Minggu, 01 Oktober 2017

Warisan Kemiskinan

Hari ini teman saya mengunjungi saya. Kami bermaksud untuk menghabiskan waktu bersama. Kami tinggal satu kota sejak satu tahun terakhir, tapi tak pernah bertemu dan mengobrol bersama. Maka hari ini kami berdua meng-azzam-kan diri untuk tidak jadi generasi menwa (MENtal WAcana) hehehe.


Yogyakarta beberapa hari terakhir begitu basah. Mungkin memang sudah saatnya musim hujan(?) setelah saat ini kita tidak bisa mematok bulan hujan seperti pelajaran IPS di SD dulu(?)

Kadang kami ngobrol, tertawa, sepanjang perjalanan itu... hingga handphone teman saya berbunyi. Ternyata ibunya yang menelpon, agaknya mereka sedang membicarakan hal yang serius. Maka sejurus kemudian, saya berkamuflase menjadi tempat tisue di dalam mobil; atau menjadi jok tempat duduk kami(?) Saya mulai mencari kesibukan sendiri. Yap! Menempelkan pipi di kaca jendela mobil yang dingin ditambah tetesan-tetesan air hujan yang menempel di luar jendela membuat perut saya ikut adem *apa hubungannya(?)*


Lalu pipi saya serasa bergetar, tuk tuk tuk... cepat-cepat saya angkat pipi dari kaca mobil. Ternyata ada anak laki-laki usia 8 tahunan yang membawa ukulele sedang mengetuk-ngetuk kaca mobil kami yang tengah menunggu lampu hijau, tepat di pipi saya berada. Dia menganggukkan kepalanya, isyarat meminta izin kepada saya yang memandangnya dari dalam mobil untuk mulai unjuk gigi. Saya tidak begitu mendengar dia menyayi lagu apa, suaranya samar-samar dihajar riuhnya tetesan air hujan. Kasihan sekali, rambutnya -yang kalau saya jadi ibu gurunya pasti akan saya potong sembarangan karena terlihat amat tidak rapi- lepek, kaos tipis yang lengkungan kerahnya melebar hingga hampir setengah dada plus kebesaran itu pun basah kuyup. Secepat kilat saya berhenti melucutinya dengan mata saya, “Zil Zil duit duit buruan duit sini!”, ucap saya kepada teman saya yang masih ditelpon ibunya, sambil saya membuka ziplock tas saya untuk mencari dompet. Saya mulai menurunkan kaca mobil, saya julurkan tangan saya dan anak laki-laki itu menyambut tangan saya sambil tersenyum. Dia sudah memasang kuda-kuda untuk kembali berlari hingga saya teringat bahwa saya punya sesuatu “Kamu mau jajan? Aku punya jajan lhoh.”, “Mau mbak.” jawabnya. Lalu saya buru-buru mengambil bungkusan-bungkusan yang kami beli tadi. Makanan itu bukanlah makanan-makanan sehat untuk si anak lelaki itu huks. Karena makanan-makanan itu adalah makanan termicin yang bisa jadi membuatnya akan semakin terbodohi hidup di dunia yang fana ini. Tapi kami hanya memiliki itu untuk kami bagi. “Akeh banget mbak. Makasih mbak” lalu dia berlalu setelah saya memberikan senyum terakhir padanya.


Mata saya mengikutinya hingga punggungnya tak tampak lagi karena tertutup kendaraan-kendaraan yang lain. Saya... emmm selalu merasakan perasaan yang sama tiap kali melihat anak-anak atau orang sangat tua yang terlampau tua(?) berada di jalanan. Semacam ada es batu yang ditempelkan di jantung hati saya dan membuat saya merasakan agak sedikit perih, panas saking dinginnya, geli *asudahlah saya tidak pernah baik dalam hal mendeskripsikan perasaan*


Saya mulai menghadapkan badan saya kembali ke depan, menghembuskan nafas yang berisik, menyandarkan kepala ke tempatnya yang terlalu ke belakang –saya rasa-. “Lo ngajarin orang jadi males Mon” teman saya mulai mengeluarkan suara, sesaat setelah ia mengakhiri obrolannya dengan sang ibu lewat telpon. “Kok lo ngomongnya gitu sih Zil. Lo nggak tau Zil... nggak semua orang jadi miskin gara-gara mereka males.” jawab saya.


Sadar nggak sih, banyak dari kita yang cara berpikirnya selalu menghubung-hubungkan miskin sama malas. “Kamu tuh belajar yang rajin!!! Biar nanti hidupnya enak. Kalau males-malesan nanti kamu jadi orang miskin!” hayolooo siapa yang zaman kecilnya sering dapet ocehan itu saat males belajarrr? Wakakaka.


Saya berteman dan mulai mengenal begitu banyak orang heterogen dari berbagai lapisan masyarakat selama 24 tahun hidup yang sudah saya jalani. Mengenal banyak orang menjadikan saya memperoleh pemahaman baru bahwa kemiskinan bukanlah melulu soal malas. Sebaliknya, ada kesempatan dan takdir yang berperan pula membawa mereka ke kondisi kemiskinan. Berteman dengan anak penjual rokok digerobak kecil, penjual bumbu dapur di emperan pasar (bukan punya kios ya, tapi yang ngemper doang gitu), ataupun anak seorang tukang cuci (single parent) membuat mata saya terbuka terhadap kemiskinan itu sendiri.


Saya masih ingat betul kala itu, ibu dari teman saya memarahi teman saya habis-habisan karena menghilangkan uang 500 rupiah, saat itu saya memandang ibunya terlalu lebay. Namun, ternyata dia mengatakan 500 rupiah adalah 1/10 total pendapatan keluarga mereka dalam sehari. Saya jadi bisa membayangkan betapa berharganya uang 500 rupiah tersebut bagi mereka pada saat itu.


Hal itu membuat saya tersadar betapa dekatnya saya dengan kemiskinan, saya beruntung dan bersyukur karena memiliki orang tua yang tahu pentingnya pendidikan dan membiarkan saya fokus belajar tanpa saya harus perlu pedulikan biayanya. Tentu saja, ini semua juga tidak terlepas dari izin Allah SWT membiarkan saya memiliki takdir strata sosial yang ini. Meskipun begitu, saya tetap mencoba menjejakkan kaki tetap ke bumi untuk melihat realita kemiskinan dari kacamata mereka.


Oleh sebab itu, saya suka rada sedih saat dengan entengnya ada yang berkomentar kalau kemiskinan itu akibat dari mereka yang malas belajar atau berusaha. Come on, lo kayaknya pikniknya kejauhan dehhh.


Semakin jauh saya melangkah, saya mulai berteman dengan orang kaya, yang kalau ingin menenangkan diri tinggal bilang "pengen bla bla bla" maka tiba-tiba di IG mereka betebaran foto-foto di Maldives. Dari pergaulan itu saya semakin menyadari kesenjangan itu nyata adanya. Saya pernah ketemu anak orang kaya yang emang dari orok emang udah kaya. Dari kecil udah di-les-in bahasa inggris, lahir di luar negeri dan keluar negeri bukanlah hal yang ‘wah’ buat dia, jadi ya bahasa inggris buat dia kayak ngomong di pasar aja. Dapat buku ini itu tinggal nunjuk tanpa mikir harganya berapa. Kalau pas lagi jalan sama dia tiba-tiba semua orang bakal baik sama lo ckckckck sumvahhh fanaaa fana emang ye dunia. Circle pergaulannya nggak jauh-jauh dari anak pejabat; konglomerat. Habis lulus, langsung dapet kerjaan enak tanpa perlu nunggu macem kita-kita ini. Sampai sekarangpun dia tetaplah kaya (ya eyalah). Terus? Dia ini apakah jadi sukses seperti sekarang karena kerja keras tanpa mengenal lelah sampai kayang koprol? Ha?


Beda cerita, ada anak yang dari SD SMP pinternya banget. Bapaknya pedagang asongan. Si anak ini tiap sekolah bawa gorengan yang dia ambil dari tetangganya untuk dititipkan di kantin sekolah, pendapatan yang 100 rupiah pergorengan dia kumpulkan untuk biaya sekolah dan jajannya. Tapi sayangnya dia tidak bisa melanjutkan sampai SMA karena dia harus menggantikan bapaknya yang sakit untuk berdagang asongan. Terus, apakah dia tidak bisa menggapai cita-citanya dan gagal melanjutkan sekolahnya gara-gara dia adalah pemalas dan seorang yang bodoh? Ha?


Ini cuma contoh kasus, banyak juga saya menemui orang yang miskin dan akhirnya sukses atau meraih pendidikan tinggi. Yang saya ingin bilang adalah, ada baiknya kita mulai merenungkan kembali bagaimana nasib kita ‘yang lebih baik’ dapat mencapai titik sekarang ini. Meng-oversimplify bahwa kemiskinan adalah resiko dari kebodohan dan kemalasan adalah contoh tidak open-minded nya kita melihat realita yang ada. Butuh kerja yang ekstra bagi orang miskin (dibandingkan yang tidak miskin) untuk mendapatkan akses informasi atau ilmu yang dapat menunjang karir kesuksesannya atau pendidikannya. Yassalam... boro-boro mikirin begitu ya, kebanyakan mereka tidak punya waktu untuk belajar karena mengisi perut adalah prioritas utama.


Jadi, tidak jarang mereka (orang miskin) lebih keras bekerja dibandingkan kita ini (kelas menengah). Mereka terpaksa melakukan itu karena kemiskinan yang diwariskan kepadanya, dan akhirnya hal itu yang terus memaksa mereka menjadi miskin. 


Seorang kakak pernah bilang bahwa, kemiskinan tidak bisa diselesaikan oleh satu ilmu terapan saja, butuh komprehensif konsep, ide dan aksi nyata. Tentu saja itu tidak mudah, tidak semudah mulut saya yang nggak tau diri dan banyak omong ini, tapi semoga jadi reminder. Kalau takdir Allah begitu baik untuk kita dipercaya sebagai orang kaya yang mampu memberikan fasilitas pendidikan terbaik ke anak-anak nanti, kita tetap jadi orang yang tidak banyak tingkah mengolok-olok kemiskinan yang telah menjadi warisan. Atau minimal, kita mampu mengingatkan sesama kelas menengah, untuk tidak menyalahkan si miskin karena kemalasannya.

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact