


Evolusi sendiri memang terjadi tanpa arah. Dalam kasus ini, jika evolusi adalah anak panah, maka jemari manusia menggenggam busurnya. Manusia siap –bahkan terlalu banyak- membidik. Namun mereka tak begitu peduli membidik ke arah mana. Yang terang benderang hanyalah alasan kenapa ia melepaskan anak panah: kelestarian dan kenyamanan spesiesnya sendiri.


“Siapa bilang nenek moyang kita -manusia purba- bersahabat dengan Alam?” Kira-kira begitu retorika Yuval Noah Harari, dalam bukunya. Spesies manusia adalah spesies paling mematikan di atas Bumi. Ekspansi manusia ke benua Australia dan Amerika mendorong kepunahan sangat banyak spesies hewan, terutama hewan-hewan besar, belum lagi spesies tumbuh-tumbuhan. Mendorong perubahan tatanan ekosistem, selanjutnya biosfer secara keseluruhan.


Kita, manusia modern, tak ada ubahnya. Hanya lebih canggih. Manusia modern merasa terancam oleh bakteri, mereka lawan dengan antibiotik. Tanpa mereka sadar (atau sadar?) telah membuka jalur evolusi untuk bakteri-bakteri. Bakteri-bakteri lemah punah, sementara bakteri yang bertahan merubah informasi genetik menjadi bakteri yang lebih kuat hingga dosis antibiotik perlu ditingkatkan dari masa ke masa. Manusia merasa terancam oleh nyamuk. Mereka ciptakan obat nyamuk. Tanpa mereka sadar (atau sadar?) telah membuka jalur evolusi untuk nyamuk. Sama seperti pada bakteri. Manusia tidak suka jeruk yang rasanya asam. Maka jeruk yang rasanya asam lama-lama akan punah. Yang tersisa hanya jeruk-jeruk yang manis. Manusia tidak suka semangka yang bijinya besar dan banyak, maka lama-lama semangka seperti itu akan punah. Yang tersisa adalah semangka-semangka dengan biji sedikit bahkan tanpa biji. Dan segunung selaut contoh lainnya.


Demi kelestarian biodiversity, saya seringkali menepis godaan penjual buah-buahan, yang misalnya menawarkan kepada saya mangga-mangga yang katanya manis. Dengan mantap saya balas bertanya apakah Bapaknya menjual mangga yang asem karena saya mencari yang asem. Meskipun saya sempat tergoda menjawab bahwa saya tidak mencari yang manis, tapi yang setia. *krik *alaykukumatYaAllah. Lagipula apa seninya makan mangga yang manis, bukan? Mangga adalah mangga karena ia ada asem-asemnya. Kalau mau manis lebih baik nyemilin gula aja ya ngga sih? Wkwk.


Tapi kali ini demi kekinian, akhirnya saya tergoda untuk mencoba jeruk yang lagi hits. Jeruk yang tak perlu dikupas. Saya tidak begitu tahu ini masalah cara makan doang atau memang spesies jeruk baru. Jika memang spesies baru, maka ini adalah sebuah kemajuan teknologi pangan yang membanggakan, sekaligus bentuk evolusi artifisial luar biasa yang mengakomodir hobi makan jeruk orang-orang yang malas mengupas. Seperti saya ini. Manusia malas mengupas, maka ia mengubah jeruk menjadi tidak perlu dikupas. See, betapa powerful (dan egoisnya) manusia membidik anak panah evolusi.


*kamu yang baca ini langsung searching ya? keywordsnya Jeruk yang bisa dimakan dengan kulitnya? Lalu kamu akan menemukan jeruk nagami ya?. Lalu menurut kamu, apakah saya sedang makan jeruk nagami? Haha engga... Saya sedang makan jeruk tapi disendokin, makanya engga perlu ngupas kulit #janganlemparakusandalplis #baladaembak-embakpemalas

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact