Selasa, 10 Oktober 2017

Be A Productive

Beberapa waktu lalu teman saya menghubungi saya untuk mencurahkan kugandahan hatinya #girlszamannow. Kegundahan hati mengenai sulitnya menjadi produktif setelah kehidupan pasca kampus. Hmm... sesungguhnya ini pun yang menjadi kegundahan saya setahun yang lalu setelah saya lulus kuliah hehe. Saya jadi menerawang ke belakang.

Menjadi produktif di tengah kehidupan masyarakat tidak semudah dulu saat di kampus. Entah karena alasan pertama, gap umur yang berbeda sehingga menjadikan kita bingung harus ke kelompok yang mana. Ikut remaja masjid sudah nggak remaja lagi, ikut kumpulan arisan ibu-ibu RT eee belum diundang karena dianggap belum saatnya haha. Dilematis sekali ya. Atau alasan kedua, waktu kita yang serasa terhimpit karena ditekan rutinitas bekerja. Berangkat pagi, pulang sore. Beres-beres rumah, eeeh sudah magrib saja, orang-orang sudah pada masuk rumah. Menyapa tetangga pun kadang hanya sekedar saat berpapasan jalan hendak ke kantor. Syukur-syukur kalau weekend ada acara di kompleks, bisa dijadikan kesempatan untuk bersosialisasi dan berkumpul dengan tetangga yang lain. Tapi acara rutin seperti itu jarang ada. Duilehhh pusying, ya. Terus kerjaannya habis dari kantor glepah-glepoh doang di kasur? Bagi orang-orang yang sudah terbiasa bergerak, percayalah, situasi semacam glepah-glepoh di kasur doang itu adalah awkward moment bangetttt. Keadaan akan makin berkali-kali lipat menjadi sulit apabila tempat domisili pasca kampus kita bukanlah di kampung halaman dan bukan pula di kota tempat kampus kita berada. Intinya kita belum pernah mengenal tempat kita sekarang, tidak ada teman zaman sekolah dulu ataupun kerabat. Fix, kering sendirian haha.

Semua butuh proses... begitupun yang terjadi pada saya. Alhamdulillah sekarang saya telah melewati kegundahan tersebut. Sedikit demi sedikit saya mulai memiliki pemahaman baru mengenai produktif itu sendiri. Karena ya sekali lagi... kita harus ingat bahwa cara aktualisasi diri kita saat di kampus, dengan pasca kampus harusnya dibedakan. Definisi produktif saat di kampus, dengan saat pasca kampus pun harus dibedakan. Karena... lahannya sudah beda, status kita sudah beda, apa yang kita hadapi pun berbeda. Maka bertumbuhlah dengan pemahan yang baru dan seharusnya. Kita tidak bisa menuntut semua kondisi sama seperti kita di kampus dulu. Di masyarakat nggak ada yang namanya organisasi buka oprec, beda sama di kampus yang organisasi malah nyari-nyari anggota. Di masyarakat, kita yang menjemput bola untuk bersosialisasi dengan tetangga sekitar, nggak akan ada yang datengin kamu dan bilang "dek kok dipojokan aja.. gih sini ikut gabung ke tengah" ada sih, tapi bakal jarang. Dannn lain-lain. Laluuu gimana ini oh gimana haha.


Masing-masing dari kita berhak memberikan definisi sendiri mengenai produktif itu. 
Namun bagi saya, menjadi produktif adalah hak setiap orang, terlepas apakah ia seorang ibu rumah tangga, pelajar, atau pekerja. Tanpa harus terkekang dengan statusnya. Karena sebenarnya disadari atau tidak, tuntutan untuk menjadi produktif itu sudahlah menjadi fitrah manusia. Se-mager-er apapun kamu, pasti akan ada bosennya juga dan pengen gerak kan?


Maka, di dunia pasca kampus ini, saya jadi nggak muluk-muluk memasang target mengenai produktivitas saya sih. Karena ya itu tadi, kondisi berubah seperti serangan negara api. 
Bagi saya sekarang, tolak ukur sebuah produktivitas diukur dari 3 hal:

1. Sejauh mana setiap waktu yang kita miliki, dapat senantiasa dioptimalkan dalam amal kebaikan. 
Dan kriteria ini memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap manusia, dengan potensi apapun. 😊
Satu hal yang saya yakini, Allah tidak pernah menciptakan kita sebagai manusia biasa-biasa saja, karena kita semua dicipta untuk menjadi khalifah.
Maka tugas seseorang untuk bisa produktif, memerlukan usaha optimal untuk mengenali dirinya sendiri, menemukan tujuan penciptaannya, lalu menemukan peran terbaik yang Allah titipkan pada diri kita.
Ketika kita sudah menemukannya, maka tugas kita selanjutnya adalah "beramal beramal beramal", memanfaatkan setiap waktu untuk senantiasa dalam aktivitas kebaikan. Sekalipun aktivitas itu adalah merapihkan rumah, membaca buku, atau membantu membagikan minum di acara pengajian di masjid dekat rumah, dsb.

2. Kriteria produktif bagi saya, 
Bukan hanya kita melakukan amal kebaikan, tapi ia pun adalah amal yang penuh ikhlas dan taqwa.
Kenapa? Karena kualitas keberkahan suatu amal, akan bergantung pada niat dan proses pelaksanaannya. 
Produktif bermakna berkarya yang menghasilkan manfaat seluas-luasnya. Dan Allah lah yang Maha Menentukan, sejauh mana sebuah amal itu bermanfaat. Yang saya yakini, ketika sebuah amal dilandasi oleh bekal niat yang ikhlas, dan dilaksanakan penuh ketaqwaan, maka keberkahan dari amal tersebut akan melimpah berlipat ganda. Terlepas apapun kegiatannya.
Punten, saya adalah tipikal orang yang meyakini, tidak ada amal baik yang terlalu sepele untuk dilakukan. Jangan pernah meremehkan suatu amal yang menjadikan kita lupa kepada Siapa kita beramal. Boleh jadi, sebuah prestasi yang kita anggap besar, namun kecil nilainya di sisi Allah. Dan boleh jadi, suatu aktivitas yang kita anggap remeh, ternyata Allah limpahkan keberkahan luas di dalamnya.
Sebagai contoh, misalkan kita mendengar tetangga kita jatuh sakit, padahal waktu sempit dan kita mungkin tak mampu memberikan bantuan materiil. Kita memilih untuk sekedar membagi sedikit dari masakan kita untuk makan siangnya, yang di dalamnya terselip doa tulus penuh harap kepada Allah.
Kalaulah Allah berkehendak menurunkan keberkahan, sangat mungkin, dari sepiring makanan tersebut, ia berbuah menjadi rasa akur antar tetangga. Dan itu bermula dari sepiring makanan yang penuh berkah.

3. Kriteria ke-3 bagi saya, kalaulah kita di hadapkan dengan berbagai pilihan kegiatan dan aktivitas. Maka prioritasnya adalah:
- utamakan yang wajib baru yang sunnah
- utamakan yang lebih banyak manfaatnya dan lebih sedikit mudharatnya
Tantangannya, bagaimana kita mengetahui mana yang terbaik? 😊
Di situlah kita harus senantiasa menjadi seorang penuntut ilmu. 
Menjadi seorang insan, apapun status aktivitasnya, menuntut kita untuk senantiasa belajar. 
Minimal, kita harus belajar:
1. Ilmu agama murni: Tauhid, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Al-Quran
2. Ilmu tentang kesehatan, nutrisi, dan olahraga.
3. Ilmu lain yang sesuai dengan 'muyul', kecenderungan ketertarikan pada bidang ilmu tertentu yang memang sesuai dengan potensi dan bakat kita.

Seriusss... saya baru beberapa saat ini menyadari bahwa ilmu-ilmu tersebut penting banget. Karena kita hidup di tengah masyarakat yang notabene heterogen dan kadang bikin kita bingung ambil sikap dalam menghadapi sesuatu yang sedang bergulir. Misal kita tidak menyepakati suatu hal karena bertentangan dengan apa yang kita yakini, tapi kalau kita nggak sepakat dengan hal itu maka kita akan terkucilkan dari masyarakat. Eterus eterus eterus gimana dongs haha... itu pentingnya kita harus belajar ilmu-ilmu di atas tersebut (minimal), untuk membentuk prinsip hidup, pada hal-hal mana yang kita harus tegas dan lunak.

Banyak yang harus dipelajari? 😊

Iya. Emang.
Tapi itu semua sangat sedikit jika dibandingkan dengan nilai sebuah pahala, keberkahan. Dan surga dari Allah SWT.

Hidup kita hanya sekali.
Jadikanlah ia bermakna.. dan tiket kita berpulang ke surga.
Tanpa ilmu, bagaimana cara kita meraihnya?


Kadang yaa ada juga yang rasanya jadwalnya begitu padat, kalau dilihat kasat mata tuh udah lah itu itungannya produktif, tapi kenapa merasa waktunya terbuang percuma(?). Mungkin ada yang perlu ditelusuri,
- apakah pekerjaan itu sesuai dengan 'muyul' (bidang minat) kita atau tidak(?)
- apakah dalam pekerjaan tersebut terdapat manfaat atau tidak(?)
-apakah pekerjaan tersebut melibatkan maksiat yang mengurangi atau bahkan menghapus keberkahan atau tidak(?)

Karena,
Seharusnya amal kebaikan yang satu, akan membimbing kepada amal kebaikan lainnya. Seharusnya, setelah beramal shaleh, kita akan merasakan kepuasan syukur lahir dan batin. Allahualam bishawab. Itu cuma berdasarkan perasaan pribadi saya huks.


Sebenernya ya... di tengah masa gundah saya menjalankan peran pasca kampus agar tetap produktif kala itu, saya ngerasa nggak ada lagi yang bisa saya lakukan, kecuali,
Untuk tetap bergerak semampu saya, untuk tetap berdoa sebisa saya.
Dan justru episode terindah, adalah ketika kita menyadari bahwa kita tidak mampu melakukan sesuatu, dan hanya Allah lah yang mampu menyelesaikannya.
Terbukti! Allah kasih saya jalan-jalan kemudahan untuk memanfatkan waktu saya dari hanya sekedar glepah-glepoh di kasur tadi wakakakaka. Percayalah, siapapun yang berjalan, akan menemukan.


Saya masih belajar... Masih jauh dari produktif dan sholihah versi saya. Semoga, kita semua, mampu menjadi luar biasa menurut versi kita. Versi peran terbaik yang Allah titipkan pada kita. Agar kita semua, akan menemukan penghujung kehidupan kita, sebagai sesuatu yang penuh makna.. Husnul khatimah :")

0 komentar:

Posting Komentar

statistics

Bukan pakar, mari sama-sama belajar. Pun bukan ahli, mari saling berbagi | Melangit dan Membumi

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact